cover
Contact Name
Sandy Theresia
Contact Email
sandytheresia.md@gmail.com
Phone
+6285350877763
Journal Mail Official
journalmanager@macc.perdatin.org
Editorial Address
Jl. Cempaka Putih Tengah II No. 2A, Cempaka Putih, Central Jakarta City, Jakarta 10510
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Majalah Anestesia & Critical Care (MACC)
Published by Perdatin Jaya
ISSN : -     EISSN : 25027999     DOI : https://doi.org/10.55497/majanestcricar.xxxxx.xxx
Core Subject : Health,
We receive clinical research, experimental research, case reports, and reviews in the scope of all anesthesiology sections.
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol 41 No 2 (2023): Juni" : 9 Documents clear
Terapi Farmakologis pada Pasien Sub Acute Postherpetic Neuralgia: Sebuah Laporan Kasus Alamsyah Irwan; Andi Muhammad Takdir Musba
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 2 (2023): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i2.278

Abstract

ABSTRAK Pendahuluan : Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster. Post Herpetic Neuralgia (PHN) ialah nyeri akibat zoster yang masih ada 1 bulan setelah perkembangan vesikel. Biasanya prognosisnya baik, namun beberapa pasien tetap menderita nyeri jangka panjang. Tujuan terapi PHN adalah mengurangi nyeri dan meningkatkan kualitas hidup. Obat antiepilepsi dan antidepresan trisiklik adalah pilihan pertama. Ilustrasi Kasus : Pada laporan kasus ini, dilakukan pengamatan pada pasien laki-laki berusia 32 tahun dengan nyeri kepala sebelah kiri menjalar seperti listrik hingga kelopak mata kiri selama ± 6 minggu, rasa tertusuk-tusuk paku secara tiba-tiba, terasa kebas/kram, terdapat nyeri saat disentuh (allodynia), dan hipoestesia. Riwayat penyakit sebelumnya ialah herpes zoster dan mendapatkan terapi acyclovir dan simpotamis seperti paracetamol, asam mefenamat, dexamethasone, dan cetirizine. Pasien datang dengan Visua Analog Scale (VAS) 6-7/10 dan didiagnosis dengan Sub Acute Post Herpetic Neuralgia. Pasien mendapatkan terapi Lyrica (Pregabalin) 50 mg 2 kali sehari 1 tablet, Amitriptyline 10 mg sekali sehari 1 tablet, Ultracet (Tramadol 37,5 mg + paracetamol 375 mg) 3 kali sehari 1 tablet. Setelah hari ke-14 VAS pasien berkurang menjadi 2/10, namun timbul efek samping berupa bibir kering dan sering ngantuk dan pengobatan yang berlanjut hanya Amitriptyline 10 mg/hari. Simpulan : Pemberian terapi yang cepat pada PHN memberikan pencegahan terjadinya nyeri yang refrakter, sehingga sulit memberikan terapi yang adekuat. Pemberian terapi lini pertama pada PHN subakut menggunakan agen amitriptyline, pregabalin, dan tramadol memberikan efek yang sangat baik dalam mengatasi nyeri pada subacute PHN, akan tetapi perlu adanya pemantauan tentang efek samping yang terjadi dikarenakan potensiasi pada ketiga obat tersebut. Kata Kunci : amitriptyline, pregabalin, subacute post herpetic neuralgia, tramadol, visual analog scale
Pengaruh Blok Pleksus Servikal Superfisialis Menggunakan Levobupivakain Isobarik 0,25% Terhadap Hemodinamik, Kebutuhan Obat Anestesi, dan Intensitas Nyeri pada Pembedahan Regio Klavikula Anthony Hadi Wibowo; Wahyudi; Andi Salahuddin; Hisbullah; Faisal; Muh Rum
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 2 (2023): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i2.279

