cover
Contact Name
Rizky Abdulah
Contact Email
r.abdulah@unpad.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
editorial@ijcp.or.id
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia
ISSN : 23375701     EISSN : 2337 5701     DOI : -
Core Subject :
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy (IJCP) is a scientific publication on all aspect of clinical pharmacy. It published 4 times a year by Clinical Pharmacy Master Program Universitas Padjadjaran to provide a forum for clinicians, pharmacists, and other healthcare professionals to share best practice, encouraging networking and a more collaborative approach in patient care. Indonesian Journal of Clinical Pharmacy is intended to feature quality research articles in clinical pharmacy to become scientific guide in fields related to clinical pharmacy. It is a peer-reviewed journal and publishes original research articles, review articles, case reports, commentaries, and brief research communications on all aspects of Clinical Pharmacy. It is also a media for publicizing meetings and news relating to advances in Clinical Pharmacy in the regions.
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 11, No 1 (2022)" : 8 Documents clear
Potensi Interaksi Obat di Ruang Rawat Intensif: Sebuah Studi Observasional di Salah Satu Rumah Sakit Kota Bandung Ivan S. Pradipta; Dimo Pratama; Hanifahzin Khatami; Julisiana Sanggelorang
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 11, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15416/ijcp.2022.11.1.41

Abstract

Ruang rawat intensif atau Intensive Care Unit (ICU) rumah sakit berperan dalam menangani pasien yang membutuhkan penanganan intensif. Perlunya intervensi pasien yang komprehensif dan cepat berpotensi menyebabkan kejadian interaksi obat dengan obat yang dapat menyebabkan reaksi obat yang tidak dikehendaki. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan potensi kejadian interaksi antara obat dengan obat yang digunakan di ruang ICU salah satu rumah sakit di Kota Bandung. Studi observasional deskriptif ini dilakukan di salah satu rumah sakit Kota Bandung pada bulan Maret 2021. Penggunaan obat di ruang ICU diamati melalui laporan penggunaan obat ruang ICU rumah sakit dan potensi kejadian interaksi obat dengan obat diidentifikasi melalui instrumen software drug interaction checker. Proses validasi dilakukan dengan menganalisis hasil interaksi dengan literatur interaksi obat dan instrumen drug interaction checker lainnya. Terdapat 21 jenis obat yang paling sering digunakan di lokasi penelitian. Analisis dengan menggunakan instrumen dan literatur interaksi obat menunjukkan terdapat 22 pasangan interaksi obat dengan obat yang berpotensi terjadi. Interaksi obat tersebut meliputi tiga interaksi obat dengan tingkat keparahan mayor, yaitu interaksi obat deksametason-levofloksasin; fenitoin-nikardipin; fenitoin-nimodipin, sedangkan sisanya merupakan interaksi obat dengan tingkat keparahan moderat. Potensi interaksi obat dengan obat yang terjadi umumnya berdampak pada tekanan darah dan sistem saraf. Tingginya potensi kejadian interaksi obat dengan obat perlu menjadi perhatian bagi para tenaga kesehatan dalam pemilihan obat di ICU. Studi lanjutan diperlukan untuk menganalisis potensi penggunaan obat lainnya yang dapat menekan efek interaksi obat sehingga diharapkan dapat mencegah terjadinya reaksi obat yang tidak dikehendaki di ICU.Kata kunci: Drug related problems, ICU, interaksi obat-obat Potential Drug-Drug Interaction in the Intensive Care Unit: An Observational Study at a Hospital in BandungAbstractThe hospital’s Intensive Care Unit (ICU) is at the forefront of treating emergency patients requiring intensive care. The comprehensive, fast, and accurate medication in the unit causes the incidence of drug-drug interactions (DDI’s) and can lead to therapeutic failures in patients. Therefore, this study aimed to describe potential (DDIs) in the ICU of a hospital in Bandung. A descriptive observational study was performed in a hospital in Bandung from 1st to 31st March 2021. The drug use report observed the use of medics in the ICU. Furthermore, the potential DDI’s were identified using a drug interaction checker. It was validated using the textbook and another reputable checker. There are twenty-one types of drugs commonly used in the study setting, and the analysis showed twenty-two potential DDI’s. The interaction consists of three significant DDI’s, including dexamethasone-levofloxacin, phenytoin-nicardipine, and phenytoin-nimodipine, while the others are moderate. The majority of them generally affect the blood pressure and nervous system. Health care providers should observe the high incidence of DDI’s when selecting and monitoring drugs in the ICU. Further study is needed to explore the potential of other drugs that can minimize the interaction effect. Therefore, it is expected to improve ICU patients’ safety in adverse drug reaction situations.Keywords: Drug-drug interactions, drug-related problems, ICU
Efektivitas Antibiotik Inhalasi pada Pasien Ventilator Associated Pneumonia: Kajian Sistematis dan Meta-Analisis Beryl Bayanaka; Fauna Herawati; Rika Yulia
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 11, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15416/ijcp.2022.11.1.51

