cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Perspektif : Review Penelitian Tanaman Industri
Published by Kementerian Pertanian
ISSN : 14128004     EISSN : 25408240     DOI : -
Core Subject : Education,
Majalah Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan yang memuat makalah tinjauan (review) fokus pada Penelitian dan kebijakan dengan ruang lingkup (scope) komoditas Tanaman Industri/perkebunan, antara lain : nilam, kelapa sawit, kakao, tembakau, kopi, karet, kapas, cengkeh, lada, tanaman obat, rempah, kelapa, palma, sagu, pinang, temu-temuan, aren, jarak pagar, jarak kepyar, dan tebu.
Arjuna Subject : -
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol 19, No 1 (2020): Juni 2020" : 6 Documents clear
KOMPONEN BIOAKTIF KOPI BERPOTENSI SEBAGAI ANTIDIABETES / The Potency of Bioactive Compounds of Coffee as Antidiabetis Elsera Br Tarigan; Dian Herawati; Puspo Edi Giriwono
Perspektif Vol 19, No 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v19n1.2020.41-52

Abstract

Recently, the popularity of coffee is gaining popularity. The researcher found that the benefit of coffee was not refreshing only but also improved the quality of health. These effectsexistdue to the natural bioactive compounds found in the coffee. The bioactive compounds of coffee have activity as an antioxidant, anti-inflammation, anti-microbe, and recently as antidiabetic. The major compounds found in coffee were chlorogenic acid, trigonelline, diterpene, and Maillard reaction product (exp.melanoidin). The objective of this study was to explore the bioactive compounds of coffee and the potency antidiabetic, conducted by in-vitro, in-vivo, clinically, and epidemiology intergrately. The in-vitro analysis shown thatcoffee had activity asan inhibitor a-glucosidase, the compounds were chlorogenic acids. In the in-vivo study,coffee brewwas able to reduce blood glucose concentration of a rat model of type-2 diabetes by increasing insulin sensitivity. Caffeine and chlorogenic acids probably had an antagonist effect on glucose response. At the early stage of a clinical study, blood glucose concentration tend too increasedacutely and gradually reduces along with insulin sensitivity higher. A chlorogenic acid had a potency to decrease blood glucose concentration byseveral mechanisms such as -glucosidase inhibitory and raise insulin sensitivity. Furthermore, epidemiology studied shown that the efficacy of coffee consumption in the long-termwas able to reduce the risk of diabetes type 2. The effectiveness of coffee as antidiabetic depends on some factors such as gender and variation of coffee such asvariety, brewing technique, and frequency consumption of coffee.ABSTRAK Konsumen kopi saat ini makin meningkat, kepopulerannya ditandai dengan industri hilir kopi yang merebak di tengah-tengah masyarakat. Konsumsi kopi selain memberikan efek menyegarkan juga memiliki manfaat dalam meningkatkan taraf  kesehatan konsumennya. Komponen bioaktif pada kopi memiliki aktivitas seperti antioksidan, antiinflamasi, antimikroba dan antidiabetes. Kandungan biokatif kopi yang berperan dalam aktivitas tersebut adalah asam klorogenat, trigonelin, diterpen dan produk reaksi Maillard (cth.melanoidin). Tujuan dari tulisan ini adalah menggali senyawa bioaktif yang terdapat pada kopi dan potensinya sebagai antidiabetes secara terpadu baik secara in-vitro, in-vivo, klinis dan epidemiologi. Berdasarkan penelitian secarain–vitrobahwa komponen bioaktif kopi yang berperan dalam menghambat aktivitas a-glukosidase adalah asam klorogenat. Secara in-vivobahwa seduhan kopi yang dikonsumsi oleh tikus penderita diabetes menghasilkan kadar glukosa darah yang menurun karena peningkatan sensitivitas insulin. Efek kafein kemungkinanberlawanan dengan asam klorogenat terhadap glukosa darah. Pada awal pengujian secara klinis kadar glukosa darah akan meningkat secara akut dan kemudian menurun seiring meningkatnya efek asam klorogenat. Asam klorogenat akan berperan dalam menghambat transportasi glukosa dan meningkatkan sensitivitas insulin. Penelitian secara epidemiologi menunjukkan bahwa konsumsi kopi dalam jangka waktu yang lebih lama dapat menurunkan resiko penyakit diabetes mellitus tipe 2. Persentase penurunan penyakit diabetes melitus dipengaruhi oleh faktor gender dan variasi kopi seperti jenis, teknik menyeduh dan frekuensi konsumsi kopi.
STATUS DAN STRATEGI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT UTAMA TEBU DI INDONESIA Status and Control Strategy of Important Sugarcane Diseases In Indonesia Titiek Yulianti
Perspektif Vol 19, No 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v19n1.2020.01-16

