cover
Contact Name
Heribertus Dwi Kristanto
Contact Email
dwikris@driyarkara.ac.id
Phone
+6221-4247129
Journal Mail Official
admin.diskursus@driyarkara.ac.id
Editorial Address
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jl. Cempaka Putih Indah 100A Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta 10520
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi
ISSN : 14123878     EISSN : 25801686     DOI : https://doi.org/10.36383/diskursus.v18i2
Founded in 2002 DISKURSUS is an academic journal that publishes original and peer-reviewed works in the areas of philosophy and theology. It also welcomes works resulting from interdisciplinary research at the intersections between philosophy/theology and other disciplines, notably exegesis, linguistics, history, sociology, anthropology, politics, economics, and natural sciences. Publised semestrally (in April and October), DISKURSUS aims to become a medium of publication for scholars to disseminate their novel philosophical and theological ideas to scholars in the same fields, as well as to the wider public.
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara" : 9 Documents clear
Demokrasi Sebagai Pola Hidup Menurut John Dewey C.B Mulyatno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (340.075 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v10i1.200

Abstract

Abstract: John Dewey expresses repeatedly that the significance of democracy is more than political discourse. He invites us to realize that democracy is primarily moral idea that animates a process of living and should be actualized continuously. He underlines that the idea of liberty, equality and fraternity, which is the democratic trinity, is ethical ideal of humanity in which personality is at the centre of reflection. Every human individual is free to actualize its self-realization. His liberty is based on the belief that every human individual has a right to equal opportunity with every other person to develop whatever endowment he has. Then, democracy indicates fraternity as an ethical value, which every human individual is able to actualize his capacities only in actively cooperative relationship with other. Political and social democracy presenting in a real association of life will be effectively sustained if its values of ideal hu-manity becomes an animating force of life. In other words, he envisions that democracy becomes a personal way of life. Keywords: values of democracy, social responsibility, culture of democracy, transformation of life, peaceful life. Absrak: John Dewey menyatakan berulangkali bahwa demokrasi lebih dari sekedar persoalan politik. Ia menunjukkan bahwa demokrasi pertama-tama merupakan sebuah gagasan etis yang menjiwai proses hidup secara terus-menerus. Kebebasan, kesederajatan, dan persaudaraan yang menjadi inti demokrasi merupakan nilai-nilai etis kemanusiaan yang menjadi arah hidup manusia di dalam kehidupan bersama di tengah masyarakat. Setiap individu adalah bebas untuk mewujudkan dirinya. Kebebasannya didasarkan pada keyakinan bahwa setiap individu mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dianugerahkan kepadanya. Persaudaraan merupakan nilai etis yang menegaskan bahwa setiap individu hanya mampu mewujudkan diri di dalam relasi dan kerjasama dengan sesamanya. Ketiga nilai etis tersebut seharusnya menjiwai tata hidup bersama. Dengan kata lain, demokrasi seharusnya menjadi pola hidup setiap pribadi sebagai anggota masyarakat. Kata-kata Kunci: nilai-nilai demokrasi, tanggung jawab sosial, budaya demo-krasi, transformasi hidup, hidup damai.
Michael Walzer Dan “Kesetaraan Yang Kompleks“ Antonius Widyarsono
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (297.289 KB)

