cover
Contact Name
Haekal Al Asyari
Contact Email
haekal.al.asyari@ugm.ac.id
Phone
+62274-512781
Journal Mail Official
hk-mimbar@ugm.ac.id
Editorial Address
Unit Riset dan Publikasi FH UGM, Gedung IV Lantai 2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Jalan Sosio Yustisia Nomor 1 Bulaksumur, Yogyakarta 5528.
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Mimbar Hukum
ISSN : 0852100X     EISSN : 24430994     DOI : 10.22146/jmh
Core Subject : Social,
Mimbar Hukum is an academic journal for Legal Studies published by Journal and Publication Unit of the Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada. Mimbar Hukum contains several researches and reviews on selected disciplines within several branches of Legal Studies (Sociology of Law, History of Law, Comparative Law, etc.). In addition, Mimbar Hukum also covers multiple studies on law in a broader sense. We are interested in topics which relate generally to Law issues in Indonesia and around the world. Articles submitted might cover topical issues in, Civil Law, Criminal Law, Civil Procedural Law, Criminal Procedure Law, Commercial Law, Constitutional Law, International Law, State Administrative Law, Adat Law, Islamic Law, Agrarian Law, Environmental Law.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 12 Documents
Search results for , issue "Vol 33 No 2 (2021): Mimbar Hukum" : 12 Documents clear
PERJANJIAN BAGI HASIL PENGGARAPAN LAHAN PERKEBUNAN DITINJAU DARI HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM Jalaluddin Fa; Fadia Fitriyanti
Mimbar Hukum Vol 33 No 2 (2021): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (326.065 KB) | DOI: 10.22146/mh.v33i2.1944

Abstract

Abstract The Indonesia plantation law does not regulate in detail about the plantation profit sharing system, so the legal certainty is questionable. In addition, the agreement in principle of Islam (musaqah) needs to be implemented considering that most of the people involved in this activity are Muslim. Furthermore, people are usually making agreements only based on trust and agreement without a written agreement and there is no deadline for the expiration of the agreement so that often occurring a controversy. The type of this research is a normative juridical research, using the statute approach method and other related regulations. The analytical method used in this research is descriptive analysis method. The results showed that the plantation profit sharing system in Indonesia did not have legal certainty. The agreement on trust and agreement without a written agreement is allowed based on positive and Islamic law. The absence of the date line of agreement base on positive law is allowed because there are no regulations that regulate it, but in Islamic law is not allowed because it is gharar. Abstrak Dalam undang-undang perkebunan tidak mengatur secara rinci mengenai sistem bagi hasil perkebunan sehingga perlu dipertanyakan mengenai kepastian hukumnya. Selain itu perjanjian secara prinsip Islam (akad musaqah) perlu diterapkan mengingat sebagian besar yang terlibat dalam kegiatan ini ada masyarakat muslim. Masyarakat terbiasa melakukan perjanjian hanya atas dasar kepercayaan dan kesepakatan saja tanpa adanya perjanjian tertulis serta tidak adanya batas waktu berakhirnya perjanjian sehingga kerap terjadi sengketa. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hakikat sistem pelaksanaan perjanjian bagi hasil penggarapan lahan perkebunan di Indonesia menurut perspektif hukum positif dan hukum Islam. Jenis Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan serta peraturan terkait. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem bagi hasil perkebunan di Indonesia belum memiliki kepastian hukum. Mengenai perjanjian atas kepercayaan dan kesepakatan tanpa adanya perjanjian tertulis sah menurut hukum positif dan hukum Islam. Mengenai tidak adanya batas waktu perjanjian sah menurut hukum positif karena memang belum ada peraturan yang mengatur akan tetapi tidak sah menurut hukum Islam karena tidak sesuai dengan syarat akad musaqah yang mengharuskan adanya batas waktu agar terhindar dari gharar.
A SAFE HARBOUR: A PREDETERMINED MARGIN METHOD TO REDUCE TRANSFER PRICING COMPLIANCE BURDEN Maria R.U.D. Tambunan
Mimbar Hukum Vol 33 No 2 (2021): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (336.698 KB) | DOI: 10.22146/mh.v33i2.2277