Abstract

Sejak tebu dibudidayakan untuk menghasilkan gula di Indonesia pada tahun 1650, tercatat lebih dari 30 jenis penyakit yang pernah ditemukan.  Namun, hanya beberapa jenis penyakit yang  berpotensi menurunkan produktivitas tebu dan mutu nira bahkan kerugiannya bisa mencapai 20%.  Jenis penyakit tersebut antara lain adalah: penyakit sereh yang disebabkan oleh Phytoplasma, pokkah boeng yang disebabkan oleh Fusarium moniliformae, blendok oleh bakteri Xanthomonas albineans, luka api oleh jamur Sporisorium scitamineum, pembuluh oleh bakteri Leifsonia xyli  sub sp  xyli, lapuk akar dan pangkal batang oleh jamur Xylaria warbugii, mosaik dan mosaik bergaris oleh virus.  Dominasi penyakit-penyakit tersebut berbeda dari waktu ke waktu akibat perubahan sistem tanam, perubahan ekosistem lahan sawah ke lahan tegal dan tadah hujan yang lebih kering, pergantian jenis varietas yang ditanam, serta akibat terjadinya perubahan iklim. Sampai saat ini pengendalian penyakit tebu yang paling efektif adalah penanaman varietas tahan, penggunaan benih yang sehat bebas patogen dan karantina. Saat ini penyakit luka api dan mosaik bergaris merupakan penyakit yang belum bisa diatasi dan cenderung meningkat kejadian dan penyebarannya.  Tulisan ini mengulas perkembangan dan hasil penelitian pengendalian penyakit yang pernah menjadi masalah penting pada periode waktu tertentu karena menurunkan produksi tebu secara nyata sejak tebu dibudidayakan secara komersial di Indonesia serta strategi pengendalian yang harus dilakukan secara terpadu demi kelangsungan perkebunan tebu dalam mendukung industri gula nasional.ABTRACT There were more than 30 diseases have been recorded since sugarcane grown for sugar in Indonesia.  And yet, only few diseases considered as major diaseases since they decreased productivity up to 20% and sugar content significantly.  They were: sereh caused by Phytoplasm, pokkah boeng caused by Fusarium moniliformae, leafscald caused by Xanthomonas albineans, smut caused by Sporisorium scitamineum, ratoon stunting caused by Leifsonia xyli  sub sp  xyli, root and basal stem rot by Xylaria warbugii, mosaic, and streak mosaic caused by virus.  Domination of the diseases was different from time to time due to the change of cropping sytem, change of ecosystem from wetland (sawah) to drier rainfed area, shift of varieties, and also the occurence of climate change.  The most effective controls of sugarcane disease were the use of resistant varieties, healthy seed, and quarantine.  At the moment smut and streak mosaic have not effectively controlled and tend to increase their occurrence and distribution.  the This paper reviews the development of important diseases which have significantly reduced sugarcane production since sugarcane commercially cultivated in Indonesia and integrated disease control strategies to support the sustainability of sugarcane industry.
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KARET NASIONAL MELALUI PERCEPATAN ADOPSI INOVASI DI TINGKAT PETANI Improvement of National Rubber Productivity through Acceleration of Innovation Adoption at The Farmer's Level Junaidi Junaidi
Perspektif Vol 19, No 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v19n1.2020.17-28