Abstract

Abstract: Michael Walzer’s Spheres of Justice is not only a critique of Rawls’ A Theory of Justice, but also an ambitious response to it. Unlike other thinkers labeled as communitarians, Walzer is not merely keen to provide us with a critique of Rawls, but he also develops an alternative view of how society ought to be. Walzer is interested in the matter of the methodology of a political theory. More precisely, he focuses on a theory of goods upon which a theory of justice is based and how we relate that to the conduct through which we believe such goods should be distributed. On this ground, he criticizes Rawls’ theory of justice and develops a new account of justice, which he calls “a regime of complex equality.” The purpose of this article is to show the merits of Walzer’s account of complex equality over the two substantive principles of justice defended by Rawls. Keywords: complex equality, simple equality, domination, monopoly, theory of goods, distributive principles, pluralism, relativism, spheres of justice. Abstrak: Karya Michael Walzer, Spheres of Justice bukanlah hanya suatu kritik atas karya Rawls, A Theory of Justice, melainkan juga merupakan suatu jawaban yang ambisius terhadapnya. Tidak seperti para pemikir komunitarian yang lain, Walzer tidak hanya berusaha menyediakan bagi kita suatu kritik atas Rawsl, melainkan juga mengembangkan suatu pandangan alternatif mengenai bagaimana masyarakat seharusnya dikembangkan. Minat utama Walzer adalah dalam hal metodologi suatu teori politik. Lebih tepatnya, dia memusatkan perhatian pada suatu teori barang-barang yang seharusnya mendasari suatu teori keadilan dan bagaimana teori ini menentukan perilaku mengenai cara-cara barang-barang tersebut seharusnya didistribusikan. Dengan dasar inilah dia membuat kritik yang tajam atas teori keadilan Rawls dan mengembangkan konsep keadilan baru yang ambisius, yakni suatu konsep yang disebutnya sebagai “kesetaraan yang kompleks.” Maksud dari artikel ini adalah untuk menunjukkan keunggulan teori “kesetaraan yang kompleks” ini atas dua prinsip keadilan yang dibela oleh Rawls. Kata-kata Kunci: Kesetaraan yang kompleks, kesetaraan yang sederhana, dominasi, monopoli, teori barang-barang, prinsip-prinsip distribusi, pluralisme, relativisme, ruang-ruang keadilan.
Dialog Kebudayaan Menuju Ko-Eksistensi Damai Antarperadaban Budiono Kusumohamidjojo
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (238.018 KB)

Abstract

Abstract: Culture is the totality of the human expression towards realization of itself individually and collectively and has always been a platform for humans to achieve life ideals. As culture cannot escape its temporal and spatial circumstances there exists the plurality of cultures and the ensuing relativity of values. These dynamics have led humankind to become entrapped in Huntington’s “conflict of civilizations” i.e. a conflict of values. The world of the early 21st century is dominated by “Western civilization,” the “Sinic civilization” and increasingly by “Islamic civilization.” Although language and technology have brought humans closer to each other, language and technology will also become the basis of the economic performance of nations, cultures, and civilizations. Civilizations tend to be competitive, and competitive civilizations tend to domination if not imperialism, and are prone to setting their own absolute standards for the rest of the world, thereby potentially contributing to perennial global tensions and violent eruptions. The depletion of natural resources will only make things worse unless humankind develops a mode of peaceful co-existence among civilizations. This modus vivendi will only become possible if world leaders in politics, religion and economics can develop a consensus based on trust (Fukuyama) and tolerance. Keywords: culture, civilization, plurality, value, relativity, absolutism, imperialism, dialogue, justice, co-existence Abstrak: Kebudayaan adalah totalitas ekspresi manusiawi menuju perwujudan dirinya baik secara individual maupun kolektif, dan selalu merupakan “tempat” (platform) untuk mencapai cita-cita hidupnya. Selama kebudayaan tidak dapat menghindarkan diri dari lingkup ruang dan waktu, selalu akan muncul pluralitas budaya serta relativitas nilai-nilai. Dinamika ini telah membawa umat manusia terkurung dalam apa yang disebut oleh Huntington sebagai “konflik peradaban-peradaban,” yakni, konflik nilai-nilai. Dunia abad ke-21 didominasi oleh “peradaban Barat,” peradapan Sinik, dan peradaban Islam. Kendati bahasa dan teknologi telah membuat manusia menjadi lebih dekat satu sama lain, bahasa dan teknologi juga akan menjadi landasan bagi citra ekonomi dari berbagai bangsa, kebudayaan-kebudayaan, dan peradaban-peradaban. Perdaban cenderung kompetitif, dan peradaban yang kompetitif cenderung menjadi sebuah dominasi, bahkan dapat menjadi imperial-isme. Akibatnya, mereka mudah tergelincir untuk menciptakan standar mereka yang abolut dan menerapkannya bagi seluruh dunia; karenanya, secara potensial menyumbang bagi munculnya ketegangan-ketegangan dan ledakan-ledakan kekerasan global yang perenial. Berkurangnya sumber-sumber alam hanya akan membuat situasi menjadi lebih buruk, kecuali bila manusia mengembangkan sebuah moda ko-eksistensi damai antarperadaban. Cara hidup (modus vivendi) seperti ini hanya dimungkinkan bila para pempimpin dunia di bidang politik, agama, dan ekonomi dapat mengembangkan sebuah konsensus berdasarkan kepercayaan dan toleransi. Kata-kata Kunci: kebudayaan, peradaban, pluralitas, nilai, relativitas, absolutisme, imperialisme, dialog, keadilan, ko-eksistensi.
Silence, The Origin Of Evangelization A Discourse With Max Picard, Raimon Panikkar, And Aloysius Pieris Yap Fu Lan
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (273.437 KB)

