cover
Contact Name
JUNAIDI
Contact Email
junnaidie@gmail.com
Phone
+62711-418873
Journal Mail Official
jurnalconsensus@stihpada.ac.id
Editorial Address
Jl. Animan Achyat (d/h Jln. Sukabangun 2) No. 1610 Kota Palembang Prov. Sumatera Selatan Telp/Fax : 0711 - 418873
Location
Kota palembang,
Sumatera selatan
INDONESIA
Consensus : Jurnal Ilmu Hukum
ISSN : -     EISSN : 29622395     DOI : -
Diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda (STIHPADA) Palembang berisikan tulisan ilmiah, hasil pembahasan penelitian, pembahasan buku dan pendapat yang mendukung. Artikel Hukum yang dipublikasikan pada jurnal ini merupakan Hasil Karya Ilmiah Mahasiswa dan Dosen yang telah memenuhi Pedoman Penulisan bagi Penulis (Author Guidelines) yang telah ditentukan oleh Consensus : Jurnal Ilmu Hukum. Semua artikel yang dikirimkan oleh penulis dan dipublikasikan dalam jurnal ini ditelaah melalui peer review process. Jadwal penerbitan setahun 4 (empat) kali pada bulan Februari, Mei, Agustus, dan November. Tulisan yang dikirim harus berpedoman pada metode penulisan ilmiah dan petunjuk penulisan sebagai terlampir. Isi konten tulisan tanggung jawab sepenuhnya penulis. Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isi konten tulisan.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 46 Documents
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DEBT COLLECTOR (PENAGIH HUTANG) YANG MELAKUKAN TINDAK KEKERASAN DALAM PENAGIHAN BERMASALAH Deny Syaputra; Tri Putra Perkasa; Fawez Farhan Dani; Siddik Andrean; Didit Selamat Raharjo
Consensus : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 1 No. 2 (2022): November
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (667.447 KB)

Abstract

Abstrak Hadirnya sistem kredit sangat membantu kehidupan masyarakat bahkan pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara, namun keterbatasan saat ini adalah tidak semua barang yang dijual di pasar atau toko menawarkan system kredit terhadap barang yang mereka jual. Kerena disamping faktor kepercayaan, faktor-faktor lain dijadikan pedagang sebagai petimbangan untuk lebih nyaman jika menjual dengan cara tunai dari pada kredit. Namun dibalik kemudahan tersebut, jika kita tidak bertanggung jawab untuk melunasi kredit tersebut tentu akan membawa masalah bagi kita, karena akhirnya kita akan dihadapkan kepada debt collector untuk menagih sejumlah hutang. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan debt Colecctor dalam melakukan penagihan terhadap kredit bermasalah. Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan debt Colecctor dalam melakukan penagihan terhadap kredit bermasalah. Kekerasan yang dilakukan oleh debt collector dalam penagihan hutang terhadap debitur juga disebabkan adanya sikap perlawanan dari nasabah dan tidak adanya iktikad baik debitur dalam penyelesaian angsuran atau kredit sehingga menyebabkan debt collector melakukan kekerasan agar debitur benar-benar mau menyelesaikan tunggakan angsuran. Adanya tindakan perlawanan yang dilakukan oleh debitur maka juga mempengaruhi debt collector dalam melakukan penagihan hutang terhadap debitur. Adapun bentuk kekerasan yang dilakukan debt collector menurut pengamatan penulis diantaranya berkata kasar dengan memaki-maki, mengancam, penyitaan terhadap barang bahkan ada juga yang melakukan pemukulan atau penganiayaan. Perbuatan debt collector ini jelas merupakan tindak pidana. Perlu adanya kerja sama antara aparat penegak hukum dengan masyarakat dalam memberantas tindak pidana yang dilakukan debt collector, masyarakat harus berperan aktif dalam hal ini. Masyarakat harus segera melaporkan jika melihat ada tindak pidana yang dilakukan debt collector. Kata Kunci : Pertanggungjawaban, Pidana, Kekerasan, Debt Collector Abstract This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. The presence of a credit system really helps people's lives and even economic growth in a country, but the current limitation is that not all goods sold in markets or shops offer a credit system for the goods they sell. Because in addition to the trust factor, other factors are used by traders as considerations to be more comfortable if selling by cash rather than credit. But behind this convenience, if we are not responsible for paying off the credit, it will certainly bring problems for us, because in the end we will be faced with debt collectors to collect a number of debts. This study uses a normative juridical approach. What are the forms of violence committed by debt collectors in collecting non-performing loans. The forms of violence committed by debt collectors in collecting non-performing loans. Violence committed by debt collectors in collecting debts against debtors is also due to the attitude of resistance from customers and the lack of goodwill of the debtor in settling installments or credit, causing debt collectors to resort to violence so that debtors really want to settle arrears in installments. The existence of resistance actions taken by debtors will also affect debt collectors in collecting debts against debtors. As for the forms of violence committed by debt collectors, according to the author's observations, among others are rude by cursing, threatening, confiscation of goods and some even beat or abuse. This debt collector's act is clearly a criminal act. There needs to be cooperation between law enforcement officers and the community in eradicating criminal acts committed by debt collectors, the community must play an active role in this. The public must immediately report if they see any criminal acts committed by debt collectors.
SANKSI PIDANA TERHADAP PENUMPANG YANG MELANGGAR TATA TERTIB DI DALAM PESAWAT UDARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN Dewa Ayu Made Mayani; M. Lucky Septian Mulia; Muhamad Dwi Septiawan; Muhamad Alyo Vidawarman; Sunarto
Consensus : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 1 No. 2 (2022): November
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (797.773 KB)