Abstract

Abstract The safe harbour provision was unpopular since the beginning of transfer pricing (TP) implementation in Indonesia, even though this provision has been well-known in several countries. Indonesia’s existing safe harbour provision has solely governed the threshold on TP documentation obligation that could not offer certainty about tax audit treatment. The TP threshold refers to the total transaction volume per fiscal year with an affiliation that allows taxpayers to get relief from submitting TP documentation. A deemed profit also applies to a certain manufacture contract. With current provisions, the TP burden of taxpayers and tax administration could not reduce because no certainty on the tax audit exemption with the existence of the threshold provision. Therefore, it needs to improve the safe harbour rule to enhance the certainty manufacturer and reduce the administrative burden. Abstrak Ketentuan safe harbour sebagai bagian dari ketentuan transfer pricing (TP) belum populer di Indonesia, meskipun ketentuan tersebut cukup popular di berbagai negara. Ketentuan yang ada di Indonesia saat ini hanya terkait penentuan ambang batas kewajiban pendokumentasian TP yang belum memberikan kepastian hukum terkait pemeriksaan pajak. Ambang batas tersebut diperhitungkan berdasarkan total volume transaksi dengan afiliasi selama satu tahun fiskal yang memungkinkan wajib pajak mendapatkan keringanan dari penyerahan dokumentasi TP. Selain itu, terdapat ketentuan deemed profit (perkiraan keuntungan) bagi perusahaan kontrak manufaktur tertentu. Ketentuan saat ini belum mampu mengurangi kewajiban administratif TP bagi wajib pajak dan otoritas pajak karena tidak adanya kepastian bahwa wajib pajak yang tidak memenuhi ambang batas. Oleh karena itu, diperlukan penyempurnaan atas ketentuan yang berlaku saat ini untuk menciptakan ketentuan safe harbour yang memberikan kepastian dan pengurangan beban administrasi.
THE REGULATION OF DISCLOSURE PRINCIPLE IN EQUITY CROWDFUNDING (A COMPARISON BETWEEN INDONESIA AND UNITED STATES OF AMERICA) Syarifah Zahra Al Haddar; Inda Rahadiyan
Mimbar Hukum Vol 33 No 2 (2021): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (368.905 KB) | DOI: 10.22146/mh.v33i2.2285