Abstract

Abstrak Fraktur klavikula diperkirakan berkontribusi sekitar 15% dari fraktur ekstremitas atas. Fiksasi pembedahan dianjurkan untuk meningkatkan fungsi yang lebih baik. Multimodal analgesia adalah salah satu komponen kunci yang dianjurkan Procedure Specific Postoperative Pain Management (PROSPECT) untuk mendukung program Enhanced Recovery After Surgery (ERAS). Operasi regio klavikula umumnya dilakukan dalam anestesi umum atau dengan blok pleksus brachialis, namun blok seperti interscalene memiliki beberapa komplikasi berat seperti hemiparalisis diafragma, sindrom Horner, dan pneumothoraks. Blok pleksus servikalis superfisialis (PSS) terhindar dari komplikasi tersebut dan diharapkan dapat menjadi blok yang rutin dipakai untuk operasi daerah klavikula yang dikombinasi dengan anestesi umum. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek blok PSS terhadap hemodinamik, kebutuhan obat opioid, dan intensitas nyeri pada pasien operasi regio klavikula. Penelitian ini merupakan penelitian prospective randomized controlled trial dengan desain eksperimental. Sampel terdiri dari 2 kelompok, yaitu kelompok K (kelompok kontrol) dan B (kelompok dengan intervensi blok PSS) dengan jumlah sampel masing-masing 15 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan penilaian hemodinamik, penggunaan opioid, isofluran, NRS paska bedah, waktu rescue analgesia (WRA), dan rescue opioid paska bedah. Data dianalisis menggunakan uji statistik Mann-Whitney dan Wilcoxon, serta uji korelasi dengan uji Spearman. Hasil dari penelitian ini adalah hemodinamik yang lebih stabil, kebutuhan fentanil (p=0,001) dan isofluran (p<0,001) intraoperatif yang lebih rendah, NRS yang lebih rendah (p<0,001), dan tidak terdapat rescue pada kelompok blok (B). Blok PSS dapat mengurangi penggunaan obat anestesi, menurunkan intensitas nyeri, dan rescue opioid paska bedah pada pasien operasi regio klavikula. Kata kunci: BPSS, fentanil, isofluran, NRS, rescue
Pengukuran Oksigenasi Otak dengan NIRS Dibandingkan SjvO2 pada Pasien dengan Penurunan Kesadaran di Instalasi Perawatan Intensif Bastian Lubis; Achsanuddin Hanafie; Asmin Lubis; Dadik Wahyu Wijaya; Jhonsen Indrawan; Luwih Bisono
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 2 (2023): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i2.280

Abstract

Standar emas untuk pemantauan oksigenasi otak biasanya menggunakan teknik invasif. Penelitian kedokteran telah berkembang dan mencoba untuk mencakup area yang dapat diukur dengan pendekatan non-invasif sesuai dengan prinsip tidak membahayakan. NIRS adalah salah satu teknologi terbaru untuk mengukur oksigenasi otak dalam melengkapi orang lain untuk pemantauan oksigenasi otak. Pemantauan oksigenasi otak untuk pasien tidak sadar di unit perawatan intensif diperlukan untuk merawat pasien dengan masalah medis. Penghapusan beberapa diagnosis banding secara non-invasif, real-time, dan berkelanjutan adalah tujuan utama dari intensifivis sesegera mungkin diagnosis yang akurat diambil, kondisi pasien akan lebih baik. 30 pasien tidak sadar dengan berbagai kondisi medis berpartisipasi dalam penelitian, dengan persetujuan dari keluarga. Pasien diintubasi dengan ventilasi mekanik, dan menggunakan elektroda NIRS yang dipasang di dahi dengan pengukur rSO2, sedangkan penulis mengambil sampel darah untuk analisis gas dari vena jugularis dan arteri karotis. Secara statistik tidak terdapat korelasi yang signifikan, antara SjvO2 dengan rSO2 kanan (p= 0,379), dan rSO2 kiri (p=0,041), serta terdapat perbedaan antara rSO2 kanan dan kiri (p<0,001). Parameter lain yang berkorelasi kuat dengan rSO2 adalah hemoglobin (p=0,009), tekanan arteri rata-rata (p=0,.049), kandungan oksigen vena jugularis (p=0,007) dan arteri karotis (p=0,08). rSO2 saja tidak dapat menggantikan SjvO2 sebagai standar emas untuk pemantauan oksigenasi otak. Namun, hasil rSO2 juga berkorelasi positif dengan hemoglobin, tekanan arteri rata-rata, kandungan oksigen vena jugularis, dan arteri karotis, yang berarti bahwa penurunan rSO2 dapat disebabkan oleh masalah pengiriman oksigen
Pengaruh Pemberian Lidokain Intravena Terhadap Perubahan Hemodinamik dan Kadar Norepinefrin Pada Prosedur Laringoskopi dan Intubasi Faqri; A.M. Takdir Musba; Hisbullah Amin; Syafri Kamsul Arif; Andi Salahuddin; Nur Surya Wirawan
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 2 (2023): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i2.282

