cover
Contact Name
Fiska Maulidian Nugroho
Contact Email
fiska.fh@unej.ac.id
Phone
+6282229813506
Journal Mail Official
jak@unej.ac.id
Editorial Address
Jl. Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto, Fakultas Hukum Universitas Jember, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur
Location
Kab. jember,
Jawa timur
INDONESIA
Jurnal Anti Korupsi
Published by Universitas Jember
ISSN : -     EISSN : 29860741     DOI : https://doi.org/10.19184/jak
JURNAL ANTI KORUPSI is an open-access and peer-reviewed law journal. It is journal part of the Faculty of Law, University of Jember, Indonesia. The publication contains a rich store of legal literature analyzing the legal development of Indonesia. This journal is concerned to anti-corrpution issues.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 41 Documents
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi: Analisis UU Perbankan dan Tanggungjawab Bank atas Kejahatan Karyawan Dwiki Agus Hariyono; I Gede Widhiana Suarda; Samuel Saut Martua Samosir
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 11 No 1 (2021): Mei 2021
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v3i1.27572

Abstract

Tindak Penelitian normatif ini bertujuan untuk meneliti doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi yang ada dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan serta meneliti pertanggungjawaban sebuah bank terhadap kejahatan dari karyawannya. Penelitian ini menggunakan metode deduksi dan bahan hukum dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian yang didapat menjelaskan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan terdapat satu doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi yang dapat ditemukan pada Pasal 46 ayat (2) yaitu vicarious liability doctrine. Apabila dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana dan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebut saja Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ketiga peraturan tersebut formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi memiliki perbedaan dalam hal pembebanan pertanggungjawaban secara pidana dan sanksi pidana yang dapat dikenakan, kemudian apabila karyawan melakukan kejahatan maka bank atau korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana hanya sebatas sanksi administratif.
Perkembangan Modus Operandi Money Laundering Sebagai Transnational Crime Ditinjau Dari Kajian Kejahatan Internasional Modern Sylla Fania Putri; Devina Arvianti; Fidela Farelia Widya Sari; Maylafasya Bhitrisyana
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 12 No 2 (2022): November 2022
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v12i2.38813

Abstract

Dengan perkembangan teknologi informasi dan globalisasi di dalam bidang keuangan, telah terjadi peningkatan volume perdagangan komoditas dan jasa serta aliran uang yang terkait. Perkembangan teknologi tidak selalu membantu suatu bangsa. Semakin luas jangkauan kegiatan komersial yang dapat dilakukan melalui penggunaan kemajuan teknologi, semakin menarik pula bagi pelaku kejahatan untuk menggunakan teknologi sebagai sarana untuk melakukan kejahatan yang melibatkan kegiatan ekonomi. kecepatan perubahan dalam dunia kejahatan menjadi lebih canggih dan terorganisir dengan baik, hal itu mengakibatkan sulit untuk mendeteksi, terutama pada kejahatan lintas negara atau transnational crime. Salah satu bentuk kejahatan lintas negara yang sangat mengganggu berbagai negara adalah pencucian uang (money laundering). Pencucian uang (money laundering) merupakan tindakan untuk memproses uang hasil tindak kriminal untuk menyamarkannya menjadi uang legal dan mengubah keuntungan dari suatu kegiatan illegal menjadi asset yang seolah-olah legal. Modus pencucian uang (money laundering) kian hari semakin berkembang mengikuti perkembangan dunia yang berjalan. Tindak pencucian uang (money laundering) yang berawal dari modus- modus sederhana kini telah berkembang menjadi modus yang lebih rumit dan sulit dibuktikan. Pemberantasan tindak pencucian uang ini juga diperlukan kerjasama baik antar negara- negara di dunia karena pencucian uang telah melampaui batas-batas negara dan merupakan transnational crime. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pencucian uang merupakan tindak kejahatan yang memerlukan beberapa tahapan dalam pelaksanaannya tahapan-tahapan tersebut diantaranya adalah placement, layering, intregation. Pencucian uang (money laundering) memiliki beberapa modus yang berkembang selama kejahatan pencucian uang ini beredar di dunia. Beberapa modus pencucian. Maka perlu kita ketahui bagaimana perkembangan modus operandi money laundering saat ini di dunia international
Gratifikasi dalam Lingkungan Pendidikan di Indonesia: Sebuah Tantangan dalam Dunia Pendidikan yang Berkemajuan Mocammad Azmi; Mikail Alif Ferdiyan; Yohanes Andrey Pardosi; Teguh Prio Ganda Sembiring; Anugrah Marga Christian
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 3 No 2 (2013): Edisi November 2013: Studi Kasus dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Telaah Pera
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v3i2.39591

