cover
Contact Name
Verdinand Robertua
Contact Email
verdinand.robertua@gmail.com
Phone
+6221-8009190
Journal Mail Official
sp@uki.ac.id
Editorial Address
Sekretariat Fisipol UKI, Jl. Mayjen Sutoyo 2, Cawang, Jakarta 13630
Location
Kota adm. jakarta timur,
Dki jakarta
INDONESIA
Sociae Polites: Majalah Ilmiah Sosial-Politik
ISSN : 14103745     EISSN : 26204975     DOI : https://doi.org/10.33541/sp.v21i3.2245
Core Subject : Social,
Sociae Polites has the vision to be the leading journal in the issue of Sustainable Development Goals
Articles 139 Documents
DEMOKRASI DAN BUDAYA POLITIK INDONESIA Adi Suryadi Culla
Sociae Polites Vol. 5 No. 23 (2005): Juli-Desember
Publisher : Faculty of Social and Political Sciences Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/sp.v5i23.512

Abstract

Abstrak Demokratis tidaknya suatu negara dapat dilihat dari budaya politiknya. Sebab, budaya politik merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap sistem politik di negara tersebut. Budaya politik itu sendiri berkembang di dalam kehidupan masyarakat dan dipengaruhi oleh kompleksitas nilai yang dalam masyarakat tersebut. Jika budaya politiknya mendukung berkembangnya demokrasi, atau yang disebut civic culture, maka niscayanya sistem politiknya juga demokratis. Dalam kasus Indonesia, pasca Orde Baru, perubahan politik yang terjadi cenderung lebih bersifat legalistik ketimbang substantif. Sistem politik yang berhasil dibangun baru sampai pada betntuk demokrasi semu (pseudo demokrasi); pada dasaranta tataran perbubahan isntitusional yang sudah berlangsung tersebut belum ditunjang pula oleh terjadinya perubahan pada tataran budaya politik.
Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia dan Kebebasan Pers Chontina Siahaan
Sociae Polites Vol. 11 No. 30 (2010): Januari-Juni
Publisher : Faculty of Social and Political Sciences Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/sp.v11i30.639

Abstract

Abstrak Di usia Negara RI yang ke 65, pers sudah semakin bebas dalam menyampaikan berbagai informasi kepada khayalak. Bahkan anggota DPR menilai kebebasan tersebut sudah kebablasan. Akan halnya media televisi dalam menayangkan berbagai informasi dan infotainment masih ditemukan tayangan-tayangan acara yang melanggar isi Undang-Undang Penyiaraan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengawasi program siaran memberi sanksi administratif kepada media televisi yang lalai atau melanggar aturan penyiaraan. Ketika KPI menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian sementara terhadap program Headlines di MetroTV, terjadi pro dan kotra terhadap KPI dengan mengatakan KPI melakukan penyensoran terhadap pemberitaan media televisi. Dalam Undang-Undang Pokok Pers, sebenarnya sensor tidak dibenarkan karena Indonesia menganut kebebasan pers sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Pokok Pers tersebut. Media televisi maupun media cetak harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah disampaikan kepada khalayak. Oleh karena itu dimungkinkan ada sanksi yang dilakukan KPI kepada media televisi, antara lain teguran tertulis, penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu, pembatasan durasi dan waktu siaran, denda administratif, pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu, tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran. Kata kunci: pers, kebebasan pers, sanksi, penyiaraan.
Mendirikan Negara Kebangsaan Indonesia Merphin Panjaitan
Sociae Polites Vol. 11 No. 30 (2010): Januari-Juni
Publisher : Faculty of Social and Political Sciences Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/sp.v11i30.640

