cover
Contact Name
Fiska Maulidian Nugroho
Contact Email
fiska.fh@unej.ac.id
Phone
+6282229813506
Journal Mail Official
jak@unej.ac.id
Editorial Address
Jl. Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto, Fakultas Hukum Universitas Jember, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur
Location
Kab. jember,
Jawa timur
INDONESIA
Jurnal Anti Korupsi
Published by Universitas Jember
ISSN : -     EISSN : 29860741     DOI : https://doi.org/10.19184/jak
JURNAL ANTI KORUPSI is an open-access and peer-reviewed law journal. It is journal part of the Faculty of Law, University of Jember, Indonesia. The publication contains a rich store of legal literature analyzing the legal development of Indonesia. This journal is concerned to anti-corrpution issues.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 41 Documents
Penerapan Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi tanpa Pemidanaan dalam Perspektif Hukum Pidana Dandi Caliano Anugerah; U'ul Maliyah; Intan Putri Dwi Agustin; Muhammad Rifki Pradana; Tejo Hendri Pangistu
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 3 No 2 (2013): Edisi November 2013: Studi Kasus dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Telaah Pera
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v3i2.38851

Abstract

Korupsi merupakan salah satu bentuk tindak pidana berupa penggelapan serta perampasan uang negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum, tentunya tindak pidana korupsi merupakan perbuatan pidana yang sangat merugikan negara maupun masyarakat. Korupsi merupakan salah satu urgensi atau masalah besar yang harus diatasi khususnya di Indonesia yang menjadi isu hangat belakangan ini, namun angka korupsi masih sangat sulit untuk ditentukan jumlahnya karena banyak tindak korupsi yang belum diketahui. Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan kabar terkait kasus korupsi, yaitu dalam setahun KPK mengurus 74 kasus dan menetapkan 274 tersangka dalam jangka waktu satu tahun. Kasus tindak pidana korupsi bisa terjadi karena beberapa faktor, yaitu gaya hidup, dan dilakukan karena adanya dorongan dari pihak lain. Dalam kasus tindak pidana korupsi, Negara berhak untuk melakukan perampasan aset. Dengan diterapkannya perampasan aset hasil tindak pidana korupsi tanpa pemidanaan ialah suatu bentuk pengembalian aset negara yang bertujuan memaksimalkan penerapan tindak pidana agar tidak terjadi suatu permasalahan baru dan sebagai wujud ganti rugi atau pengembalian keuangan negara dengan maksud untuk memberikan sanksi kepada pelaku dengan mengurangi aset kekayaan mereka. perampasan aset juga memiliki manfaat bagi masyarakat yaitu hasil dari perampasan tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengadaan program sosial serta pembangunan yang lebih baik dan memiliki manfaat bagi masyarakat serta negara. Tujuan dibuatnya jurnal ini adalah untuk mengetahui apakah penerapan atau implementasi perampasan aset hasil tindak korupsi lebih baik atau tidak daripada melakukan pemidanaan. Dengan metode deskriptif yang bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai suatu masalah yang sedang terjadi saat ini dan yang terjadi pada saat penelitian dilakukan. KEYWORDS: Korupsi, Tindak Pidana, Perampasan Aset
Urgensi Pemiskinan Koruptor sebagai Bentuk Ius Constituendum dalam Penegakan Hukum di Indonesia (Studi Putusan Nomor 1146 K/Pid.Sus/2010) Susandi Decapriu Putra Pamungkas; Gloria Puspa Wardhana; Shafwah Humairah Vialdy; Agustinus Andre Sinaga; Siti Alvina
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 3 No 1 (2013): Edisi Mei 2013: Studi Kasus dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Mendalami Fenome
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v2i1.38698

