cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 26 Documents
Search results for , issue "Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)" : 26 Documents clear
Problematika Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah dalam Hegemoni Dewan Perwakilan Rakyat Affandi, Hernadi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7234.02 KB)

Abstract

AbstrakTulisan ini bertujuan mencari akar permasalahan dan upaya yang harus dilakukan untuk memperkuat fungsi legislatif DPD yang dianggap masih lemah dibandingkan dengan fungsi legislatif DPR. Salah satu akar penyebab masalah tersebut adalah keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan. Hal itu membawa konsekuensi terhadap kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang. Akibatnya, DPD berada di bawah hegemoni DPR dalam pembentukan undang-undang. Semua itu berawal dari ketentuan UUD 1945 yang memberikan kewenangan terbatas kepada DPD dan memberikan kewenangan yang amat besar kepada DPR dalam pembentukan undang-undang. Ketentuan tersebut kemudian dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akibat ketidakseimbangan fungsi legislasi tersebut, terjadi dominasi DPR dalam pembentukan undang-undang bahkan DPR bertindak sebagai pemegang kekuasaan utama dalam pembentukan undang-undang sehingga DPD selalu berada di bawah bayang-bayang DPR.Kata Kunci: Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, fungsi legislasi, kekuasaan legislatif, pembentukan undang-undang. The Legislative Functions of the Regional Representative Council (DPD) within the Predominance of the Peoples Representative Council (DPR): Some Problems and IssuesAbstractThis paper seeks to find the root of the problem along with the solution related to the legislative function of the DPD, which is considered weak when compared to the legislative function of the DPR. One of the root causes of these problems is related to the existence of the DPD in the constitutional structure, which brings a consequence to the authority of the DPD in the formation of legislation. As a result, the DPD is under the hegemony of the DPR in law-making process. All of them, starting from the provisions of the Constitution of 1945 which authorized restrictions to the DPD while giving more sizable power to the DPR in law-making process. The provision was then further regulated into the Act No. 27 of 2009 regarding the MPR, DPR, DPD, and DPRD; and the Act No. 12 of 2011 regarding the Formation of Legislation. Due to the imbalance domination of the legislative function of the DPR in law making, in addition to the DPR acting as the main power in the formation of legislation, the DPD have always been in the shadow of the DPR.Keywords: Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, legislative function, law making, legislative power.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a8
Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional dengan Sistem Perizinan: Perspektif Negara Kesejahteraan Puspitasari, Wina
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7037.679 KB)