Abstract

Abstrak Penerbangan secara exsplisit telah diatur secara khusus didalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Penerbangan menjelaskan bahwa yang disebut dengan penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya. Permasalahan dalam Penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk-bentuk pelanggaran tata tertib di dalam pesawat udara selama penerbangan dan bagaimana sanksi pidana terhadap penumpang yang melanggar tata tertib di dalam pesawat udara selama penerbangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan. Bentuk pelanggaran tata tertib di dalam pesawat udara selama penerbangan diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan sanksi pidana tersebut diatur dalam Pasal 412 ayat 1-7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Kata Kunci : Sanksi Pidana, Penumpang, Pesawat Penerbangan. Abstract Aviation has been explicitly regulated specifically in Law No. 1 of 2009 concerning Aviation. According to Article 1 number 1 of the Aviation Law, it is explained that what is called aviation is a unified system consisting of the use of airspace, aircraft, airports, air transportation, flight navigation, safety and security, the environment, as well as supporting facilities and facilities. other common. The problem in this research is how are the forms of violation of the rules on the airplane during the flight and how are the criminal sanctions against passengers who violate the rules on the airplane during the flight based on Law Number 1 of 2009 concerning Aviation. The form of violation of the rules on board an aircraft during a flight is regulated in Article 54 of Law Number 1 of 2009 concerning Aviation and the criminal sanctions are regulated in Article 412 paragraphs 1-7 of Law Number 1 of 2009 concerning Aviation.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU YANG MELARIKAN DIRI SAAT DITILANG BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA Rico Andi Guna; Agus Susanto; M. Armando Ferdiansyah; Aldy Sopandy; Bobby Rizki Ramadhan
Consensus : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 1 No. 2 (2022): November
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (589.788 KB)