Abstract

Penegakan terhadap kasus korupsi di Indonesia tidak akan mencapai idealisme masyarakat, dimana diskriminasi sistemik tidak lagi tersumbang akibat mengakarnya tindak pidana korupsi yang masih dilanggengkan oleh pemangku jabatan negara, jika tindakan preventif serta represif kehilangan atas ketegasannya dalam realitas dogmatik. Di Indonesia praktik korupsi sudah semakin menggurita, baik di tingkat daerah maupun pusat. Korupsi, sebuah delik kejahatan luar biasa (extraordinary crime) tentu akan memberi dampak kerugian dan kesengsaraan hajat hidup orang banyak. Upaya pemberantasan korupsi sejatinya telah direalisasikan pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie yang kemudian seiring berkembangnya zaman termuat dalam UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berbicara mengenai pemiskinan koruptor sejalan dengan adanya peristiwa korupsi yang dilakukan oleh Gayus Tambunan pada tahun 2011 silam. Putusan Pengadilan Nomor 1146 K/Pid.Sus/2010 Mahkamah Agung berpendapat bahwa Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 49/Pid.B/2010/PN.TNG tanggal 12 maret 2010 tidak dapat dipertahankan lagi. Oleh karena itu, harus dibatalkan dan mahkamah agung akan mengadili sendiri perkara tersebut. Pemiskinan koruptor yang merupakan kejahatan luar biasa hadir diharapkan akan menjadi sebuah efek jera bagi pelaku korupsi untuk tidak mengulangi perilaku perbuatannya kembali. Dengan menyita seluruh aset serta kekayaan yang dimiliki nantinya bisa memberikan dampak terpuruk yang bisa dirasakan oleh pelaku korupsi khususnya yang ada di Indonesia. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum atau biasa disebut legal research yang menitikberatkan pada pemecahan isu yang berkembang di masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan mengkolaborasikan dengan pendekatan konseptual dan pendekatan undang-undang. Kata Kunci: Pemiskinan Aset, Korupsi, Kejahatan Luar Biasa.
KORUPSI DALAM PENGALOKASIAN DANA BANTUAN COVID-19 DI KABUPATEN SAMPANG Ismahani Nurlaili
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 12 No 1 (2022): Mei 2022
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v12i1.31500

Abstract

Corruption in the public service process is not new in Indonesia, especially during the Covid-19 pandemic. The government provides Covid-19 social incentives as an effort to stabilize and restore the community's economy due to the impact of the Covid-19 pandemic, which has decreased income, which has an impact on the welfare of the community. This study uses normative juridical research methods in which it uses the approach of covid-19 social incentives corruption cases in Sampang Regency. The results showed that there was corruption in the Sampang Regency area, there was a misappropriation of the allocation of Covid-19 social incentives funds, causing state losses, in which there was a lot of overlap related to assistance funds both in cash and in the form of basic necessities. Efforts to prevent corruption in public services should be maximized by the active role of all components of both government and society. The government can maximize the performance of the Corruption Eradication Commission (KPK) and impose appropriate laws for perpetrators of corruption and innovate public services by utilizing technological developments, such as by establishing and launching an integrated social assistance Corruption Prevention information system.
Pendekatan Keadilan Restoratif oleh Kejaksaan Republik Indonesia: Sebuah Telaah Penghentian Penuntutan pada Tindak Pidana Korupsi ke Depan Basri Muhammad Ridwan Sangadji; Dwi Endah Nurhayati; Fiska Maulidian Nugroho
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 13 No 2 (2023): Perkembangan dan Dinamika Pemberantasan Korupsi: Suatu Telaah Konstruktif di Akh
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v13i2.45118