Abstract

Abstract: Max Picard argues that silence is the source of the word. The word that does not come from silence equals noise. A true word, or meaningful speech, springs from silence. Raimon Panikkar and Aloysius Pieris contend that silence is a characteristic of God. God’s Silence is spoken through the Word, expressed through the language of Body and Blood, the person of Jesus Christ. Christian evangelization is prophetic. It responds to human suffering, following the dynamism of Silence and Word, of life-death-resurrection. Christian evangelization is not merely about delivering the Word of God, but also about returning to its origin, the Silence of God. Keywords: silence, evangelization, Body-and-Blood language, prophetic, human suffering. Abstrak: Max Picard berargumen, keheningan adalah sumber ucapan. Ucapan yang tidak berasal dari keheningan hanyalah suara bising tanpa makna. Ucapan atau kata-kata sejati yang bermakna bersumber dalam keheningan. Raimon Panikkar dan Aloysius Pieris berpendapat, keheningan adalah karakter Allah. Keheningan ilahi diungkapkan melalui Sabda, melalui bahasa Tubuh dan Darah, yakni pribadi Yesus Kristus. Evangelisasi Kristiani sesungguhnya bersifat profetik. Evangelisasi Kristiani tanggap terhadap penderitaan umat manusia, mengikuti dinamika Keheningan dan Sabda Illahi, atau dinamika hidup-kematian-kebangkitan. Evangelisasi Kristiani bukan hanya hal mewartakan Sabda, melainkan juga hal kembali kepada sumbernya yang sejati, yakni Keheningan Allah. Kata-kata Kunci: keheningan, evangelisasi, ”bahasa Tubuh-dan-Darah,” profetis, penderitaan manusia.
Deuterokanonika Menurut Dokumen Komisi Kitab Suci Kepausan V. Indra Sanjaya
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (345.938 KB)

Abstract

Abstract: In 2001 the Pontifical Biblical Commission published a document entitled The Jewish People and their Sacred Scriptures in the Christian Bible with the purpose to promote Jewish-Christian dialogue. As part of the arguments, the Commission puts forward the canonization proccess of the so-called deuterocanonical writings, considered sacred and divinely inspired by Roman Catholic Church and several other Eastern Churches and rejected by Judaism and Reformations Churches. This seems to be the only official teaching from the Church. Regardless the weight of the Pontifical Commission’s document as the Church’s official teaching, this document needs to be appreciated because it provides the faithful with the sound and responsible teaching on the canonization proccess of the deuterocanonical writings. Keywords: Pontifical Biblical Commission, Septuagint, Old Testament Canon, Deuterocanonical Books, unclosed canon, Hebrew Bible, Commission’s Document, Ketubim. Abstrak: Pada 2001 Komisi Kitab Suci Kepausan menerbitkan sebuah dokumen berjudul The Jewish People and their Sacred Scriptures in the Christian Bible dengan maksud untuk mengembangkan dialog Kristen-Yudaisme. Sebagai bagian dari argumen yang dikemukakan, Komisi menjelaskan proses kanonisasi tulisan-tulisan Deuterokanonika. Oleh Gereja Katolik dan beberapa Gereja Timur lainnya, tulisan itu dianggap kudus dan diinspirasikan oleh Roh Kudus; sementara Gereja Reformasi dan Yudaisme menolak tulisan-tulisan tersebut. Ajaran yang terkandung di sini tampaknya merupakan satu-satunya penjelasan resmi yang dikeluarkan oleh Gereja Katolik. Apa pun bobot dokumen yang dikeluarkan oleh sebuah Komisi Kepausan ini, dokumen ini perlu dihargai karena memberikan gambaran kepada umat tentang proses kanosisasi untuk tulisan-tulisan Deuterokanonika. Kata Kunci: Komisi Kitab Suci Kepausan, Septuaginta, Kanon Perjanjian Lama, tulisan-tulisan Deuterokanika, kanon terbuka, Kitab Suci Ibrani – Dokumen Komisi, Ketubim.
John D. Caputo and Michael J. Scanlon (Eds.), Transcendence and Beyond: A Postmodern Inquiry, Bloomington, IN: Indiana University Press, 2007, ix+248 hlm. M Sastrapratedja
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (246.5 KB)

