cover
Contact Name
Shita Dewi
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
jkki.fk@ugm.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia
ISSN : 2089 2624     EISSN : 2620 4703     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 1, No 2 (2012)" : 8 Documents clear
Formulasi Rancangan Kebijakan Ketenagaan Dokter Umum di Kabupaten Blitar Agung Dwi Laksono; Widodo J. Pudjirahardjo; Iwan M. Mulyono
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (402.392 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i2.36013

Abstract

Background: The medical doctor ratio in the Regency of Blitar is far below the normative ratio (1: 2,500). From the number of physicians working in health institutions, it is clear that not only the present ratio (1: 12,125) but the distribution in every dis- trict is also uneven. Based on these two findings, this re- search aims to formulate a manpower policy draft for medical doctors in Blitar Regency. With reference to regency and na- tional level policy, the draft will take into consideration: the community demographic characte-ristics, the number of Puskesmas visitation, the number of Puskesmas, geographic characteristics, infrastructure, health programs of Blitar Re- gional Health Office, the availability of medical doctors and the fiscal potency of Blitar Regency. Methods: This is a policy research consisted of several stages i.e. identifying public issues, formulating public issues, analyzing public issues, deciding criteria and alternative poli- cies, and forecasting and determining target and priority. Con- ducted from February until June 2008, the research location was the Blitar Regency. Information sources are regency and national level policy documents and also policy actors (policy- makers and policy-implementers). Results: The result shows four basic estimations for medical doctors’ manpower requirement which can be applied in Blitar Regency. Those are the number of population, the number of Puskesmas, the number of districts and the total visitation of each Puskesmas. It was settled and approved by all policy actors that the population number should be the basis for estimating medical doctor’s manpower requirement. Pursuant to this calculation, 454 medical doctors are projected for the year 2009, up to 470 physicians in the year 2018. Blitar Re- gency policy actors predict the increasing fiscal potency of the regency following the trend of the past five years. The prediction includes the increasing percentage of health bud- get. Derived from the Focus Group Discussion, the policy ac- tors stated only 10 medical doctors for every two years could be provided by the Blitar regional government. Conclusion: The recommendations are: formulating medical doctor’s policy implicitly should include medical doctor’s facilitatiye character; using ideal ratio adapting to Blitar regency’s recent condition and fiscal ability; using a strategy of appointing medical doctor’s from the regency’s PTT (tempo- rary assigned doctors) and making an incentive pattern with regard to Blitar Regency region mapping.Latar Belakang: Rasio dokter di Kabupaten Blitar adalah masih jauh di bawah rasio normatif (1:2,500). Dari jumlah dokter yang bekerja di lembaga kesehatan, terlihat jelas bahwa tidak hanya rasio saat ini (1:12,125) tetapi distribusi di setiap kecamatan juga tidak merata. Berdasarkan dua temuan ini, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan rancangan kebijakan tenaga dok- ter di Kabupaten Blitar. Mengacu pada kebijakan tingkat kabupaten dan nasional, rancangan ini akan mempertimbang- kan: karakteristik demografi masyarakat, jumlah visitasi Pus- kesmas, jumlah Puskesmas, karakteristik geografis, infrastruk- tur, program kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar, ke- tersediaan dokter dan potensi fiskal Kabupaten Blitar. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kebijakan yang terdiri dari beberapa tahap, yaitu mengidentifikasi isu-isu publik, merumuskan isu-isu publik, menganalisis isu-isu publik, memu- tuskan kriteria dan alternatif kebijakan, serta meramalkan dan menentukan target dan prioritas. Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Blitar yang dilaksanakan mulai Februari hingga Juni 2008. Sumber informasi adalah dokumen kebijakan di tingkat kabupaten dan nasional serta pelaku kebijakan (pembuat kebi- jakan dan pelaksana kebijakan). Hasil: Penelitian ini menunjukkan empat estimasi dasar untuk kebutuhan tenaga dokter yang dapat diterapkan di Kabupaten Blitar. Empat estimasi dasar tersebut adalah jumlah penduduk, jumlah Puskesmas, jumlah kecamatan dan visitasi total di setiap Puskesmas. Semua pelaku kebijakan telah menyelesaikan dan menyetujui bahwa jumlah penduduk harus menjadi dasar untuk memperkirakan kebutuhan tenaga dokter. Berdasarkan perhi- tungan ini, 454 dokter telah diproyeksikan untuk tahun 2009, hingga 470 dokter yang diproyeksikan pada tahun 2018. Pelaku kebijakan di Kabupaten Blitar memprediksi meningkatnya poten- si fiskal Kabupaten yang mengikuti tren dari lima tahun terakhir. Prediksi tersebut meliputi peningkatan persentase anggaran kesehatan. Berdasarkan hasil dari diskusi kelompok terarah, pelaku kebijakan menyatakan bahwa untuk setiap dua tahun hanya 10 dokter dapat disediakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Blitar. Kesimpulan: Rekomendasi yang diajukan dalam penelitian ini adalah: secara implisit merumuskan kebijakan dokter harus mencakup karakter fasilitas dokter, menggunakan rasio yang ideal yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan fiskal Kabu- paten Blitar sekarang, menggunakan strategi penunjukkan dok- ter PTT dan membuat pola insentif yang berkaitan dengan pemetaan wilayah Kabupaten Blitar.
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok: Peluang dan Hambatan Juanita Juanita
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (289.758 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i2.36014