Abstract

Praktik korupsi saat ini semakin menarik untuk diperhatikan selain karena dilakukan secara sistematis, namun juga menggunakan cara-cara yang canggih dan meluas, akibatnya keuangan negara semakin terdampak. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi dikatakan sebagai kejahatan extraordinary dan pemberantasannya perlu dilakukan dengan cara khusus serta luar biasa, seperti adanya pembuktian terbalik, ancaman pidana berpola minimum khusus, pidana mati, membayar ganti kerugian negara yang tidak menghapus dipidananya pelaku, percobaan, pembantuan dan permufakatan dipidana dengan pidana yang sama. Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka korupsi tertinggi di Dunia, sejalan dengan data yang didapat dari laman Transparency International bahwa selama 3 (tiga) tahun terakhir posisi Indonesia selalu terpuruk dalam bare-minimum negara terkorup. Pada tahun 2020 Indonesia menduduki peringkat 102 dari 180 negara di dunia paling korup dengan skor 37/100. Sedangkan pada tahun 2021 Indonesia menempati posisi 96 dari 180 dengan skor 38/100. Kemudian pada tahun 2022 Indonesia menduduki posisi 110/180 dengan skor 34 dari 100. Angka tersebut semakin membuat khalayak masyarakat penuh dengan streotip stigmatisasi terhadap pemberitaan korupsi yang menganggap semua pejabat pemerintah merupakan pelaku. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis kebijakan penghentian penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan dan mengukur kesesuaian antara Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 dengan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP. Sekaligus menganalisis kesesuaian penyelesaian perkara menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif sebagaimana dalam Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tinda Pidana Khusus No. B-1113/F/Fd.1/2010 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Metode penelitian yuridis normatif digunakan dan melalui 2 (dua) pendekatannya, yakni pendekatan konseptual dan peraturan perundang-undangan yang sumbernya berasal dari bahan hukum primer dan sekunder, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih pemikiran baik bagi akademisi maupun praktisi. KATA KUNCI : Korupsi, Keadilan Restoratif, Penghentian Penuntutan
Kontroversi Penerapan Hukuman Mati dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi dan Tantangan Terhadap Eksistensi Hak Asasi Manusia serta Ekstradisi di Indonesia Muhammad Ridho Wahyu Syahputra; Addilya Sukmadewi; Ahmad Musyafa' Nur Hafidz; Enggar Hayu Pambudi
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 13 No 1 (2023): Mei 2023
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v13i1.38812

Abstract

Pembahasan mengenai tindak pidana korupsi seringkali berkesinambungan dengan sanksi yang dianggap masih jauh dari kata setuju bagi setiap kalangan, yaitu pidana mati. Pidana mati merupakan sanksi terakhir atau bisa dianggap sanksi tertinggi dari segala sanksi hukum yang ada. Sebagai negara berdaulat, Indonesia memiliki kekuasaan untuk mengatur bagaimana cara mengatasi masalah tindak pidana korupsi ini dengan berbagai kebijakan yang dibuat. Tindak pidana korupsi merupakan suatu tindakan yang merugikan banyak aspek, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara meluas, sehingga sanksi dari tindak pidana korupsi cenderung berat bahkan sampai kepada sanksi pidana mati. Sebenarnya pidana mati tidak selalu diakibatkan tindak pidana korupsi , namun seringkali yang terdengar adalah disebabkan oleh tindak pidana korupsi, sehingga tindak pidana korupsi bisa dianggap sebagai Extraordinary Crime. Selain itu akibat dari sanksi berat bagi pelaku tindak pidana korupsi sendiri tidak bertanggungjawab atas tindakannya sehingga seringkali melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari sanksi berat dengan tujuan mengamankan aset hasil tindak pidana korupsinya. Akibat dari tindakan pelaku pidana korupsi tersebut juga berakibat adanya pemberlakuan ekstradisi bagi mereka dan seringkali pembelaan para pelaku ini mengarah kepada Hak Asasi Manusia (HAM). Maka dari itu artikel ini akan membahas bagaimana sebenarnya akibat dari tindak pidana korupsi yang seringkali meluas ke tindak pidana lain yang mengakibatkan kerugian negara. Adapun tujuan melakukan penelitian artikel ini melihat sejauh mana keadilan yang dapat ditegakkan oleh negara Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif serta pendekatan secara historis untuk mendalami kasus-kasus yang akan kita diskusikan dalam artikel ilmiah ini.
Perspektif Alasan Pemberat Pidana dalam Kasus Korupsi Menteri Kelautan dan Perikanan : Penjelasan Frasa Keadaan Tertentu Lutfiah Salsabila; Muhammad Hamman Zufar; Unsiya Zulfa Ulinnuha; Eka Novian Rahmadani; Alfina Kusuma Rahmawati
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 3 No 2 (2013): Edisi November 2013: Studi Kasus dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Telaah Pera
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v3i2.38842