Abstract

Abstrak Pergerakan Nasional Indonesia bergerak cepat, semakin dalam dan meluas ke seluruh Nusantara. Kelahiran Budi Utomo 20 Mei 1908 dilanjutkan dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. BPUPKI dalam Masa Sidang Pertama dari tanggal 28 Mei-1 Juni 1945 membicarakan berbagai hal yang perlu dipersiapkan untuk kemerdekaan Indonesia, termasuk tentang dasar negara Indonesia. Pada 1 Juni 1945, Soekarno mendapat giliran berbicara. Sebelum menyampaikan gagasan tentang dasar negara, Soekarno terlebih dulu menjelaskan tentang kemerdekaan Indonesia, dan menyatakan Indonesia harus segera merdeka, karena kemerdekaan itu perlu dan dapat dilakukan segera dan tidak ada alasan untuk menundanya. Kemudian Soekarno menyatakan, dasar pertama yang baik dijadikan dasar untuk negara Indonesia adalah dasar kebangsaan, yang kedua adalah internasionalisme, karena kebangsaan Indonesia merdeka adalah bagian dari kekeluargaan bangsa-bangsa, yang saling berinteraksi di antara bangsa-bangsa di dunia. Selanjutnya dasar yang ketiga ialah permusyawaratan perwakilan, yang keempat adalah prinsip kesejahteraan, dan yang kelima adalah prinsip Ketuhanan. Kata kunci: kebangsaan, dasar negara, demokrasi.
Faktor Geografi Dalam Mencegah Disintegrasi Bangsa (Upaya Mempertahankan Nasionalisme Indonesia) M. Kadarisman
Sociae Polites Vol. 11 No. 30 (2010): Januari-Juni
Publisher : Faculty of Social and Political Sciences Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/sp.v11i30.642

Abstract

Abstrak Setiap bangsa dalam rangka mempertahankan kehidupan dan eksistensinya, serta untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasionalnya, yaitu geostrategi nasional, perlu memiliki pemahaman ilmu geopolitik yang dalam implementasinya diperlukan suatu strategi yang bersifat nasional. Mapping global strategy ke depan sangat diperlukan bagi setiap bangsa, termasuk bangsa Indonesia. Wawasan Nusantara yang merupakan konsep nasional dari ilmu geopolitik mengenai persatuan dan kesatuan dalam berbagai bidang kehidupan, menjadi perekat bangsa Indonesia. Di lain pihak kini semakin sulit jiwa nasionalis kita temukan. Kita malah menganggap remeh para pejuang yang telah berjasa bagi kita. Pemerintah terkesan kurang memperhatikan nasib para veteran. Globalisasi dan kapitalisme telah mengubah mentalitas kita menjadi sangat jauh dari mental nasionalisme Indonesia. Banyak di antara kita yang rela menjual tanah airnya, hanya karena sedikit kemewahan dari negera orang. Kata kunci: Faktor geografi, disintegrasi, dan nasionalisme.
Konsolidasi Nasionalisme Indonesia Menghadapi Era Demokrasi Global Sidratahta Mukhtar
Sociae Polites Vol. 11 No. 30 (2010): Januari-Juni
Publisher : Faculty of Social and Political Sciences Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/sp.v11i30.643

Abstract

Abstrak Dari perspektif politik, globalisasi yang diikuti demokratisasi merupakan tren baru yang berkembang dan melanda banyak Negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Salah satu dampak dari globalisasi tersebut adalah merosotnya nasionalisme. Namun tentu juga ada banyak manfaat dapat di ambil dari perkembangan tersebut. Nasionalisme sendiri, pemahaman dan pemaknaannya dewasa ini, sangat di pengaruhi oleh perubahan dan pergeseran kepentingan politik nasional dan internasional. Jika di tahun 1940-an nasionalisme di artikan sebagai alat politik Negara yang di gunakan untuk kepentingan politis dan militer, dewasaa ini telah berubah menjadi alat kepentingan ekonomi Negara. Untuk itu yang penting di perhatikan dan harus selalu di tegakan adalah supremasi hukum, rule of law yang tegas. Tanpa hal itu nasionalisme seakan menjadi sesuatu yang hampa makna. Kata Kunci: globalisasi, demokrasi, nasionalisme.
Nasionalisme Tenaga Kerja Indonesia di Daerah Perbatasan Indonesia-Malaysia Anggraeni Primawati
Sociae Polites Vol. 11 No. 30 (2010): Januari-Juni
Publisher : Faculty of Social and Political Sciences Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/sp.v11i30.644