Abstract

AbstrakPenegakan hukum manusia atau anggota masyarakat itu harus memperhatikan dan menaati kaidah-kaidah atau norma-norma serta peraturan-peraturan tertentu yang berlaku. Peraturan itu memberi petunjuk bagi manusia bagaimana harus bertingkah laku dan bertindak. Dalam hal pelanggaran lalu lintas yang rentan terjadi di Indonesia salah satunya dikarenakan masyarakat Indonesia yang kurang mentaati peraturan lalu lintas sehingga kasus pelanggaran dan resiko kecelakaan juga masih tinggi. Faktor-faktor penyebab pengemudi melarikan diri adalah ada rasa ketakutan, surat-surat kendaraan tidak lengkap, pengendara kendaraan bermotor yang tak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan, pengendara sepeda motor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan seperti spion, lampu rem, klakson, pengendara atau penumpang sepeda motor yang tak mengenakan helm standar nasional, Membawa barang yang dilarang, misalnya narkoba, Kendaraan hasil curian. Penegakan hukum terhadap pelaku yang melarikan diri saat ditilang berupa sanksi hukum. Sanksi hukum terdapat dalam Pasal 216. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kepolisian hendaknya terus menerus melakukan sosialisasi kepada masyarakat dengan melibatkan berbagai pihak (sekolah, perguruan tinggi, maupun organisasi desa) terutama sosialisasi berkendara dengan baik di jalan raya dan apa saja yang harus dilengkapi dalam hal berkendara sehingga dapat mengurangi tingkat pelanggaran.Pihak Satuan Polisi Lalu Lintas harus meningkatkan dan memaksimalkan kinerjanya agar dapat meningkatkan keamanan, ketertiban, setiap pelanggaran harus di tindak dan di kenakan sanksi yang tegas, dalam artian menegakkan hukum tanpa pandang bulu.Kata Kunci : Penegakan Hukum, Pelaku, Melarikan Diri, Tilang. AbstractHuman law enforcement or community members must pay attention to and comply with certain rules or norms and regulations that apply. The rules give instructions for humans how to behave and act. In terms of traffic violations that are prone to occur in Indonesia, one of them is because Indonesian people do not comply with traffic regulations so that cases of violations and the risk of accidents are still high. Factors that cause drivers to run away are fear, incomplete vehicle documents, motorized vehicle drivers who do not have a vehicle registration number, motorcyclists who do not meet technical and road-worthiness requirements such as mirrors, brake lights, horns, drivers or motorcycle passengers who do not wear national standard helmets, carry prohibited items, such as drugs, stolen vehicles. Law enforcement against perpetrators who run away when ticketed is in the form of legal sanctions. Legal sanctions are contained in Article 216. The Criminal Code. The police should continue to socialize with the community by involving various parties (schools, colleges and village organizations), especially the socialization of good driving on the highway and what needs to be completed in terms of driving so as to reduce the level of violations. The Traffic Police Unit must improve and maximize its performance in order to increase security, order, every violation must be followed up and subject to strict sanctions, in the sense of enforcing the law indiscriminately.
SANKSI HUKUM PELAKU MENGUASAI TANAH MILIK ORANG LAIN TANPA IZIN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 51 PRT TAHUN 1960 TENTANG LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG BERHAK ATAU KEKUASAANNYA Roni; Sukma Andi Wijaya; Satrio Margo Utomo; M. Deri Okta Pratama; Boy Santosa
Consensus : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 1 No. 2 (2022): November
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (672.047 KB)

Abstract

Abstrak Tanah merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia, tanah merupakan tempat pemukiman, tempat melakukan kegiatan manusia bahkan pada waktu matipun masih memerlukan tanah. Menyadari pentingnya nilai dan arti penting tanah, Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam di dalam konstitusi, sebagai berikut : “Bumi dan air dan kekayaanalam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Kesadaran akan kedudukan istimewa tanah dalam alam pikiran bangsa Indonesia juga tertuang dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun1960. Salah satu penyebab terjadinya kejahatan penggelapan hak atas tanah karena dilatar belakangi oleh faktor ekonomi, dimana pelaku melakukan hal ini karena terdorong oleh kebutuhan materi yang membuat seseorang ataupun pelaku tindak pidana melakukan kejahatan penguasaan tanah tanpa izin pemiliknya. Adapun salah satu penyebab terjadinya kejahatan tersebut dikarenakan dari faktor pekerjaan pelaku dimana pelaku tindak pidana melakukan pengelolaan atas tanah tersebut tanpa sepengetahuan pemilik sebenarnya karena ingin melakukan usaha diatas tanah tersebut karena pelaku tidak memiliki pekerjaan yang tetap sehingga ingin melakukan uasaha diatas tanah tersebut. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang aturan hukum khususnya dalam hal ini mengenai kejahatan dibidang pertanahan. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan dari pelaku kejahatan penggelapan hak atas tanah tersebut masih rendah, sehingga pelaku dari kejahatan tersebut tidak mempertimbangkan akibat hukum atau sanksi hukum yang akan diterima pelaku apabila melakukan perbuatannya tesebut. Agar tidak terjadinya tindak pidana pengrusakan tanah dan penyerobotan tanah masyarakat seharusnya memiliki sertifikat hak (milik) atas tanah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Kata Kunci : Sanski Hukum, Pelaku, Tanah Abstract This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. Land is one of the important factors in human life, land is a place of settlement, a place to carry out human activities, even when they die, they still need land. Recognizing the importance of the value and importance of land, Article 33 Paragraph (3) of the 1945 Constitution defines land and natural resources in the constitution as follows: "Earth and water and the natural resources contained therein are controlled by the state and used for as much as -the great prosperity of the people." Awareness of the special position of land in the minds of the Indonesian people is also contained in the Basic Agrarian Law (UUPA) Number 5 of 1960. One of the causes of the crime of embezzlement of land rights is due to economic factors, where the perpetrators do this because they are motivated by material needs that make a person or perpetrator of a crime commit a crime of land tenure without the owner's permission. As for one of the causes of the occurrence of this crime due to the work factor of the perpetrator where the perpetrator of the crime managed the land without the knowledge of the real owner because he wanted to do business on the land because the perpetrator did not have a permanent job so he wanted to do business on the land. Lack of public knowledge about the rule of law, especially in this case regarding crimes in the land sector. This is because the level of education of the perpetrators of the crime of embezzlement of land rights is still low, so that the perpetrators of these crimes do not consider the legal consequences or legal sanctions that will be received by the perpetrators if they commit these actions. In order to prevent criminal acts of land destruction and land grabbing, the community should have a title (property) certificate over land to provide legal certainty and legal protection to the holders of rights to a plot of land so that they can easily prove themselves as the holder of the rights over the land in question.
KEWENANGAN PENYIDIKAN PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA Muhammad Romadhan; Muhammad Nugraha; Aldy Sopandy; Zain Agiel Abdullah; Andreas Jona Situmorang; Derry Angling Kesuma
Consensus : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 1 No. 3 (2023): Februari
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (641.084 KB)

