cover
Contact Name
Dita Archinirmala
Contact Email
dorotea.ditaarchinirmala@kalbe.co.id
Phone
+6281806175669
Journal Mail Official
cdkjurnal@gmail.com
Editorial Address
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/about/editorialTeam
Location
Unknown,
Unknown
INDONESIA
Cermin Dunia Kedokteran
Published by PT. Kalbe Farma Tbk.
ISSN : 0125913X     EISSN : 25032720     DOI : 10.55175
Core Subject : Health,
Cermin Dunia Kedokteran (e-ISSN: 2503-2720, p-ISSN: 0125-913X), merupakan jurnal kedokteran dengan akses terbuka dan review sejawat yang menerbitkan artikel penelitian maupun tinjauan pustaka dari bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat baik ilmu dasar, klinis serta epidemiologis yang menyangkut pencegahan, pengobatan maupun rehabilitasi. Jurnal ini ditujukan untuk membantu mewadahi publikasi ilmiah, penyegaran, serta membantu meningkatan dan penyebaran pengetahuan terkait dengan perkembangan ilmu kedokteran dan kesehatan masyarakat. Terbit setiap bulan sekali dan disertai dengan artikel yang digunakan untuk CME - Continuing Medical Education yang bekerjasama dengan PB IDI (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia)
Articles 16 Documents
Search results for , issue "Vol 41, No 3 (2014): Farmakologi" : 16 Documents clear
Hipoksia Berpeluang Mencegah Kerusakan Sel β Pankreas pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2: Tinjauan Biologi Molekular Annisa, Firda; Viryawan, Cynthia; Santoso, Fabianto
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 3 (2014): Farmakologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (465.566 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i3.1157

Abstract

Diabetes melitus (DM) tipe 2 adalah sindrom terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein akibat berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin. Umumnya, DM tipe 2 diawali dengan hiperglikemi berkelanjutan menyebabkan resistensi insulin. Hiperglikemi ini juga akan meningkatkan ROS (Reactive Oxygen Species), khususnya pada sel β pankreas dan akhirnya memicu kerusakan sel, selanjutnya mengurangi sekresi insulin sehingga dapat memperparah DM tipe 2. Hipoksia adalah kondisi kekurangan oksigen dalam sel. Kondisi ini telah diteliti dapat meningkatkan transporter glukosa sel dengan aktivasi faktor transkripsi HIF-1α (Hypoxia Inducible Factor 1α) sehingga dapat mengurangi hiperglikemia, kerusakan sel β pankreas pada pasien DM dan dapat mencegah resistensi insulin. Hipoksia juga menurunkan¬ O¬2 sel yang merupakan sumber ROS, sehingga akan menurunkan risiko kerusakan sel β pankreas pada DM tipe 2. Hipoksia berpeluang mencegah kerusakan sel β pankreas lebih lanjut pada DM tipe 2.Type 2 diabetes mellitus (DM) is a syndrome of impaired metabolism caused by reduced insulin secretion or decreased tissue sensitivity to insulin. Type 2 DM begins with sustained hyperglycemia causing insulin resistance. Hyperglycemia also causes ROS (Reactive Oxygen Species) increase, especially in pancreatic β cells, eventually lead to cell damage and more severe type 2 DM. Hypoxia has been observed can increase cell glucose transporter through activation of transcription factor HIF-1α (Hypoxia Inducible Factor 1α), reducing hyperglycemia and preventing destruction of pancreatic β cells in diabetic patients with insulin resistance. Hypoxia also lowers oxygen in cells as a source of ROS. ROS decrease will reduce risk of pancreatic β cells damage in type 2 DM. Hypoxia likely prevents further damage in type 2 DM by preventing pancreatic β cells destruction.
Pengaruh Social Engagement terhadap Fungsi Kognitif Lanjut Usia di Jakarta Wreksoatmodjo, Budi Riyanto
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 3 (2014): Farmakologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (617.314 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i3.1153