Abstract

Kasus korupsi merupakan salah satu kejahatan besar (extraordinary crime) yang sudah mengakar di Indonesia. Hukuman bagi para koruptor dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana, dimana koruptor dapat dijatuhi hukuman mati dalam keadaan tertentu. Salah satunya adalah korupsi yang dilakukan dimasa pandemi covid-19. Tidak sedikit pejabat yang terkena Olah Tangkap Tangan KPK, salah satunya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Jabantannya sebagai seorang menteri yang melakukan korupsi dimasa pandemi tentu menjadi alasan munculnya pemberat pidana. Oleh karena itu penting untuk menganalisis yuridis dan fakta dalam kasus ini. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis alasan pemberat pidana terutama dalam perspektif waktu terjadinya kasus korupsi saat pandemi covid-19. Tujuan akhir adalah dapat menganalisis pertimbangan hakim dalam pekara ini apakah telah mencantumkan alasan pemberat pidana sebagai mana fakta yang terungkap. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan studi kasus. Data yang digunakan dalam penelitan ini adalah data sekunder meliuti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini menggunakan teknik kualitatif yakni mengumpulkan literatur yang mendukung penelitian. Penelitian ini menunjukkan kelayakan hukuman yang diberikan kepada Edhy Prabawo atas kasus korupsi yang dilakukan dilihat dari alasan pemberat pidana. Adapun alasan pemberat pidana yakni dilakukan saat negara mengalami bencana nasional yang masuk sebagai keadaan tertentu, jabatannya sebagai seorang menteri dan kerugian yang diakibatkan. Jika dilihat sesuai fakta, seharusnya terdapat penambahan hukuman kepada terdakwa Edhy Prabowo sesuai dengan alasan pemberat pidana. Maka dari itu, diperlukan sebuah analisis yang meninjau kembali alasan pemberat pidana yang seharusnya dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim dalam memutus perkara ini.
Urgensi Perluasan Kewenangan Ombudsman Dalam Pemberian Sanksi Terhadap Pelaku Maladministrasi Perizinan Daerah Ahmad Alveyn Sulthony Ananda; Reni Putri Anggraeni
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 12 No 1 (2022): Mei 2022
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v4i1.31109

Abstract

Sebagai salah satu hak warga negara, pelayanan publik haruslah dilaksanakan dengan optimal dan penuh tanggung jawab. Terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik merupakan cita-cita setiap negara berdaulat. Dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik, pemangku kebijakan yakni pejabat publik haruslah memgang teguh prinsip umum pemerintahan yang baik dan bebas dari Korupsi, Kolusi , Nepotisme, serta maladministrasi. Namun kenyataan berbanding terbalik dengan cita yang diharapkan. saat ini banyak sekali tindakan maladministrasi yang dilakukan oleh pejabat publik di berbagai sektor. salah satu sektor yang rentan dijadikan lahan maladministrasi adalah pada sektor perizinan. Maraknya tindakan maladministrasi dikarenakan kurangnya kesadaran dan integritas para pemangku kebijakan. Oleh karenanya, dibutuhkan pengawasan baik internal maupun eksternal sebagai pendukungnya. Ombudsman yang merupakan lembaga pengawas eksternal pejabat publik, telah dibatasi kewenangannya hanya sebagai pemberi rekomendasi terhadap tindakan maladministrasi. Dibatasinya kewenangan ombudsman dalam memberikan tindakan langsung, mengakibatkan semakin maraknya tindakan maladministrasi khususnya dalam penerbitan suatu perizinan. Oleh karenanya, penulis hendak meninjau urgensi memperluas kewenangan ombudsman dalam menangani tindakan maladministrasi di bidang perizinan. Serta, bagaimanakah formulasi pembaharuan hukum dalam memperluas kewenangan ombudsman. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif/doktrinal. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan yang mengatur tentang pelayanan ublik dan ombudsman. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan kasus maladministrasi perizinan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sektor perizinan sangat rentan dijadikan lahan basah pelaku maladministrasi. hal ini selaras dengan data triwulan II dan III 2020 sebanyak 32 dan 154 laporan. sedangkan pada triwulan I dan II 2021 sebanyak 50 dan 21 laporan. Selain itu ombudsman sebagai lembaga pengawas yang berwenang menyisir tindakan maladministrasi, nyatanya dalam pemberian rekomendasi banyak tidak diindahkan oleh atasan terlapor. Ombudsman juga tidak memiliki kewenangan memutus dan menindak secara langsung pelaku maladministrasi. Oleh karenanya, sangat dipandang perlu untuk memperluas kewenangan ombudsman sebagai stabilisator pelayanan publik dengan mekanisme pembaharuan hukum.
Konsepsi Penegakan Hukum dalam Pemberantasan Korupsi di Masa Pandemi COVID-19 sebagai Perlindungan terhadap Hak-hak Masyarakat Terdampak Sendy Pratama Firdaus; Muhammad Ghifari Fradhana Bahar; Basri Muhammad Sangadji
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 11 No 1 (2021): Mei 2021
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v3i1.27136