Abstract

AbstrakPada hakekatnya hukum diciptakan di dalam pergaulan hidup bermasyarakat, baik dalam lingkungan kecil maupun dalam lingkungan yang lebih besar, agar di dalamnya terdapat keserasian, ketertiban, kepastian hukum dan lain sebagainya. Agar semua orang dapat bertingkah laku yang benar, harus ada ketentuan yang dapat dijadikan tolok ukur. Apabila terjadi perbuatan yang melanggar hukum atau menyimpang dari keserasian, ketertiban dan kedamaian dalam pergaulan hidup maka akan ada hukuman atau pidana berupa sanksi hukum bagi pelakunya. Sanksi hukum ini akan menimbulkan penderitaan baik secara fisik maupun secara mental bagi semua orang yang melakukan kejahatan, sehingga ia jera atau kapok untuk mengulangi kembali perbuatannya. Budaya yang terbentuk di suatu lembaga yang berjalan terus menerus terhadap korupsi dan penyuapan dapat menyebabkan korupsi sebagai hal biasa. Pelaksanaan sistem perdilan pidana, hingga saat ini belum menunjukkan kinerja secara optimal dikarenakan secara struktural tidak bersifat terpadu dalam hal konsep fungsi dan pengawasan dalam manejemen sistem peradilan/penegakan hukum tidak dalam arti luas, lemah dalam penegakan hukum sebab berkedudukan di bawah kekuasaan eksekutif (pemerintah) sehingga dalam hal-hal tertentu pelaksanaan penegakan hukum pidana mendapat pengaruh kekuasaan eksekutif dan tidak menutup kemungkinan pengaruh kekuasaan lainnya, jadi masih belum ada ketegasan mengenai perbedaan antara fungsi eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Kata kunci : Penyidik, Korupsi, Tindak Pidana AbstractCriminal acts of fraud are currently growing following the times and advances in technology. Legal regulations are made to anticipate this, but the existing regulations do not seem to reduce these crimes but have increased. This study aims to: first, determine law enforcement against criminal acts of fraud based on e-commerce; and second, knowing the inhibiting factors in enforcing criminal law against criminal acts of e-commerce based fraud. The results of the study illustrate that the crime of fraud based on e-commerce is in principle the same as fraud in the conventional way, but the difference lies in the evidence or means of action, namely using electronic systems (computers, internet, telecommunication devices). Therefore law enforcement regarding this crime of fraud should still be accommodated by the Criminal Code through article 378, and to strengthen the legal basis it can also be accommodated through Article 28 paragraph (1) of Law Number 19 of 2016 concerning Information and Electronic Transactions. As a special law (Lex Specialist Derogat Lex Generale), the ITE Law can at least become a guideline and legal basis for members of the public in their activities in cyberspace. Keywords: Law Enforcement, Transactions, Buying and Selling, Online
PENYELESAIAN SENGKETA PERALIHAN HAK ATAS TANAH MELALUI JUAL BELI DI BAWAH TANGAN Aldhi Arrahman; Bagus Kurniawan; Ayu Faradilla; Muhammad Syahrul Rafli; Liga Alakbar
Consensus : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 1 No. 3 (2023): Februari
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (648.184 KB)