Abstract

Kasus korupsi sekarang terdapat istilah pemberian “hadiah-hadiah” yang tidak berwujud namun memberikan kesenangan dan pengaruh kepada kinerja publik. Istilah pemberian kemudian berkembang dengan munculnya istilah gratifikasi yang terdapat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang selanjutnya disingkat menjadi UU PTPK). Pasal 12B UU PTPK mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, komisi, pinjaman tanpa bunga, perjalanan wisata dan fasilitas lainnya. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah begitu meluas. Praktek korupsi pada masa sekarang mengalami perkembangan dengan munculnya praktek-praktek baru yang memanfaatkan celah atau kelemahan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Pemberitaan mengenai gratifikasi yang mengarah kepada suap seakan tiada habisnya, setiap satu permasalahan, khususnya mengenai gratifikasi, dan umumya mengenai korupsi muncul lagi masalah lainnya menyangkut gratifikasi ataupun korupsi. Pada dasarnya gratifikasi bukanlah hal yang negatif dan hal yang salah, namun dasar pembentukan peraturan tentang gratifikasi atau pemberian ini merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat mempunyai dampak yang negatif dan dapat disalahgunakan, khususnya dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik sehingga unsur ini diatur dalam perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi.
Rekonseptualisasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Analisis Relevansi Hukuman Pidana Mati di Masa Pandemi Covid-19 Rinda Nur Afifah
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 12 No 1 (2022): Mei 2022
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v4i1.34345

Abstract

Penerapan hukuman mati terhadap koruptor di masa Pandemi Covid-19 menuai pro kontra di masyarakat. Argumentasi kontra hukuman mati menyatakan bahwa sanksi pidana mati tidak sesuai dengan hak hidup yang merupakan hak yang melekat pada diri manusia sejak ia lahir. Dalam menerapkan hak asasi manusia, keseimbangan antara hak dan kewajiban dibutuhkan. Hal ini bertentangan dengan adanya sanksi pidana mati terhadap koruptor yang telah diatur dalam konstitusi Negara Indonesia, tepatnya pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, sanksi pidana mati merupakan bentuk perampasan hak hidup individu yang seharusnya dilindungi oleh Negara. Bukankah sanksi pidana mati yang dilegitimasi ini menunjukkan bahwasanya terjadi disharmoni antar undang-undang yang ada di Indonesia. Pasalnya, hak hidup juga diatur dalam undang-undang, tepatnya pada Pasal 28A UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis relevansi penerapan hukuman mati terhadap koruptor saat Pandemi Covid-19 melalui perspektif hak asasi manusia. Metode yang digunakan dari tulisan ini adalah metode doctrinal dan penelitian yang berorientasi pembaruan dengan cara mengkaji bahan hukum primer yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan merumuskan ide maupun gagasan pembaruan undang-undang dilihat dari kekurangan dan relevansi undang-undang tindak pidana korupsi terhadap hak asasi manusia sehingga dapat dirumuskan mengenai rekonseptualisasi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi agar sesuai dengan kepastian hukum, kemanfaatan serta keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Rekonstruksi Perspektif Hak Asasi Manusia terhadap Penjatuhan Pidana Mati Tindak Pidana Korupsi dalam 'Keadaan Tertentu' Pamus Sukma Yudana; Enditianto Abimanyu
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 11 No 1 (2021): Mei 2021
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v3i1.27132