Abstract

Peningkatan harapan hidup manusia akan menambah populasi lanjut usia diikuti dengan peningkatan masalah, antara lain penurunan fungsi kognitif. Salah satu faktor risiko penurunan fungsi kognitif ialah social engagement yang dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal. Penelitian dilakukan menggunakan metode cross sectional di kelurahan Jelambar dan Jelambar Baru, Jakarta atas 286 lanjut usia yang tinggal di keluarga dan di panti werdha menunjukkan adanya pengaruh social engagement terhadap fungsi kognitif lanjut usia, terutama di kalangan panti werdha. Social engagement buruk berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif, social engagement buruk berhubungan dengan fungsi kognitif yang lebih rendah. Komponen social engagement yang paling berperan terhadap fungsi kognitif para lanjut usia adalah aktivitas di masyarakat dan keanggotaan di kelompok masyarakat lain (selain posyandu).The improvement of life expectancy has increased old-age population in the world. This condition will increase the problems among elderly, among others is cognitive decline. One of the risk factors for cognitive decline is social engagement that can be influenced by living environment. This research was done with cross sectional method in kelurahan Jelambar and Jelambar Baru on 286 respondents living in family and institution. Social disengagement was associated with lower cognitive function The most important components of social engagement are to become a member of social/community society and to be active in the community. 
Kebutaan pada Karsinoma Nasofaring Handayani, Khristi; Purna Putra, I Gusti Ngurah; Ngurah Nuartha, Anak Agung Bagus
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 3 (2014): Farmakologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1311.3 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i3.1158

Abstract

Latar belakang: Keluhan karsinoma nasofaring (KNF) pada hampir separuh pasien adalah benjolan di leher. Gejala neurologi lebih jarang dijumpai, kebutaan hanya terjadi kurang dari satu persen. Laporan kasus: Laki-laki 26 tahun dengan keluhan nyeri kepala, suara sengau, dan tidak dapat melihat sejak satu bulan. Dari pemeriksaan didapatkan massa di kavum nasi kanan, pembesaran kelenjar getah bening leher kanan, lesi nervus III, IV, V1, V2, V3, VI, VII kanan, dan nervus II kanan. Refleks makula kanan pada funduskopi menurun. Pada CT scan didapatkan massa nasofaring kanan yang meluas ke intrakranial dan intraorbital kanan. Simpulan: Terdapat infiltrasi KNF perkontinuitatum ke jaringan sekitar sampai intrakranial. Kebutaan pada satu mata dapat disebabkan oleh perluasan ke fosa serebri media dan invasi ke orbita, juga karena kompresi nervus optikus oleh jaringan tumor.Background: The common complaint in almost half of nasopharyngeal carcinoma (NPC) patients was a lump in the neck. Neurological symptoms occured less frequently, whereas blindness occurred in only less than one percent of cases. Case report: A 26 year-old male complained about headache, nasal voice, and blindness in right eye since a month ago. Examination found mass in the right nasal cavity, right neck lymph nodes enlargement, damage to the right oculomotor (III), trochlear (IV), trigeminal (V), and abducens (VI) nerve, and right opticus nerve (II). On fundoscopy, right macular reflex decreased. On CT scan there was right nasopharyngeal mass extending to intracranial and right intraorbital spaces. Summary: There was a direct infiltration of NPC into surrounding and intracranial structures. Unilateral blindness may be caused by expansion to middle cerebral fossa and orbita. It can also be caused by optic nerve compression from surrounding tumor tissue. Khristi
Application of Pharmacogenomics on Drug Discovery and Development Yudhani, Ratih Dewi
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 3 (2014): Farmakologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (599.574 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i3.1154