Abstract

Latar Belakang: Komplikasi utama dari manajemen jalan napas di ruang operasi sangat jarang tetapi dapat mengancam jiwa. Telah dilaporkan bahwa pemberian lidokain intravena dapat secara efektif menekan respons hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi endotrakeal. Tujuan: untuk mengetahui efek pemberian lidokain intravena terhadap perubahan respons hemodinamik dan kadar norepinefrin pada prosedur laringoskopi dan intubasi. Metode dan Subjek: Penelitian ini menggunakan desain penelitian uji acak tersamar ganda (Randomized double blind clinical trial). Secara acak, pasien dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok A (lidokain intravena) dan kelompok B (plasebo) dengan jumlah sampel masing-masing 20 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan pengukuran dan pencatatan hemodinamik (Tekanan darah Sistolik, Diastolik dan laju nadi) dan kadar norepinefrin 5 menit sebelum dilakukan intubasi, menit ke-1, dan ke-5 setelah tindakan intubasi. Hasil: Terdapat perbedaan tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD) pada kelompok A dan B antar waktu, di mana terjadi penurunan TDS dan TDD pada saat sebelum dilakukan tindakan dibandingkan setelah tindakan (p<0,05). Ditemukan penurunan laju nadi yang tidak signifikan pada kelompok A, di mana hasil sebaliknya ditemukan pada kelompok B (p<0,05). Perbandingan signifikan ditemukan pada perubahan semua indikator hemodinamik antar kelompok (p<0.05). Untuk kadar norepinefrin, tidak ditemukan perubahan signifikan pada kelompok A, sementara pada kelompok B perubahannya signifikan. Perubahan kadar norepinefrin berbeda secara signifikan jika dibandingkan antar kelompok (p=0,007). Kesimpulan: Pemberian lidokain intravena sebelum prosedur laringoskopi dan intubasi dapat mencegah peningkatan hemodinamik dan peningkatan kadar norepinefrin.
Management of Anesthesia in Laparoscopic Cholecystectomy During First Trimester Pregnancy Putu Herdita Sudiantara; Nova Juwita; Tjahya Ariyasa EM; Tjok Gede Agung Senapathi
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 2 (2023): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i2.292