Abstract

Background: Currently, there are 1.2 billion smokers in the world, 80 percent of whom live in low-income countries and medium. Without prevention efforts in reducing cigarette con- sumption, the WHO predicts in 2025 the number of smokers will rise to 1.6 billion. Indonesia is the fifth in the world in the consumption of cigarettes, and a third in the number of smokers has a number of cigarette factories in the world. Objec- tive: This paper aims to analyze the Smoking Free Area Policy currently how the opportunities and threath in implementation. Methods: The study on the article of smoking free area policy in America and Indonesia Results: Although the smoking problem in Indonesia is quite alarming, but the commitment of relevant government regula- tions cigarette still weak and ambiguous. It can be seen from the lack of regulations or laws that expressly and strictly regu- lates the cigarette. Regulatory control of cigarettes in various countries managed to protecting non-smokers, increase smok- ing cessation and reduce tobacco consumption.In Health Law No. 36/2009 expressly stated that the local government shall establish Smoking Free Area Policy KTR) in the region. KTR is a room or arena are otherwise prohibited for production, sales, advertising, promotions, or the use of cigarettes. However, at present, of 497 districts / cities in Indonesia, only a minority (22 regencies / cities) which has implemented the relevant regula- tions KTR . Conclusion: There is a variety of constraints at the national level in implementing the No Smoking Zone Policy to respond by local governments to implement local policies such as local regulations, it is mainly for areas that are not producing to- bacco, clove and tobacco industry has, since the only areas will be impacted negative effects of smoking behavior of its citizens. Latar belakang: Saat ini terdapat 1,2 miliar perokok di dunia, 80 persen di antaranya tinggal di negara-negara berpendapatan rendah dan sedang. Tanpa adanya upaya pencegahan dalam pengurangan konsumsi rokok, maka WHO memprediksi pada tahun 2025 jumlah perokok akan meningkat menjadi 1.6 miliar. Indonesia berada pada posisi kelima di dunia dalam konsumsi rokok, ketiga dalam jumlah perokok dan memiliki jumlah pabrik rokok terbanyak di dunia. Tujuannya adalah untuk menganalisis Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok yang ada saat ini bagaimana peluang dan hambatan penerapannya. Metode: Kajian terhadap artikel kebijakan kawasan tanpa rokok yang ada di Amerika dan di Indonesia Hasil: Walaupun permasalahan merokok di Indonesia cukup mengkhawatirkan, namun komitmen pemerintah terkait regulasi rokok masih lemah dan bersifat mendua. Hal ini dapat dilihat dari belum adanya peraturan ataupun undang-undang yang tegas dan ketat mengatur soal rokok. Regulasi pengendalian rokok di berbagai negara berhasil melindungi mereka yang bukan perokok, meningkatkan penghentian merokok dan mengurangi konsumsi rokok. Dalam UU Kesehatan Nomor 36/2009 secara tegas dinyatakan bahwa pemerintah daerah wajib menetapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di wilayahnya. KTR adalah ruangan atau arena yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan produksi, penjualan, iklan, promosi, ataupun penggunaan rokok. Namun, saat ini, dari 497 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, hanya sebagian kecil (22 kabupaten/kota) yang telah menerapkan perda terkait KTR. Kesimpulan: Adanya berbagai kendala di tingkat pusat dalam menerapkan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok dapat direspon oleh pemerintah daerah dengan menerapkan kebijakan lokal berupa peraturan daerah, hal ini terutama bagi daerah yang bukan penghasil tembakau, cengkeh dan tidak mempunyai industri rokok, karena daerah hanya akan mendapat dampak negatif dari perilaku merokok warganya.
Pengembangan Kelompok Riset Kebijakan Kesehatan di Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Kedokteran – Perlukah? Laksono Trisnantoro
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (172.343 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i2.35974