Abstract

Buku ini merupakan kumpulan karangan yang ditulis oleh beberapa filosof terkenal, seperti John D. Caputo, Jean-Luc Marion, Richard Kearney, Gianni Vattimo dan David Wood. Pengantar buku ini memberi gambaran isi menyeluruh. Dengan istilah “transcendence and beyond” ingin diungkapkan pelepasan kata itu dari kungkungan kata itu sendiri, sehingga dicapai suatu dinamika: bila mentransendensi itu sudah berarti melampaui, kita ingin maju lagi: melampaui dan melampaui lagi. Bagaimanakah kata klasik itu bila ditempatkan dalam konteks postmodern? Apakah kita memerlukan transendensi yang terus melampaui? Transendensi yang transsenden? – plus de transcendence? Apa yang bisa ditransendensi?: subjek, kedirian, dunia yang kelihatan, pengada-pengada, bahkan Ada sendiri? Jean-Luc Marion dan Gianni Vattimo bermaksud meninggalkan transendensi klasik dan metafisika dengan menggunakan istilah “hypertransendensi,” transendensi transenden dan post-transcendence. Kecenderungan pertama, misalnya pada Levinas yang berbicara tentang “tout autre,” yang “samasekali lain,” yang merupakan transendensi hiperbolik. Bagi Levinas, transendensi klasik tidak mencukupi karena terbatas pada “imanensi ontologis.” Juga transendensi pada Heidegger: dari pengada kepada Ada (dari beings kepada Being). Di dalam Totality and Infinity gerak transendensi itu adalah gerak bukan kepada Pengada yang lebih tinggi (higher being), tetapi “otherwise than being.” “God as otherwise than being” mengandung makna: melampaui kesamaan dan kelainan; bukan pula “first other;” bukan “other par excellence;” bukan “absolutely other;” tetapi “other than the other” (autre qu’autrui); “an alterity prior to the alterity of the other;” “transcendent to the point of absence.” [Lihat E. Levinas, Of God Who Comes to Mind, trans. Bettina Bergo (Stanford, CA: Stanford University Press, 1998, p. 69)]. Singkat kata, “Otherwise than Being” berarti melampaui forma dan kategori Being. Dengan itu pula Levinas keluar dari kategori metafisika. Levinas tidak berhenti di situ karena ia beralih dari ontologi ke etika, sehingga dimungkinkan untuk berpikir mengenai Allah sebagai “Yang Lain dari Yang Lain.” Menurut Levinas “Transendensi adalah etis dan subjektivitas yang dalam analisis akhir bukan ‘Aku berpikir,’ atau kesatuan dari apersepsi transendental, tetapi tanggung jawab kepada yang lain, ketertundukan (subjection) pada yang lain” (Levinas, Of God Who Comes to Mind, p. 68). Aras etis, menurut Levinas, bukan suatu aras ada (being) tetapi yang lain (otherwise) dan yang lebih baik daripada ada (being): inilah kemungkinan dari pelampauan (beyond). Kita harus menyelidiki makna transendensi sebagai peristiwa etika dan tanggung jawab adalah momen yang menentukan dalam etika – suatu momen apropriasi daripada momen Ada (Being). Pertanyaannya: apakah kita lebih dekat kepada pertanyaan tentang Allah? Bukankah kita berada di ambang memperoleh secercah keilahian sebagai yang bukan Ada (otherwise than Being)? Keterarahan kita kepada Allah (à Dieu), bagi Levinas, harus dibelokkan pada Allah (à Dieu) kepada sesama. ........................................................... Bagi Gianni Vattimo, dengan “nihilisme” tidak dimaksud suatu relativisme apa saja. Tetapi dengan membaca Nietzsche melalui Heidegger ia memaksudkan “suatu pelemahan” atau “peredupan” dari (1) struktur pemikiran metafisik, pengertian yang kuat mengenai realitas yang sejati, realitas objektif; (2) pengertian teori korespondensi epistemologis demi kebenaran, sebagai isu hermeneutik; (3) pengertian kemutlakan moral lebih daripada kasih dan kepekaan akan situasi; (4) prinsip otoritarian dalam politik daripada proses demokratik dan emansipatorik. Vattimo menamakan itu sebagai “weak thought,” yang di Amerika Serikat disebut “nonfoundationalism” dan oleh para filosof kontinental termasuk Vattimo disebut “hermeneutika.” Bagi Derrida diskursus tentang “beyond,” segala gerak dalam hyper, ultra, au-delà, beyond, über mengandung “messianic beyond.” Kegairahan akan “beyond” adalah kegairahan untuk pergi “kemana anda tidak bisa pergi,” kegairahan akan yang tidak mungkin. Suatu “peristiwa,” suatu masa depan yang secara radikal tak bisa diprogramkan, yang “akan datang” (à venir). “Peristiwa” (événement, dari kata venir) terjadi oleh karena “akan datang.” “Transendensi” bagi Derrida merupakan afirmasi datangnya peristiwa – suatu transformasi-diri tak berhingga dari kehidupan temporal kita, suatu kegairahan akan yang tidak mungkin. (M. Sastrapratedja, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design, New York: Ban-tam Books 2010, 198 hlm. Franz Magnis-Suseno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (246.403 KB)