Abstract

Antibiotik inhalasi dapat menjadi tambahan dalam terapi ventilator associated pneumonia (VAP) karena menghantarkan antibiotik secara langsung ke dalam lokasi infeksi di paru-paru untuk menyediakan konsentrasi antibiotik yang adekuat di paru-paru, sedangkan antibiotik intravena (IV) bekerja secara sistemik. Food and Drug Administration (FDA) dan European Medicine Agency sudah menyetujui beberapa antibiotik inhalasi sebagai terapi cystic fibrosis, tetapi belum ada antibiotik inhalasi yang disetujui untuk penggunaan VAP walaupun sudah ditemukan bukti yang mendukung. Tujuan ditulisnya kajian ini adalah untuk mengkaji efektivitas antibiotik inhalasi baik sebagai terapi adjuvan dengan IV ataupun terapi substitusi dalam pengobatan VAP. Efektivitas yang diteliti meliputi clinical cure, microbial cure, dan mortalitas. Penelitian ini merupakan kajian literatur dan meta-analisis yang menggunakan artikel dengan desain randomized control trial (RCT). Proses penelusuran pustaka dilakukan dengan menggunakan basis data PubMed. Kualitas artikel yang diinklusi dinilai dengan Critical Appraisal Skill Programme (CASP) checklist dan reputasi jurnal. Total terdapat 7 penelitian yang diikutsertakan dalam kajian akhir dan meta-analisis. Hasil meta-analisis antibiotik inhalasi sebagai terapi adjuvan maupun substitusi tidak menunjukan hasil positif pada tingkat kesembuhan klinis (RR=1,07; 95% CI=0,86–1,32) dan mortalitas (RR=1,09; 95% CI=0,83–1,43). Hasil meta-analisis penggunaan antiobiotik inhalasi sebagai terapi adjuvan menunjukan hasil positif dalam mengeradikasi mikroba (RR=1,56; 95% CI=1,13–2,17), namun tidak menunjukkan keuntungan dalam eradikasi mikroba apabila digunakan sebagai terapi substitusi (RR=1,21; 95% CI=0,86–1,71). Dapat disimpulkan bahwa penggunaan antibiotik inhalasi sebagai terapi adjuvan ataupun monoterapi tidak efektif dalam memperbaiki tingkat kesembuhan klinis dan mortalitas pasien VAP, namun penggunaan antibiotik inhalasi sebagai adjuvan mampu mengeradikasi mikroba lebih baik dibandingkan tanpa antibiotik inhalasi.Kata kunci: Antibiotik, inhalasi, aerosol, pneumonia, ventilator mekanis Effectiveness of Inhaled Antibiotics in Ventilator Associated Pneumonia: A Systematic Review and Meta-AnalysisAbstractInhaled antibiotics are adjunct to ventilator-associated pneumonia (VAP) therapy because they are delivered directly to the infection site of the lungs, while intravenous (IV) antibiotics work systematically. The Food and Drug Administration (FDA) and the European Medicine Agency have approved several inhaled antibiotics for cystic fibrosis treatment. However, none have been approved for VAP use, even with supporting evidence. Therefore, this study aimed to evaluate the effect of inhaled antibiotics as adjuvant therapy with IV or substitute in the treatment of VAP. The effect was measured based on clinical cure, microbial cure, and mortality. This study is a literature review and meta-analysis using a randomized control trial (RCT) design. The parameters measured were a clinical cure, microbial cure, and mortality. Furthermore, the literature search was conducted using the PubMed database. The included articles’ quality was assessed using the Critical Appraisal Skill Program (CASP) checklist and the journal’s reputation. Furthermore, 7 studies were included in the final review and meta-analysis. The results showed that the meta-analysis of inhaled antibiotics as adjuvant or substitution therapy is negative on clinical cure rates (RR=1,07; 95% CI=0,86–1,32) and mortality (RR=1,09; 95% CI=0,83–1,43). The analysis of inhaled antibiotics as adjuvant therapy was positive in microbiological cure (RR=1,56; 95% CI=1,13–2,17) but has no benefit as substitution therapy (RR=1,21; 95% CI=0,86–1,71). It can be concluded that using inhaled antibiotics as adjuvant therapy or monotherapy is ineffective in improving the clinical cure rate and mortality of VAP patients while using it as an adjuvant alone can eradicate microbes better.Keywords: Antibiotics, inhalation, aerosol, pneumonia, mechanical ventilator
Kemunculan Gen Mycobacterium tuberculosis dari Sampel Darah Pasien Pengobatan Tuberkulosis Fase Konversi Menggunakan PCR yang Tidak Terdeteksi dengan Evaluasi Pewarnaan Bakteri di Puskesmas Janti Rehmadanta Sitepu; Fira Dwijayanti; Chresiani D. Yoedistira
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 11, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15416/ijcp.2022.11.1.22