Abstract

Sistem kesehatan yang terdesentralisasi di Indonesia, kebutuhan untuk melakukan penelitian kebijakan semakin besar. Sebagai gambaran berbagai kebijakan kesehatan tidak hanya diputuskan dilevel nasional, namun juga ada di propinsi dan kabupaten/kota. Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( UU BPJS) ada pasal yang menyatakan kebutuhan untuk lembaga pengawas independen yang tentunya membutuhkan dukungan penelitian kebijakan. Pada sisi lain berbagai donor semakin menekankan mengenai pentingnya bukti dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan kesehatan.Tantangan kedua adalah lembaga yang meneliti kebijakan kesehatan secara independen belum banyak jumlahnya di Indonesia, sebagian besar berada di universitas dan lembaga penelitian di Pulau Jawa. Sementara itu kebutuhan penelitian kebijakan meningkat diseluruh daerah. Akibat yang terjadi adalah kemajuan perkembangan penelitian kebijakan kesehatan masih lambat. Jumlah peneliti kebijakan kesehatan masih terbatas diberbagai universitas. Banyak universitas yang tidak mempunyai peneliti dan staf pendukung penelitian yang professional serta jaringan kerja. Tantangan ketiga adalah sumber daya keuangan untuk menjalankan riset kebijakan. Tantangan ini menarik karena mempunyai ciri-ciri seperti “telur dan ayam” dengan tersedianya peneliti. Adanya kekurangan peneliti kebijakan kesehatan yang baik, maka kemampuan menulis proposal, melaksanakan penelitian, dan mempengaruhi proses kebijakan menjadi lemah. Logika dan peraturan menyatakan bahwa sebagian dari anggaran program kesehatan, termasuk kebijakan besar seperti BPJS harus dimonitor dan dievaluasi oleh lembaga independen, dapat dibayangkan apabila 1% saja (tidak 5%) dari anggaran BPJS yang Rp 20 Triliun dipergunakan untuk evaluasi dan monitoring, akan tersedia sekitar Rp 200 milyar setahun untuk program monitoring dan evaluasi. Kesempatan ini belum dipersiapkan secara maksimal. Latar belakang tersebut di atas mendorong perlunya program pengembangan Kelompok Riset Kebijakan Kesehatan di Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Kedokteran. Mengapa di dua fakultas? Fakta tantangan kebijakan menunjukkan bahwa akar tantangan ada yang berada di dalam ilmu kesehatan masyarakat dan ada yang di ilmu biomedik. Oleh karena itu perlu pengembangan riset kebijakan di Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Kedokteran, atau kemungkinan lain, kedua fakultas di satu universitas diharapkan bekerja bersama untuk mengelola lembaga penelitian kebijakan kesehatan. Konsep ini akan digagas pada Forum Kebijakan Kesehatan Nasional di Surabaya, September 2012 untuk mendapat masukan dari para peneliti kebijakan untuk menjawab berbagai tantangan di atas.
Evaluasi Manfaat Program Jaminan Kesehatan Daerah bagi Masyarakat Kota Yogyakarta Rohadanti Rohadanti; Sigit Riyarto; Retna Siwi Padmawati
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (258.747 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i2.36010