Abstract

Individual variations in the response to drugs and drug toxicity occur commonly in the clinical setting and in drug development research protocols. Cumulative evidence strongly suggests that genetic polymorphisms in drug metabolizing enzymes, transporters, receptors and other drug targets are contributing to inter-individual differences in the efficacy and toxicity of drugs. Pharmacogenomics refers to the application of genome-wide approaches in order to understand genetic influence on drug response and to develop novel drugs. This application of pharmacogenomics has implications in predicting a patient’s response to medications, reducing adverse events and improving rationality of drug development. Pharmacogenomics profoundly change the way clinical drug trials are conducted, as well as influencing drug development process. This review provides an overview of the pharmacogenomics application on drug discovery and development.Variasi respons individual dan toksisitas terhadap obat sering ditemui di klinik dan selama proses penelitian dan pengembangan obat baru. Beberapa bukti jelas mengindikasikan bahwa polimorfisme genetik pada gen-gen yang meregulasi ekspresi enzim yang terkait dengan metabolisme obat, transporter, reseptor dan target obat yang lain, berperan dalam menentukan perbedaan efikasi dan toksisitas suatu obat di antara individu. Farmakogenomik mengacu pada aplikasi genomik untuk memahami pengaruh genetik pada respons obat dan aplikasinya dalam proses penelitian dan pengembangan obat baru. Farmakogenomik dapat diaplikasikan untuk memprediksi respons individu terhadap pengobatan, mengurangi kejadian yang tidak diinginkan terkait dengan pemberian obat dan meningkatkan rasionalitas dalam proses pengembangan obat. Oleh karena itu, farmakogenomik menyebabkan pergeseran paradigma terkait penelitian dalam rangka penemuan obat baru di tahap preklinik dan bagaimana perancangan uji klinis obat. Tinjauan ini memberi gambaran aplikasi farmakogenomik pada proses penelitian dalam rangka penemuan dan pengembangan obat baru.
Terapi Rasional Nyeri Neuropatik Pinzon, Rizaldy
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 3 (2014): Farmakologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (197.556 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i3.1159

Abstract

Nyeri neuropatik dapat terjadi akibat lesi atau penyakit yang mengenai sistem somatosensorik. Penatalaksanaan nyeri neuropatik kronik masih sulit sekalipun sudah dilakukan sejumlah upaya untuk menghasilkan pendekatan terapi yang lebih rasional. Penggunaan NNT (number needed to treat) dan NNH (number needed to harm) patut dipertimbangkan dalam memilih obat untuk seorang pasien. Gabapentin, pregabalin, dan antidepresan trisiklik (tricyclic antidepressant, TCA) adalah obat-obat yang paling sering diteliti dan layak dipandang sebagai pilihan pertama dalam terapi nyeri neuropatik.Neuropathic pain may arise as a consequence of a lesion or disease affecting the somatosensory system. The management of chronic neuropathic pain is challenging, despite several attempts to develop a more rational therapeutic approach. The use of NNT (number needed to treat) and NNH (number needed to harm) should be considered for choosing the medications for individual patients. Gabapentin, pregabalin and TCA (tricyclic antidepressant) were the most frequently studied drugs and should be considered as first choices in treating neuropathic pain. 
Tension-Type Headache Anurogo, Dito
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 3 (2014): Farmakologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (926.4 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i3.1155

Abstract

Nyeri kepala tegang otot (tension-type headache -TTH) adalah nyeri kepala yang paling umum di seluruh dunia. Penulisan ilmiah ini bertujuan untuk mereview publikasi terkini yang terkait dengan TTH. Review ini berfokus pada pembahasan epidemiologi, etiopatofisiologi, potret klinis, pemeriksaan (fisik dan penunjang), penatalaksanaan, diagnosis banding, komorbiditas, pencegahan, dan prognosis.Tension-type headaches (TTH) are very common headache worldwide. The objective of this scientific paper was to review the recent and relevant publication about tension-type headache. This review focuses on epidemiology, etiopathophysiology, clinical portrait, physical examination and additional assessment, management, differential diagnosis, comorbidity, preventive, and prognosis in TTH.
Peranan CT Scan Kepala dalam Diagnosis Nyeri Kepala Kronis Susanto, Albert
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 3 (2014): Farmakologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (428.111 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i3.1156