Abstract

Tak salah kiranya kalau buku ini—yang ditulis oleh Stephen Hawking, barangkali fisikawan paling tersohor yang hidup sekarang, bersama Leonard Mlodinow—dianggap semacam summa atau kesimpulan agung seseorang yang selama seluruh hidup bergulat penuh semangat dengan misteri-misteri alam raya kita, tanpa mau ditundukkan oleh penyakit yang melumpuhkannya. Kesan pertama: Mengasyikkan! Di atas hanya 166 halaman dua penulis berkompetensi tinggi ini mengantar kita, dalam bahasa yang relatif mudah dimengerti (sedikit pengetahuan dasar tentang fisika pasca-tradisional memang perlu!), dengan ilustrasi-ilustrasi amat bagus, ke garis paling depan fisika di permulaan abad ke-21 ini. Mulai dengan dasar-dasar fisika pasca-tradisional, fisika kuantum dan teori relativitas—keduanya tetap belum sepenuhnya dapat disatukan dalam satu teori—mereka mengantar kita ke dalam pokok bahasan, perspektif-perspektif menakjubkan astrofisika abad ke-21. Akan tetapi Hawking/Mlodinow tentunya tidak sekedar mau menambah jumlah buku ”fisika kontemporer bagi kaum awam.“ Tujuan mereka tak lain tak bukan adalah menjawab pertanyaan dasar umat manusia: ”Bagaimana kita dapat mengerti dunia di mana kita menemukan diri?“ Secara terinci ada tiga pertanyaan yang akan mereka jawab: ”Mengapa ada sesuatu dan bukannya tidak ada sesuatu?,“ ”mengapa kita ada?,“ dan ”mengapa hukum alam adalah seperti yang ada dan bukan hukum alam lain?” Klaim mereka keras. Mereka mau menjawab pertanyaan-pertanyaan itu semata-mata atas dasar fisika! Pada halaman pertama mereka sudah mejatuhkan putusan pada ilmu yang umumnya dianggap paling cocok untuk bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu: filsafat. Vonis mereka: ”Philosophy is dead.“ Tetapi lawan yang sebenarnya mau mereka hantam adalah agama. Berulang kali mereka menyatakan bahwa tidak diperlukan seorang Pencipta. Mereka mengutip jawaban Laplace atas pertanyaan Napoleon tentang di mana tempatnya Allah dalam sistemnya: ”Paduka, saya tidak memerlukan hipotesa itu!“ Buku Hawking/Mlodinow boleh dianggap padanannya buku Richard Dawkins The God Ilusion. Kalau Dawkins mau menjelaskan evolusi tanpa acuan pada Allah, maka Hawking/Mlodinow mau melakukan yang sama tentang eksistensi alam raya kita. Berhasilkah mereka? Mari kita lihat. Hawking/Mlodinow bertolak dari pengandaian bahwa tidak mungkin lagi dibentuk gambar objektif tentang dunia. Realisme mereka adalah suatu model dependent realism; dengan lain kata, kita sendiri harus mengkonstruksikan model-model tentang bagaimana kiranya alam raya kita berfungsi. Model yang paling elegan, menghindar dari unsur-unsur sewenang-wenang, sesuai dengan semua amatan dan mengijinkan ramalan, itulah yang harus dipegang. Sebetulnya ini pandangan amat radikal, lebih radikal daripada pandangan Immanuel Kant, karena itu berarti bahwa kita sebenarnya tidak mengetahui realitas. Kebenaran model itu pragmatis, artinya pengetahuan kita tentang alam