Abstract

Background: The Program of Community Health Insurance Scheme (Jamkesda) in Yogyakarta Municipality is organized by the Technical Unit Regional Health Insurance Provider (UPT PJKD) with funds from the municipal budget. The rules about membership, benefits and amount of Jamkesda are appointed in the Mayor Regulation. There has been no comprehensive research about benefits and the perceived difficulty when using Jamkesda. Therefore, this research aims to determine this issue. Methods: This was an observational study using quantitative and qualitative methods. The quantitative respondents (n= 154) were selected accidentally when the patients were being treated at two hospitals in Yogyakarta and were based on the recapitulation of the claims in the previous month. The qualitative respondents (n = 10) were selected by purposive sampling for patients with chronic illnesses and with very high claims. Data collection was taken by questionnaire and guide- line for in-depth interviews to Jamkesda participants who had been treated in the two hospitals. Results: The respondents perceived that Jamkesda was beneficial despite objecting to 51.30% of the cost sharing. Therefore, in in-depth interviews five respondents expressed that they had to borrow money to pay for it. A total of 61.04% respondents used a letter of recommendation from Department of Social, Labor and Transmigration (those with no health insurance). Difficulty in handling the identity of membership was only experienced by 16.23%, while 78.57% had no prob- lem in it. Those who found difficulty were looking for a solution to the government administrator as RT/RW, parliaments, NGOs and neighbors. Around 78.57% of respondents did not under- stand about the Jamkesda service limit; they only knew infor- mation relating to their current interests. A total of 89.61% respondents knew that Jamkesda was an aid. All respon- dents in in-depth interview and around 73.38% respondents paid the cost sharing more than 10% of total claims. From the total household expenditure, almost all (99.35 %) were cata- strophic as the health spent more than 40% of their household expenditure whereas 73.38% earned below the minimum wage income. Conclusion: High cost sharing can result in large catastrophic expenses. Therefore, there is a need for reassessing the Jamkesda benefit package in order that the financial protec- tion of household can be achieved.Latar Belakang: Program Jaminan Kesehatan Daerah (Jam- kesda) Kota Yogyakarta diselenggarakan oleh Unit Pelaksana Teknis Penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah (UPT PJKD) dengan sumber dana berasal dari APBD Kota Yogyakarta. Aturan tentang kepesertaan, benefit dan besarannya terdapat dalam Peraturan Walikota. Belum ada penelitian yang kompre- hensif tentang manfaat dan kesulitan yang dirasakan masya- rakat dalam menggunakan Jamkesda Kota Yogyakarta maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hal tersebut. Metode: Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan metode kuantitatif dan kualitatif. Responden kuantitatif (n=154) dipilih secara accidental ketika pasien sedang berobat di dua rumah sakit di Yogyakarta dan didasarkan pada rekapitulasi klaim pada bulan sebelumnya. Responden kualitatif (n=10) dipilih dengan purposive sampling yaitu pasien dengan penyakit kro- nis dan yang mempunyai klaim sangat tinggi. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan pedoman wawancara men- dalam kepada peserta Jamkesda yang sedang atau telah dira- wat di dua RS tersebut. Hasil: Responden merasakan manfaat Jamkesda walaupun 51,30% merasa keberatan dengan besar cost sharing, se- hingga sebagian responden pada wawancara mendalam me- nyatakan mengutang untuk membayarnya. Sebanyak 61,04% responden menggunakan surat rekomendasi Dinas Sosial Tena- ga Kerja dan Transmigrasi untuk berobat karena tidak memiliki jaminan kesehatan. Kesulitan dalam pengurusan identitas kepe- sertaan hanya dialami oleh 16,23%, sedangkan 78,57% merasa mudah dalam pemanfaatannya. Masyarakat yang merasa kesu- litan pada wawancara mendalam, mencari solusi kepada pe- ngurus RT/RW, anggota DPRD, LSM dan tetangga. Sekitar 78,57% responden tidak memahami batasan pelayanan Jam- kesda dan hanya mengetahui informasi yang berhubungan dengan kepentingan mereka saat itu. Sebanyak 89,61% res- ponden mengetahui bahwa Jamkesda hanya bersifat bantuan. Semua responden pada wawancara mendalam serta 73,38% responden membayar cost sharing lebih dari 10% total klaim dari pengeluaran rumah tangga, hampir semua (99,35% res- ponden) mengalami pengeluaran katastrofik yakni pengeluaran biaya kesehatan lebih dari 40% pengeluaran rumah tangga setelah dikurangi pengeluaran kebutuhan pokok padahal 73,38% masyarakat berpenghasilan di bawah UMR. Kesimpulan: Cost sharing yang besar dapat berakibat pe- ngeluaran katastrofik sehingga perlu dikaji kembali benefit pack- age Jamkesda agar perlindungan terhadap keuangan rumah tangga dapat dicapai.
Benarkah puskesmas poned efektif? Christina Pernatun Kismoyo; Mubasysyir Hasanbasri; Mohammad Hakimi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (293.483 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i2.26235