Abstract

Fase konversi pada pengobatan tuberkulosis merupakan fase dilakukannya pemeriksaan terhadap pasien tuberkulosis untuk memastikan apakah pasien melanjutkan pengobatan ke tahap lanjutan atau mengulangi pengobatannya. Sayangnya, evaluasi yang dilakukan di puskesmas masih menggunakan metode pewarnaan mikroskopis dengan tingkat spesifisitas yang rendah meski masih merupakan metode standar. Banyaknya hasil bias dari penggunaan metode tersebut dapat memunculkan masalah baru terkait resistensi yang dikenal dengan mutidrug resistant-tuberculosis (MDR-TB). Pendekatan identifikasi secara molekuler dikenal lebih spesifik dan akurat dalam mengidentifikasi mikroorganisme. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan spesifisitas dan sensitivitas antara metode molekular dengan metode pewarnaan. Penelitian ini menggunakan 17 sampel darah pasien tuberkulosis fase konversi disertai satu kontrol positif dan kontrol negatif yang diambil dalam rentang waktu Oktober–November 2020. Sekuens primer yang digunakan pada penelitian ini adalah 16s rRNA bakteri dengan primer forward yang mempunyai urutan basa ACT GAG ATA CGG CCC AGA CT dan reverse TCA CGA ACA ACG CGA CAA AC. Penelitian diawali dengan melakukan optimasi pada variasi jumlah siklus, melting temperature (Tm), dan konsentrasi DNA templat, yang kemudian dilanjutkan dengan identifikasi bakteri pada sampel darah pasien. Pada hasil PCR, dihasilkan satu pita dengan ukuran 279 pb dengan kondisi optimum amplifikasi pada siklus 35, Tm 60˚C, dan konsentrasi DNA templat 5µmol. Hasil penelitian menunjukkan adanya 2 sampel yang positif dari 17 sampel yang diidentifikasi menggunakan PCR, sedangkan berdasarkan data objektif pada identifikasi secara mikroskopis tidak ada satupun sampel yang positif. Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara hasil yang diperoleh dari identifikasi secara pewarnaan mikroskopis dan metode PCR.Kata kunci: 16s rRNA, darah, Mycobacterium tuberculosis The Emerge of Mycobacterium tuberculosis Gene from Blood Sample of Tuberculosis Conversion Phase Treatment Patient Using PCR which Staining Evaluation has Not Detected in Janti Public Health CenterAbstractThe conversion phase in tuberculosis treatment examines patients to ensure the possibility of further advancement. Despite its low specificity, microscopic evaluation is a standard method at public health centers. Moreover, the biased results from this method form a new problem related to multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB). Molecular approaches are known for their high specificity and accuracy in microbial identification. Therefore, this study aimed to compare the specificity and sensitivity of molecular and microscopic methods. The sample used was 17 blood of tuberculosis patients in the conversion phase accompanied by one positive and negative control collected from October to November 2020. The DNA sequence was 16s RNA with forwarding ACT GAG ATA CGG CCC AGA CT and reverse primer TCA CGA ACA ACG CGA CAA AC. Furthermore, the research was conducted by optimizing variations in the number of cycles, temperature melting (Tm), and template DNA concentration. The results showed 279 bp length of PCR product, under the optimum conditions under 35 cycles, Tm of 60˚C, and template DNA concentration of 5 µmol. The PCR result identified that 2 of 17 samples contain positive Mycobacterium tuberculosis. Meanwhile, none was positive on microscopic evaluation. Therefore, there are different results between microscopic and molecular methods.Keywords: 16s rRNA, blood, Mycobacterium tuberculosis
Prediktor Respons Tolvaptan Sebagai Strategi Optimalisasi Terapi pada Pasien Gagal Jantung: Kajian Naratif Hindun W. Risni; Rani Sauriasari; Oriza Satifa
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 11, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15416/ijcp.2022.11.1.66