Abstract

Tindak pidana korupsi tidak hanya menimbulkan kerugian bagi negara, tetapi masyarakat secara luas juga terdampak dari adanya tindak pidana korupsi ini. Mekanisme Restitusi yang ditawarkan dalam penelitian ini bertujuan guna melindungi hak-hak masyarakat yang terdampak dari adanya korupsi bantuan dana sosial COVID-19. Hal ini karena dalam sistem peradilan pidana di Indonesia cenderung memfokuskan terhadap perlindungan hak pelaku kejahatan atau offender centered. Pencegahan terhadap tindak pidana korupsi juga perlu dilakukan, dengan cara efektif dan efisien. Pada penelitian ini penulis melihat perlu dipertimbangkan pembentukan perwakilan KPK di setiap daerah provinsi di Indonesia. Hal ini karena agar pemberantasan korupsi bisa secara efisien dan optimal di daerah-daerah Indonesia lainnya. Selain itu, perwakilan KPK tersebut dapat memberikan pendidikan anti korupsi terhadap masyarakat dan pemuda sekitar wilayah kerjanya. Sebab eksistensi KPK sebagai state auxiliary organ yang mempunyai tugas khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi dan memiliki fungsi untuk memberikan pendidikan anti korupsi dan kampanye anti korupsi kepada masyarakat. Selain itu, KPK perlu membangun sinergi bersama Kejaksaan, dan Kepolisian dalam memberantas tindak pidana korupsi. Ketiga lembaga tersebut diberikan amanat oleh peraturan perundang-undangan agar mampu memberantas tindak pidana secara optimal dan maksimal. Penelitian menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan metode berupa pendalaman dan penguraian dalam undang-undang (statue approach) dan pendekatan konseptual. Data penelitian ini merupakan studi pustaka dengan bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Penelitian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini secara singkat berisi bahwa masyarakat terdampak korupsi bantuan sosial COVID-19 dapat dikategorikan menjadi korban langsung (direct victim) Oleh karena itu, masyarakat terdampak berhak mendapatkan restitusi untuk memulihkan hak-haknya. Ketentuan mengenai restitusi sejatinya sudah ada dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU tentang Pengadilan HAM, UU Tindak Pidana Terorisme, dan diatur pula dalam Pasal 98-101 KUHAP, tetapi penerapan restitusi terhadap masyarakat sebagai korban tindak pidana korupsi belum pernah diterapkan. Selain itu, memberi saran kepada pemerintah untuk mempertimbangkan kehadiran perwakilan KPK di setiap daerah provinsi.
Pencucian Uang Lintas Negara dengan Menggunakan Cryptocurrency: Perspektif Bentuk Kerjasama Penanganan Antar Negara mohammad Irfaul Darojat; Amirudin Yahya; Dimas Wahyudi; Gigih Reksa Yudha Firdaus
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 12 No 2 (2022): November 2022
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v12i2.38823