Abstract

ABSTRAK Produktivitas karet Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan mayoritas perkebunan karet Indonesia berupa perkebunan karet rakyat yang produktivitasnya hanya berkisar 1.100 – 1.200 kg/ha/tahun. Upaya meningkatkan produktivitas karet rakyat merupakan tantangan besar bagi pemerintah, peneliti, akademisi, penyuluh, praktisi perkebunan dan segenap pemangku kepentingan lainnya. Tulisan ini menyajikan produktivitas karet Indonesia secara umum, teknologi-teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas karet, kendala dalam adopsi teknologi serta upaya-upaya percepatan adopsti teknologi terutama untuk perkebunan rakyat. Kegiatan penelitian dan pengembangan tanaman karet di Indonesia telah menghasilkan teknologi-teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas karet antara lain: klon unggul berpotensi produksi tinggi, pola tanam tumpangsari dan integrasi karet-ternak untuk meningkatkan pendapatan petani, dan sistem sadap tipologi klonal untuk mengoptimalkan potensi tanaman. Adopsi teknologi di tingkat petani masih mengalami hambatan berupa keterbatasan pengetahuan, modal dan lahan. Penyuluhan berkelanjutan, pemberdayaan kelompok tani, dan dukungan pemerintah berupa modal dan sarana produksi merupakan kunci percepatan adopsi teknologi. Dalam konsep sistem penyuluhan pertanian berkelanjutan, selain adopsi teknologi peran penyuluhan adalah pemecahan masalah, pelatihan dan pengembangan sumberdaya manusia. Peningkatan produktivitas karet rakyat akan berdampak signifikan terhadap produktivitas karet nasional dan kesejahteraan petani.ABSTRACT This article presents Indonesia's rubber productivity in general, technologies to increase rubber productivity, technology adoption constraints,and strategies to accelerate technology adoption, especially for smallholding farmers. Compared to other main producer countries, Indonesia's rubber productivity is still relatively low. This is due to the majority of Indonesia's rubber is smallholder plantation which productivity is only around 1,100 - 1,200 kg/ha/year. Increasing smallholder plantation productivity is still a major challenge for the government, researchers, academics, extension workers, plantation practitioners and all other stakeholders. The rubber research and development activities in Indonesia have produced technologies that can increase rubber productivity including superior clones, intercropping system and rubber-livestock integration to increase farmers' incomes, and clonal typology tapping systems to optimize yield potential. The adoption of these technologies at the farm level still encounter major obstacles such as limited knowledge, capital and land area. Sustainable extension, farmer groups empowerment,and government support of capital and production resources are required to accelerate technology adoption. In the sustainable agricultural extension concept; beside the technology adoption, the roles of extension are problem-solving, training, and human resources development. The increase of smallholder plantation productivity will have a significant impact on Indonesian rubber productivity as well as farmers' welfare.
PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU RIMPANG BENIH JAHE PUTIH BESAR MELALUI APLIKASI ZAT PENGATUR TUMBUH The Production and Quality Improvement of Big White Ginger Seed Rhizomes by Plant Growth Regulator Aplication Rusmin, Devi; Suhartanto, Muhammad Rahmad; Ilyas, Satriyas; Manohara, Dyah -; Widajati, Eny -
Perspektif Vol 19, No 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v19n1.2020.29-40