Abstract

Basic emergency maternal care at public health center: are they effective  Background: Every pregnancy and birth is a risky event; therefore, every pregnant woman and maternity must be located as close as possible to the basic emergency obstetric care. As a health care unit, near and reachable health centers are expected to provide basic emergency neonatal and obstetric care (PONED or EmOC in primary health level). In Bantul District, there are six PONED health centers. Health centers in their implementation need an evaluation to improve or maintain a mechanism to measure whether they are good or not good. This study aimed to determine the implementation of PONED in the health centers of Bantul District.Method: This was a qualitative descriptive study. The analysis unit was service providers such as doctors, midwives, nurses, laboratory and driver as well as the head of Bantul District Health Office. The research instrument was the researcher and the tools used were cameras, tape recorders, checklists and interview guides.Results: PONED health centers were viewed more as a routine work because the service provider had not been able to understand the purpose of a good service. Emergency obstetric and neonatal care had not been fully able to be served at six health centers. Sewon I Health Center was the only PONED health center with available support system, but the availability of the service such as tools, medicine and infrastructure had not yet fully available. This was because of the rare cases of obstetric and neonatal complications handled so that the drugs and equipment available were expired and damaged. Management of emergency obstetric and neonatal referral had not been going well according to the case; thus, early referral was frequently preferable.Conclusion: The management of PONED health center’s services was more on the bureaucracy not based on the setting of emergency obstetric and neonatal care, so that the orientation of service providers was seen as a routine job. Support from the government and incentives were still very influential on service providers’ work motivation. Keywords: evaluation, PONED health center, maternal mortality rateLatar belakang: Setiap kehamilan dan persalinan merupakan kejadian berisiko, oleh karena itu setiap ibu hamil dan bersalin harus berada sedekat mungkin dengan pelayanan obstetrik emergensi dasar. Unit pelayanan kesehatan yang dekat dan mampu terjangkau oleh masyarakat puskesmas diharapkan mampu memberikan pelayanan obstetrik neonatal emergensi dasar. Di Kabupaten Bantul ada 6 puskesmas mampu PONED. Puskesmas dalam pelaksanaannya perlu adanya suatu langkah evaluasi guna meningkatkan ataupun mempertahankan suatu mekanisme yang sudah baik atau kurang baik.Tujuannya adalah untuk melihat implementasi pelayanan puskesmas mampu kegawatdaruratan Obstetrik dan Neonatal Dasar (PONED) di Kabupaten Bantul.Metode: Penelitian diskriptif kualitatif dengan unit analisis adalah petugas (dokter, bidan, perawat, laboran dan sopir) serta kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri, alat yang digunakan kamera, tape recorder, daftar tilik, dan pedoman wawancara.Hasil: Puskesmas PONED lebih dipandang sebagai pekerjaan rutinitas karena provider pelayanan belum mampu memahami tujuan pelayanan dengan baik. Pelayanan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal belum seluruhnya dapat dilayani di 6 puskesmas hanya Sewon I. Sistem pendukung pelayanan PONED tersedia, namun ketersediaan pelayanan belum seluruhnya tersedia yakni; alat, obat dan infrastruktur. Hal ini karena jarangnya kasus komplikasi obstetri dan neonatus yang ditangani sehingga obat dan alat yang tersedia kadaluarsa serta rusak. Pengelolaan rujukan kasus kegawatdaruratan obstetri dan neonatal belum berjalan dengan baik sesuai dengan kasus, cenderung melakukan rujukan dini. Kesimpulan: Manajemen pelayanan puskesmas PONED lebih pada birokrasi belum berdasarkan pada setting pelayanan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal, sehingga orientasi petugas pelayanan dipandang sebagai pekerjaan rutinitas. Dukungan pemerintah dalam support insentif sangat berpengaruh pada motivasi kerja petugas pelayanan.  
Active Case Treatment Lebih Cost Effective untuk Pengobatan TB Paru Tahap Awal Ni Ketut Ardani; Thinni Nurul Rochmah; Chatarina Umbul Wahyuni
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (300.804 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i2.36011

