cover
Contact Name
Abdul Basid Fuadi
Contact Email
jurnalkonstitusi@mkri.id
Phone
+6281215312967
Journal Mail Official
jurnalkonstitusi@mkri.id
Editorial Address
Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Perpustakaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta 10110 Telp: (021) 23529000 Fax: (021) 3520177 E-mail: jurnalkonstitusi@mkri.id
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Konstitusi
ISSN : 18297706     EISSN : 25481657     DOI : https://doi.org/10.31078/jk1841
Core Subject : Humanities, Social,
The aims of this journal is to provide a venue for academicians, researchers and practitioners for publishing the original research articles or review articles. The scope of the articles published in this journal deal with a broad range of topics in the fields of Constitutional Law and another section related contemporary issues in law.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 14, No 3 (2017)" : 10 Documents clear
Peran Perubahan Undang-Undang Kewarganegaraan dalam Mengakomodir Diaspora untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Achmadudin Rajab
Jurnal Konstitusi Vol 14, No 3 (2017)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (496.839 KB) | DOI: 10.31078/jk1434

Abstract

Adanya dua persoalan kewarganegaraan yang terjadi pada Gloria Natapraja Hamel dan Archandra Tahar telah membangkitkan kembali momentum untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Kedua persoalan ini juga sejalan dengan keinginan diaspora untuk mendapatkan hak-hak setara dengan warga negara Indonesia. Sebagaimana diketahui tuntutan untuk mengakomodir keinginan diaspora ini menjanjikan hal-hal yang besar bagi Indonesia. Potensi diaspora Indonesia dari sudut ekonomi serta alih teknologi dan/atau pengetahuan bagi Indonesia adalah daya tarik utama pengakomodiran keinginan diaspora. Begitu juga diyakini bahwa diaspora akan membawa jumlah remitansi yang besar menjadi salah satu pendorong utama bagi Indonesia untuk menyesuaikan kebutuhan dari perkembangan dunia saat ini tekait diaspora. Oleh karena itu, perlu kiranya rekomendasi yang tepat bagi perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia untuk mengakomodir diaspora dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun tanpa mengubah politik kewarganegaraan Indonesia yang selama ini berlaku yakni kewarganegaraan tunggal.There were two problems of citizenship related two someone who has dual nationality, Gloria's case and Archandra's case. These case revive momentum to amend Law Number 12 of 2006 on Citizenship of the Republic of Indonesia. Both the issue are also in line with the wish of diaspora to get the rights equivalent to indonesian citizens. As it is known the demand to accommodate this desire diaspora promising great things for indonesia. The potential diaspora of indonesia from the economic angle as well as technology transfer and / or the knowledge for Indonesia is the main attraction to accommodate the desire from diaspora. So does was believed that diaspora will bring the number of a remittance is large coiled one of the main incentive for Indonesia to adjust the needs of the development of the world today about diaspora. Hence, recommendations that are suitable for the changing of Law Number 12 years 2006 on Citizenship of the Republic of Indonesia to accommodate diaspora to increase the public welfare, but without change politics of citizenship of Indonesia that has been settled, that is mono-nationality.
Legalitas Hukum Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam Menyelenggarakan Pilkada Ansori Ansori
Jurnal Konstitusi Vol 14, No 3 (2017)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (505.514 KB) | DOI: 10.31078/jk1435