Abstract

AbstrakDewasa ini, pengetahuan tradisional menjadi dasar utama bagi penemuan-penemuan penting dalam bidang farmasi, kosmetik, pertanian, bioteknologi, industri kimia, dan lain-lain. Permasalahan muncul ketika perusahaan tersebut memperoleh manfaat komersial dari pengetahuan tradisional secara tidak adil. Pemerintah harus mempertahankan pengawasan atas akses terhadap sumber daya genetik (beserta turunannya, termasuk pengetahuan tradisional) agar pemanfaatannya dilakukan dengan adil dan tidak merugikan kepentingan nasional. Mekanisme akses terhadap pengetahuan tradisional diakomodasi dalam sistem izin akses dan pemanfaatan. Izin akses mengacu pada kegiatan untuk memperoleh informasi dengan mengakses secara langsung sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional sedangkan izin pemanfaatan mengacu pada tindak lanjut atas akses yang telah dilakukan. Pihak pengguna mensyaratkan adanya perjanjian pemanfaatan dengan komunitas sumber dan bantuan lembaga pemerintah terkait dalam permohonan izin pemanfaatan. Dalam permohonan izin akses yang ditindaklanjuti dengan pendaftaran HKI atau komersialisasi, diperlukan Persetujuan atas Dasar Informasi Awal (PADIA) yang diberikan oleh komunitas lokal atau negara penyedia melalui otoritas nasional yang berwenang. Upaya kolateral yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan sistem perizinan dalam perlindungan pengetahuan tradisional, yaitu: (1) pendokumentasian pengetahuan tradisional dalam suatu register data yang terintegrasi; (2) perlindungan positif dilakukan dengan menyusun perundang-undangan tersendiri yang mengatur perlindungan pengetahuan tradisional; (3) peningkatan kapasitas kelembagaan dalam rangka mengembangkan mekanisme perizinan; (4) pemberdayaan komunitas lokal sebagai custodian dalam kepemilikan pengetahuan berdasarkan pembangunan ekonomi dan menejemen sumber daya berbasis masyarakat (community based economic development and resource management).Kata Kunci: hak komunal, komunitas lokal, negara kesejahteraan, pengetahuan tradisional, sistem perizinan.Legal Protection of Traditional Knowledge through Permit System: A Perspective of Welfare StateAbstractNowadays, traditional knowledge has become the primary basis of important discoveries in the field of pharmaceuticals, cosmetics, agriculture, biotechnology, chemical industry, and others. Problems arise when the company attains an unjust commercial benefit from traditional knowledge. The government must retain control over the access to genetic resources (and their derivatives, including traditional knowledge) in order to achieve fair utilization and not prejudice the national interests. The mechanism of access to traditional knowledge are accommodated in the system of access and utilization permits. The access permit refers to the activities of obtaining information through direct access to the genetic resources and traditional knowledge. Meanwhile, the utilization permit refers to the follow-up of access previously attained. The application of the utilization permit requires a utilization agreement between users and source of the community with the help of the government institutions concerned. In the application of the access permit application followed by the Intellectual Property Rights registration or commercialization, it shall require an approval of the Prior Informed Consent (PIC) given by the local community or state providers through a competent national authority. Collateral efforts that have to be done to implement a permit system for the protection of traditional knowledge are: (1) Documentation of the traditional knowledge in an integrated data register, (2) Positive protection by drafting its own legislation governing the protection of traditional knowledge, (3) Increase of the institutional capacity in order to develop a licensing mechanism, (4) Empowerment of local community as custodian in knowledge ownership based on economic development and community-based resource management.Keywords: communal rights, local communities, welfare state, traditional knowledge, permit system.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a3
Penerapan Perjanjian Internasional di Pengadilan Nasional: Sebuah Kritik terhadap Laporan Delegasi Republik Indonesia kepada Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Implementasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.. Dewanto, Wisnu Aryo
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (8010.408 KB)

Abstract

AbstrakLaporan Delri yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia kepada Komite Hak Asasi Manusia PBB menyatakan bahwa ICCPR telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia sehingga substansi ICCPR dapat diterapkan secara langsung di pengadilan nasional tanpa memerlukan peraturan pelaksana. Selain itu, dikatakan pula bahwa Mahkamah Konstitusi telah merujuk secara langsung pada Pasal 2 ICCPR dalam beberapa putusannya seperti putusan untuk kasus Nomor 101/PUU-VII/2009 tentang Pengujian terhadap UU Advokat Nomor 18/2003 dan putusan untuk kasus Nomor 73/PUU-IX/2011 tentang Pengujian terhadap UU Pemda Nomor 32/2004 sebagaimana yang telah diamandemen oleh UU Nomor 12/2008. Sayangnya, Pasal 2 ICCPR tersebut pada kenyataannya tidak dapat diterapkan sebagai rujukan langsung dalam putusan-putusan pengadilan karena substansi pasal ini tidak mengatur hak dan kewajiban individu, tetapi negara. Pasal 2 ICCPR sebenarnya hanya ingin menjelaskan status hukum dari ICCPR bagi negara-negara pihak. Secara filosofis, Pasal 2 ICCPR menyatakan bahwa ICCPR bukanlah perjanjian internasional yang dapat diterapkan secara langsung di pengadilan nasional negara-negara pihak karena keberlakuannya memerlukan peraturan pelaksana, yaitu berupa undang-undang. Dalam praktiknya, Indonesia menganut model dualisme dengan pendekatan transformasi dalam penerapan perjanjian internasional di level nasional. Semua perjanjian internasional yang telah diratifikasi harus ditransformasikan ke dalam undang-undang agar dapat digunakan oleh hakim karena hakim hanya terikat oleh peraturan hukum yang dibuat oleh DPR dan perjanjian internasional hanya dapat diterapkan melalui metode interpretasi hukum.Kata Kunci: International Covenant on Civil and Political Rights, Komite Hak Asasi Manusia, penerapan, pengadilan nasional, perjanjian self-executing dan non-self-executing. The Implementation of International Treaties in Municipal Courts: A Critic to the Initial Report of the Indonesian Delegations to the United Nations Human Rights Commitee regarding the Implementation of International Covenant on Civil and Political Rights in IndonesiaAbstractThe initial report, submitted by the Government of the Republic of Indonesia to the UN Human Rights Commitee in 2013, stated that the ICCPR—which Indonesia has ratified, is part of the domestic law of Indonesia. It, therefore, can be directly applied in municipal courts without previous establishment of an implementing legislation. It has also been stated that the Constitutional Court of Indonesia has made a direct reference to the Article 2 of the ICCPR; for instance in the case Number 101/PUU-VII/2009 regarding judicial review on the Advocate Act Number 18/2003, and the case Number 73/PUU-IX/2011 regarding judicial review on the Regional Government Act Number 32/2004 as amended by the Act Number 12/2008. The writer argues that the Article 2 of the ICCPR cannot be used as a direct reference as the article is intended only to govern the rights and duties of states, not individuals. In other words, the ICCPR governs the rights and duties of the State Parties. Specifically, this article stipulates that the ICCPR is a non-self-executing treaty because it needs an implementing legislation for its implementation at the municipal level. The writer is holds the opinion that Indonesia applies a model of dualism with a transformational approach to implement treaties in municipal courts. Consequently, all ratified treaties need to be transformed into Acts of Parliament in order to be implemented by judges because they are only bound by laws enacted by the Parliament (DPR). Hence, judges may apply international law through legal interpretation.Keywords: International Covenant on Civil and Political Rights, Human Rights Commission, implementation, municipal courts, self-executing & non-self-executing treaty.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a4
Editorial : Meluruskan Makna Demokrasi Latipulhayat, Atip
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (440.151 KB)