Abstract

Background: Estimated one third of world population have been infected with Mycobacterium tuberculosis. Infected per- son will lose 3-4 months work time and will decrease 20%- 30% of income per year. Finding and treating TB patients are the best endeavor to stop TB spreading with a correct inter- vention. Jember Regency is executing Passive Case Treat- ment (PCT), which lung TB patients should come to puskes- mas to take the Tuberculosis Drug (ATD) in a certain day and hour. The method was not effective, proven by the increase of default rate for 3 years: 5.08% in 2007, 5.14% in 2008 and 6.18% in 2009, followed by the decrease of conversion rate for 3 years: 95.26% in 2007, 93.09% in 2008 and 92.08% in 2009. It is raising alertness for increased re-treatment which will lead to MDR, where MDR is clearly affecting TB patients’ quality of life. Afterward, an idea to create an ATD delivery to patients’ homes was executed, it is called Active Case Treat- ment (ACT). Method: This study was a Quasy Experimental Research with a prospective design. Conducted in 16 Puskesmas with default rate more than 5% and conversion rate less than 80% in 2009. Begin in September until November 2010, using total sampling technique. The sample was all lung TB patients who came for treatment in September 2010, with criteria were: new case, 15-50 years of age, did not suffer HIV and Diabe- tes Mellitus, was not malnourished, and was not allergic to ATD. Data collection was done through interview, filling ques- tionnaires and exploring documents. Then followed the calcu- lation of the total cost (direct and indirect cost) and Quality of Life (QoL) of both PCT and ACT. Later, total cost was com- pared to QoL, the lesser amount was considered more cost effective. Result: Research result showed that to increase 1 scale of Quality of Life (QoL) of PCT needed an amount of IDR. 35,295.00, while to increase 1 QoL scale ACT was IDR 14,377.00. ACT was smaller than PCT. Conclution: Conclusion derived from the result was that ACT is more cost effective than PCT. Recommendation to be pre- sented is to endorse lung TB treatment with ACT in Jember Regency particularly in Puskesmas with the same character- istics with this research.Latar belakang: Diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi mikrobakterium tuberkulosis. Bila terinfeksi, diperkira- kan akan kehilangan waktu kerja 3-4 bulan dan berkurangnya pendapatan 20-30% pertahun. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penu- laran TB dengan intervensi yang tepat. Pengobatan TB di Kabu- paten Jember dilakukan dengan cara Pasive Case Treatment (PCT), yang mengharuskan pasien datang ke puskesmas untuk mengambil OAT pada hari dan jam yang telah ditentukan. Cara ini ternyata kurang efektif yang ditandai dengan meningkatnya default selama 3 tahun yaitu: 2007= 5.08%, 2008= 5.14% dan 2009= 6.18%, yang diikuti dengan menurunnya conversion rate selama 3 tahun, yaitu; 2007= 95.26%, 2008= 93.09% dan 2009= 92.08%. Hal ini akan meningkatkan kasus re-treatment yang berakibat munculnya MDR (Multidrugs resistance) dan juga akan mempengaruhi kualitas hidup penderita TB. Kemudian muncul ide untuk menciptakan cara penggobatan dengan meng- antar OAT ke rumah penderita yang dilakukan oleh kader kese- hatan, yang diistilahkan dengan Active Case Treatment (ACT). Metode: Penelitian ini merupakan Quasy Experimental Re- search dengan rancangan prospektif. Dilakukan di 16 Puskes- mas di Kabupaten Jember yang memiliki angka default lebih dari 5% dan conversion rate kurang dari 80% pada tahun 2009. Dilakukan pada awal September sampai akhir Nopember 2010. Sampelnya adalah seluruh pasien TB Paru yang berobat pada bulan september 2010 dengan kriteria; kasus baru, usia 15-50 tahun, tidak HIV dan diabetes, tidak malnutrisi, dan tidak alergi terhadap OAT. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pengisian kuesioner dan penelusuran doku- men. Selanjutnya menghitung biaya total (biaya langsung dan biaya tidak langsung) dan tingkat kualitas hidup penderita TB dari kedua cara pengobatan (PCT dan ACT). Kemudian memban- dingkan antara total cost dengan tingkat kualitas hidup. Angka yang lebih kecil menunjukkan lebih cost effective. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk menaikkan 1 skala Qol dengan cara PCT dibutuhkan dana sebesar Rp. 35,295.00. Sedangkan untuk menaikkan 1 skala Qol dengan cara ACT membutuhkan dana sebesar Rp. 14,377.00. Cara ACT membutuhkan dana lebih kecil dibanding PCT. Kesimpulan: Dari hasil tersebut diatas maka dapat diambil kesimpulan akhir bahwa pengobatan TB paru cara ACT lebih cost effective dibanding dengan pengobatan TB paru cara PCT. Dengan demikian, rekomendasi yang diusulkan adalah memberlakukan pengobatan TB Paru dengan cara ACT di Kabu- paten Jember terutama pada wilayah puskesmas yang memiliki karateristik yang sama dengan penelitian ini. 
Benarkah Rumahsakit Pemerintah Menggunakan Manajemen Keluhan Pasien untuk Melindungi Pembayar Pajak? Studi Reformasi Birokrasi di Rumahsakit Bantul DIY Siti Suryati; Mubasysyir Hasanbasri; Retna Siwi Padmawati
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (449.387 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i2.25041