Abstract

Gagal jantung (GJ) merupakan kondisi tahap akhir dari semua penyakit jantung dan dikaitkan dengan mortalitas, morbiditas, dan pengeluaran kesehatan yang signifikan. Tolvaptan, antagonis reseptor V2, telah digunakan di berbagai negara sebagai terapi tambahan pada terapi diuretik untuk GJ. Walaupun tolvaptan telah terbukti efektif dan aman digunakan, masih terdapat beberapa pasien yang tidak merespons tolvaptan dengan baik. Terdapat indikasi bahwa efek optimal tolvaptan dapat dicapai oleh populasi yang spesifik sehingga identifikasi responder dan prediktor respons tolvaptan menjadi penting dalam mengembangkan rencana pengobatan individu. Tujuan kajian naratif ini adalah memberikan ulasan mengenai efektivitas tambahan tolvaptan serta prediktor-prediktor respons yang dapat digunakan sebagai strategi dalam optimalisasi terapi GJ. Pencarian artikel dilakukan melalui PubMed, Google Scholar, dan Scopus dengan kata kunci predictors, heart failure, dan tolvaptan. Prediktor status respons yang ditemukan dalam penelitian, yaitu osmolalitas urin, U-AQP2/PAVP, usia, kreatinin serum, BUN, BUN/Cr, UUN/BUN, UNa/UCr, BNP, AVP/PAC, CKD dan HFpEF, serta berbagai parameter ekokardiografik. Variasi temuan prediktor dapat disebabkan oleh adanya perbedaan definisi respons dan karakteristik pasien, serta jenis variabel yang dianalisis. Beberapa prediktor yang ditemukan sulit untuk diimplementasikan di beberapa negara dengan fasilitas rumah sakit dan cakupan asuransi kesehatan yang belum memadai. Pada akhirnya, penggunaan prediktor respons diharapkan dapat membantu tenaga kesehatan dalam mempertimbangkan risiko-manfaat suatu terapi individu pada pasien GJ. Kata kunci: Gagal jantung, prediktor, respons, tolvaptan Predictors of Tolvaptan Response as a Therapy Optimization Strategy in Heart Failure Patients: A Narrative Review AbstractHeart failure (HF) is an end-stage condition of all heart disease and is associated with significant mortality, morbidity, and health expenses. Tolvaptan, a V2 receptor antagonist, is being used in many countries as an adjunct to the diuretic therapy of HF. Although it has been proven effective and safe, some patients do not respond well to the medication. Since there are indications that a specific population can achieve this therapy’s optimal effect, it is essential to identify responders and predictors to develop individual treatment plans. Therefore, this study provides an overview of the effect of tolvaptan and predictors of response that can be used as a strategy in optimizing the treatment of HF. The article searching process was conducted through PubMed, Google Scholar, and Scopus, including predictors, heart failure, and tolvaptan. The predictors identified in the study were urine osmolality, U-AQP2/PAVP, age, serum creatinine, BUN, BUN/Cr, UUN/BUN, UNa/UCr, BNP, AVP/PAC, CKD, HFpEF, and echocardiographic parameters. The variation in results is caused by differences in response definition, patient characteristics, and the types of variables analyzed. Implementing some of these predictors in countries with inadequate hospital facilities and health insurance coverage is complicated. Therefore, the use of response predictors, at any rate, is expected to assist health professionals in considering the risks and benefits of HF therapy.Keywords: Heart failure, predictor, response, tolvaptan
Analisis Perbandingan Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia Fase Stabil pada Pengobatan Kombinasi Risperidon-Haloperidol dengan Kombinasi Klozapin-Risperidon-Haloperidol di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat Yusi Anggriani; Dian Khairunisa; Wilson Wilson; Nurita Andayani
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 11, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15416/ijcp.2022.11.1.1