Abstract

Apabila dihitung sejak pertama kali diterbitkan, yaitu pada tahun 1976, maka Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum (PJIH) ini akan mendekati usia 40 tahun. Satu usia yang bukan saja matang, tapi seharusnya berada pada periode puncak (keberhasilan) – periode emas. Tahun ini (2014), PJIH belum genap berusia 40 tahun, dan masih tersisa dua tahun menuju periode puncak. Saat ini, PJIH ditangani oleh manajemen baru, tepatnya dikelola oleh para dosen muda dengan semangat dan visi baru untuk menjadikan PJIH bukan hanya sebagai medium pemenuhan angka kumulatif formal untuk melengkapi syarat kenaikan pangkat, tapi terkandung hasrat kuat untuk menjadikan jurnal ini sebagai wahana yang mampu memfasilitasi interaksi pemikiran yang kritis, objektif, dan jujur.  DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a0
Pengembangan Potensi Dana Zakat Produktif Melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Rosmawati, Rosi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6034.598 KB)

Abstract

AbstrakKegiatan membayar zakat mempunyai hubungan vertikal yaitu hubungan antara Allah SWT. sebagai Tuhan dan manusia sebagai mahkluk-Nya. Namun, kegiatan membayar zakat juga bersifat muamalat karena mempunyai hubungan horizontal yaitu antara manusia dengan manusia. Pengelolaan zakat bertujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna zakat yang berdampak pada terwujudnya keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan. Permasalahan yang dijumpai dalam praktik adalah mengenai penerapan pengembangan potensi dana zakat produktif dan fungsi LAZ dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dihubungkan dengan Undang-Undang Pengelolaan Zakat. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif. Pengumpulan data dan informasi diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan wawancara, selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan potensi dana zakat produktif melalui fungsi dan peranan LAZ untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menurut Undang-undang Pengelolaan Zakat, adalah melalui program Pembiayaan Modal Usaha bagi fakir miskin dengan menerapkan asas-asas syariat Islam sesuai dengan pendayagunaan dana zakat. Fungsi dan peranan LAZ memberikan kemandirian ekonomi kepada fakir miskin dan berperan sebagai sarana keagamaan yang meningkatkan manfaat dana zakat. Saran dalam pengembangan potensi dana zakat produktif melalui LAZ adalah dengan melakukan bimbingan dan penyuluhan kepada mitra pembiayaan modal usaha individu dengan lebih intensif, yaitu melalui pengawasan, penyuluhan, pencatatan, dan pendokumentasian transaksi ekonomi syariah untuk menciptakan laporan keuangan usaha yang otentik. Upaya tersebut diharapkan agar proses pengembangan dana zakat produktif terkawal secara syariah sekaligus menumbuhkan kepercayaan kepada masyarakat pelaksana.Kata Kunci: Badan Amil Zakat, Dompet Dhuafa, pengelolaan zakat, zakat produktif, kesejahteraan.Developing the Potency of Productive Zakat Funds through Lembaga Amil Zakat for the Prosperity of the SocietyAbstractThe paying of zakat denotes a vertical relationship between God and human as His creations. However, it could also be considered Muamalat, because it denotes the horizontal relationship between humans as well. Management of Zakat aims to increase the effectiveness and efficiency of the impact of zakat on the realization of justice, social welfare, and reduction of poverty. The problems in the practical implementation of the development of the potential of productive zakat funds, functions and role of LAZ improve the welfare of people related with the Zakat Management Act. This research applies an analytical descriptive study with normative juridical approach. The data and information are obtained from research literature, then undergoes legal qualitative analysis. The study indicates that the application of development of the potential of productive zakat funds utilizing the function and role of LAZ to improve the welfare of people under Zakat Management Act, is better done through Venture Capital Funding program for the poor under the principles of Islamic law on the realization of zakat funds. The development of the potential of productive zakat funds by utilizing the LAZ to improve the welfare of the community through Venture Capital Funding program for the poor have to guidance and counseling for individual venture capital financing partners more intensively, namely monitoring, counseling, making record and documentation of Islamic financial transactions to create financial statements of the business are authentic, so can be guarded in sharia.Keywords: Amil Zakat Institution, Dompet Dhuafa, management of zakat, productive zakat, and welfare.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a10
Kewenangan KPK untuk Melakukan Penyidikan dan Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Kerangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Suseno, Sigid
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6268.531 KB)