Abstract

Rumah sakit pada umumnya bergerak kearah sistem manajemen berdasarkan konsep usaha yang mengarah pada mekanisme pasar dan prinsip efisiensi. Kepedulian terhadap para pelanggan ditunjukkan dengan adanya mekanisme untuk mengenali apa yang dipersyaratkan oleh pelanggan dan ditujukkan dalam perilaku pemberi layanan yang mencerminkan tata nilai yang berlaku dalam organisasi. Indikator pelayanan (BOR) di RSUD Panembahan Senopati Bantul 89,28%, hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan tempat tidur sudah melebihi standar yang ada. Kondisi demikian ini apabila tidak disertai dengan pelayanan yang bermutu baik dari sisi sarana dan prasarana termasuk pengelolaan manajemennya, bukan tidak mungkin akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi penanganan keluhan pelanggan dan bagaimana keluhan pelanggan dikelola dalam rangka pelaksanaan sistem manajemen mutu di RSUD Panembahan Senopati BantulPenelitian studi kasus dengan subyek penelitian pelanggan rawat jalan dan rawat inap dipilih secara purposive sampling dan wawancara terhadap manajemen meliputi direktur, kepala bagian pengembangan, humas, serta melakukan observasi. Analisa data dilakukan secara deskriptif dan kualitatif.Pemerintah Kabupaten dan direksi telah mengimplementasikan Total Quality Management, walaupun belum dilaksanakan secara optimal. Prosedur tetap dan tim khusus yang menangani keluhan belum semuanya ada. Berbagai macam fasilitas untuk menyampaikan keluhan telah tersedia antara lain melalui kotak saran, SMS center, telephone, web, email, dialog melalui radio maupun televisi, dan media cetak. Pelanggan eksternal lebih menyukai penyampaian langsung apabila ada keluhan, namun kenyataannya pelanggan eksternal lebih banyak menyampaikan keluhan melalui SMS center. Cara penanganan keluhan yang sudah ditetapkan oleh direktur belum dilaksanakan secara totalitas terutama dalam hal tindak lanjut.Agar pengelolaan keluhan pelanggan dapat dilaksanakan secara optimal maka perlu ada tim khusus atau unit yang menangani keluhan dilengkapi dengan prosedur tetap dan pelaksanaan prosedur tetap tersebut di semua lini. 
Konsumsi Rokok Rumah Tangga Miskin di Indonesia dan Penyusunan Agenda Kebijakannya Chriswardani Suryawati; Lucia Ratna Kartikawulan; Ki Haryadi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (295.443 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i2.35976