Abstract

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa kompleks yang dapat menimbulkan beban berat bagi individu dan keluarga. Pengobatan skizofrenia perlu masa yang panjang dan menahun karena merupakan penyakit kronis yang berpotensi terjadi kekambuhan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kualitas hidup/Health-Related Quality of Life (HRQoL) pasien skizofrenia yang mendapatkan terapi antipsikotik kombinasi risperidon dan haloperidol (RH) dengan kombinasi klozapin, risperidon, dan haloperidol (CRH). Penelitian ini berjenis kohort selama pengobatan pada 95 pasien rawat inap skizofrenia (fase stabil sampai fase pulang) yang diambil menggunakan teknik consecutive sampling. Pengambilan data dilakukan secara prospektif dari bulan Maret–Mei 2020 di Rumah Sakit Jiwa (2020) Provinsi Kalimantan Barat. Data kualitas hidup diambil menggunakan kuesioner the 5-Level European Quality of Life 5 Dimensions (EQ5D-5L) versi Bahasa Indonesia yang diisi oleh dua responden, baik perawat dan pasien pada saat bersamaan, pada saat pre- dan post-pengobatan. Uji Mann-Whitney digunakan untuk melihat perbedaan antarterapi, sedangkan uji Wilcoxon digunakan untuk mengetahui perbedaan sebelum dan sesudah pengobatan. Hasil uji beda antarkelompok menggunakan uji Mann-Whitney pada sebelum pengobatan/fase stabil (pre) menunjukkan tidak terdapat perbedaan HRQoL antara kelompok RH dan CRH baik versi pasien maupun perawat (p>0,05), dan tidak terdapat perbedaan HRQoL yang signifikan antara kelompok RH dan CRH baik versi pasien maupun perawat pada fase pulang (post) (p>0,05). Uji beda sebelum dan sesudah pengobatan dalam tiap kelompok menggunakan uji Wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan signifikan dari awal pasien masuk fase stabil sampai fase pulang baik pada kelompok RH (p=0,006) maupun kelompok CRH (p<0,05). Penelitian ini menyimpulkan bahwa kombinasi RH dibandingkan dengan kombinasi CRH tidak memberikan perbedaan yang signifikan dalam peningkatan kualitas hidup pasien skizofrenia. Kata kunci: Antipsikotik, the 5-Level European Quality of Life 5 Dimensions, kualitas hidup, skizofrenia Comparative Analysis of the Quality of Life of Schizophrenic Patients between Combination Therapy of Risperidone-Haloperidol and Clozapine-Risperidone-Haloperidol in a Mental Health Hospital in West Kalimantan ProvinceAbstractSchizophrenia is one of the most complex mental disorders that can burden individuals and families, and it requires long-term treatment since it is a chronic disease that can potentially relapse. Therefore, this study compared the Health-Related Quality of life (HRQoL) of schizophrenic patients receiving a combination of antipsychotic therapy of risperidone and haloperidol (RH) antipsychotic therapy to clozapine, risperidone, and haloperidol (CRH). This was an observational cohort, prospective, pre-post observation study of schizophrenic inpatients at the Mental Hospital of West Kalimantan Province in the stable and discharge phases. Data were collected prospectively from March–May 2020, and consecutive sampling was conducted on 95 respondents. The Indonesian version of The 5-Level European Quality of Life 5 Dimensions (EQ5D-5L) questionnaire was filled by nurses and patients simultaneously to measure the HRQoL. The pre-therapy analysis performed at the stable phase using the Mann-Whitney test showed no difference in HRQoL between RH and CRH groups (p>0.05). Meanwhile, during the discharge phase (post-therapy), the HRQoL of the RH and CRH groups was not significantly different (p>0.05). The Wilcoxon test showed a significant difference in the RH and CRH groups from the beginning of the patients’ stable phase to the discharge (p<0.05). Therefore, there is a significant difference between RH and CRH combination therapy as well as the HRQoL improvement of schizophrenic patients.   Keywords: Antipsychotics, the 5-Level European Quality of Life 5 Dimensions, HRQoL, schizophrenia
Perbandingan Efektivitas Aromaterapi Lavender dan Aromaterapi Rosemary terhadap Stres pada Dewasa Ni Made Maharianingsih; Ni Made W. Ariasanti
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 11, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15416/ijcp.2022.11.1.33

