cover
Contact Name
YUSUF ADIWIBOWO
Contact Email
lentera.hukum@unej.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
lentera.hukum@unej.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kab. jember,
Jawa timur
INDONESIA
Lentera Hukum
Published by Universitas Jember
ISSN : 23554673     EISSN : 26213710     DOI : -
Core Subject : Social,
E-Journal Lentera Hukum merupakan sarana ilmiah bagi mahasiswa untuk menyalurkan pemikiran-pemikiran ilmiah di bidang ilmu hukum. Artikel yang dikirim belum pernah dipublikasikan atau tidak dalam proses penerbitan dalam berkala ilmiah lain. E-Journal Lentera Hukum terbit tiga kali dalam setahun yaitu April, Juli, dan Desember. Diterbitkan secara elektronik atas kerjasama Fakultas Hukum dan UPT Penerbitan Universitas Jember
Arjuna Subject : -
Articles 197 Documents
TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN Sianipar, Veronica Agnes; Mulyono, Eddy; Indrayati, Rosita
e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : e-Journal Lentera Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (241.626 KB)

Abstract

Pengaturan atas hak asasi manusia telah dijamin dan dilindungi dalam UUD NRI 1945 serta UU HAM itu, maka dari itu seharusnya tidak perlu lagi dibuat pengaturan oleh undang-undang untuk memastikan adanya kemerdekaan atau kebebasan bagi setiap orang itu untuk berorganisasi dalam wilayah negara Republik Indonesia. Hanya saja, bagaimana cara kebebasan itu digunakan, apa saja syarat-syarat dan prosedur pembentukan, pembinaan, penyelenggaraan kegiatan, pengawasan, dan pembubaran organisasi itu tentu masih harus diatur lebih rinci, yaitu dengan undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya. Karena alasan itulah, pemerintah memandang perlu untuk menyusun satu undang-undang berdasarkan ketentuan UUD 1945 sebelum reformasi, yaitu UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Akan tetapi, UU Ormas yang lama tersebut sudah tidak relevan lagi dengan dinamika masyakarat kini yang kemudian mendorong lahirnya UU Nomor 17 Tahun 2013 sebagai UU Ormas yang baru. UU Ormas yang baru diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan untuk mengatur ruang lingkup dan definisi ormas secara jelas terkait dengan aspek legal administratif. Walaupun demikian, nyatanya UU Ormas yang baru masih meninggalkan beberapa masalah sehingga perlu ditinjau apakah UU Ormas yang baru tersebut telah sesuai dengan konstitusi serta dapat melindungi hak asasi manusia dari tindakan anarkis melalui sanksi yang tercantum dalam batang tubuh UU tersebut. Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Perlindungan Hukum, Tindakan Anarkis
PENGATURAN DANA KAMPANYE PEMILIHAN UMUM SEBAGAI TANGGUNG JAWAB CALON ANGGOTA LEGISLATIF BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH Anjalline, Irwan; Anggraini, R.A. Rini; Indrayati, Rosita
e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : e-Journal Lentera Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (215.876 KB)

Abstract

Tuntutan dana kampanye yang begitu besar ini menjadikan peserta pemilu harus berusaha menyiapkan dana. Dana yang digunakan peserta pemilu dapat berasal dari peserta pemilu maupun sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Namun, dari dana yang dikumpulkan muncul berbagai persoalan mengenai keabsahan dana tersebut, maupun pengaruh dana yang disumbangkan terhadap tanggung jawab peserta pemilu. Disamping partai politik membutuhkan dana besar untuk membiayai kampanye, di pihak lain besarnya dana kampanye yang disumbangkan pada partai politik membuat partai politik terjebak dalam kepentingan penyumpang dan seakan melupakan kepentingan rakyat. Kata Kunci: Pemilu, Dana Kampanye, Peserta Pemilu
KAJIAN YURIDIS TENTANG IZIN PEDAGANG KAKI LIMA DI JALAN JAWA UNTUK MEWUJUDKAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE) DI WILAYAH KABUPATEN JEMBER Erlinda, Ryza Dwi; Darma Sutji, Asmara Budi Dyah; Indrayati, Rosita
e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : e-Journal Lentera Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (191.688 KB)