Abstract

Abstract Technological developments greatly make it easy for users, including in matters of financial technology (FinTech), which has also led to the innovation of Equity Crowdfunding (ECF). ECF is a new financing method seeking funding for Small Medium Enterprises (SMEs/UMKM) business development. In some developed countries such as the United States of America (US), the ECF has a systematic regulation of the disclosure principle. These rules are intended to protect the process of organising the ECF legally and professionally. In Indonesia, the ECF has just developed and has undergone two regulatory changes, from Financial Services Authority Regulations (POJK) No. 37 2018 to POJK No. 57 of 2020. The regulation of the disclosure principle in Indonesia is still not clear enough compared to the US based on Title III The Jumpstart Our Business Startups (JOBS) Acts 2012. Thus, this study will explain the comparison between the two countries which is Indonesia and the US, regarding the regulation of the disclosure principle in ECF on the basis law, supervisory institutions, prospectus/ Bidding Documents, the minimum amount of fund. Abstrak Perkembangan teknologi sangat memberikan kemudahan bagi penggunanya tidak terkecuali dalam urusan financial technology (FinTech) yang memunculkan pula inovasi Equity Crowdfunding (ECF). ECF yaitu suatu metode pembiayaan baru mencari pendanaan untuk pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, ECF memiliki pengaturan prinsip keterbukaan secara sistematis. Aturan ini dimaksudkan untuk melindungi proses penyelenggaraan ECF secara legal dan profesional. Di Indonesia sendiri ECF baru saja berkembang dan sudah mengalami dua kali pergantian regulasi yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 37 2018 menjadi POJK No. 57 tahun 2020. Pengaturan prinsip keterbukaan di Indonesia masih belum cukup jelas dibandingkan dengan Amerika Serikat yang berdasarkan Title III The Jumpstart Our Business Startups (JOBS) Acts 2012. Dengan demikian, penelitian ini akan menjelaskan perbandingan kedua negara antara Indonesia dan Amerika Serikat terkait pengaturan prinsip keterbukaan pada penyelenggaraan Equity Crowdfunding terkait dasar hukum, lembaga pengawas, prospektus/Dokumen Penawaran, batas minimum jumlah penawaran penghimpunan dana, laporan keuangan penerbit, profesi penunjang, dan perlindungan investor.
MENAFSIRKAN PANCASILA: WEWENANG PEMERINTAH ATAU PERAN WARGA NEGARA? SUATU TELAAH DARI PERSPEKTIF HERMENEUTIKA KRITIS HABERMASIAN Conrado M. Cornelius
Mimbar Hukum Vol 33 No 2 (2021): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (388.049 KB) | DOI: 10.22146/mh.v33i2.2299

Abstract

ABSTRACT This article aims at offering an ideal theory of interpreting Pancasila as a state ideology in a context of a democratic society. This essay is arguing against the notion that Pancasila should be interpreted by the Government. In doing so, the author examines the merits of such notion from a legal and philosophical standpoint. The former focuses exclusively on the question of legality, whereas the latter on hermeneutics. This article offers an alternative theory of interpreting Pancasila that is built on a Habermasian Critical Hermeneutics. This article argues that any interpretation on ideology—including Pancasila—should be situated in a deliberative democracy that is directed at emancipating the interpreter, that is the People of Indonesia. At the end of this article, this Article concludes that not only such an interpretation is made possible by law, but it is also philosophically justified. Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk menawarkan sebuah teori yang ideal untuk menafsirkan Pancasila sebagai sebuah ideologi negara. Tulisan ini berpendapat bahwa Pancasila tidak dapat ditafsirkan oleh Pemerintah. Untuk mencapai kepada kesimpulan tersebut, tulisan ini menyajikan suatu diskusi dari dua macam sudut pandang, yakni dari perspektif hukum dan filsafat. Dari perspektif hukum, fokus utama diarahkan pada permasalahan legalitas, sedangkan perspektif filsafat memiliki fokus pada hermeneutika. Berdasarkan dua macam perspektif tersebut, tulisan ini mengajukan sebuah alternatif penafsiran atas Pancasila yang didasarkan pada Hermeneutika Kritis Habermasian. Tulisan ini berpendapat, bertolak dari perspektif Hermeneutika Kritis Habermasian, bahwa segala bentuk penafsiran terhadap ideologi—karenanya juga Pancasila—harus ditempatkan dalam situasi demokrasi yang deliberatif yang bertujuan untuk mengemansipasi penafsirnya, yakni masyarakat Indonesia. Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa penafsiran Pancasila oleh masyarakat Indonesia tidak hanya dimungkinkan secara hukum, tetapi juga dibenarkan secara filosofis.
KEDUDUKAN PERATURAN MENTERI SEBAGAI BAGIAN DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UU 12/2011 Ubaiyana; Mar'atun Fitriah
Mimbar Hukum Vol 33 No 2 (2021): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (297.807 KB) | DOI: 10.22146/mh.v33i2.2322