Abstract

AbstrakPerjanjian jual beli tanah di bawah tangan tersebut tetap rawan, karena tidak memberikan kepastian hukum. Kepastian hukum adalah keadaan dimana suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak terdapat kekaburan norma atau keraguan (multitafsir) dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Sertipikat tanah menjadi hal yang penting bagi masyarakat karena merupakan bukti yang kuat dan sah secara hukum atas kepemilikan bidang prosedur dan tata cara yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menerangkan siapa yang mempunyai hak, kalau ada disertai turunan surat-surat jual beli tanahnya. Tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak, sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 sub b. Pelaksanaan jual beli tanah pada hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada pihak lain, yaitu dari pihak penjual kepada pihak pembeli tanah. Dalam proses pelaksanannya tidak mungkin dilaksanakan balik nama tanpa melibatkan PPAT, maka berdasarkan ketentuan perbuatan hukum jual beli tanah yang dilakukan dihadapan PPAT dapat dibuktikan dengan Akta Jual Beli (AJB) tanah yang dibuat oleh PPAT. Kata kunci : Sengketa, Tanah, Jual Beli AbstractThe private land sale and purchase agreement remains vulnerable, because it does not provide legal certainty. Legal certainty is a situation where a regulation is made and promulgated with certainty because it regulates clearly and logically. Clear in the sense that there is no ambiguity or doubt (multiple interpretations) and logical in the sense that it becomes a system of norms with other norms so that they do not clash or cause norm conflicts. Land certificates are important for the community because they are strong and legally valid proof of ownership in the field of procedures and procedures in accordance with the applicable laws and regulations. Explain who has the rights, if any, accompanied by derivatives of the land sale and purchase documents. Proof of valid citizenship from those who have rights, as referred to in Article 2 sub b. The implementation of buying and selling land is essentially a transfer of land rights to another party, namely from the seller to the land buyer. In the implementation process it is not possible to transfer the name without involving the PPAT, so based on the provisions of the legal act of buying and selling land carried out before the PPAT, it can be proven by a land sale and purchase deed (AJB) drawn up by the PPAT.. Keywords: Dispute, Land, Buying and Selling.
AKIBAT HUKUM SERTIFIKAT HAK GUNA USAHA YANG DITERBITKAN OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL KARENA KESALAHAN PROSEDUR PENERBITAN SK IZIN LOKASI M. Dwi Yogananto; Mohammad Omar Braddley; Muhammad Ridho Chalik; Muhammad Farhan; Abdul Rasid; Rusmini Rusmini
Consensus : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 1 No. 3 (2023): Februari
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (631.142 KB)