Abstract

Perkembangan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Jawa tidak terelakkan perkembangannya dari tahun ke tahun semakin banyak dan padat seiring dengan keberadaan mahasiswa yang semakin banyak menuntut ilmu di Universitas Jember. Kadangkala keberadaan Pedagang Kaki Lima tersebut menimbulkan ketidaknyamanan terhadap jalannya lalu lintas disekitar. Pemerintah daerah dalam hal ini mempunyai kewenangan mengatur permasalahan tersebut untuk mewujudkan Pemerintahan yang Baik (Good Governance) sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik (AUPB). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang tindakan pemerintah yang dilakukan untuk menangani permasalahan Pedagang Kaki Lima, kemudian bagaimanakah fakta di masayrakat khususnya mengenai Pedagang Kaki Lima (PKL) apakah sesuai apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu apa yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2008 tentang Pedagang Kaki Lima. Kata Kunci : Pedagang Kaki Lima, Tindakan Pemerintah, Izin, Pemerintahan yang Baik
ANALISIS YURIDIS PENJATUHAN PIDANA OLEH HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI(Putusan Nomor : 2031 K/PID.SUS/2011) Adrian Pah, Gress Gustia; Iriyanto, Echwan; Wulandari, Laely
e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : e-Journal Lentera Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (193.404 KB)

Abstract

Korupsi adalah penyelewengan tugas dan penggelapan uang negara atau perusahaan untuk keuntungan pribadi maupun orang lain. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan dan biasa terjadi pada badan publik atau masyarakat umum. Penyebab adanya tindakan korupsi berasal dari aspek individu, organisasi, dan peraturan yang ada.Dampak dari tindakan korupsi dapat merusak perekonomian negara, demokrasi dan kesejahteraan umum. Lahirnya Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan adanya ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana, pemberian ancaman pidana minimal khusus dalam UUPTPK adalah untuk memberikan efek jera kepada koruptor dan mencegah potensi terjadinya korupsi, oleh karena itu perimbangan Hakim dalam penjatuhkan putusan seyogyannya berpedoman dari ketentuan yang sudah di atur di dalam UUPTPK yang sudah memberikan ketentuan acaman pidana minimal khusus dalam pelaku tindak pidana korupsi. Kata Kunci: Korupsi, Ancaman Pidana Minimal Khusus, Pertimbangan Hakim.
ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA (Putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor: 69/Pid.B/2012/PN.Spg) Subki, Tajus; Muntahaa, Multazaam; Azizah, Ainul
e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : e-Journal Lentera Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (198.309 KB)

Abstract

Kebebasan beragama di Indonesia dapat dilihat di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) amandemen kedua pada Pasal 28E ayat (1) dan (2). Akan tetapi terdapat pula pembatasan dalam konstitusi tersebut. Warga negara yang tidak mentaati pembatasan tersebut, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, maka dalam KUHP ditambahkan Pasal 156a untuk menjerat tindak pidana penodaan agama. Dalam kasus yang Penulis analisis seharusnya Jaksa Penuntut Umum menggunakan dakwaan kumulatif dengan tetap memilih Pasal 156a huruf a KUHP dan Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, hal tersebut karena kedua pasal tersebut bukan merupakan tindak pidana yang sejenis.Hakim menjatuhkan pidana penjara 2 (dua) tahun. Pasal 156a KUHP memberi ancaman pidana 5 (lima) tahun penjara. Ancaman tersebut memang tergolong sangat tinggi dan berat, karena pembuat undang-undang menganggap akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana penodaan agama sangat serius bagi negara dan masyarakat. Hakim Pengadilan Negeri Sampang seharusnya memvonis Terdakwa dengan menjatuhkan pidana penjara 4 (empat) tahun sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, sehingga Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam teori gabungan. Kata Kunci: Tindak Pidana Penodaan Agama, Bentuk Surat Dakwaan, Tujuan Pemidanaan.
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PEMIDANAAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TURUT SERTA MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENYELLUNDUPAN MANUSIA (PUTUSAN NOMOR : 167PID.SUS/2012/PN.Ta) JURIDICIAL ANALYSIS OF SENTENCING DECISIONS AS A CHILD ACT WAS INVOLVED IN THE CRIME OF HUM Hanifah, Dina Putri; Tanuwijaya, Fanny; Wulandari, Laely
e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : e-Journal Lentera Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (187.135 KB)