Abstract

Cryptocurrency sebagai salah satu bentuk inovasi teknologi dalam bentuk mata uang digital dapat menggantikan mata uang konvensional. Cryptocurrency yang terdapat teknologi blokchaine sebagai fitur keamanan dan kemudahan yang tentunya dapat memberikan dampak yang positif, juga timbul dampak negatif yang diakibatkan dengan adanya mata uang digital ini. Salah satu celah yang dimanfaatkan banyak orang dengan adanya fitur keamanan data pada Cryptocurrency adalah sebagai alat untuk melakukan pencucian uang. Apalagi setiap orang memiliki akses dalam menggunakan cryptocurrency sebagai alat pembayaran maupun alat investasi. Namun dalam kemudahan tersebut terdapat persoalan yang menjadi kegelisahan banyak pihak terutama pemerintah dari berbagai negara yang tentunya cukup kesulitan dalam melacak setiap tindakan pencucian uang yang menggunakan Cryptocurrency ini. Di Indonesia sendiri telah mengaturnya dalam UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, sehingga setiap tindak kejahatan pencucian uang dapat di jerat dengan undang-undang tersebut yang mana juga menjadi dasar hukum dalam penanganan penindakan kasus tersebut dengan melibatkan negara lain atau instansi lain sebab kejahatan pencucian uang dapat menjadi suatu kejahatan Internasional. Adapun tujuan artikel ini adalah untuk mengetahui bentuk regulasi tindak pidana pencucian uang lintas negara khususnya dengan menggunakan cryptocurrency dan juga bentuk-bentuk kerjasama yang dapat dilakukan dalam menangani kasus tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Library Research atau sering dikenal dengan penelitian hukum normatif. Hasil yang didapatkan menunjukkan bagaimana bentuk regulasi di Indonesia dan beberapa negara mengenai tindak pidana pencucian uang dengan cryptocurrency serta mengetahui bagaimana urgensitas penanganan tindak pidana pencucian uang dengan cryptocurrency dan bentuk regulasi bantuan Internasional yang dapat diperoleh dalam menangani kasus tersebut.
Penafsiran Keadaan Tertentu Dalam Tindak Pidana Korupsi: Perspektif Teori Kepastian Hukum Viony Laurel Valentine; Andika Putra Eskanugraha; I Ketut Wiweka Ari Purnawan; Ratri Sumilir Budi Sasanti
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 13 No 1 (2023): Mei 2023
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v13i1.40004

Abstract

Tindak pidana korupsi menjadi permasalahan yang disejajarkan dengan kejahatan luar biasa antara lain terorisme, penyalahgunaan narkotika atau perusakan lingkungan berat. Bahkan korupsi juga merupakan extraordinary crime berdasarkan Statuta Roma, meliputi kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan serta kejahatan agresi. Fenomena kasus korupsi berdampak pada masyarakat luas sebab pelaku tindak pidana korupsi telah mengambil hak-hak masyarakat yang seharusnya juga berhak mendapat keadilan dan kepastian hukum. Dalam regulasinya yang berupa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang telah mengalami perubahan beberapa kali pada pasal 2 (dua) terdapat frasa keadaan tertentu yang berpotensi menimbulkan multi tafsir sehingga tidak tercapainya konsep norma kepastian hukum. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yaitu sebuah metode penelitian hukum dengan melalui pendekatan objek berupa norma hukum dengan jenis doktrinal. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan kasus. Hasil penelitian yang didapatkan yaitu seorang hakim dalam menafsirakan suatu keadaan darurat dalam tindak pidana korupsi dan guna menjunjung tinggi asas kepastian hukum dapat menggunakan berbagai metode penafsiran yang salah satunya ialah penafsiran secara gramatikal. Penafsiran dengan metode tersebut dimulai dengan mengkontruksi logika hukum yang ada tanpa melupakan prinsip-prinsip hukum formal sehingga dapat menciptakan sebuah keputusan yang adil dan juga tepat. Kata Kunci: Korupsi, Keadaan Tertentu, Kepastian Hukum