Abstract

Abstract Law No. 12 of 2011 stipulates a ministerial regulation as part of the legislation. This position in practice raises debates both juridically and theoretically, as well as in relation to the system of government adopted by Indonesia. This paper will examine and critically analyse the position of the ministerial regulation in the juridical and theoretical statutory law, as well as its relation to the presidential system. This study aims to find the ideal position of ministerial regulation as part of the legislation in Indonesia. The results of the study found that juridicallytheoretically, the ministerial regulation that is part of the legislation is the one that gets delegates from higher laws and regulations, not those formed based on authority. Whereas in the context of the presidential system, if the minister receives direct delegation from the Acts, it means that the minister acts as an assistant to the President, not as a minister in the sense of a separate independent institution. Abstrak Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 mendudukkan Peraturan Menteri sebagai bagian dari Peraturan Perundang-Undangan. Kedudukan ini pada praktiknya menimbulkan perdebatan baik secara yuridis maupun teoretis, serta dalam hubungannya dengan sistem pemerintahan yang dianut Indonesia. Tulisan ini akan mengkaji dan menganalisis secara kritis mengenai kedudukan Peraturan Menteri dalam hukum perundang-undangan secara yuridis dan teoretis, serta kaitannya dengan tatanan sistem pemerintahan yang dianut yaitu sistem presidensial. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan kedudukan Peraturan Menteri yang ideal sebagai bagian dari Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Hasil penelitian menemukan bahwa secara teoretis-yuridis, Peraturan Menteri yang menjadi bagian dari Peraturan Perundang-Undangan adalah yang mendapatkan delegasi dari Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi bukan yang dibentuk berdasarkan kewenangan. Sedangkan dalam konteks sistem presidensiil, dalam hal menteri memperoleh pendelegasian langsung dari undang-undang, mengartikan bahwa menteri bertindak sebagai pembantu Presiden bukan sebagai menteri dalam arti suatu lembaga tersendiri yang independen.
HARMONISASI REGULASI OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN SYARIAH PADA AKAD MURABAHAH (ANALISIS TERHADAP STANDAR PRODUK MURABAHAH) Haniah Ilhami; Hartini; Destri Budi Nugraheni
Mimbar Hukum Vol 33 No 2 (2021): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (383.954 KB) | DOI: 10.22146/mh.v33i2.2429

Abstract

Abstract Identifying the sharia issues in the Akad of Murabahah as one of the products of Syariah Bank, The Financial Services Authority (OJK) published the Standards of Product in Syariah Bank for Murabahah, which harmonizing several regulations and policies on Murabahah. The authors evaluate the Standards, specifically for the Akad of Murabahah in House Ownership, by conducting normative research on regulations and legal documents. The authors concluded 3 (three) suggestions for future developments in the Standards, which are first, detailed provisions need to be formulated in the Regulation of OJK ( POJK) or Circulation of OJK (SEOJK) in terms of the integration of ownership standard in the Akad of Murabahah with or without Wakalah. Secondly, there are provisions on the marginal standardization, and the last is the determination of actual costs that banks can collect in the implementation of rescheduling or rollover to Murabahah customer who is unable to pay. Abstrak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berupaya mengidentifikasi isu syariah dalam beberapa produk bank syariah, salah satunya adalah pada Akad Murabahah. Untuk itu OJK telah mengeluarkan buku Standar Produk Murabahah, yang di dalamnya terdapat upaya OJK untuk melakukan harmonisasi regulasi dan kebijakan. Terhadap harmonisasi regulasi yang dilakukan OJK untuk mengatasi isu syariah pada akad murabahah tersebut, penulis melakukan evaluasi dan masukan khususnya ketika akad murabahah dikaitkan dengan Kepemilikan Rumah. Penelitian dilakukan dengan studi dokumen terhadap regulasi di bidang perbankan syariah khususnya menyangkut murabahah dalam kepemilikan rumah. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa upaya harmonisasi yang dilakukan oleh OJK masih memerlukan aturan yang lebih rinci dalam bentuk Peraturan OJK (POJK) atau Surat Edaran OJK (SEOJK) yang memberikan acuan standar terkait kepemilikan rumah dalam akad murabahah tanpa wakalah dan akad murabahah dengan wakalah. Selanjutnya, diperlukan pula ketentuan standardisasi margin pada murabahah kepemilikan rumah. Contoh aturan lebih rinci adalah perlunya penetapan biaya riil yang dapat dipungut bank dalam pelaksanaan rescheduling atau roll over pada nasabah murabahah kepemilikan rumah yang tidak mampu bayar.
QUO VADIS PERLINDUNGAN HAK KESEHATAN BAGI PEROKOK PASIF DI INDONESIA Fitria Marsha Qitara Rajasa; Nugroho Adhi P.
Mimbar Hukum Vol 33 No 2 (2021): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (387.799 KB) | DOI: 10.22146/mh.v33i2.2479