Abstract

Anak sebagai generasi penerus bangsa adalah penerus perjuangan bangsa yang diberikan ilmu pengetahuan dan pengajaran. Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 Pasal 1 ayat (1) tentang Pengadilan Anak, mengatur bahwa anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapanbelas) tahun dan belum pernah kawin. Anak tidak terlepas melakukan tindak pidana, pidana merupakan salah satu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang berangkutan disebut terpidana. Yang salah satunya adalah turut serta melakukan tindak pidana oenyekunduoan manusia. Pengertian tindak pidana penyelundupan manusia sendiri adalah perbuatan kejahatan yang mencari untuk mendapat keuntungan langsung maupun tidak langsung keuntungan finansial atau materi lainnya dari masuknya seorang secara ilegal ke suatu bagian negara dimana orang tersebut bukanlah warga negara asli atau memiliki izin tinggal. Pengertian turutserta disini adalah turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu seseorang lain melakukan tindak pidana. Di dalam pasal 55 KUHP jenis penyertaan yaitu pelaku atau Plegger, orang yang menyuruh melakukan (doenplegen), orang yang turut serta (medepleger), penganjur (uitlokker), pembantuan (medeplichtige). Pemidanaan anak di Indonesia haruslah sesuai dengan Undang-undang PengadilanAnak. Pemidanaan anak adalah suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana kepada anak oleh hakim anak. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 ( satu per dua ) dari maksimum ancaman pidana penjarabagi orang dewasa. Kata Kunci: Pemidanaan Anak, Tindak Pidana Penyelundupan Manusia, Putusan Nomor: 167/Pid.Sus/2012/PN.Ta)
PENGAWASAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUK HUKUM DAERAH (PERATURAN DAERAH) MELALUI MEKANISME PEMBATALAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Sulistyo, Yuri; Antikowati, Antikowati; Indrayati, Rosita
e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : e-Journal Lentera Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (212.491 KB)

Abstract

Penerapan sistem otonomi yang diamanatkan UUD NRI 1945 berimplikasi pada terbaginya kekuasaan pemerintah pusat pada pemerintah daerah, hal tersebut didasarkan pada asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. berdasarkan hal tersebut pemerintah daerah berhak membentuk perda untuk mengatur daerahnya, disinilah muncul salah satu peran pemerintah pusat dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pemerintah daerah dengan melakukan pengawasan terhadap perda dengan cara melakukan pengujian perda (excecutive review). Pengujian perda tersebut bermuara pada mekanisme pembatalan perda yang dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dan hukum yang lebih tinggi. Namun disini terdapat inkonsisten yang dilakukan oleh pemerintah dalam menggunakan instrumen hukum untuk membatalkan perda. Sudah tegaskan pada UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa pembatalan perda dilakukan oleh Presiden dengan menggunakan Perpres, sedangkan pada Permendagri No. 53 Tahun 2007 Tentang Pengawasan Peraturan Daerah Dan Peraturan Kepala Daerah menyatakan bahwa pembatalan perda APBD, Pajak, Retribusi dan RTRW dilakukan berjenjang oleh Mendagri untuk perda pemprov dengan menggunakan Permendagri dan oleh Gubernur untuk perda Kabupaten/Kota dengan menggunakan Pergub. Tetapi dalam prakteknya pembatalan perda secara keseluruhan dilakukan oleh Mendagri dengan menggunakan Kepmendagri. Disinilah terjadi ketidakkonsistenan dari segi kewenangan dan penggunaan instrumen hukum oleh pemerintah dalam melakukan pembatalan perda. Hal tersebut tentu memiliki implikasi hukum terhadap perda-perda yang telah dibatalkan pemerintah melalui Kepmendagri. Kata Kunci : executive review, pembatalan perda, dan instrumen hukum.
KAJIAN YURIDIS MEKANISME PENCALONAN KEPALA DESA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN DESA Nugroho, Septa Eka; Soetijono, Iwan Racmad; Indrayati, Rosita
e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : e-Journal Lentera Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (191.779 KB)