Abstract

Tindak pidana korupsi tergolong sebagai extraordinary crime, sehingga untuk memberantasnya dibutuhkan extraordinary instrument. Pidana mati sebagai extraordinary instrument tercantum dalam klausul Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahwa pasal 2 ayat 2 tersebut menjelaskan bahwa pidana mati dapat dijatuhkan pada korupsi yang dilakukan dalam ‘keadaan tertentu’. Walaupun belum pernah ada putusan demikian, hal tersebut tentunya menciptakan pertentangan norma, yang menimbulkan berbagai miskonsepsi tafsir dan penerapan hukum atas Pidana Mati dalam UU Tipikor. Tujuan utama daripada penelitian ini adalah untuk memberikan konstruksi yang jelas dan komprehensif terkait tafsir HAM yang tepat untuk penerapan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Pisau analisis yang digunakan dalam meneliti rumusan masalah diatas menggunakan metode Penelitian Hukum (legal research). Penulis dalam hal ini menggunakan pendekatan peraturan perundang- undangan (Statute Approach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, konstruksi pemikiran HAM yang tepat atas Pidana Mati UU Tipikor adalah; (1) Pidana Mati dalam UU Tipikor adalah upaya negara melalui sarana penal untuk menciptakan keadilan (retributive justice); (2) Pidana Mati Korupsi dalam ‘Keadaan Tertentu’ merupakan perlindungan HAM masyarakat terdampak krisis nasional serta pemenuhan rasa keadilan (sense of justice) bagi warga negara.
PERAN NOTARIS DALAM PRINSIP MENGENALI PENGGUNA JASA UNTUK PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI Andika Putra Eskanugraha; Rizky Eka Safitri Wirawan
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 13 No 2 (2023): Perkembangan dan Dinamika Pemberantasan Korupsi: Suatu Telaah Konstruktif di Akh
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v13i2.44873

Abstract

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan kerah putih yang dilakukan oleh orang profesional dan memiliki kewenangan dalam jabatan. Kejahatan ini merugikan banyak orang atau warga negara yang dirugikan karena nominal kerugian uang negara tinggi, tidak dapat dimanfaatkan sebagai program pemerintah untuk masyarakat, menjadi tindak pidana yang sukar dibuktikan dan diputus secara hukum. Pencegahan tindak pidana korupsi diinisiasi oleh KPK dan PPATK sebagai lembaga negara non kementerian dan aparat penegak hukum yang lain memiliki kewenangan melalui peraturan perundang – undangan. Profesi jabatan Notaris juga dibebankan tanggungjawab dalam hal mengenali pengguna jasa untuk mencegah dan melaporkan transaksi keuangan mencurigakan supaya meminimalisir adanya tindak pidana mencucian uang. Hasil korupsi selalu dikaburkan dengan mencucian uang supaya kabur tindak pidananya. Peran Notaris dalam pembuatan akta harus menerapkan prinsip ini dengan mengajukan mengisi Formulir Customer Due Diligence Korporasi/Perorangan pada penghadap dan melaporkannya (pada PPATK) jika transaksi tersebut tidak sesuai dengan profiling penghadap yang bertransaksi. Kata Kunci: Peran Notaris, Prinsip Pengenalan, Korupsi
Delik Suap dan Gratifikasi dalam Tindak Pidana Korupsi: Studi Kasus Putusan Hakim dalam Praktik Penegakan Hukum Muhammad Paeway Ebiem Kahar; Khoirul Lukman Rahmatullah; Faza Yuris; Ainul Azizah; Sapti Prihatmini
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 13 No 1 (2023): Mei 2023
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v13i1.40007