Abstract

AbstrakPemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) tidak hanya untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku tetapi juga untuk mengembalikan keuangan negara yang disebabkan oleh TPK. Salah satu upaya untuk mengefektifkan penegakan hukum terhadap TPK adalah dengan mengatur kewenangan penyidikan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk penyidik tindak pidana asal (Kejaksaan dan KPK) dalam UU TPPU. Namun, dalam praktik kewenangan penyidikan terhadap TPPU (Pasal 74 UU TPPU) telah menimbulkan permasalahan hukum khususnya mengenai kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan terhadap TPPU dalam kerangka pemberantasan TPK. Kewenangan penyidikan terhadap TPPU yang diberikan kepada KPK sangat pen_ng dalam pemberantasan TPK. TPK sebagai predicate crime memiliki kaitan erat dengan TPPU sebagai proceeds of crime. Pelaku TPK yang memiliki tujuan untuk memperoleh harta kekayaan secara ilegal umumnya melakukan pencucian uang untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaannya tersebut. Dengan adanya kewenangan KPK untuk melakukan penyidikan terhadap TPPU, KPK dapat melacak harta kekayaan pelaku berdasarkan hasil penyidikan TPK dan sebaliknya melakukan penyidikan terhadap TPK berdasarkan hasil penyidikan terhadap TPPU dengan menggunakan paradigma follow the money. Walaupun KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap TPPU sehingga dapat mengoptimalkan penegakan hukum terhadap TPK, tetapi tidak adanya pengaturan yang tegas mengenai kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan dalam UU TPPU menimbulkan masalah dalam penegakan hukum terhadap TPK baik efektivitasnya maupun Hak Asasi Manusia (HAM). Mengingat KPK dalam UU TPPU tidak secara tegas diberi kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap TPPU maka penuntutannya harus dilakukan melalui Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan baik menurut KUHAP maupun UU Kejaksaan. Oleh karena itu, masalah koordinasi menjadi masalah penting dalam upaya pemberantasan TPK.Kata Kunci: investigasi, KPK, tindak pidana korupsi, pencucian uang, penuntutan.  The Authority of KPK (the Indonesian Corruption Eradication Commission) to Investigate and Prosecute Money Laundering in order to Combat CorruptionAbstractCorruption eradication measures are made not merely to punish the perpetrator, but also to recover the assets of the State, lost because of the corruption. One of the efforts to make law enforcement to combat corruption more effective is by regulating the authority of the Prosecutor and Corruption Eradication Commission (the CEC) as predicate investigators of crime to investigate money laundering under the Anti-Money Laundering Law. However, in practice, the authority to investigate money laundering (Article 74 Anti-Money Laundering Law) has raised some issues, especially about the authority of the CEC to prosecute money laundering. The prosecutor and the CECs authority of investigation in money laundering are important to combat corruption. As predicate crime, corruption is connected to money laundering as one procedure of the crime. The purpose of the perpetrators of money laundering is to illegally enrich themselves by concealing or disguising the money. With the authority of the Prosecutor and the CEC to investigate money laundering, they can trace the perpetrators wealth according to the corruption investigations result. Otherwise, the Prosecutor and the CEC can conduct investigation of corruption according to the money laundering investigations result by using follow the money paradigm. However, the Prosecutor and the CECs authority are still insufficient to combat money laundering. It is because the CEC does not have the authority to prosecute money laundering. In practice, the coordination between the two institutions is becoming an issue. Therefore, in order to deal with the issue, the authority to prosecute money laundering should ideally be done by the Prosecutor according to Anti-Money Laundering Law and Indonesian Procedural Law.Keyword: investigation, Corruption Eradication Commission, corruption, money laundering, prosecution.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a6
Artikel Kehormatan: Saat Rakyat Bicara: Demokrasi dan Kesejahteraan Manan, Bagir; Harijanti, Susi Dwi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6409.913 KB)