Abstract

Penelitian ini membahas legalitas hukum Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memahami legalisasi pengaturan kedudukan hukum KPUD dalam penyelenggaraan Pilkada pasca putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif, dengan teori lembaga negara, hierarki, kewenangan, keabsahan hukum, dan tujuan hukum. Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa legalitas kedudukan hukum KPUD dalam penyelenggaraan Pilkada pasca putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 yaitu bahwa KPUD tidak dapat menyelenggarakan Pilkada karena KPUD bagian dari KPU yang bersifat hierarki, sedangkan KPU berwenang secara konstitusional menyelenggarakan Pemilu, sedangkan Pilkada bukan bagian dari Pemilu pasca putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 dan KPUD bukan lembaga daerah yang diberikan tugas khusus oleh undang-undang untuk menyelenggarakan pilkada, tugas menyelenggarakan Pilkada tersebut diberikan oleh undang-undang kepada KPU dan dilaksanakan oleh KPUD.The study addressed the legality of Regional Election Commission (KPUD) to hold local elections after the decision of the Constitutional Court No. 97/PUU-XI /2013. It aims to give analysis and to better understand the law that provides legal status of KPUD for organizing the elections after the court decision. The type of research is a juridical-normative research by employing the theory of state organs, hierarchy, powers, legal validity, and legal objectives. The obtained results showed that based on its legal status in organizing regional head elections, after the judgment of the Court decision No. 97/PUU-XI/2013, KPUD cannot hold regional head elections due to its position as subordinate of KPU as a hierarchical organization. KPU has the constitutional power to hold elections while regional head elections are not parts of the Election after the decision of the Constitutional Court No. 97/PUU-XI/2013. KPUD is not a regional organ given a special duty by the law to hold a local election. The task of organizing the local election is given by law to KPU and implemented by KPUD.
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan Faiq Tobroni
Jurnal Konstitusi Vol 14, No 3 (2017)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (518.396 KB) | DOI: 10.31078/jk1436

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 74/PUU-XII/2014 meninggalkan harapan yang belum terpenuhi, yakni rumusan standar konstitusional sebagai pertimbangan dalam pemberian dispensasi umur perkawinan. Makalah ini akan menjawab alasan mengapa MK menolak merumuskannya? dan bagaimana standar konstitusional yang bisa dirumuskan? MK menolak permohonan pemohon judicial review untuk menjadikan kehamilan di luar perkawinan sebagai satu-satunya standar pemberian dispensasi umur perkawinan. Penolakan ini mengisyaratkan MK menganggap bahwa hal itu merupakan open legal policy; suatu saat bisa berubah sesuai dengan kebutuhan dan konteks masyarakat. MK juga tidak menggunakan UUD 1945 untuk merumuskan rumusan standar konstitusional dispensasi perkawinan karena hal itu harus ditempuh melalui legislative review. Sebagai tawaran dari penulis dalam legislative review, standar konstitusionalnya bisa dirumuskan melalui pendekatan hukum non sistematik dan pembacaan maqashid syari’ah. Pertimbangannya harus memperhatikan perlindungan kepentingan agama (Pasal 28E ayat (1) UUD 1945), kepentingan kepastian hukum bagi pelaku (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945), kebebasan kehendak dan keyakinan (Pasal 28E ayat (2) UUD 1945), kepentingan kesejahteraan hidup (Pasal 28H ayat (1) UUD 1945), dan hak asasi yang dimiliki keturunan (Pasal 28B ayat (1) UUD 1945).The decision of Constitutional Court Number 74/PUU-XII/2014 leaves the unmet expectations, which is the standard for an exemption in marital age. The paper will provide the answer to the reason why the Court refused to set the standard? And how the Court should formulate it as the constitutional standards? The Court rejected the petitioner arguments in the judicial review case to make pre-marital pregnancy as the only standard to set an exemption of marital age. It suggests that the Court considers it is an “open legal policy”; where the policy may change according to the needs of society. The Court also did not use the Constitution to give the interpretation on the constitutional standard in marital exemption because it must be pursued by way of review by the parliament. The author offers, in term of legislative review, that the standards can be formulated through a non-systematic legal approach and the interpretation of maqashid syari’ah. The arguments should pay attention to the protection of religious interests (Article 28E (1) of the Constitution), the interests of legal certainty of the citizens (Article 28D (1) of the Constitution), free will and belief (Article 28E (2) of the Constitution), the welfare (Article 28H (1) of the Constitution), and the rights of descendants (Article 28B (1) of the 1945 Constitution).
Menilik Akseptabilitas Perkawinan Sesama Jenis di dalam Konstitusi Indonesia Timbo Mangaranap Sirait
Jurnal Konstitusi Vol 14, No 3 (2017)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (526.648 KB) | DOI: 10.31078/jk1438