Abstract

ABSTRAK Praktik gratifikasi dan suap yang dilakukan oleh pejabat negara merupakan suatu masalah yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia. Sepanjang ini perumusan peraturan mengenai perbuatan gratifikasi dan suap dibedakan berdasarkan adanya yang diperjanjikan. Artinya suap dapat berupa janji, sedangkan gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas dan bukan janji. Melalui putusan nomor Nomor 68/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Jkt.Pst perlu dipahami lebih lanjut bagaimana putusan tersebut memaknai suap dan gratifikasi dalam konteks tindak pidana korupsi. Penelitian ini bertujuan untuk menggali pemaknaan dan interpretasi hukum terkait suap dan gratifikasi dalam putusan pengadilan tersebut. Metode yang digunakan adalah analisis isi terhadap putusan pengadilan, dengan mengidentifikasi argumen hukum yang digunakan, pendekatan hukum yang diadopsi, dan pertimbangan yang diberikan oleh hakim. Hasil analisis menunjukkan bahwa putusan pengadilan tersebut memberikan pengertian yang jelas mengenai suap dan gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi. Dalam konteks ini, suap diartikan sebagai pemberian atau janji pemberian kepada pejabat publik dengan tujuan mempengaruhi keputusan atau tindakan pejabat tersebut. Sementara itu, gratifikasi diartikan sebagai pemberian hadiah atau imbalan kepada pejabat publik sebagai bentuk penghargaan atau imbalan atas tindakan atau keputusan yang telah diambil.
Sanksi Pidana Mati Terhadap Pelaku Korupsi Saat Bencana Alam: Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XVII/2019 Dinar Yustila Damayanti; Chintya Dwi Lestari; Fina Fachrun Nisak; Yunita Rizqi Hidayah; Riski Putri Ayu Ningsih
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 3 No 1 (2013): Edisi Mei 2013: Studi Kasus dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Mendalami Fenome
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v3i1.38852

Abstract

Bencana alam adalah kejadian yang sering terjadi dan disebabkan oleh fenomena alamiah yang bersifat merusak dan mengancam keselamatan lingkungan serta manusia. Dampak dari bencana alam sangat besar, tidak hanya kerugian secara materiil namun juga menyebabkan hilangnya nyawa manusia. Bencana alam dapat terjadi kapanpun dan dimanapun serta korban bencana alam yang berstatus nasional ataupun bukan bencana nasional perlu mendapatkan bantuan dari semua pihak terutama Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sebagai pihak yang diberikan tanggung jawab atas bencana yang menimpa warga negaranya. Penulisan ini dilatarbelakangi oleh Putusan Nomor 4/PUU-XVII/2019. Metode penelitian yang akan digunakan yaitu metode penelitian normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan serta bahan primer dan sekunder. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain: (1) Mengetahui penanganan terkait kasus bencana alam berstatus nasional maupun bukan bencana alam nasional (2) Mengetahui dana yang dikeluarkan APBN atau APBD yang diperuntukan untuk penanggulangan bencana alam (3) Mengetahui pemberatan sanksi pidana saat terjadinya Korupsi ketika adanya bencana alam.Salah satu kasus bencana alam yaitu tsunami yang terjadi di daerah di Donggala, Palu, Sulawesi Tengah tahun 2018 merupakan salah satu contoh kasus bencana alam yang memilukan dan memerlukan perhatian penuh dari pemerintah. Namun, bencana alam ini tidak dikategorikan menjadi bencana alam nasional dengan alasan pemerintah daerah di wilayah Sulawesi Tengah masih berjalan dan pemerintah dinilai sanggup untuk membantu para korban bencana alam. Namun, dalam penanganannya pemerintah dipandang gagal dikarenakan Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) terhadap korban terdampak akan tetapi dana proyek tersebut dikorupsi oleh pejabat setempat. Artinya hal ini terkesan menjadi pelindung bagi para pelaku tindak pidana korupsi untuk terbebas dari rasa ketakutan ketika melakukan korupsi di wilayah yang sedang mengalami bencana alam, sepanjang tidak mendapatkan status sebagai bencana alam nasional.
Praperadilan Atas Kasus Dugaan Korupsi Bank Century (Studi Putusan No. 24/Pid.Pra/2018.Jkt.Sel) Dodik Prihatin; Halif Halif; Alif Nando Prayoga A
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 11 No 2 (2021): November 2021
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v3i2.32334