Abstract

Proses pencalonan kepala desa di daerah Jember telah diatur didalam peraturan daerah Kabupaten Jember pasal 30 nomor 6 tahun 2006 tentang pemerintahan desa. Jika dikaji lagi ayat perayat secara mendalam pada pasal 30 peraturan daerah kabupaten Jemebr nomor 6 tahun 2006 tentang pemerintaha desa mengenai mekanisme pencalonan kepala desa terdapat hal- hal yang tidak sesuai dengan aturan atau undang-undang diatasnya terutama pada hal penyerahan persyaratan menjadi calon kepala desa yang tertera pada pasal 30 ayat (1) peraturan daerah kabupaten Jember nomor 6 tahun 2006 tentang pemerintahan desa, dimana persyaratan untuk menjadi kepala desa di kabupaten jember mengacu pada pasal 26 peraturan daerah kabupaten jember nomor 6 tahun 2006 tentang pemerintahan desa, pada persyaratan inilah terdapat suatu syarat tepatnya pada pasal 26 huruf c peraturan daerah kabupaten jember nomor 6 tahun 2006 tentang pemerintahan desa yang menyatakan bahwa seorang calon kepala desa tidak pernah terlibat langsung atau tidak langsung dalam kegiatan yang mengkhianati Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dengan adanya persyaratan seperti ini dalam peraturan daerah kabupaten jember khususnya dalam hal pencalonan kepala desa yang tertera dalam mekanisme pencalonan kepala desa pada pasal 30 peraturan daerah kabupaten jember nomor 6 tahun 2006 tentang pemerintahan desa telah melanggar peraturan diatasnya yaitu peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005 tentang desa, karena pada dasarnya dalam peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005 khususnya dalam hal persyaratan menjadi kepala desa tidak membubuhkan persyaratan tersebut. Dengan menyertakan syarat yang akhirnya akan menjuru pada tindak diskriminatif seperti itu secara langsung pemerintah Kabupaten Jember telah mellanggar konstitusi dan pancasila . Hal seperti ini tentunya akan menimbulkan konflik pada saat pencalonan Kepala desa Kata Kunci: Mekanisme Pencalonan, Kepala Desa, Pemerintah Desa
Kajian Yuridis Tentang Izin Pedagang Kaki Lima Di Jalan Jawa Untuk Mewujudkan Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) Di Wilayah Kabupaten Jember Ryza Dwi Erlinda; Asmara Budi Dyah Darma Sutji; Rosita Indrayati
Lentera Hukum Vol 1 No 1 (2014): LENTERA HUKUM
Publisher : University of Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/ejlh.v1i1.562

Abstract

Perkembangan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Jawa tidak terelakkan perkembangannya dari tahun ke tahun semakin banyak dan padat seiring dengan keberadaan mahasiswa yang semakin banyak menuntut ilmu di Universitas Jember. Kadangkala keberadaan Pedagang Kaki Lima tersebut menimbulkan ketidaknyamanan terhadap jalannya lalu lintas disekitar. Pemerintah daerah dalam hal ini mempunyai kewenangan mengatur permasalahan tersebut untuk mewujudkan Pemerintahan yang Baik (Good Governance) sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik (AUPB). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang tindakan pemerintah yang dilakukan untuk menangani permasalahan Pedagang Kaki Lima, kemudian bagaimanakah fakta di masayrakat khususnya mengenai Pedagang Kaki Lima (PKL) apakah sesuai apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu apa yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2008 tentang Pedagang Kaki Lima. Kata Kunci : Pedagang Kaki Lima, Tindakan Pemerintah, Izin, Pemerintahan yang Baik
Menilai Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Tindak Pidana Kekerasan Lela Tyas Eka Prihatining Cahya; Dwi Endah Nurhayati; Dodik Prihatin AN
Lentera Hukum Vol 4 No 1 (2017): LENTERA HUKUM
Publisher : University of Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/ejlh.v4i1.4494

Abstract

This writing examines the consideration of judge to the decision concerning violence case according to Article 170 KUHP (Criminal Code) and evaluates conformity of decision with the provision of Article 197 Paragraph (1) KUHAP (Criminal Procedure Code) in the case of violence happened in Mojokerto. It takes into account of the judge to decide consideration which has the consequence of a decision made by the judge void by law. It uses statute and conceptual approaches analyzed through Article 170 KUHP and Article 197 Paragraph (1) KUHAP linked to the doctrine of experts to corroborate argument from the authors. In conclusion, this research considers the statement of the judge that the defendant guilty of a criminal offense according to Article 170 Paragraph 1 KUHP does not conform with the fact in the court wherein the court it is obtained the explanation from the witness that the letter of Visum et Repertum and a statement of the defendant done are exercised by the defendants caused casualties sustained. In addition, in making decision, the judge does not refer to Article 197 Paragraph (1) letter d and h so in which the decision should be declared void by law. Keywords: Consideration of Judge, Criminal Offense, Violence

Page 1 of 20 | Total Record : 197