Abstract

AbstrakSecara tradisional,  kesejahteraan adalah suatu kepercayaan bahwa kesejahteraan sosial merupakan tanggung jawab dari masyarakat dan tanggung jawab ini harus dipenuhi oleh pemerintah yang dilaksanakan dalam bentuk negara atau sistem pemerintahan. Demokrasi masih dipandang sebagai sistem yang paling sesuai dalam rangka tercapainya kesejahteraan sosial karena  demokrasi  memberikan  jalan bagi rakyat  untuk  berbicara. Namun, pada praktiknya demokrasi oleh masyarakat awam kerapkali diartikan sebagai pemerintah  yang sebenarnya lebih menekankan kepada demokrasi politik. Artikel ini akan memperlihatkan bagaimana kesejahteraan sosial dianalisis secara akurat dari pemikiran mengenai demokrasi sosial  yang  berjalan beriringan dengan  model demokrasi konsensus  sebagai dasar fundamental dalam menghadapiperistiwa negara dan pemerintahan.Time for People to Speak: Democracy and WelfarismAbstractTraditionally, Welfarism is the belief that social well-being is the responsibility of a community which could only be realized through state or governmental management. It is still believed that  Democracy is the  most  proper system in achieving social welfare, since it permits the people of a country to speak. In practice, however, Democracy is only understood  as a system that gives the governmental rights to the majority of the people. This article, thus, will argue that social wel fare is more precisely analyzed through the notion of Social-Democracy, which goes hand-in-hand  with the consensus model of Democracy as a fundamental base in carrying out state and governmental affairs.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a1
Pemenuhan Hak atas Perumahan dan Kawasan Permukiman yang Layak dan Penerapannya Menurut Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya di Indonesia Kurniati, Nia
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7929.413 KB)