Abstract

Tak sedikit kasus korupsi yang penanganannya menggantung selama bertahun-tahun. Alasan penangguhan kasus korupsi tersebut didasarkan pada fakta bahwa KPK tidak diberi wewenang untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan atau menerbitkan SP3. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat merugikan tersangka karena kasusnya telah ditangguhkan selama bertahun-tahun. Seperti yang terjadi pada kasus korupsi bank century ini. Dimana kasus ini bermula pada tahun 2008. Kemudian pada tahun 2014. Budi Mulya sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam kasus korupsi bank century ini divonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, pihak lain yang diduga turut serta dalam kasus korupsi bank century ini digantung atau dibungkam hingga pada tahun 2018 MAKI mengajukan permohonan praperadilan untuk keenam kalinya yang sebelumnya selalu ditolak oleh hakim praperadilan dengan berbagai alasan. Dalam permohonannya, MAKI menduga KPK telah menghentikan penyidikan kasus korupsi bank century yang melibatkan Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk. Dalam putusannya hakim memutuskan mengabulkan permintaan MAKI dengan memerintahkan KPK untuk segera menetapkan tersangka kepada Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk, atau melimpahkan kasus korupsi bank Century kepada polisi atau kejaksaan sehingga SP3 dapat dikeluarkan jika memang tidak ditemukan bukti yang cukup. Permohonan MAKI dan Putusan Praperadilan dengan Nomor Perkara: 24/Pid/Pra/2018/PN.Jkt. Sel dianggap aneh dan tidak sesuai dengan KUHAP dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan penulis menggunakan pendekatan penelitian undang-undang dan konseptual. Bahan hukum yang digunakan penulis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Analisis bahan hukum yang digunakan penulis adalah analisis bahan hukum sekunder. Dalam kompetensi Pasal 77 KUHAP karena KPK tidak berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan atau menerbitkan SP3 sesuai dengan yang telah dijelaskan dalam Pasal 40 UU KPK sehingga KPK tidak tidak berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan. Kedua, terkait pertimbangan hakim yang dalam putusannya memerintahkan KPK untuk melimpahkan perkara korupsi bank century ke polisi atau kejaksaan, juga tidak tepat dan bertentangan dengan UU KPK, terutama terkait dengan nominal kerugian negara yang sebesar di atas 1 miliar rupiah yang harus ditangani KPK secara independen. Saran dari penelitian ini adalah dalam rangka memberikan perlindungan berupa hak tersangka dan demi terciptanya kepastian hukum, perlu adanya pedoman terkait jangka waktu penanganan perkara korupsi baik pada tahap penyidikan maupun penyidikan sebagai apa yang telah diterapkan pada penanganan perkara pidana umum yang mempunyai jangka waktu tertentu setiap kali, baik menangani kasus ringan, sedang, dan sulit.
Konsepsi Putusan Bebas dalam Tindak Pidana Korupsi yang terdapat Kerugian Negara Fiska Maulidian Nugroho, S.H., M.H.
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 11 No 1 (2021): Mei 2021
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v3i1.27573

Abstract

Article 32 paragraph (2) of the Anti-Corruption Law regulates the right to claim losses on state finances. The claim can be made even though there is an acquittal against the defendant. Since the Constitutional Court Decision No. 114/PUU-X/2012, an acquittal may be taken as a legal remedy in the form of a cassation. With the Constitutional Court's decision, the regulation regarding the process of claiming losses on state finances has experienced many conflicts, especially in terms of interpreting the contents of Article 32 paragraph (2) of the Anti-Corruption Law until the legal process. This matter will have an influence on aspects of legal certainty for the defendant, the institution of an acquittal institution itself which is interpreted to have the same meaning between acquittal (vrijpraak) and the acquittal of all lawsuits contained in the Corruption Act, and the aspect of guilt as the basis of reason. A compensation claim is filed until the scope of this ne bis in idem becomes part of the research object. This study uses a doctrinal legal research method using a statutory approach and a conceptual approach. The conclusion in this study is the acquittal of the decision before the Constitutional Court Decision No. 114/PUU-X/2012 provides an opportunity for the Public Prosecutor to take legal action in the form of cassation, in addition to being allowed to be a party to a claim for compensation due to state financial losses, although on the other hand the principle of ne bis in idem can be considered applicable. In the future application of this law.