Abstract

Diskursus hubungan antara hukum dengan “moral” dan “fakta” selalu saja menarik untuk dibahas di kalangan sarjana hukum. Hukum kodrat irrasional adalah teori hukum besar yang pertama yang cara pandangnya theocentris mengakui bahwa hukum bersumber dari “moralitas” Tuhan YME. Derivasi nilai moral universal ternyata semakin bermetamorfosa dalam berbagai fenomena kehidupan kemudian dituntut agar diperlakukan setara di hadapan hukum. Di berbagai belahan dunia, Gerakan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) dengan perjuangan perkawinan sesama jenis berkembang semakin luas dan telah memfalsifikasi dominasi perkawinan kodrati heteroseksual. Untuk itu, perlu ditilik secara reflektif filosofis akseptabilitas Konstitusi Indonesia atas perkawinan sesama jenis ini. Penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan yuridis normatif melalui cara berpikir deduktif dengan kriterium kebenaran koheren. Sehingga disimpulkan: pertama, kritikan hukum kodrat irrasional yang teosentris terhadap perkawinan sesama jenis, menganggap bahwa sumber hukum adalah “moral” bukan “fakta”, oleh karenanya aturan perundang-undangan dipositifkan dari/dan tidak boleh bertentangan dengan moral Ketuhanan. Oleh karena itu, menurut hukum kodrat irrasional perkawinan sesama jenis tidak mungkin dapat diterima dalam hukum karena bertentangan dengan moralitas Ketuhanan Y.M.E. Kedua, bahwa Konstitusi Indonesia menempatkan Pancasila sebagai grundnorm dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi fondasi dan bintang pemandu pada Undang-undang Perkawinan Indonesia, yang intinya perkawinan harus antara pria dan wanita (heteroseksual) dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga). Perkawinan sesama jenis juga tidak dapat diterima karena ketidakmampuan bentuk perkawinan ini untuk memenuhi unsur-unsur utama perkawinan, untuk terjaminnya keberlangsungan kemanusiaan secara berkelanjutan (sustainable).The discourse of relationships between law, moral and facts are always interesting to be discussed among legal scholars. Irrational natural law is the first major legal theory that which theocentris worldview admit that the law derived from the “morality” of the God. The derivation of universal moral values appear increasingly metamorphosed into various life phenomena then are required to be treated equally before the law. In different parts of the world the movement LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender) struggle for same-sex marriage has grown falsified domination of heterosexual marriage. Therefore it is necessary be a reflective philosophical divine the acceptability of the Constitution of Indonesia on same-sex marriage. This research was conducted by the method of normative juridical approach, in the frame of a coherent deductive acknowledgement. Concluded, Firstly, criticism Irrational natural law against same-sex marriage, assume that the source of the law is a “moral” rather than “facts”, therefore the rules of law are made of / and should not contradict with the morals of God. Therefore, according to irrational natural law that same-sex marriage may not be accepted in law as contrary to morality God. Secondly, That the Constitution of Indonesia puts Pancasila as the basic norms to please Almighty God be the foundation and a guiding star in the Indonesian Marriage Law, which is essentially a marriage should be between a man and a woman (heterosexual) with purpose of forming a family. Same-sex marriage is not acceptable also because of the inability to fulfill marriage form of the major elements of marriage, ensuring the sustainability of humanity in a sustainable manner.
Konstitusionalitas Hak Masyarakat Hukum Adat atas Hak Ulayat Rumpon di Provinsi Lampung Ahmad Redi; Yuwono Prianto; Tundjung Herning Sitabuana; Ade Adhari
Jurnal Konstitusi Vol 14, No 3 (2017)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (544.187 KB) | DOI: 10.31078/jk1431