Abstract

AbstrakSetiap manusia memiliki hak untuk hidup sejahtera yang melekat pada diri mereka sejak lahir. Salah satunya adalah hak untuk bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau. Tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman merupakan amanat Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pemenuhan kewajiban oleh negara untuk menyelenggarakan pembangunan perumahan dan permukiman bagi rakyatnya adalah untuk memenuhi hak-hak sipil dan politik (sipol), dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) warga negara. Pemenuhan atas tempat tinggal yang layak merupakan kewajiban pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights yang diratifikasi melalui UU No. 11 Tahun 2005. Pada kenyataannya, belum semua masyarakat dapat menikmati perumahan yang layak. Hal itu disebabkan oleh perbedaan perumbuhan dan perkembangan daerah dan perhatian pemerintah yang kecil terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Solusi dari permasalahan itu dapat dilakukan salah satunya dengan menyinkronkan UUD 1945, UU No. 1 Tahun 2011, dan UU No. 5 Tahun 2005 sebagai petunjuk dalam mengembangkan dan menyediakan rumah-rumah untuk masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah melalui kepemilikan “Rumah Swadaya”, “Rumah Umum”, “Rumah Khusus”, “Rumah Negara”, dan “Rumah Komersial” yang perpanjangan perlindungan hukum bagi masyarakat terkait penyediaan rumah yang layak. Negara harus segera memberikan perlindungan hukum serta jaminan untuk masyarakat yang tidak memiliki rumah dengan melakukan perjanjian maupun diskusi dengan kelompok-kelompok masyarakat terkait.Kata Kunci: hak atas perumahan, pemukiman yang layak, perumahan masyarakat berpenghasilan rendah, rumah susun, tanggung jawab negara. The Fulfilment of the Right of the Adequate Housing in Indonesia within the Framework of the Implementation of the International Covenant on Economic, Social, and Cultural RightsAbstractEvery person has the right to prosperous life which has been inherited since they were born. One of the implementation of this right is to live in a decent and affordable house. The responsibility of the State in providing decent and affordable house for their citizen is mandated by the Preambule and Article 28H paragraph (1) of the 1945 Constitution of Republic Indonesia, which stipulates that every person shall have the right to live in physical and spiritual prosperity, to have a home and to enjoy a good and healthy environment, and shall have the right to obtain medical care. The fulfillment of such obligation by the government in providing decent and affordable housing for its citizens in order to meet their civil and political, economic, social, and cultural rights based on the International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights ratified by Law Act No. 11 Year 2005. In reality, however, not all of the citizens of Indonesia have enjoyed their rights to live in a decent house. This is due to different regional growth and development as well as the lack of attention by the government on citizens who have low-income. One of the solution for this legal problem is to synchronize the legal rules regulated under the 1945 Constitution, Act No. 1 Year 2011 regarding Housing and Shelter, and Act No. 11 Year 2005 regarding The Ratification of The International Covenant of Economic, Social and Cultural Rights as guidance in developing and providing decent housings for citizens, especially low-income citizens (MBR), through the ownership of “Rumah Swadaya”, “Rumah Umum”, “Rumah Khusus”, “Rumah Negara”, and “Rumah Komersil”, each having different functions. Any mechanism is used, there shall be an extent of legal protection for the citizen’s rights with regards to the provision of decent houses. The State must immediately provide legal protection and assurance for citizens who have no access to decent and affordable houses by making an arrangement or discussion with the stakeholders and the relevant groups of the community.Keywords: rights to housing, affordable housing, low price housing, low cost apartement, state responsibility.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a5
Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third World Sulistyani, Wanodyo
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1887.638 KB)

Abstract

The Western’s lack of understanding of the local reality of the Third World was the alleged cause of the failure of development programs over the Third World. This book challenges this premise by seeing the problems from the perspective of not only the recipient countries, associated with the Third World or underdeveloped countries; but also from the donor, associated with the Western or developed countries. Encountering development means that both sides should not neglect the realities or challenges that exist in the process of development. All realities, such as political, social, cultural, history, the use of technology and science, must be taken into consideration when creating strategies for development. Finally, compromise between both parties through “hybrid cultures” model needs to be established in order to maintain the development. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a11
Khazanah: Hans Kelsen Latipulhayat, Atip
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4864.041 KB)

Abstract

Hans Kelsen adalah seorang pemikir hukum dunia yang buah pemikirannya bukan saja diperbincangkan di berbagai belahan bumi, tapi juga menjadi salah satu pemikir hukum garda depan (avant garde) pada zamannya, bahkan mungkin sampai sekarang. Roscoe Pound yang juga seorang filosof hukum kenamaan memberikan testimoninya sebagai berikut: “...Kelsen was unquestionably the leading jurist of the time. It is said that if the mark of the genius is that he creates a cosmos out of chaos, then Kelsen has evidently earned that title”. Pengakuan Roscoe Pound tentunya bukan tanpa dasar atau sekedar basa-basi, melainkan sebuah testimoni objektif dengan memperhatikan warisan pemikirannya yang tersebar dalam beratus-ratus karya ilmiah yang masih memiliki pengaruh penting sampai saat ini. DOI:https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a12

Page 1 of 3 | Total Record : 26


Filter by Year

2014 2014


Filter By Issues
All Issue Vol 10, No 2 (2023): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 10, No 1 (2023): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 9, No 3 (2022): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 9, No 2 (2022): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 9, No 1 (2022): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 8, No 3 (2021): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 8, No 2 (2021): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 8, No 1 (2021): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 7, No 3 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 7, No 2 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 7, No 1 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 6, No 3 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 6, No 2 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 6, No 1 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 3 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 2 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 2 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 1 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 1 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 4, No 3 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 3 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 2 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 2 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 1 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 1 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 3 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 3 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 2 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 2 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 1 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 1 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 3 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 3 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 2 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 2 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 1 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 1 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 3 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 3 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 2 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 2 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) More Issue