Abstract

Pregnant women increase the risk of gallbladder disease. Acute cholecystitis occurs 1-6 per 10.000 pregnancy and Cholecystectomy is the second most frequent procedure in pregnancy. Biliary stasis and biliary smooth muscle relaxation due to elevated estrogen and progesterone hormones during pregnancy can lead to gallstones formation. Cholelithiasis complications associated with choledocholithiasis, acute cholecystitis, cholangitis and, gallstone pancreatitis that posing significant morbidity and mortality like spontaneous abortion, preterm labor, and fetal loss. Laparoscopic surgical techniques are no longer a contraindication to non-obstetric surgery for pregnant women although they still have a risk of developing fetal development disorders. Management of anesthesia in laparoscopic cholecystectomy during pregnancy must consider the risk of anesthesia surgery, from the disease, maternal and fetal condition, and manipulation when surgeon performing laparoscopic. This report presenting a 33-years-old woman with 10-week pregnancy who undergoes laparoscopic cholecystectomy followed by symptomatic cholelithiases. It was done with general anesthesia combined with epidural analgesia. After the procedure, there is no complaint about abdominal pain or vaginal bleeding. The patient was discharged 3 days aftercare.
Perbandingan Efektivitas antara Ivabradin 5 mg dengan Bisoprolol 5 mg dalam Menjaga Kestabilan Hemodinamik pada Tindakan Laringoskopi Intubasi Dany Surya Putra; Syafri Kamsul Arif; Syamsu Hilal Salam; Ramli Ahmad; Andi Salahuddin; Muhammad Rum
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 2 (2023): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i2.294

Abstract

Background: Laryngoscopy intubation can cause complications in the form of increased blood pressure and heart rate. This can be detrimental to patients with cardiovascular complications, increased intracranial pressure, and vascular anomalies. Various procedures are performed to stabilize hemodynamic fluctuations during laryngoscopy intubation, one of which is the administration of beta-blocking agents (Bisoprolol). In some studies, the administration of Bisoprolol can cause side effects such as hypotension and bradycardia. One drug considered to maintain hemodynamic stability in laryngoscopy intubation with minimal effects is the administration of Ivabradine, which works by regulating diastolic depolarization. Objective: To compare the effectiveness of Ivabradine 5 mg and Bisoprolol 5 mg in maintaining hemodynamic stability in laryngoscopy intubation. Methods: This double-blind randomized clinical trial was conducted at RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar in July-August 2022 with ethical qualifications from the Ethics Committee for Biomedical Research in Humans from the Faculty of Medicine, Hasanuddin University. The sample was the entire population that met the inclusion and exclusion criteria. The data were processed using SPSS 25. The analysis used paired T-test, Mann-Whitney, and Wilcoxon with a 95% confidence level (p<0.005). Result: There was a significant decrease in the mean arterial pressure and decrease in heart rate after induction (T2-T0) in the Bisoprolol group (p<0.05). The mean arterial pressure at T1-T0, T3-T0, T3-T2 did not statistically significant. Conclusion: Ivabradine 5 mg was more effective than Bisoprolol 5 mg in maintaining the stability of mean arterial pressure and heart rate in laryngoscopy intubation.
Pengaruh Erector Spinae Plane Block (ESPB) dengan Stabilitas Hemodinamik dan Kadar Kortisol Serum pada Operasi Tulang Belakang Evan Kristiono; A. M. Takdir Musba; Andi Salahuddin; Syafruddin Gaus; Hisbullah; Muhammad Rum
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 2 (2023): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i2.302