Abstract

Permasalahan utama dalam pengembangan tanaman jahe putih besar (JPB) adalah   terbatasnya ketersediaan rimpang benih bermutu dalam jumlah yang mencukupi, pada waktu diperlukan oleh pengguna. Permasalahan tersebut antara lain disebabkan oleh produksi dan mutu rimpang benih yang masih rendah, serta bobot rimpang benih yang cepat menyusut dan mudah bertunassaat di penyimpanan. Penulisan ini bertujuan untuk menginformasikan kepada pengguna tentang karakter pola pertumbuhan, keseimbangan hormonal dan perubahan fisiologis yang menjadi faktor perhatian utama dalam peningkatan produksi dan mutu JPB melalui aplikasi zat pengatur tumbuh (ZPT).Peningkatan produksi dan mutu dapat dicapai dengan penggunaan rimpang benih  bermutu yang diperoleh  melalui: penentuan pola pertumbuhan, pengaturan keseimbangan hormon, baik secara alami (pengaturan iklim mikro), maupun dengan pemberianZPT selama proses produksi di lapangan dan di penyimpanan. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa: (1) Pola pertumbuhan tajuk dan rimpang JPB selama pembentukan dan perkembangannya secara umum diklasifikasikan atas  tiga fase yaitu: fase lambat 1–4 bulan setelah tanam (BST), cepat (> 4–6 BST), dan pemasakan (> 6 BST).Rimpang benih JPB umur 7 BST sudah dapat digunakan sebagai bahan tanaman. (2) Perbedaan lokasi tanam dan umur panen mempengaruhi pola keseimbangan hormon endogen tanaman (rasio hormonABA/GA dan ABA/sitokinin (Zeatin) dan mutu rimpang benih JPB. Rasio ABA/sitokinin (zeatin) yang lebih tinggi pada rimpang benih umur 7 BST (5,0) dan 8 BST (4,7) dibanding rimpang benih umur 9 BST (4,2) untuk rimpang benih asal Nagrak, sehingga mampu memicu dan mempertahankan dormansi sehingga benih JPB lebih tahan disimpan.  (3) Periode dormansi benih rimpang JPB pecah setelah disimpan selama 2 bulan dan merupakan periode kritis atau periode yang tepat untuk aplikasi perlakuan penundaan pertunasan. (4) Aplikasi PBZ 400 ppm meningkatkan produksi JPB yang dinyatakan dalam bobot basah (22%) dan jumlah rimpang cabang (68%), dengan karakter rimpang: kecil, ruas pendek dan bernas, serta meningkatkan mutu dan daya simpan dibanding tanpa PBZ. (5) Aplikasi PBZ 1000 ppm, pada suhu ruang simpan 20 – 22 ºC, dapat menekan susut bobot sebesar 15% dibanding kontrol, setelah disimpan selama 4 bulan dan dapat menekan persentase rimpang bertunas sebesar 26% setelah 3 bulan disimpan.Permasalahan utama dalam pengembangan tanaman jahe putih besar (JPB) adalah   terbatasnya ketersediaan rimpang benih bermutu dalam jumlah yang mencukupi, pada waktu diperlukan oleh pengguna. Permasalahan tersebut antara lain disebabkan oleh produksi dan mutu rimpang benih yang masih rendah, serta bobot rimpang benih yang cepat menyusut dan mudah bertunassaat di penyimpanan. Penulisan ini bertujuan untuk menginformasikan kepada pengguna tentang karakter pola pertumbuhan, keseimbangan hormonal dan perubahan fisiologis yang menjadi faktor perhatian utama dalam peningkatan produksi dan mutu JPB melalui aplikasi zat pengatur tumbuh (ZPT).Peningkatan produksi dan mutu dapat dicapai dengan penggunaan rimpang benih  bermutu yang diperoleh  melalui: penentuan pola pertumbuhan, pengaturan keseimbangan hormon, baik secara alami (pengaturan iklim mikro), maupun dengan pemberianZPT selama proses produksi di lapangan dan di penyimpanan. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa: (1) Pola pertumbuhan tajuk dan rimpang JPB selama pembentukan dan perkembangannya secara umum diklasifikasikan atas  tiga fase yaitu: fase lambat 1–4 bulan setelah tanam (BST), cepat (> 4–6 BST), dan pemasakan (> 6 BST).Rimpang benih JPB umur 7 BST sudah dapat digunakan sebagai bahan tanaman. (2) Perbedaan lokasi tanam dan umur panen mempengaruhi pola keseimbangan hormon endogen tanaman (rasio hormonABA/GA dan ABA/sitokinin (Zeatin) dan mutu rimpang benih JPB. Rasio ABA/sitokinin (zeatin) yang lebih tinggi pada rimpang benih umur 7 BST (5,0) dan 8 BST (4,7) dibanding rimpang benih umur 9 BST (4,2) untuk rimpang benih asal Nagrak, sehingga mampu memicu dan mempertahankan dormansi sehingga benih JPB lebih tahan disimpan.  (3) Periode dormansi benih rimpang JPB pecah setelah disimpan selama 2 bulan dan merupakan periode kritis atau periode yang tepat untuk aplikasi perlakuan penundaan pertunasan. (4) Aplikasi PBZ 400 ppm meningkatkan produksi JPB yang dinyatakan dalam bobot basah (22%) dan jumlah rimpang cabang (68%), dengan karakter rimpang: kecil, ruas pendek dan bernas, serta meningkatkan mutu dan daya simpan dibanding tanpa PBZ. (5) Aplikasi PBZ 1000 ppm, pada suhu ruang simpan 20 – 22 ºC, dapat menekan susut bobot sebesar 15% dibanding kontrol, setelah disimpan selama 4 bulan dan dapat menekan persentase rimpang bertunas sebesar 26% setelah 3 bulan disimpan. ABSTRACT The main problems in the development of big white ginger plant (BWG) is the limited availability of quality seed rhizomes in sufficient quantities, at the time required by the user. Its caused by the production and quality of seed rhizomes are still low, and the seed rhizomes weight are rapidly shrinking and sprouting when in the storage. This Overview aims to inform users about the character of the pattern of growth, the balance of hormonal and physiological changes that are primarily focused on the production and seed quality improvement BWG through the application of plant growth regulator (PGR). Increased production and quality can be achieved by the use of quality seed rhizomes obtained through: determination of growth patterns, hormonal balance regulation, both naturally (microclimate regulation), as well as by application of growth regulators (ZPT) during the production process in the field and in storage. Some research results showed that: (1) The growth pattern of the canopy and GWB seed rhizomes during its formation and development is generally classified into three phases: slow phase 1-4 months after planting (MAP), fast (> 4-6 MAP), and maturty (> 6 BST). (2) Differences in planting location and harvest age affect the balance pattern of plant endogenous hormones (ABA / GA and ABA / cytokinin (zeatin) hormone ratios) and the BWG seed rhizomes quality. ABA / cytokinin ratios are higher in BWG seedlings aged 7 MAP (5.0) and 8 MAP (4.7) compared to 9 MAP (4.2) for seed rhizomes from Nagrak, so they are able to trigger and maintain dormancy so Its are more resistant to storage. (3) The dormancy period of BWG seed rhizomes break after stored for 2 months and this is a critical period or an appropriate period for sprouting inhibition treatment. (4) Application of PBZ 400 ppm increased production and quality of BWG seed rhizomes, namely: wet weight (22%) and number of branch rhizomes (68%) with rhizome characteristics: small, short and filled out internodes compared without PBZ. (5) Application of PBZ 1000 ppm, at a storage temperature of 20-22 ºC, can reduce weight loss by 15% compared to control, after stored for 4 months and also can reduce the sprouting percentage of rhizomes by 26% after stored for 3 months.
PERMASALAHAN PENGEMBANGAN DAN INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN PALA BERBASIS EKOLOGI The Problem of The Development and Technology Inovation of Ecology-Based Nutmeg Cultivation Rosihan Rosman
Perspektif Vol 19, No 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v19n1.2020.53-62