Abstract

Nyeri kepala kronis mengenai 5% populasi umum dan berpotensi menyebabkan disabilitas. Dokter dan pasien cenderung mencemaskan penyebab serius seperti tumor otak. Peranan pencitraan radiologis dalam mendiagnosis kelainan nyeri kepala kronis masih rendah namun bermanfaat dalam mengeksklusi penyebab sekunder. Pemeriksaan neurologis normal menurunkan kemungkinan ditemukannya abnormalitas pada pencitraan sebesar 30%.Chronic headache affects up to 5% of the population and can lead to significant disability. Both physician and patient are usually cautious on possibility of serious cause, such as brain tumor, and make referral to radiological investigation. The diagnostic yield of neuroimaging in chronic headache is low, but can be used to exclude secondary causes of chronic headache. Normal neurologic examination reduce the probability of finding intracranial abnormality to 30%.
Drug-Induced Liver Injury – Tantangan dalam Diagnosis Loho, Imelda Maria; Hasan, Irsan
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 3 (2014): Farmakologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (812.93 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i3.1152

Abstract

Jejas hati imbas obat (drug-induced liver injury, DILI), atau hepatotoksisitas imbas obat, merupakan jejas hati yang disebabkan oleh pajanan terhadap obat atau agen non-infeksius. Jejas yang ditimbulkan oleh obat bervariasi, mulai dari tidak bergejala, ringan, hingga gagal hati akut yang mengancam nyawa. Insidens hepatotoksisitas imbas obat terbilang rendah, yaitu antara 1 dari 10.000 sampai 1 dari 100.000 pasien, tampaknya karena sulitnya diagnosis dan angka pelaporan yang masih rendah. Kunci penting diagnosis DILI adalah pajanan obat harus terjadi sebelum onset jejas hati dan penyakit lain yang dapat menyebabkan jejas hati harus disingkirkan. Selain itu, jejas hati akan membaik bila penggunaan obat tertentu dihentikan dan jejas hati dapat terjadi lebih cepat dan lebih berat pada pajanan berikutnya, khususnya bila jejas hati tersebut terjadi akibat proses imunologis.Drug-induced liver injury or drug-related hepatotoxicity is injury to the liver caused by exposure to a drug or another noninfectious agent. The clinical signs could vary from very mild condition without any clinical symptoms to severe and life-threatening acute liver failure. Drug-related hepatotoxicity has a low reported incidence, ranging from 1 in 10.000 and 1 in 100.000 patients, but its true incidence may be higher because of difficulties in detection or diagnosis and underreporting. Key elements in assessing cause in the diagnosis of drug-related hepatotoxicity were : Exposure to a drug must precede the onset of liver injury. Other disease should be ruled out. Condition may improve when the drug is stopped and may recur more rapidly and severely on repeated exposure, especially if immunological process is involved. 
Drug-Induced Liver Injury – Tantangan dalam Diagnosis Imelda Maria Loho; Irsan Hasan
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 3 (2014): Farmakologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55175/cdk.v41i3.1152

Abstract

Jejas hati imbas obat (drug-induced liver injury, DILI), atau hepatotoksisitas imbas obat, merupakan jejas hati yang disebabkan oleh pajanan terhadap obat atau agen non-infeksius. Jejas yang ditimbulkan oleh obat bervariasi, mulai dari tidak bergejala, ringan, hingga gagal hati akut yang mengancam nyawa. Insidens hepatotoksisitas imbas obat terbilang rendah, yaitu antara 1 dari 10.000 sampai 1 dari 100.000 pasien, tampaknya karena sulitnya diagnosis dan angka pelaporan yang masih rendah. Kunci penting diagnosis DILI adalah pajanan obat harus terjadi sebelum onset jejas hati dan penyakit lain yang dapat menyebabkan jejas hati harus disingkirkan. Selain itu, jejas hati akan membaik bila penggunaan obat tertentu dihentikan dan jejas hati dapat terjadi lebih cepat dan lebih berat pada pajanan berikutnya, khususnya bila jejas hati tersebut terjadi akibat proses imunologis.Drug-induced liver injury or drug-related hepatotoxicity is injury to the liver caused by exposure to a drug or another noninfectious agent. The clinical signs could vary from very mild condition without any clinical symptoms to severe and life-threatening acute liver failure. Drug-related hepatotoxicity has a low reported incidence, ranging from 1 in 10.000 and 1 in 100.000 patients, but its true incidence may be higher because of difficulties in detection or diagnosis and underreporting. Key elements in assessing cause in the diagnosis of drug-related hepatotoxicity were : Exposure to a drug must precede the onset of liver injury. Other disease should be ruled out. Condition may improve when the drug is stopped and may recur more rapidly and severely on repeated exposure, especially if immunological process is involved. 
Hipoksia Berpeluang Mencegah Kerusakan Sel β Pankreas pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2: Tinjauan Biologi Molekular Firda Annisa; Cynthia Viryawan; Fabianto Santoso
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 3 (2014): Farmakologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55175/cdk.v41i3.1157