Abstract

Abstract Indonesia currently holds the third position with the greatest number of active smokers. This number is supported by the contribution of the tobacco industry to the national economy and the behaviour that the citizens have. Ironically, Indonesia is the only country in Southeast Asia that does not ratify WHO’s FCTC citing sovereignty as the main reason. Even if domestic laws such as PP 109/2012 have tried to control tobacco consumption, it was deemed ineffective to protect the right to health of the citizens, most importantly passive smokers. The latter needs to be highlighted as they are not the ones who consume the harmful substance, yet they suffer more than active smokers. This research is normative research that will emphasize the urgency of protecting health rights for passive smokers in Indonesia. The result of this research shows that Indonesia tried to protect the right to health of passive smokers by imposing no-smoking zones but since the regulations are regional, it lacks harmonization and ultimately failed to pursue their aim. In any case, Article 8 of the FCTC provides a measure to protect people from tobacco smoke with annual surveys that helps the Member States to fully protect the right to health of passive smokers among other measures to protect the right to health of passive smokers. Abstrak Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan jumlah perokok aktif terbanyak di dunia. Jumlah ini didukung kontribusi industri tembakau terhadap perekonomian nasional dan perilaku yang dimiliki penduduk Indonesia. Ironisnya, dengan kondisi yang demikian Indonesia justru adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak meratifikasi FCTC WHO dengan alasan utama kedaulatan. Regulasi dalam negeri seperti PP 109/2012 nyatanya juga tidak efektif untuk melindungi hak atas kesehatan warga negara, terutama perokok pasif. Hal ini menjadi ironi mengingat pada faktanya bukan para perokok pasif yang mengonsumsi zat berbahaya tersebut namun mereka lebih mendapatkan dampak buruk daripada perokok aktif. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang akan menjawab bagaimana urgensi pelindungan hak kesehatan bagi perokok pasif di Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa kendatipun Indonesia berusaha melindungi hak atas kesehatan perokok pasif dengan memberlakukan zona larangan merokok tetapi karena peraturannya bersifat regional, tidak ada harmonisasi dan masih belum meratanya regulasi di tiap daerah menghambat implementasi perlindungan tersebut. Hal ini yang perlu dijadikan urgensi ratifikasi FCTC mengingat pada Pasal 8, FCTC memberikan serangkaian tindakan untuk melindungi warga negara dari asap tembakau dengan mekanisme pengawasan tahunan yang membantu Negara-negara Anggota untuk sepenuhnya melindungi hak atas kesehatan dalam hal ini para perokok pasif sebagai salah satu cara untuk melindungi hak kesehatan perokok pasif.
MENYEGARKAN PENDEKATAN STUDI HUKUM ACARA PIDANA Aristo Marisi Adiputra Pangaribuan
Mimbar Hukum Vol 33 No 2 (2021): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (335.428 KB) | DOI: 10.22146/mh.v33i2.3727