Abstract

Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 mengatur mengenai penghormatan dan pengakuan atas satuan-satuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang keberadaannya masih ada. Salah satu hak masyarakat adat di masyarakat pesisir di Provinsi Lampung ialah hak rumpon sebagai hak ulayat laut. Rumpon laut secara bahasa merupakan jenis alat bantu penangkapan ikan yang dipasang di laut, baik laut dangkal maupun laut dalam. Saat ini eksistensi rumpon laut terancam keberadaannya karena untuk menjaga dan melestarikan sistem pengelolaan perikanan ini tidak didukung oleh tindakan nyata oleh Pemerintah dan masyarakat sekitar pesisir. Tulisan ini melakukan pengkajian atas hak masyarakat hukum atas hak ulayat rumpon di Provinsi Lampung dengan fokus penelitian pada eksistensi hak ulayat laut rumpon pada masyarakat Lampung dan perlindungan konstitusional atas hak ulayat rumpon laut. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode socio-legal yang melakukan kajian terhadap aspek hukum dalam ranah das sollen dan das sein.Article 18B paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia regulates the respect and recognition on customary law community units and their traditional rights as long as they still exist. One of the rights of indigenous peoples in coastal communities in Lampung Province is rumpon’s right as the ulayat right of the sea. Literaly, Rumpon laut is a type of fishing gear installed in the sea, both the shallow and the deep one. Currently the existence of rumpon laut is threatened because the maintenance is not supported by concrete actions by the Government and coastal communities. This paper conducts an assessment of the community’s right on customary rights of rumpon laut in Lampung Province. This paper focuses on the existence of the ulayat right of rumpon laut in Lampung and the constitutional protection of the ulayat right of rumpon laut. The research method used is a sociolegal method that studies the legal aspects in the realm of das sollen and das sein.
Organisasi Advokat dan Urgensi Peran Pemerintah dalam Profesi Advokat Samuel Saut Martua Samo
Jurnal Konstitusi Vol 14, No 3 (2017)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (449.277 KB) | DOI: 10.31078/jk1433

Abstract

Pembentukan Organisasi Advokat sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ternyata menimbulkan polemik mengenai Organisasi Advokat yang mana yang diakui keberadaannya oleh undang-undang tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa UUD 1945 telah memberikan perlindungan yang mendasar atas kebebasan berserikat dan berkumpul maka terhadap ketentuan pasal tersebut memberikan dasar secara konstitusional bahwa setiap Advokat sebenarnya berhak untuk mendirikan lebih dari satu Organisasi Advokat, sehingga dari hal ini ditemukan kesalah pemahaman dalam Undang-Undang Advokat, yang mencampur-adukkan pengertian suatu organisasi dan pembentukannya dengan apa makna hakiki dari tujuan pembentukan wadah tunggal dalam profesi Advokat. Tulisan ini ditujukan agar dalam dalam pembentukan wadah tunggal tersebut tidak menimbulkan konflik perebutan antar Advokat dengan tanpa mengesampingkan kebebasan dan kemandirian Advokat yang sejalan dengan tujuan negara hukum modern yang demokratis yang didalamnya mensyaratkan adanya peran pemerintah dalam pembentukan wadah tunggal tersebut.The formation of Advocate Organization as mandated in Law No. 18 of 2003 concerning Advocate turn polemical issue regarding Advocate Organization which is recognized by the law. Actually, the Indonesian 1945 Constitution has provided basic protection for freedom of association and assembly, so the provision provides constitutional rights that every Advocate actually have the right to establish more than one Advocate Organization. There exists misunderstanding entrenched in the Advocate Law, which confounds the understanding of an organization and its formation to what the true meaning of the purpose of the establishment of a single body of advocates professions. It is intended that in the formation of a single bar can avoid the potential conflict between the advocates without prejudice to the freedom and independence of advocates rights to assembly consistent with the goals of modern democratic constitutional state in which requires the government role in the formation of a single bar.
Memperkuat Prinsip Pemilu yang Teratur, Bebas, dan Adil Melalui Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang Pan Mohamad Faiz
Jurnal Konstitusi Vol 14, No 3 (2017)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (676.643 KB) | DOI: 10.31078/jk14310