itu benar sejauh kita bisa hidup di dalamnya. Tentu saja, di sini banyak pertanyaan muncul, tetapi saya biarkan saja. ..................................................... Hal kebebasan kehendak mereka pecahkan serta merta dengan mendefinisikannya sebagai situasi yang begitu kompleks sehingga ”kita tidak mampu membuat kalkulasi-kalkulasi yang akan membuat kita menjadi mampu untuk memprediksikan aksi-aksinya.” Menurut definisi ini gunung Merapi pun meledak atas kehendak bebasnya (apakah koordinasi antara kraton Ngajodjokarta Hadiningrat dengan Merapi dan ratu kidul akhir-akhir ini kurang mulus?). Dan, betul, menurut Hawking/Mlodinow ”semua makhluk kompleks (memang) mempunyai kehendak bebas.” Kalau mereka betul, maka buku yang sudah mereka tulis ini bukannya hasil rencana dan pemikiran mereka, melainkan merupakan akibat fisikalis kondisi awal alam raya kita dalam big bang. Hal yang sama berlaku bagi bahasan ini. Seriuskah itu? Kalau mereka mau menyatakan bahwa semua proses inderawi terdeterminasi, maka itu sudah dirumuskan dengan meyakinkan oleh Immanuel Kant; tetapi dari mana mereka tahu bahwa yang ada hanyalah proses-proses inderawi? Kebebasan pertama-tama merupakan fakta kesadaran internal (dengan banyak keterbatasan karena pelbagai faktor psikologis) dan tentu teori harus menyesuaikan diri dengan fakta itu dan bukan sebaliknya. Atas dasar pemikiran begitu kasar kita lantas juga tidak heran bahwa para penulis tidak memberikan sepucuk penjelasan tentang bagaimana kemunculan kesadaran dan, pada manusia, kerohanian dapat dijelaskan. Buku mengasyikkan ini bagi penulis tinjauan ini mengecewakan. Dua penulis itu pada dasarnya masih di tingkat Auguste Comte yang 200 tahun lalu merumuskan ”hukum tiga tahap,” dari mitos dan agama (yang tidak bisa dia bedakan) lewat spekulasi filsafat ke ilmu alam, sesuatu yang sekarang dalam filsafat tidak pernah diangkat lagi (berbeda dengan Kant, Aristoteles dan Platon yang tetap memberi inspirasi). Yang paling gila—untuk menghindar dari kata ”bohong”—adalah kalimat mereka yang terakhir: ”If the theory is confirmed by observation, … we will have found the the grand design.” Mengapa gila? Karena menurut mereka sendiri keadaan pra-big bang, sang ”ibu segala alam raya,” secara prinsip tak teramati! (Franz Magnis-Suseno, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta)
Christoph Cardinal Schönborn, Chance or Purpose?: Creation, Evolution, and a Ra-tional Faith, Edited by Hubert Philip Weber, Translated by Henry Taylor, San Francisco: Ignatius Press, 2007, 181 hlm.: Creation and Evolution: A Conference with Pope Benedict XVI in Castel Gandolfo, Pub-lished on behalf of the former postgraduate students of Pope Benedict XVI by Stephan Otto Horn, S. D. S., and Siegfried Wiedenhofer, Translated by Michael J. Miller, San Francisco: Ignatius Press, 2008, 210 hlm. Franz Magnis-Suseno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (246.515 KB)