Abstract

Background: The number of smokers in Indonesia is ranked third in the world and the highest in ASEAN. The estimated number of deaths due to smoke from the 2004 Susenas data was 399,800 people equivalent to total economic loss of IDR 154.84 trillion (U.S. $ 17.2 billion), or 4.5 times as much as the tax equivalents in 2005 (IDR 32.6 trillion). Indonesia has not yet ratified the Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) but has issued various regulations related to tobacco control and the dangers of smoking. Cigarette consumption by poor households is high enough. This affects not only the consumption patterns of the households but also the health of the family. Objective: To obtain a description of poor households’health cost burden, patterns and factors that affect cigarette consumption by poor households in Indonesia in 2007 and to set the agenda of public health protection policies of the dangers of smoking. Methods: The data used were the secondary data from the study of the Indonesia Family Life Survey (IFLS) conducted in 2007 covering 13 provinces, 13,995 households and 50,580 individual samples. Results and Discussion: A total of 35.71% of poor households had a habit of smoking, and the types of cigarettes were factory-made cigarettes and home-made cigarettes (81.81% and 29.19%, respectively). The average cigarettes consumed were 9.72 bars per day. The average age of initiating to smoke was 18.89 years and 93.20% of poor households were still smoking up to this survey. Compared to the total expenditure of poor households, the average expenditure of cigarettes a month was IDR 86,496.96 (13.13%), while health expenditure was only IDR 7,440.87 (1.13%). The low expenditure on health, among others, were due to the presence of Jamkesmas that covered 51.48%. Cigarette demand model with multiple regression analysis showed that the price of cigarettes, per capita expenditure, food expenditure, and the age of initial smoking affected cigarette consumption. Conclusions and suggestions: To make the policy of public protection on the dangers of smoking effective, the government should immediately formulate policy agendas: 1) increase cigarette tax as high as 50% of the price of cigarettes, 2) regulate restrictions on smoking areas in public places, 3) promote and campaign the dangers of smoking to health, especially for adolescents, including restrictionson cigarette advertising on various media 4) continue policy for cigarette tax revenue in all regions and increase allocation of funds for health, 5) facilitate the development of nicotine replacement treatments and make people easier to get the products, and 6) initiate to develop a Jamkesmas discourse that requires the poor households to maintain their health care such as not to smoke. It needs to further develop the understanding on public protection policy agenda against the dangers of smoking that consists of perceiving public problem, defining the problem and raising support for making this public issue become the the government agenda. Latar Belakang: Jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat tiga terbesar di dunia dan tertinggi di ASEAN. Estimasi jumlah kematian karena merokok dari data Susenas 2004 sebesar 399.800 orang setara dengan total economic loss sebesar Rp 154,84 trilyun (US$ 17.2 milyar) atau setara 4.5 kali lipat cukai tahun 2005 (Rp 32,6 triliun). Indonesia belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) tetapi di Indonesia telah terbit berbagai peraturan terkait pengendalian tembakau dan bahaya merokok. Konsumsi rokok Rumah Tangga (RT) miskin cukup tinggi. Hal ini tidak hanya berpengaruh pada pola konsumsi RT tetapi juga kesehatan keluarga. Tujuannya adalah memperoleh deskripsi beban biaya kesehatan RT miskin, pola dan faktor yang berpengaruh pada konsumsi rokok RT miskin di Indonesia tahun 2007 dan menyusun agenda kebijakan perlindungan kesehatan masyarakat dari bahaya rokok. Metode: merupakan data sekunder dari penelitian Indonesia Family Life Survei (IFLS) yang dilaksanakan tahun 2007 mencakup 13 propinsi, 13.995 RT dan 50.580 sampel individu. Hasil dan diskusi : Sebanyak 35,71% RT miskin mempunyai kebiasan merokok, terbanyak sigaret (81,81%) dan rokok ramuan sendiri (29,19%). Rerata perhari 9,72 batang rokok, usia pertama kali merokok rata-rata 18,89 tahun dan 93,20% RT miskin masih merokok sampai survei dilakukan. Dibandingkan pengeluaran total RT miskin, rerata pengeluaran rokok sebulan Rp. 86.496,96 (13,13%) sedangkan pengeluaran kesehatan hanya Rp.7.440,87 (1,13%). Kecilnya pengeluaran kesehatan antara lain disebabkan adanya Jamkesmas yang mencakup 51,48%. Model demand rokok dengan analisis regresi berganda menunjukkan bahwa harga rokok, pengeluaran per kapita, pengeluaran pangan, umur awal merokok mempengaruhi konsumsi rokok. Kesimpulan dan saran: Untuk mengefektifkan kebijakan perlindungan masyarakat dari bahaya rokok maka pemerintah harus segera menyusun agenda kebijakan: 1). kenaikan cukai rokok karena cukai mencapai 50% dari harga jual rokok, 2). peraturan pembatasan area merokok di tempat-tempat umum, 3). promosi dan kampanye bahaya merokok terhadap kesehatan terutama untuk remaja termasuk pembatasan iklan rokok pada berbagai media 4). melanjutkan kebijakan bagi hasil cukai rokok pada semua daerah dan meningkatkan alokasi dananya untuk bidang kesehatan, 5) memfasilitasi pengembangan dan mem permudah mendapatkan produk nicotine replacement treatments 6). mulai mengembangkan wacana Jamkesmas yang mensyaratkan upaya RT miskin ikut menjaga kesehatannya antara lain tidak merokok. Perlu lebih mengembangkan pemahaman akan agenda kebijakan perlindungan masyarakat terhadap bahaya merokok yang terdiri dari persepsi masalah publik, pendefinisian masalah dan penggalangan dukungan untuk menjadikan isu publik menjadi agenda pemerintah. 

Page 1 of 1 | Total Record : 8