Abstract

Abstract Suppose we pay attention to Indonesian literature on criminal justice. In that case, the central thesis of most publications are that criminal justice administration is a single system, where actors as a sub-system work together for one clear goal, named justice. We develop a criminal justice model such as adversarial, inquisitorial, and integrated criminal justive systems based on this assumption. This article shows that the reality is not that simple. Through literature review, this article will show that criminal justice is a complex and multi-dimensional subject. The outcome of the system relies heavily on the actors and their interaction when processing a case. This framework has not been widely discussed in the Indonesian literature because of the limited approach to the study of criminal justice. In our study, we are obsessed with models and their comparisons. In the end, this article invites Indonesian academics to refresh our approach to studying criminal justice by expanding our framework in understanding criminal justice as a multi-dimensional subject. Without it, our academic discourse will not develop much. Abstrak Apabila kita melihat literatur hukum acara pidana kita, kita akan menemukan asumsi bahwa hukum acara pidana adalah suatu sistem yang tunggal, di mana para aparat penegak hukum sebagai sub-sistem bekerjasama untuk satu tujuan yang jelas, yaitu keadilan. Dari asumsi ini lahir istilah-istilah model acara pidana seperti adversarial, inquisitorial sampai integrated criminal justice system. Artikel ini menunjukkan bahwa realitanya tidak sesederhana itu. Melalui metode tinjauan literatur, artikel ini akan menunjukkan bahwa hukum acara pidana adalah disiplin ilmu yang kompleks dan multi-dimensional. Luaran dari proses acara pidana lebih banyak ditentukan oleh para aktor dan relasi kerja antar mereka. Kerangka berpikir inilah yang belum banyak dibahas oleh literatur kita karena keterbatasan pendekatan yang lebih banyak terobsesi dengan model dan komparasi model hukum acara pidana. Pada akhirnya, artikel ini mengajak para akademisi untuk menyegarkan pendekatan studi hukum acara pidana dengan jalan memperluas kerangka berpikir yang meletakkan disiplin ilmu acara pidana sebagai proses yang multi-dimensional. Tanpanya, disiplin ilmu hukum acara pidana tidak akan berkembang banyak.
KRISIS DAN REFORMASI: PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERJANJIAN INVESTASI BILATERAL DI NEGARA DUNIA KETIGA Syahrul Fauzul Kabir
Mimbar Hukum Vol 33 No 2 (2021): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (383.458 KB) | DOI: 10.22146/mh.v33i2.3728

Abstract

Abstract The origin of Investor-State Dispute Settlement (ISDS) is an attempt to eliminate political aspects (depoliticization) in resolving investment disputes. Previously, the settlement of investment disputes was carried out through State-State Dispute Settlement (SSDS) mechanism. The implementation of ISDS relatively marks the end of exhaustion of local remedies’s principle (ELR). As customary international law, the ELR principle requires foreign national whose rights are violated to take local remedies. This research used juridical-normative and comparative method. Based on the specifications, this research is descriptive-analytical. In response to ISDS’s problem, third world countries such as Indonesia, India, Brazil, and South Africa drafted new Bilateral Investment Treaty (BIT) model, specifically the ISDS clause. The ELR principle is adopted by India and South Africa. While Brazil and South Africa employ SSA mechanism, instead of ISA. Even India facilitates an appeal mechanism based on separate international agreement. Meanwhile, instead of reforming by applying the ELR principle, Indonesia has only strengthened alternative dispute resolution while also facilitating the ISA. Thus, Indonesia has not fully anticipated the ISDS legitimacy crisis and, therefore, has the potential to receive lawsuits from investors that could be detrimental, both to national regulations and state finance. Abstrak Latar belakang kemunculan ISDS adalah upaya penghilangan aspek politis (depolitisasi) dalam penyelesaian sengketa investasi. Sebelumnya, penyelesaian sengketa investasi ditempuh melalui mekanisme State-State Dispute Settlement (SSDS). Implementasi ISDS relatif menandai berakhinya prinsip exhaustion of local remedies/ELR. Sebagai hukum kebiasaan internasional, prinsip ELR mensyaratkan pihak asing yang hak-haknya dilanggar untuk menempuh peradilan lokal terlebih dahulu. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan komparatif. Berdasarkan spesifikasinya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Merespon krisis ISDS, negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia, India, Brazil dan Afrika Selatan menyusun model Perjanjian Investasi Bilateral (BIT), khususnya klausul ISDS baru. Prinsip ELR kembali digunakan oleh India dan Afrika Selatan, sementara Brazil dan Afrika Selatan menerapkan mekanisme SSA, alih-alih ISA. India bahkan membuka peluang bagi diterapkannya upaya banding berdasarkan perjanjian internasional secara terpisah. Sementara, alih-alih reformis dengan menerapkan prinsip ELR, Indonesia hanya memperkuat alternatif penyelesaian sengketa seraya tetap memfasilitasi ISA. Dengan demikian, Indonesia belum sepenuhnya mengantisipasi krisis legitimasi ISDS dan, karenanya, berpotensi menerima gugatan dari investor yang dapat merugikan, baik terhadap regulasi nasional maupun secara finansial.
DEKONSTRUKSI PENANGANAN PELANGGARAN ADMINISTRASI YANG TERSTRUKTUR, SISTEMATIS DAN MASIF DALAM PILKADA Aminuddin Kasim; Supriyadi; Andi Intan Purnamasari
Mimbar Hukum Vol 33 No 2 (2021): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (405.986 KB) | DOI: 10.22146/mh.v33i2.3730