Abstract

Latar Belakang: Nyeri pada bedah vertebra sulit dikendalikan dengan anestesi umum sehingga regional anestesi berperan penting dalam mengurangi fluktuasi hemodinamik. Namun belum terdapat rekomendasi anestesi regional untuk pasien yang menjalani bedah vertebra. Teknik erektor spinae plane block (ESPB) memberikan agen anestetik lokal pada ramus posterior sebelum selama prosedur dimulai, telah terbukti memperbaiki kualitas nyeri dan hemodinamik pada pasien kasus kardiovaskular.Tujuan: Mengetahui efek ESPB terhadap hemodinamik dan kadar kortisol serum serta korelasinya pada pasien yang menjalani bedah vertebra.Subjek dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian experimental prospective dengan consecutive random sampling. Sampel terdiri dari kelompok GA ESP (kelompok dengan intervensi ESPB) dan GA (kelompok kontrol) dengan jumlah sampel masing-masing 30 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Penilaian tekanan darah sistolik, diastolik, laju nadi, pada saat sebelum, saat insisi bedah, dan saat pemasangan implant, jumlah anestetik volatil, jumlah opioid dan pengambilan darah untuk pemeriksaan konsentrasi kortisol serum sebelum, 2 jam setelah insisi bedah, dan 4 jam setelah insisi bedah. Data dianalisis menggunakan SPSS 25 untuk windows.Hasil: Laju nadi meningkat bermakna pada kelompok GA saat insisi (p=0,041), serta saat implantasi (p=0,012) dibandingkan prabedah. Tekanan darah sistolik saat insisi meningkat bermakna pada kedua kelompok (GA, p=0,005 ; GA ESP, p=0,001) dibandingkan sebelum prosedur dimulai. Tekanan darah diastolik pada kelompok GA mengalami penurunan bermakna saat implantasi (p=0,003) dibandingkan sebelum prosedur bedah. Kelompok GA ESP menggunakan using opioid (p=0,0001) and isoflurane (p=0,001) lebih rendah dibandingkan kelompok GA.Penurunan serum kortisol kedua kelompok ditemukan berbeda bermakna namun perubahan tersebut tidak berbeda antara kedua kelompok.Simpulan: Kelompok GA mengalami perubahan hemodinamik lebih bermakna dibandingkan kelompok GA ESP. Kebutuhan isofluran dan fentanyl lebih rendah pada kelompok GA ESP. Serum kortisol mengalami penurunan pada kedua kelompok namun tidak terdapat perbedaan antara kedua kelompok.
Effectiveness of Dexamethasone as a Preventive for PONV (Post Operative Nausea and Vomiting) Andhina Rachma Pramita; Pandu Harijono; Peter Gunawan Tandean
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 2 (2023): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i2.311

Abstract

Postoperative nausea and vomiting (PONV) is the second most common side effect on general anesthesia. This can be classified as a complex problem that caused by patient factors, anesthesia technique and surgery factors. PONV is a physiological event that associated with various neurophysological in both central and peripheral nervous system. Dexamethasone reported can decreased PONV and with the combination of antiemetic. The instrument used in this study are data taken from journal / articles indexed at least 10 internationally, such as Scimago, Scopus, Thompson Reuters. The journals that were used related to the effectivness of dexamethasone in preventing PONV published from 2017 to 2022. This research is a descriptive study using the literature review method. Dexamethasone has shown to be effective in preventing PONV at the dose of 4 mg IV, 5 mg IV and 8 mg IV.Dexamethasone combined with other drugs especially antagonist 5 HT3 is known more effective rather than single dose of dexamethasone. The common side effect that usually occurs are dizzy, headache, and low urine output. Although dexamethasone were proven to decrease the incident of PONV, but there are other drugs option that can be more effective than dexamethasone such as group of drugs from antagonist 5 HT3.
Pengukuran Kadar Oksigenasi Otak: Teknik mana yang terbaik? Aino Nindya Auerkari
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 2 (2023): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i2.331

Abstract

Oksigen merupakan prasyarat respirasi sel manusia, dan kemampuan sel menggunakan oksigen adalah penanda utama vitalitas sel. Dengan prinsip ini, berbagai teknik telah dikembangkan untuk memantau kadar oksigen dalam sel atau jaringan. Bila dapat dikuantifikasi, perubahan kadar oksigen dapat dideteksi dan ditindaklanjuti dengan cepat untuk mencegah kerusakan jaringan. Bagi pasien sakit kritis dengan penurunan kesadaran, pencegahan kerusakan jaringan otak sekunder sangat penting karena berhubungan dengan prognosis fungsional. Selain itu, di kamar operasi, pemantauan oksigenasi otak dapat mengarahkan anestesiologis dalam menentukan teknik pembiusan.

Page 1 of 1 | Total Record : 9