Abstract

Artikel ini membahas peran Mahkamah Konstitusi dalam memperkuat prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia, khususnya prinsip Pemilu yang teratur, bebas, dan adil (regular, free and fair elections). Analisis dilakukan terhadap putusan-putusan monumental (landmark decisions) dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan penyelenggaraan Pemilu. Penelitian ini didasarkan pada metodologi kualitatif dengan menggunakan studi kepustakaan yang bersumber dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, peraturan perundang-undangan, buku, dan artikel jurnal ilmiah. Artikel ini menyimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah turut membentuk politik hukum terkait dengan sistem Pemilu di Indonesia dan berbagai aturan pelaksanaannya. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga telah memperkuat prinsip Pemilu yang teratur, bebas, dan adil dengan cara melindungi hak pilih warga negara, menjamin persamaan hak warga negara untuk dipilih, menentukan persamaan syarat partai politik sebagai peserta Pemilu, menyelamatkan suara pemilih, menyempurnakan prosedur pemilihan dalam Pemilu, dan menjaga independensi penyelenggara Pemilu.This article discusses the Constitutional Court’s role in strengthening the principles of democracy in Indonesia, particularly the principle of regular, free, and fair elections. An analysis was conducted towards landmark decisions declared by the Constitutional Court regarding general elections. This research is based on qualitative research by undertaking library-based research using the Court’s decisions, legislations, books and journal articles. It concludes that the Constitutional Court has established legal policies concerning electoral system in Indonesia and other related implementing regulations. Furthermore, the Constitutional Court has also strengthened the principle of regular, free and fair elections by protecting citizens’ right to vote, guaranteeing equal right of citizens to be elected, determining the same requirements for political party participating in the elections, saving citizen’s votes, improving electoral procedures and maintaining the independence of election organisers.
Kekuatan Putusan Mahkamah Partai Ditinjau dari Sistem Kekuasaan Kehakiman Menurut UUD 1945 Firdaus Firdaus; Nalom Kurniawan
Jurnal Konstitusi Vol 14, No 3 (2017)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (492.733 KB) | DOI: 10.31078/jk1439

Abstract

Mahkamah Partai adalah satu organ baru partai politik yang wajib dibentuk setiap partai menurut UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Keberadaannya didesain sebagai peradilan internal untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan internal partai secara cepat, sederhana, berkepastian dan berkeadilan. Namun, Mahkamah Partai dan putusan-putusan yang dihasilkan belum dapat membantu partai politik menyelesaikan perselisihan secara efisien dan efektif. Melalui metode penelitian dengan pendekatan yuridis normatif serta yuridis empiris, penelusuran dan pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi pustaka dan studi lapangan untuk memperoleh bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Bahan-bahan hukum diidentifikasi, diklasifikasi, disistematisasi sesuai dengan objek yang diteliti dan dianalisis secara yuridis kualitatif. Hasil penelitian menemukan bahwa belum maksimalnya Mahkamah Partai menyelesaikan perselisihan internal disebabkan oleh kedudukan Mahkamah Partai yang berimplikasi pada kekuatan Putusan Mahkamah Partai.Court of Parties is a new political parties organ which each parties shall be established according to Law No. 2 of 2011 on the Amendment of Act No. 2 of 2008 on Political Parties. Its presence is designed as an internal courts to examine, hear and decide the parties internal disputes in a fast, simple, and fair certainty. The existence of the Court of Parties and the decisions can not be optimally produced assist political parties in resolving disputes efficiently and effectively. Through research methods with normative juridical approach and empirical juridical, search and collection of legal materials is done through literature and field studies to obtain primary legal materials, secondary and tertiary. Legal materials are identified, classified, systematized according to the object under study and analyzed by juridical qualitative. The results of the study found that the Court has not maximally resolved the internal dispute caused of the position of the Party Court which has implications on the power of the decision of the Court of Justice.
Konsep Kedaulatan Negara di Ruang Udara dan Upaya Penegakan Pelanggaran Kedaulatan oleh Pesawat Udara Asing Baiq Setiani
Jurnal Konstitusi Vol 14, No 3 (2017)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (499.973 KB) | DOI: 10.31078/jk1432

