Kontroversi Dakwah dan PolitikDalam masyarakat Islam, sudah cukup lama terjadi kontroversi dalam melihat hubungan antara dakwah dengan politik. Pandangan pertama mengatakan, pada dasarnya tidak ada pemisahan antara dakwah dengan politik, sebab politik itu merupakan bagian integral dari agama, sehingga tidak perlu dijauhi, tetapi perlu “digauli”. Disebabkan alasan ini pula, di samping alasan politik tertentu, atau kepentingan dakwah lewat politik, atau bahkan jejaring politik yang sulit mereka hindari, menyebabkan umat Islam banyak tercebur atau menceburkan diri ke kancah politik.Pandangan lainnya mengatakan bahwa politik dan dakwah tidak bisa dicampuradukkan. Dari sisi konseptual maupun praktik, hubungan dakwah dengan politik pada dasarnya bersifat ambiogous atau ambivalent. Dalam kaitan ini, politik hanya dilihat sebagai aktivitas yang tidak terkait langsung dengan dakwah. Bahkan, ada sementara anggapan bahwa politik itu kotor, politik itu hanya untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, sementara dakwah itu suci atau bersih. Jadi, antara yang kotor dengan yang bersih jelas tidak bias digabungkan atau dicampuradukkan. Argumen ini, umumnya mengacu pada al-Quran surat al-Baqarah, ayat 42, yang mengatakan “jangan mencampurkan antara yang hak dengan yang batil”.Pandangan lainnya lagi mengatakan bahwa politik hanya merupakan urusan duniawi. Karena ia hanya mengurusi soal keduniawian saja, maka ia jelas mengindikasikan bahwa politik tak ubahnya seperti permainan saja, “Tiadalah arti kehidupan dunia ini kecuali main-main dan permainan belaka. Atau seperti didendangkan Ahmad Albar, “ dunia ini panggung sandiwara”. Begitulah, pembaca budiman. Kalau dalam rubrik “Salam” kami mencoba membincang soal dakwah, itu jelas karena tiga artikel dalam penerbitan jurnal kita edisi ini membahas ihwal dakwah dengan berbagai problematikanya. Tulisan pertama yang kami sajikan adalah “ Dakwah dalam Perspektif Modernisme Antisipasi menuju Postmodernisme” ditulis Nia Kurniati Syam. Lantas, Syamsul Bachri Day menyoroti persoalan “Hubungan Politik dan Dakwah” ini. Tulisan ketiga, meski tidak harus berurutan, kami sajikan “Pemberdayaan Umat sebagai Subjek Budaya”. Ketiga tulisan itu, dalam perspektif komunikasi, lazim disebut sebagai “komunikasi dakwah”.Dalam sajian berikutnya, kami coba menawarkan aneka tema dan isu-isu global. Januardi lewat analisisnya mencoba membedah “Konflik Palestina dan Israel” dari perspektif komunikasi. Lantas, bahasan kita meloncat ke soal “Jurnalistik Foto di Era Digital: Antara Teknologi dan Etika” yang ditulis Ferry Darmawan. Sementara, Rita Gani, mengulas ihwal “Media Massa dalam Masyarakat Madani,” dan Teguh Ratmanto melengkapinya dengan mengangkat tema “Determinisme Teknologi dalam Teknologi Komunikasi dan Informasi.”Bagaimana “Sikap dan Perilaku Komunitas Warga mengenai Maraknya Pedagang Kaki Lima” dipaparkan oleh kelompok peneliti yang dikomandani Neni Yulianita, dibantu Yenni Yuniati, Atie Rachmiatie, dan M.E. Fuady. “Islamic Images and Terminology Used in the Werstern Media” adalah tulisan kedua Bashy Quraishy yang kami tampilkan di jurnal ini, setelah karya pertamanya, “Islam and the Western Media” pernah kami munculkan pada Mediator, Volume 4, Nomor 2, 2003. Bashy yang dilahirkan di India tetapi dibesarkan dan tinggal di Pakistan serta belajar di Amerika Serikat dan Inggris, tetapi lebih memilih menjadi warga Negara