Abstract

Nutmeg is one of the spice crops in Indonesia. The economical value of nutmeg is a fruit, seed, and fully. Besides, the distillation process produced essential oil. The increasing need for products from nutmeg plants and as a source of foreign exchange for the country makes nutmeg plants one of the plants that need attention. But, in its development, there are several problems. The problem of the nutmeg plant is the low quantity and quality of the product. It will cause a low of the competitive and added value of nutmeg. The problem of nutmeg was caused by a mix of type of nutmeg, aflatoxin, management plants which have not optimal and sex ratio. Therefore, needed an effort for that problem. Efforts can be made is to improve existing cultivation technology, based on site-specific ecological conditions, starting from land suitability and climate conditions, selection of varieties (superior varieties), and crop management (planting, maintenance to harvest, and post-harvest). This paper discus efforts to improve ecological-based technologies needed to support the development of nutmeg in Indonesia.ABSTRAK Tanaman pala (Myristica fragrans HOUTT) merupakan salah satu tanaman rempah Indonesia. Nilai ekonomi dari tanaman pala adalah buah, biji dan fuli. Selain itu, melalui proses destilasi dihasilkan minyak atsiri. Meningkatnya kebutuhan akan produk dari tanaman pala dan sebagai sumber devisa negara, menjadikan tanaman pala merupakan salah satu tanaman yang perlu mendapat perhatian. Namun dalam pengembangannya terdapat beberapa permasalahan. Permasalahan pada pala hingga saat ini adalah rendahnya produksi dan kualitas. Rendahnya produksi dan kualitas, bila dibiarkan akan menyebabkan rendahnya daya saing dan nilai tambah pala Indonesia. Penyebab dari rendahnya produksi adalah pengelolaan tanaman yang belum optimal dan masalah sex ratio, sedangkan kualitas pala Indonesia disebabkan bercampurnya berbagai jenis/type pala dan adanya aflatoxin. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan berbagai upaya. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki teknologi budidaya yang ada, berbasis pada kondisi ekologi spesifik lokasi mulai dari kondisi kesesuaian lahan dan iklim, pemilihan varietas (varietas unggul) dan pengelolaan tanaman (penanaman, pemeliharaan hingga panen dan pasca panen). Tulisan ini membahas tentang upaya perbaikan teknologi berbasis ekologi yang diperlukan untuk mendukung pengembangan pala di Indonesia.
PERSPEKTIF KETERSEDIAAN GULA DOMESTIK DAN SWASEMBADA GULA NASIONAL Perspective of Domestic Sugar Availability and National Sugar Self-sufficiency Yonas Hangga Saputra
Perspektif Vol 19, No 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v19n1.2020.63-78

Abstract

This article aims at reviewing the perspective of domestic sugar availability and national sugar self-sufficiency. The review result shows that the existence of sugar as one of the basic needs of the Indonesian people is faced with a gap between production (2.5 million tons/year) and consumption (5.7 million tons/year), caused Indonesia has to import 3.2 million tons of sugar annually. During the last five years (2011-2015), the growth of sugar import (3.42%/year) was higher than those of consumption (3.19%/year), productivity (3.01%/year), and production (2.27%/year). In order to anticipate such conditions, the government has prepared a roadmap to increase production with a target of self-sufficiency in sugar. Therefore, it is required a comprehensive solution to solve sugar problems from cultivation aspect at upstreamlevel, processing aspect at midstream level, up to marketing aspect at downstream level. Coordination, participation, and cooperation among stakeholders are absolutely necessary while eliminating sectoral ego institutionally. It is purposed to support the availability of domestic sugar and the national sugar self-sufficiency.ABSTRAK Artikelini bertujuan mengulas perspektif ketersediaan gula domestik dan swasembada gula nasional Hasil ulasan menunjukkan bahwa keberadaan gula sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia berhadapan dengan kondisi kesenjangan antara produksi (2,5 juta ton/tahun) dengan konsumsi (5,7 juta ton/tahun), sehingga Indonesia harus mendatangkan gula impor sebesar 3,2 juta ton per tahun. Selama kurun waktu lima tahun terakhir (2011-2015), laju pertumbuhan impor gula (3,42%/tahun) lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan konsumsi (3,19%/tahun), produktivitas (3,01%/tahun), dan produksi (2,27%/tahun). Dalam rangka mengantisipasi kondisi tersebut, pemerintah telah menyusun peta jalan peningkatan produksi dengan target swasembada gula. Untuk itu diperlukan solusi komprehensif dalam mengatasi permasalahan gula mulai dari aspek budidaya di bagian hulu, aspek pengolahan di bagian tengah, hingga aspek pemasaran di bagian hilir. Koordinasi, partisipasi, dan kerja sama antar pemangku kepentingan terkait mutlak diperlukan seraya menghilangkan ego sektoral pada masing-masing pihak. Tujuannya adalah dalam rangka mendukung ketersediaan gula domestik dan swasembada gula nasional.

Page 1 of 1 | Total Record : 6