Abstract

Pengakuan dunia internasional akan wilayah udara sebagai bagian dari kedaulatan negara memberikan legitimasi yang kuat bagi Indonesia sebagai suatu negara yang luas. Namun kondisi ini dapat berubah manakala Indonesia tidak mampu menguasai wilayah kedirgantaraannya sebagai penopang ekonomi dan pertahanan nasional. Ditambah dengan masalah pelanggaran batas kedaulatan yang sering dilakukan oleh pesawat militer negara asing. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi tiga permasalahan, yaitu (1) bagaimana konsep kedaulatan negara di ruang udara menurut hukum internasional dan peraturan perundangan nasional, (2) apa saja bentuk pelanggaran kedaulatan negara di ruang udara nasional, dan (3) bagaimana upaya penegakan atas pelanggaran kedaulatan negara di ruang udara nasional dalam menjaga pertahanan negara. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), serta pendekatan perbandingan (comparative approach). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa (1) baik hukum internasional dan peraturan perundangan nasional telah mengukuhkan kedaulatan negara di ruang udara yang bersifat penuh dan utuh (complete and exclusive), (2) sejumlah insiden pelanggaran izin masuk dan melintasnya pesawat-pesawat asing ke wilayah udara Indonesia, di mana kebanyakan dari pesawat asing tersebut adalah pesawat militer, dan (3) upaya penegakan atas pelanggaran kedaulatan di wilayah ruang udara nasional, antara lain penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia dan pelanggaran terhadap kawasan udara terlarang, baik kawasan udara nasional maupun asing.International recognition of airspace as part of state sovereignty gives strong legitimacy to Indonesia as a wide country. However, this condition can be changed when Indonesia can’t control the airspace territory as a pillar of the economic and national defense. The problem increase with several sovereignty violations where that often perpetrated by military aircraft of foreign countries. This research was conducted by identifying three issues, those are (1) how does the concept of state sovereignty over the airspace according to international law and national legislation, (2) what kind of state sovereignty violation over the national airspace, and (3) how does the enforcement efforts on state sovereignty violations in the national airspace maintaining the country’s defense. The method of this research used normative legal research with statute approach, conceptual approach, and comparative approach. This research concluded (1) both the international law and national legislation have confirmed the country’s sovereignty over the airspace are complete and exclusive, (2) number of incidents of breach entry and passage of the foreign aircrafts to Indonesian airspace, which most of the foreign aircraft are military aircraft, and (3) the enforcement effort of sovereignty violations over the national airspace is law enforcement against sovereignty violations over the Republic of Indonesia airspace and the violation of prohibited airspace, both of national and foreign airspaces.
Penguatan Pengelolaan Keuangan Negara Melalui Mekanisme Checks and Balances System Hendar Ristriawan; Dewi Kania Sugiharti
Jurnal Konstitusi Vol 14, No 3 (2017)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (452.309 KB) | DOI: 10.31078/jk1437

Abstract

Tulisan ini memfokuskan pada 2 (dua) isu utama, yaitu: pertama, bagaimana membangun mekanisme sistem checks and balances dalam mengelola keuangan negara, agar sejalan dengan upaya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara? Kedua, bagaimana mengimplementasikan fungsi pengawasan intern pemerintah sebagai bagian dari pengelolaan keuangan negara? Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan analitis dan yurisprudensi. Sifat dari penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif analitis. Mekanisme sistem checks and balances dalam mengelola keuangan negara tidak didukung dengan independensi bendahara pada kementerian/lembaga, karena bendahara diangkat oleh Menteri/Kepala Lembaga sebagai pengguna anggaran/pengguna barang dari kementerian/lembaga yang bersangkutan. Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara tidak memiliki aparat pengawas intern sebagai bagian dari sistem pengendalian intern Bendahara Umum Negara. Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan adalah aparat pengawasan intern Menteri Keuangan sebagai Pengguna Anggaran/Barang. Pemerintah juga perlu melakukan restrukturisasi otoritas pengawasan intern-nya, dengan menempatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai aparat pengawasan intern Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara. Bendahara pada kementerian/lembaga direposisi menjadi pegawai negeri Kementerian Keuangan yang ditempatkan di kementerian/lembaga.This paper focuses on two key issues, which are: First, how to build a mechanism of checks and balances system in managing state finance so it will in line with the efforts to achieve transparency and accountability in state finance? Second, how to implement the function of the government internal control as part of the state finance management? The research method used in this paper is normative juridical methods. The approach used in this paper is the analytical and jurisprudential approach. The nature of the research conducted is descriptive analytical research. The checks and balances system mechanism in managing state financeis not supported by the independence of the treasurer at the ministries / agencies, since they are elected by the Minister / Chairman of the Institution as a budget user / users of goods at the ministry / institution. Minister of Finance as State General Treasury officials do not have internal control officials as part of its internal control system. Internal control officers of the ministry of finance is the internal control official Minister of Finance as the Budget User / goods. The government also needs to restructured intern supervisory authorities, by placing the Finance and Development Supervisory Agency (BPKP) as an internal control official of the Minister of Finance as General Treasurer. Treasurer of the ministries / agencies to be repositioned as a civil servant ministry of finance.

Page 1 of 1 | Total Record : 10