Abstract

AbstrakIjin lokasi yaitu ijin tertulis yang diberikan kepada perusahaan atau perorangan dalam rangka memberikan pengarahan lokasi penanam modal sesuai dengan rencana Tata Ruang Wilayah dan sekaligus sebagai ijin untuk memperoleh tanah yang diperlukan. Prosedur pemberian Hak Guna Usaha secara jelas telah diatur dalam Pasal 20 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999. Terhadap perusahaan yang mendaf-tarkan hak guna usahanya tidak memenuhi prosedur pemberian izin lokasi akan berakibat hukum pembatalan sertifikat hak guna usaha sebagaimana disebutkan di atas maka berdasarkan Bagian kedua Pasal 106 Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, dan Pasal 107 Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan Rekomendasi kepada pemerintah perlu adanya suatu peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan yang berkaitan dengan kebijakan pengambilan putusan mengenai pembatalan hak atas tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya. Kata kunci : Sertifikat, Hak Guna Usaha, Badan Pertanahan Nasional. AbstractLocation permit, namely a written permit given to a company or individual in order to provide directions for the location of investors in accordance with the Regional Spatial Plan and at the same time as a permit to obtain the required land. The procedure for granting usufructuary rights is clearly regulated in Article 20 of the Regulation of the Minister of Agrarian Affairs/Head of BPN Number 9 of 1999. Companies that register their usufructuary rights do not comply with the procedure for granting location permits, which will result in the cancellation of the usufructuary certificate as stated in above, based on the second part of Article 106 of Regulation of the Minister of State for Agrarian Affairs Number 9 of 1999 concerning Procedures for Granting and Cancellation of State Land Rights and Management Rights, and Article 107 of Regulation of the Minister of State for Agrarian Affairs Number 9 of 1999 concerning Procedures for Granting and Cancellation of State Land Rights and Right to Management Recommendation to the government that there is a need for a law and implementation regulation related to the decision-making policy regarding the cancellation of land rights by the Head of the Regency/Municipal Land Office. Keywords: Certificate, Cultivation Right, National Land Agency.
KECAKAPAN BERTINDAK DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS Muhammad Aryo Leonardo; Keken Triwiyogo; Nur Apriani; Ra. Febryanti Putri; Rizqo Laila Nuzulla
Consensus : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 1 No. 3 (2023): Februari
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (581.793 KB)

Abstract

AbstrakHal yang harus diperhatikan dalam peristiwa yang dikatakan perbuatan hukum adalah akibat, oleh karena itu akibat dapat dianggap sebagai kehendak dari sipembuat (sipelaku). Jika akibatnya tidak dikehendaki sipelaku, maka perbuatan itu bukan perbuatan hukum. Jadi adanya kehendak agar dikatakan sebagai perbuatan hukum, perlu diperhatikan unsurnya yang esensil yang merupakan hakekat dari perbuatan hukum itu. Kecakapan Bertindak Dalam Melakukan Perbuatan Hukum Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris berdasarkan Pasal 39 ayat (1) menentukan bahwa dewasa adalah 18 tahun, maka usia dewasa ini hanya bisa diterapkan pada akta-akta yang berkaitan dengan akta yang notaris saja, yaitu akta-akta yang bersifat umum, berkaitan langsung dengan pihak ketiga dan berkaitan dalam dunia usaha. Misalnya yaitu akta : Pendirian Perseroan Terbatas (PT), Pendirian CV, Pendirian Yayasan, Kuasa Untuk Menjual, Perjanjian Sewa Menyewa, Perjanjian Jual Beli, Perjanjian Kerjasama, Perjanjian Kontrak Kerja. Dalam melakukan perbuatan hukum memerlukan kecakapan bertindak,dan kecakapan bertindak dipengaruhi oleh kedewasaan dan kedewasaan sendiri dipengaruhi oleh umur. Dalam pelaksanaanya belum adanya keseragaman mengenai umur dewasa dari pemerintah, jadi sebaiknya ada satu undang-undang yang menentukan batasan usia dewasa, sehingga ada kejelasan patokan umur dewasa dan dianggap cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Kata kunci : Notaris, Kecakapan Bertindak, Perbuatan Hukum AbstractThe thing that must be considered in an event that is said to be a legal act is the result, therefore the result can be considered as the will of the maker (the actor). If the result is not desired by the perpetrator, then the action is not a legal action. So if there is an intention to be said as a legal act, it is necessary to pay attention to its essential elements which are the essence of the legal action. Proficiency in Acting in Performing Legal Actions After the Enactment of Law No. 30 of 2004 concerning the Position of a Notary, based on Article 39 paragraph (1) stipulates that the adult is 18 years old, so this adult age can only be applied to deeds related to notary deeds, namely deeds that are general in nature, directly related to third parties and related in the business world. For example, deed: Establishment of a Limited Liability Company (PT), Establishment of a CV, Establishment of a Foundation, Authorization to Sell, Lease Agreement, Sale and Purchase Agreement, Cooperation Agreement, Work Contract Agreement. In carrying out legal actions requires the ability to act, and the ability to act is influenced by maturity and maturity itself is influenced by age. In its implementation, there is no uniformity regarding the age of adulthood from the government, so there should be one law that determines the age limit for adulthood, so that there is clarity on the benchmark for the age of adulthood and is considered competent in carrying out legal actions. Keywords: Notary, Acting Skills, Legal Action
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE (E-COMMERCE) Dina Hernida; Salsabila Nurul Utami; Atika Purnamasari; Indah Ade Puspita; M. Noval Akbar
Consensus : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 1 No. 3 (2023): Februari
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (532.742 KB)