Abstract

Stres merupakan perubahan keadaan disebabkan oleh adanya tuntutan lebih berat. Stres terjadi pada semua usia, namun perubahan tanggung jawab pada dewasa menyebabkan usia ini rentan mengalami stres. Aromaterapi lavender dan rosemary merupakan aromaterapi yang digunakan untuk mengatasi stres. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas aromaterapi lavender dan rosemary dalam mengatasi stres pada dewasa. Penelitian ini berjenis quasi exsperimental two-group pre-post test design yang dilakukan pada bulan Mei 2021. Penelitian ini melibatkan 70 subjek dewasa yang dipilih secara purposive sampling. Subjek dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok intervensi aromaterapi lavender dan kelompok intervensi aromaterapi rosemary selama 7 hari. Tingkat stres diukur melalui kuesioner Depression, Anxiety, Stress Scale 42 (DASS-42). Pada kelompok pertama, rata-rata stres pada subjek penelitian sebesar 23,5 sebelum pemberian aromaterapi lavender. Kemudian setelah intervensi, terjadi penurunan stres pada hari ketiga, kelima, dan ketujuh masing-masing sebesar 8,97%, 18,90%, dan 34,14%. Pada kelompok kedua, rata-rata stres sebesar 22,14 sebelum pemberian aromaterapi rosemary, dengan penurunan stres pada hari ketiga, kelima, dan ketujuh masing-masing sebesar 12,91%, 25,36%, dan 51,14% setelah intervensi. Uji Mann-Whitney U menunjukkan penurunan tingkat stres signifikan lebih tinggi (p=0,000) setelah penggunaan aromaterapi rosemary dibandingkan lavender. Dapat disimpulkan bahwa aromaterapi rosemary memiliki efektivitas signifikan lebih tinggi (p=0,000) dalam menurunkan stres pada dewasa dibandingkan aromaterapi lavender.Kata kunci: Aromaterapi, lavender, rosemary, stres Comparison of Aromatherapy Effect of Lavender and Rosemary to Stress in AdultsAbstractStress is a change condition caused by severe demands, and it occurs at all ages, depending on responsibility as adults. Furthermore, lavender and rosemary aromatherapy can be used to alleviate the effects. Therefore, this study aimed to compare the effectiveness of lavender and rosemary aromatherapy in managing stress in adults. This was a quasi-experimental two-group pre-post test design study conducted in May 2021. A total of 70 adult subjects were selected through purposive sampling, divided into two groups: one receiving lavender and the other rosemary aromatherapy interventions for 7 days. The stress level was measured by the Depression, Anxiety, and Stress Scale 42 (DASS-42) questionnaire. The results showed average stress before the administration of lavender on the subjects from the first group to be 23.5, after which it was observed to decrease by 8.97%, 18.90%, and 34.14% on the third, fifth, and seventh day, respectively. Meanwhile, in the second group, the average stress before the given intervention of rosemary aromatherapy was 22.14, which was observed to decrease by 12.91%, 25.36%, and 51.14% on the third, fifth, and seventh day, respectively. The Mann-Whitney U test showed a higher reduction in stress levels (p=0.000) after using rosemary aromatherapy. It is concluded that rosemary aromatherapy is more effective (p=0.000) in reducing stress in adults than in lavender.Keywords: Aromatherapy, lavender, rosemary, stress
Efek Kualitas Pelabelan Terhadap Pengetahuan dan Kepatuhan Pasien Hipertensi di Mataram I Gusti A. D. Mariati; Yosi I. Wibowo; Karina K. Widjaja; Adji P. Setiadi
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 11, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15416/ijcp.2022.11.1.11