Abstract

Lima tahun lalu Christoph Kardinal Schönborn, Uskup Agung Wiena dan sahabat dekat Paus Benedikt XVI, menulis karangan dalam The New York Times yang segera menimbulkan polemik internasional. Di dalamnya Schönborn me-nyerang klaim Darwinisme bahwa perkembangan organisme di bumi dapat dijelaskan tanpa perlu mengacu pada Allah Pencipta. Tulisan Schönborn dibaca sebagai dukungan terhadap aliran intelligent design yang menerima fakta evolusi, tetapi menegaskan bahwa evolusi hanya mungkin atas dasar sebuah “design” atau rancangan yang “intelligent,” jadi yang dirancangkan oleh kekuatan rohani. Implikasinya adalah bahwa perancang itu adalah Allah Pencipta. Schönborn lalu dituduh anti ilmu pengetahuan, reaksioner dan tidak up to date terhadap kemajuan ilmu hayat sejak Charles Darwin pada 1859 menerbitkan bukunya yang termasyur, On the Origin of Species by Means of Natural Selection. Mengkaitkan evolusi dengan rancangan ilahi dianggap ketinggalan zaman dan usaha Gereja untuk membawa manusia kembali ke abad kegelapan pra-ilmiah. Untuk menunjukkan bahwa ia disalahpahami, Kardinal Schönborn kemudian memberikan sejumlah kuliah untuk menjelaskan pandangan Katolik tentang evolusi. Kuliah-kuliah itulah yang terkumpul dalam buku Chance or Purpose? (“Kebetulan atau Maksud?”) ini. Bisa diandaikan bahwa pandangan Kardinal Schönborn sesuai dengan pandangan Paus Benedikt XVI, pimpinan rohani 1,2 milyar umat Katolik sedunia. Memang, Gereja Katolik belum pernah memberikan pernyataan resmi tentang evolusi. Tetapi sejak Paus Pius XII pada 1950 (Humani Generis) dengan amat hati-hati menunjukkan sikap positif terhadap kemungkinan evolusi, banyak pemikir Katolik—dimulai dengan Charles Teilhard de Chardin, sampai dengan Paus Johannes Paulus II—semakin menerima evolusi sebagai kenyataan yang tak dapat dan tak perlu disangkal serta menunjukkan bagaimana kenyataan itu dapat ditempatkan ke dalam iman Kristiani tentang penciptaan alam raya oleh Allah. ......................................................... Buku ini secara mendalam memperlihatkan ketegangan dan kecocokan internal antara iman Kristiani dan teori evolusi. Dengan membacanya kita akan diperkaya dalam wawasan dan pengertian. Bagi penulis bagian yang paling mencerahkan adalah kata pengantar yang ditulis Kardinal Schönborn, karena di dalamnya Schönborn mengutip sekitar 13 (tiga belas) halaman dari dua tulisan Kardinal Joseph Ratzinger yang ditulisnya waktu ia belum menjadi Paus. Menurut Ratzinger ada perbedaan mendalam: Apakah roh manusia, keterbukaan pada Allah, adalah hasil kebetulan suatu perkembangan buta, atau seluruh perkembangan (evolusi) sejak semula terarah pada terwujudnya manusia sebagai makhluk yang terbuka pada Allah? Ratzinger membuat catatan yang seharusnya mengubah cara kita memahami penciptaan: Allah bukan sebagai ”tukang yang menciptakan segala macam objek,” melainkan ”dengan cara pikiran kreatif;” artinya, Allah memberdayakan ciptaan untuk mengem-bangkan diri ke arah manusia yang terbuka bagi Allah. (Franz Magnis-Suseno, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkata, Jakarta).
Andreas J. Köstenberger and Michael J. Kruger, The Heresy of Orthodoxy: How Contemporary Culture’s Fascination with Diversity Has Reshaped Our Understanding of Early Christianity, Wheaton, IL: Crossway, 2010, 250 hlm. T. A Deshi Ramadhani
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (246.494 KB)