Abstract

Diabetes melitus (DM) tipe 2 adalah sindrom terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein akibat berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin. Umumnya, DM tipe 2 diawali dengan hiperglikemi berkelanjutan menyebabkan resistensi insulin. Hiperglikemi ini juga akan meningkatkan ROS (Reactive Oxygen Species), khususnya pada sel β pankreas dan akhirnya memicu kerusakan sel, selanjutnya mengurangi sekresi insulin sehingga dapat memperparah DM tipe 2. Hipoksia adalah kondisi kekurangan oksigen dalam sel. Kondisi ini telah diteliti dapat meningkatkan transporter glukosa sel dengan aktivasi faktor transkripsi HIF-1α (Hypoxia Inducible Factor 1α) sehingga dapat mengurangi hiperglikemia, kerusakan sel β pankreas pada pasien DM dan dapat mencegah resistensi insulin. Hipoksia juga menurunkan¬ O¬2 sel yang merupakan sumber ROS, sehingga akan menurunkan risiko kerusakan sel β pankreas pada DM tipe 2. Hipoksia berpeluang mencegah kerusakan sel β pankreas lebih lanjut pada DM tipe 2.Type 2 diabetes mellitus (DM) is a syndrome of impaired metabolism caused by reduced insulin secretion or decreased tissue sensitivity to insulin. Type 2 DM begins with sustained hyperglycemia causing insulin resistance. Hyperglycemia also causes ROS (Reactive Oxygen Species) increase, especially in pancreatic β cells, eventually lead to cell damage and more severe type 2 DM. Hypoxia has been observed can increase cell glucose transporter through activation of transcription factor HIF-1α (Hypoxia Inducible Factor 1α), reducing hyperglycemia and preventing destruction of pancreatic β cells in diabetic patients with insulin resistance. Hypoxia also lowers oxygen in cells as a source of ROS. ROS decrease will reduce risk of pancreatic β cells damage in type 2 DM. Hypoxia likely prevents further damage in type 2 DM by preventing pancreatic β cells destruction.