Abstract

Hipertensi merupakan penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan jangka panjang, dengan kepatuhan menjadi suatu permasalahan utama. Label pada obat seringkali digunakan sebagai media informasi tertulis untuk mengoptimalkan penggunaan pengobatan dalam mencapai target terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek perbaikan kualitas pelabelan obat terhadap pengetahuan dan kepatuhan pasien hipertensi di Kota Mataram. Penelitian ini menggunakan desain pre-/post-intervensi dengan perbaikan kualitas pelabelan (label dibuat sesuai dengan standar Good Dispensing Practice (GDP)—9 atribut) sebagai intervensinya. Uji statistik dilakukan untuk melihat perbedaan pengetahuan, kepatuhan, dan tekanan darah pre-/post-intervensi. Terdapat 132 pasien dari 11 Puskesmas di Kota Mataram yang menyelesaikan seluruh tahapan penelitian pada periode waktu Agustus sampai Oktober 2017. Baseline skor pelabelan adalah 3,6; dan setelah dilakukan perbaikan pada label maka didapatkan skor maksimum yaitu 9. Terdapat peningkatan pengetahuan pasien setelah dilakukan intervensi perbaikan pelabelan (median skor dari 2,0 menjadi 5,0; p=0,001). Demikian juga, terdapat peningkatan kepatuhan setelah intervensi pelabelan (median skor dari 1,0 menjadi 2,0; p=0,001). Perubahan yang signifikan terhadap tekanan darah sistolik/diastolik pada pre-/post-intervensi juga dilaporkan (p=0,001/0,026). Hasil penelitian ini memberikan data awal yang menunjukkan bahwa intervensi berupa perbaikan kualitas pelabelan potensial meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien hipertensi di Mataram.Kata kunci: Hipertensi, kepatuhan, kualitas pelabelan, pengetahuan, tekanan darah Effects of Labelling Quality on Hypertensive Patients’ Knowledge and Adherence in MataramAbstractHypertension is a chronic condition that requires long-term treatment, hence, adherence has been a major issue. The dispensed medication label has been commonly used to provide written information to optimize drug use in achieving treatment goals. Therefore, this study aimed to determine the effect of improved labeling quality on knowledge and adherence of hypertensive patients in Mataram. This is a pre-/post-intervention study with improved labeling quality (according to Good Dispensing Practice (GDP) standard–9 attributes) as the intervention. The differences in knowledge, adherence, and blood pressure pre-/post-intervention were statistically tested. A total of 132 patients from 11 Public Health Center in Mataram participated in this study from August to October 2017. The results showed a baseline labeling score of 3.6, and after the intervention (improved labeling), a maximum score of 9 was achieved. Knowledge was significantly increased through improved labeling (median score from 2.0 to 5.0; p=0.001). In addition, the intervention enhanced adherence (median score from 1.0 to 2.0; p=0.001). Significant changes were reported in systolic and diastolic blood pressure pre-/post-intervention (p=0.001 and 0.026, respectively). Therefore, preliminary data were provided on the potential of high-quality labeling to improve knowledge and adherence among hypertensive patients in Mataram.Keywords: Adherence, blood pressure, hypertension, knowledge, labelling quality
Effectiveness and Safety of Baricitinib as a Covid-19 Drug Candidate: A Systematic Review Yayuk S. Rahayu; Andi Anggriani; Habibie Habibie; Elly Wahyudin; Muhammad A. Bahar
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 11, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15416/ijcp.2022.11.1.78