Abstract

Gema kegaduhan sejak munculnya Novel The Da Vinci Code ternyata belum sirna. Perhatian banyak orang pada sejarah Kekristenan awal tiba-tiba melesat naik. Dalam gelombang perhatian baru semacam ini pertanyaan-pertanyaan tajam kembali diarahkan pada sejarah terbentuknya Kitab Suci Kristiani, khususnya bagian Perjanjian Baru. Persoalan seputar kredibilitas pewahyuan Yang Ilahi dalam bentuk tertulis kembali dipertanyakan. Di kalangan akademisi bidang tafsir Kitab Suci nama Dan Brown dan The Da Vinci Code-nya tidak lagi menjadi bahan perbincangan berarti. Meskipun demikian, persoalan serupa sekarang dikibarkan secara lebih luas oleh seseorang yang bernama Bart D. Ehrman, yang dengan Misquoting Jesus-nya berhasil memperkenalkan kepada khalayak ramai banyak problematika seputar telaah naskah-naskah kuno Kitab Suci Perjanjian Baru. [Catatan: Buku tersebut telah menjadi salah satu dari New York Times Bestseller, dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia]. ............................................................... Secara tegas dikatakan demikian dalam bagian akhir buku ini: Indeed, it is contemporary culture’s fascination with diversity that has largely driven the way in which our understanding of Jesus and early Christianity has been reshaped. If it can be shown that early Christianity was not as unified as commonly supposed, and if it can be suggested that the eventual rise of Christian orthodoxy was in fact the result of a conspiracy or of a power grab by the ruling political, cultural, or ecclesiastical elite, this contributes to undermining the notion of religious truth itself and paves the way for the celebration of diversity as the only “truth” that is left. And thus the tables are turned—diversity becomes the last remaining orthodoxy, and orthodoxy becomes heresy, because it violates the new orthodoxy: the gospel of diversity (hlm. 234). Dalam konteks di Indonesia, di mana usaha untuk saling memahami antarpemeluk agama yang berbeda sering berwujud usaha untuk membuktikan kesalahan dan keburukan pihak lain, serta kebenaran dan kebaikan agama sendiri, buku Misquoting Jesus yang ditulis Ehrman tentu telah menjadi makanan empuk. Publik di Indonesia perlu melihat sisi lain dalam perdebatan ini. Buku The Heresy of Orthodoxy memberi jalan untuk menyeimbangkan gagasan publik. Jika buku ini diterjemahkan, dan jika buku ini ternyata tidak menarik pembaca, mungkin tesis dasar buku ini dengan sendirinya telah terbukti: publik benar-benar telah terobsesi oleh gagasan tentang “keragaman,” sehingga tidak selalu siap menerima kenyataan bahwa “keragaman” tersebut secara historis sulit dibuktikan. (Deshi Ramadhani, Program Studi Ilmu Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).

Page 1 of 1 | Total Record : 9


Filter by Year

2011 2011


Filter By Issues
All Issue Vol. 19 No. 2 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 2 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 2 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 2 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 2 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 2 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 9 No. 2 (2010): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara More Issue