Page 1 of 2 | Total Record : 16


Filter by Year

2014 2020


Filter By Issues
All Issue Vol 50 No 11 (2023): Pediatri Vol 50 No 10 (2023): Kedokteran Umum Vol 50 No 9 (2023): Penyakit Dalam Vol 50 No 8 (2023): Dermatiologi Vol 50 No 7 (2023): Kardiovaskular Vol 50 No 6 (2023): Edisi CME Vol 50 No 5 (2023): Kedokteran Umum Vol 50 No 4 (2023): Anak Vol 50 No 3 (2023): Kardiologi Vol 50 No 2 (2023): Penyakit Dalam Vol 50 No 1 (2023): Oftalmologi Vol 49, No 4 (2022): Infeksi - COVID-19 Vol 49 No 12 (2022): Dermatologi Vol. 49 No. 11 (2022): Neurologi Vol 49 No 10 (2022): Oftalmologi Vol. 49 No. 9 (2022): Neurologi Vol. 49 No. 8 (2022): Dermatologi Vol 49, No 7 (2022): Vitamin D Vol 49 No 7 (2022): Nutrisi - Vitamin D Vol 49, No 6 (2022): Nutrisi Vol 49 No 6 (2022): Nutrisi Vol 49 No 5 (2022): Neuro-Kardiovaskular Vol 49, No 5 (2022): Jantung dan Saraf Vol 49 No 4 (2022): Penyakit Dalam Vol 49, No 3 (2022): Saraf Vol 49 No 3 (2022): Neurologi Vol 49, No 2 (2022): Infeksi Vol 49 No 2 (2022): Infeksi Vol 49 (2022): CDK Suplemen-2 Vol 49 (2022): CDK Suplemen-1 Vol 49, No 1 (2022): Bedah Vol 49 No 1 (2022): Bedah Vol 48 No 11 (2021): Penyakit Dalam - COVID-19 Vol 48, No 7 (2021): Infeksi - [Covid - 19] Vol 48 No 1 (2021): Infeksi COVID-19 Vol. 48 No. 10 (2021): Continuing Medical Education - Edisi 4 Vol 48 No 8 (2021): Continuing Medical Education - Edisi 3 Vol 48 No 5 (2021): Continuing Medical Education - Edisi 2 Vol. 48 No. 2 (2021): Continuing Medical Education - Edisi 1 Vol 48, No 12 (2021): General Medicine Vol 48 No 12 (2021): Penyakit Dalam Vol 48, No 11 (2021): Kardio-SerebroVaskular Vol 48, No 10 (2021): CME - Continuing Medical Education Vol 48, No 9 (2021): Nyeri Neuropatik Vol 48 No 9 (2021): Neurologi Vol 48, No 8 (2021): CME - Continuing Medical Education Vol 48 No 7 (2021): Infeksi Vol 48, No 6 (2021): Kardiologi Vol 48 No 6 (2021): Kardiologi Vol 48, No 5 (2021): CME - Continuing Medical Education Vol 48 No 4 (2021): Dermatologi Vol 48, No 4 (2021): Dermatologi Vol 48, No 3 (2021): Obstetri dan Ginekologi Vol. 48 No. 3 (2021): Obstetri - Ginekologi Vol 48, No 2 (2021): Farmakologi - Vitamin D Vol 48, No 1 (2021): Penyakit Dalam Vol 47, No 12 (2020): Dermatologi Vol 47, No 11 (2020): Infeksi Vol. 47 No. 10 (2020): Dermatologi Vol 47, No 10 (2020): Optalmologi Vol 47 No 9 (2020): Infeksi Vol 47, No 9 (2020): Neurologi Vol. 47 No. 8 (2020): Oftalmologi Vol 47, No 8 (2020): Kardiologi Vol 47, No 7 (2020): Bedah Vol. 47 No. 7 (2020): Neurologi Vol 47 No 6 (2020): Kardiologi & Pediatri Vol 47, No 5 (2020): CME - Continuing Medical Education Vol. 47 No. 5 (2020): Bedah Vol. 47 No. 4 (2020): Interna Vol 47, No 4 (2020): Arthritis Vol. 47 No. 3 (2020): Dermatologi Vol 47, No 3 (2020): Dermatologi Vol 47 No 2 (2020): Infeksi Vol 47, No 2 (2020): Penyakit Infeksi Vol 47, No 1 (2020): CME - Continuing Medical Education Vol 47, No 1 (2020): Bedah Vol 47 No 1 (2020): Bedah Vol. 46 No. 7 (2019): Continuing Medical Education - 2 Vol 46, No 12 (2019): Kardiovaskular Vol 46 No 12 (2019): Kardiovakular Vol. 46 No. 11 (2019): Pediatri Vol 46, No 11 (2019): Kesehatan Anak Vol 46, No 