Abstract

Baricitinib is an approved selective JAK1/JAK2 inhibitor that can potentially inhibit IL-6 as the primary driver of COVID-19-related cytokine storm syndrome. Therefore, this study aimed to assess the effectiveness and safety of baricitinib therapy in COVID-19 patients. It was reported following Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA) guidelines. The search for eligible articles reporting the efficacy and safety of baricitinib on COVID-19 patients, published up to May 2021, was conducted using PubMed and Embase. The research protocol was registered at PROSPERO (CDR42021235282), and data were presented in a metasynthetic (descriptive) manner. Out of 878 identified articles, seven were eligible and consisted of three randomized clinical trials, one quasi-experimental study, two before-after (pre-post) studies, and one cross-sectional study. The articles suggested that baricitinib could improve the clinical conditions of COVID-19 patients indicated by negative PCR test results, improve breathing quality, and decrease: ICU requirements, length of hospital stay, as well as the risk of death. The trial studies showed that this inhibitor works better with a loading dose of 8 mg, continued with 4 mg daily. Baricitinib could also produce synergistic effects with standard therapy such as corticosteroid and remdesivir. Therefore, it is a promising candidate therapy for COVID-19 patients, but since the number and methodological quality of the studies are low, further and better research is needed to ascertain its potential use on COVID-19. Keywords: Baricitinib, COVID-19, JAK1/2 inhibitor Efektivitas dan Keamanan Baricitinib sebagai Kandidat Obat Covid-19: Tinjauan SistematisAbstrakBaricitinib adalah inhibitor selektif JAK1 JAK2 yang dapat menghambat IL-6 sebagai pemicu utama terjadinya sindrom badai sitokin terkait COVID-19. Tinjauan sistematis ini dilakukan untuk menilai efektivitas dan keamanan terapi baricitinib pada pasien COVID-19. Kami melaporkan penelitian ini dengan mengikuti pedoman Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analyses (PRISMA). Kami menggunakan mesin pencari PubMed dan Embase untuk mencari artikel yang melaporkan efektivitas dan keamanan baricitinib pada pasien COVID-19, yang diterbitkan hingga Mei 2021. Protokol penelitian ini telah terdaftar di PROSPERO (CDR42021235282). Data disajikan secara metasintetik (deskriptif). Di antara 878 artikel yang teridentifikasi, ada tujuh artikel yang memenuhi syarat yang terdiri dari tiga artikel uji klinis acak terkendali, satu studi kuasi-eksperimental, dua studi sebelum-sesudah (pra-pasca) dan satu studi cross-sectional. Semua artikel menyatakan bahwa baricitinib dapat memperbaiki kondisi klinis pasien COVID-19 yang ditunjukkan dengan hasil tes PCR negatif, meningkatkan kualitas pernapasan, dan menurunkan: kebutuhan ICU, lama rawat inap, dan resiko kematian. Baricitinib tidak menyebabkan efek samping yang serius. Hasil uji klinis menunjukkan bahwa baricitinib bekerja lebih baik dengan pemberian loading dose 8 mg lalu dilanjutkan dengan baricitinib 4 mg setiap hari dibandingkan tanpa loading dose baricitinib. Baricitinib juga menghasilkan efek sinergistik jika dikombinasikan dengan terapi standar seperti kortikosteroid dan remdesivir. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa baricitinib adalah kandidat terapi yang menjanjikan untuk pasien COVID-19. Namun, karena jumlah dan kualitas metodologi penelitiannya rendah, penelitian lebih lanjut dan lebih baik secara metodologi masih dibutuhkan untuk memastikan potensi penggunaan baricitinib pada COVID-19.Kata kunci: Baricitinib, COVID-19, inhibitor JAK1/2

Page 1 of 1 | Total Record : 8