Denmark dan menetap di Denmark ini, telah menulis sedikitnya enam buah buku Kontroversi Dakwah dan Politik Kontroversi Dakwah dan Politik yang bertemakan rasisme, kesetaraan etnis, komunitas orang-orang Pakistan di Denmark, dan ihwal liputan media Barat tentang Islam. Itu sebabnya ia sangat fasih berbicara soal-soal bagaimana media Barat meliput dunia Islam, dan bagaimana Islam dicitrakan di dunia Barat.Pada bagian lain, H.A. Saefudin menyodorkan sebuah bahasan menarik, “Teori Konflik dan Perubahan Sosial: Sebuah Analisis Kritis”. Sebagai mantan Kakanwil Deppen Jabar dan Sekretaris Dirjen PPG, serta Kepala Lembaga Informasi Nasional (LIN) ini, boleh jadi memahami betul bagaimana menawarkan solusi untuk mengatasi konflik. Ia juga cukup berpengalaman dalam melihat bagaimana sebuah perubahan sosial itu terjadi. Merujuk pada pendapat Schramm dan Lerner (1978), ia melukiskan berbagai penyebab yang mendorong terjadinya perubahan. Namun, menurut Saefudin, apa pun penyebabnya, dalam konteks kehidupan sosial, terjadinya “perubahan” dapat mengarah kepada dua keadaan, yakni perubahan kea rah yang lebih baik (progress) dan perubahan ke arah yang lebih buruk (regress). Disebabkan sifatnya yang demikian, maka dalam pandangan Saefudin, tidak mengherankan jika makna perubahan sosial cenderung bersifat netral dan luas. Sebuah hasil penelitian yang dipublikasikan Redatin Parwadi lewat jurnal kita kali ini menyoroti “Potret Penggunaan Media Televisi pada Kalangan Remaja menuju Dewasa Awal di Yogyakarta”.Salah satu kesimpulan yang ditemukan di lokasi penelitian, ternyata responden yang diteliti termasuk “penonton kelas berat”. Dengan kata lain, mereka menghabiskan waktu untuk menonton televisi ratarata 4,5 jam sehari. Lebih tinggi dari temuan Fadly (1997) dan majalah SwaSembada (1995), yakni sekitar 3,7 jam sehari. Gaya hidup sebagian responden yang diteliti (47,60%) menunjukkan gaya hidup konsumtif, meski mereka berasal dari lingkungan keluarga yang baik dan taat beragama. Selebihnya, bagaimana kesimpulan penelitian tersebut, ada baiknya Anda simak sendiri dalam jurnal ini. “’Focus Group Discussion’(FGD) dalam Paradigma Pembangunan Partisipatif” merupakan tema tulisan yang dipaparkan Dedeh Fardiah. Pada salah satu uraiannya, penulis ini menyatakan, agar mampu menggugah keikutsertaan masyarakat, pendekatan melalui FGD (diskusi kelompok terarah) bisa dijadikan sebagai alternatif dalam pembangunan partisipatif. Di urutan selanjutnya, Santi Indra Astuti lewat “Surya dalam Berita” mencoba mempersoalkan objektivitas dan netralitas pers dalam kode—Ia sebut sebagai kode sakral, yang dalam pandangannya, tak bisa ditawar lagi dalam diskusi seputar profesionalisme pers. Alasannya, pers adalah wujud dari ruang publik yang tak boleh dicampuri oleh kepentingan apapun atau diintervensi oleh pihak manapun yang mengatasnamakan kepentingan publik. Masalahnya, seperti diakuinya sendiri, pers ternyata tidaklah sesteril itu. “Televisi dan Fenomena Kekerasan Perspektif Teori Kultivasi” karya Nova Yuliati menjadi sajian penutup dalam jurnal Mediator kita kali ini. Persepsi tentang dunia ciptaan televisi, sebagaimana dipaparkan Nova, terbentuk melalui lingkungan simbolis dan sebagai alat untuk menelaahnya, kita dapat menggunakan indikator kultural. Apa itu indikator kultural? Jawabannya bisa Anda simak dalam uraian lengkapnya di jurnal ini. Selamat membaca.Penyunting,Alex Sobur