10 (2019): Farmasi Vol. 46 No. 10 (2019): Farmakologi - Continuing Professional Development Vol 46 No 9 (2019): Neurologi Vol 46, No 9 (2019): Neuropati Vol. 46 No. 8 (2019): Pediatri Vol 46, No 8 (2019): Kesehatan Anak Vol 46, No 7 (2019): CME - Continuing Medical Education Vol 46 No 6 (2019): Endokrinologi Vol 46, No 6 (2019): Diabetes Mellitus Vol 46, No 5 (2019): Pediatri Vol. 46 No. 5 (2019): Pediatri Vol. 46 No. 4 (2019): Dermatologi Vol 46, No 4 (2019): Dermatologi Vol. 46 No. 3 (2019): Nutrisi Vol 46, No 3 (2019): Nutrisi Vol 46, No 2 (2019): Penyakit Dalam Vol. 46 No. 2 (2019): Interna Vol 46, No 1 (2019): Obstetri - Ginekologi Vol 46 No 1 (2019): Obstetri-Ginekologi Vol 46, No 1 (2019): CME - Continuing Medical Education Vol 45, No 12 (2018): Farmakologi Vol 45 No 12 (2018): Interna Vol. 45 No. 11 (2018): Neurologi Vol 45, No 11 (2018): Neurologi Vol 45, No 10 (2018): Muskuloskeletal Vol. 45 No. 10 (2018): Muskuloskeletal Vol 45, No 9 (2018): Infeksi Vol 45 No 9 (2018): Infeksi Vol. 45 No. 8 (2018): Dermatologi Vol 45, No 8 (2018): Alopesia Vol 45, No 7 (2018): Onkologi Vol 45 No 7 (2018): Onkologi Vol. 45 No. 6 (2018): Interna Vol 45, No 6 (2018): Penyakit Dalam Vol 45, No 5 (2018): Nutrisi Vol. 45 No. 5 (2018): Nutrisi Vol 45, No 4 (2018): Cidera Kepala Vol 45, No 4 (2018): Cedera Kepala Vol 45 No 4 (2018): Neurologi Vol. 45 No. 3 (2018): Muskuloskeletal Vol 45, No 3 (2018): Muskuloskeletal Vol. 45 No. 2 (2018): Urologi Vol 45, No 2 (2018): Urologi Vol 45, No 1 (2018): Suplemen Vol 45, No 1 (2018): Dermatologi Vol 45 No 1 (2018): Dermatologi Vol 44, No 12 (2017): Neurologi Vol 44, No 11 (2017): Kardiovaskuler Vol 44, No 10 (2017): Pediatrik Vol 44, No 9 (2017): Kardiologi Vol 44, No 8 (2017): Obstetri-Ginekologi Vol 44, No 7 (2017): THT Vol 44, No 6 (2017): Dermatologi Vol 44, No 5 (2017): Gastrointestinal Vol 44, No 4 (2017): Optalmologi Vol 44, No 3 (2017): Infeksi Vol 44, No 2 (2017): Neurologi Vol 44, No 1 (2017): Nutrisi Vol 43, No 12 (2016): Kardiovaskular Vol 43, No 11 (2016): Kesehatan Ibu - Anak Vol 43, No 10 (2016): Anti-aging Vol 43, No 9 (2016): Kardiovaskuler Vol 43, No 8 (2016): Infeksi Vol 43, No 7 (2016): Kulit Vol 43, No 6 (2016): Metabolik Vol 43, No 5 (2016): Infeksi Vol 43, No 4 (2016): Adiksi Vol 43, No 3 (2016): Kardiologi Vol 43, No 2 (2016): Diabetes Mellitus Vol 43, No 1 (2016): Neurologi Vol 42, No 12 (2015): Dermatologi Vol 42, No 11 (2015): Kanker Vol 42, No 10 (2015): Neurologi Vol 42, No 9 (2015): Pediatri Vol 42, No 8 (2015): Nutrisi Vol 42, No 7 (2015): Stem Cell Vol 42, No 6 (2015): Malaria Vol 42, No 5 (2015): Kardiologi Vol 42, No 4 (2015): Alergi Vol 42, No 3 (2015): Nyeri Vol 42, No 2 (2015): Bedah Vol 42, No 1 (2015): Neurologi Vol 41, No 12 (2014): Endokrin Vol 41, No 11 (2014): Infeksi Vol 41, No 10 (2014): Hematologi Vol 41, No 9 (2014): Diabetes Mellitus Vol 41, No 8 (2014): Pediatrik Vol 41, No 7 (2014): Kardiologi Vol 41, No 6 (2014): Bedah Vol 41, No 5 (2014): Muskuloskeletal Vol 41, No 4 (2014): Dermatologi Vol 41, No 3 (2014): Farmakologi Vol 41, No 2 (2014): Neurologi Vol 41, No 1 (2014): Neurologi More Issue