Abstract

Abstrak Perkembangan Hukun bisnis saat ini berkembang dengan pesat. Dengan teknologi yang maju membuka mata dunia akan sebuah dunia baru, market place baru, dan sebuah jaringan bisnis dunia yang tanpa batas. di Indonesia mulai berkembang transaksi jual beli online (e-commerce) dengan kemajuan tersebut menimbulkan masalah hukum, sehubungan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan adanya transaksi jual beli online (e-commerce) memberikan kemudahan bagi penjual dalam melakukan aktivitas penjualan dan memudahkan pembeli untuk membeli barang sesuai dengan kebutuhannya, artikel ini akan membahas bagaimana perlindungan konsumen dalam transaksi jual beli online (e-commerce) dan bagaimana mengatur peraturan hukum di Indonesia terkait dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan sarana penyelesaian masalah hukum yang berkaitan dengan konsumen dan bisnis. Kata Kunci : Hukum Konsumen, E-Commerce Abstract The development of business law is currently growing rapidly. With advanced technology, it opens the world's eyes to a new world, a new market place, and an unlimited world business network. In Indonesia, online buying and selling transactions (e-commerce) have begun to develop, with these advances causing legal problems, in connection with Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection with online buying and selling transactions (e-commerce) providing convenience for sellers in conducting sales activities and make it easier for buyers to buy goods according to their needs, this article will discuss how consumer protection in online buying and selling transactions (e-commerce) and how to regulate legal regulations in Indonesia related to the Consumer Protection Act and means of resolving legal problems related to consumers and business.
TINDAK PIDANA CYBERSPACE DALAM AKSES ILEGAL TERHADAP BOCORNYA DATA INFORMASI PUBLIK Annisa Indah Pertiwi; Eviana; Tiara Febriyanti; Warmiyana Zairi Absi
Consensus : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 1 No. 3 (2023): Februari
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (918.958 KB)

Abstract

AbstrakPerkembangan teknologi jaringan komputer global atau internet telah menciptakan dunia baru yang dinamakan Cyberspace (Dunia Maya). Dengan munculnya internet ini banyak masyarakat yang memanfaatkan Cyberspace untuk mengakses informasi melalui media sosial, melakukan transaksi bisnis dan dapat berkomunikasi tanpa batas. Cyberspace dapat mendekatkan orang yang jauh begitu pula sebaliknya, adanya interaksi tersebut juga dapat menimbulkan konflik. Salah satunya berupa masalah privasi yang rentan terhadap tindak pidana yakni Cybercrime atau yang dikenal dengan kejahatan dunia maya. Cybercrime (kejahatan dunia maya) salah satunya yaitu Akses Ilegal. Akses ilegal inilah yang menyebabkan hilangnya ruang privasi masyarakat. Bocornya data informasi publik yang mana merupakan sebuah tindak kejahatan yang menimbulkan dampak buruk bagi seseorang yang data informasinya dicuri atau dibocorkan. Hal itu dapat di tindak secara pidana melalui Undang-Undang No.19 Tahun 2016 yang merupakan Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai bentuk perlindungan bagi korban dari Cybercrime. Kata Kunci: Cyberspace, Cybercrime, Akses Ilegal, Tindak Pidana. AbstractThe development of global computer network technology or the internet has created a new world called Cyberspace (Cyberspace). With the advent of the internet, many people take advantage of Cyberspace to access information through social media, conduct business transactions and be able to communicate indefinitely. Cyberspace can bring people who are far away closer and vice versa, the existence of these interactions can made conflicts. One of them is in the form of privacy problems that are vulnerable to criminal acts, namely Cybercrime or known as cybercrime. Cybercrime (cyber in crime) is Illegal Access. This illegal access that leads to the loss of people's privacy space. Leaking public information data which is a crime that has a bad impact on someone whose information data is stolen or leaked. This can be criminalized through Law No.19 of 2016 which is an Amendment to Law No.11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions (ITE) as a form of protection for victims of Cybercrime. Keywords: Cyberspace, Cybercrime, Illegal Access, Criminal Acts