Abstract

Abstract Deconstruction is a thought based on the method of reading texts that are based on philosophical values, since the 2015-2020 regional elections there have been several problems in handling structured, systematic, and massive administrative offences by Bawaslu. This research is a normative juridical research by analysing the laws and regulations related to the simultaneous local elections. This study concludes that the presence of a structured, systematic, and massive concept in the simultaneous Pilkada is based on the concept that was born in the examination of the dispute over the election results by the Constitutional Court which was then normalized into the Pilkada Law. The handling of administrative violations that are structured, systematic, and massive is categorized as difficult to prove because it uses a cumulative element. Deconstruction is carried out by changing the element of evidence in handling TSM administrative violations with an alternative – cumulative element, with the provision that alternative evidence is carried out against acts of promising or giving money or other materials proven massively. This study also suggests making changes in the construction of norms governing structured, systematic, and massive administrative violations in the Pilkada Law by using alternative – cumulative elements to achieve justice. Abstrak Dekonstruksi merupakan suatu pemikiran yang berbasis pada metode membaca teks yang bertumpu pada nilai filosofis. Sejak Pilkada Tahun 2015-2020 terdapat beberapa problematika dalam penanganan pelanggaran administrasi terstruktur, sistematis dan masif (TSM) oleh Bawaslu. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menganalisis peraturan perundang–undangan yang terkait dengan Pilkada serentak. penelitian ini menyimpulkan bahwa hadirnya konsep terstruktur, sistematis dan masif pada Pilkada serentak didasarkan atas konsep yang lahir dalam pemeriksaan sengketa hasil Pilkada oleh Mahkamah Konstitusi yang kemudian dinormakan ke dalam UU Pilkada. Penanganan pelanggaran Administrasi terstruktur, sistematis dan masif terkategori sulit dibuktikan karena menggunakan unsur kumulatif. Dekonstruksi dilakukan dengan mengubah unsur pembuktian dalam penanganan pelanggaran administrasi TSM dengan unsur alternatif–kumulatif, dengan ketentuan pembuktian secara alternatif dilakukan terhadap perbuatan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya terbukti secara masif. Penelitian ini juga menyarankan agar melakukan perubahan dalam konstruksi norma yang mengatur pelanggaran administrasi terstruktur, sistematis dan masif di dalam UU Pilkada dengan menggunakan unsur alternatif-kumulatif sehingga dapat mewujudkan keadilan.

Page 1 of 2 | Total Record : 12