Abstract

Abstrak Istilah nasionalisme biasanya dijelaskan dengan “faham kebangsaan”. Kata bangsa itu sendiri berarti: (1) Kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri; (2) Kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Beberapa makna kata ‘bangsa’ di atas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah kesatuan yang timbul dari kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan dan tempat. Fakta bahwa para TKI di luar negeri, khususnya di Malaysia, hanya memikirkan kerja untuk memperoleh upah sehingga urusan perut menjadi terselesaikan, sedangkan masalah lain yang berkaitan dengan simbol-simbol kebangsaan, bagi mereka menempati urutan paling belakang. Bukan hanya TKI berpendidikan rendah yang mengabaikan nasionalisme dalam mencari nafkah, para TKI yang berpendidikan cukup tinggi pun ternyata juga kurang memiliki “rasa nasional”. Strategi baru pembangunan daerah perbatasan diperlukan untuk mengatasi persoalan di wilayah perbatasan, khususnya dalam menumbuhkan rasa kebangsaan atau nasionalisme. Kata kunci: nasionalisme, daerah perbatasan, pembangunan.
Kajian Tentang Potensi Pemberdayaan Perempuan Indonesia Melalui Komunikasi Kepimpinan Perempuan Rini Sudarmanti
Sociae Polites Vol. 11 No. 30 (2010): Januari-Juni
Publisher : Faculty of Social and Political Sciences Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/sp.v11i30.645

Abstract

Abstrak Jumlah perempuan di Indonesia merupakan aset potensial yang cukup besar bagi pembangunan bangsa. Sayangnya potensi jumlah perempuan Indonesia ini tidak sebanding dengan peran partisipasi perempuan di semua bidang kehidupan, yang umumnya masih didominasi laki-laki. Ini tentu mejadi tantangan tersendiri, karena potensi perempuan dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia sangatlah besar. Meutia Hatta pernah menghimbau agar perempuan hendaknya mampu membentuk mind set pemberdayaan diri sendiri (self empowerment), agar mampu mengatasi hambatan dan kendala yang dihadapi, serta memberdayakan perempuan lainnya mencapai kemajuan bersama. Kemajuan seorang perempuan hendaknya dapat menjadi sarana pemicu untuk memberdayakan dan memperjuangkan perempuan lainnya. Kata Kunci: perempuan, komunikasi kepemimpinan, pemberdayaan.
Olahraga dan Makna Nasionalisme dalam Perspektif Media Agustinus Eko Rahardjo
Sociae Polites Vol. 11 No. 30 (2010): Januari-Juni
Publisher : Faculty of Social and Political Sciences Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/sp.v11i30.646

Abstract

Abstrak “Hanya ada dua cara di mana bendera Indonesia dapat dikibarkan di negara lain: saat presiden kita berkunjung ke negara itu, dan saat prestasi olahraga Indonesia berkibar dalam sebuah event yang berlangsung di negara tersebut.” Ucapan mantan presiden Jusuf Kalla itu menegaskan betapa pentingnya prestasi olahraga dapat membawa kehormatan sebuah negara. Disampaikan di sela-sela mengunjungi latihan tim nasional sepakbola Indonesia menjelang tampil sebagai tuan rumah Grup B Piala Asia 2007, lecutan semangat dari orang nomor dua di negeri ini membawa prestasi gemilang. Dalam tiga kali penampilannya, Firman Utina dan kawan-kawan tampil gemilang meski gagal menembus babak perempatfinal. Sekali menang melawan Bahrain 2-1, dan dua kalah, 1-2 dari Arab Saudi dan 0-1 dari Korea Selatan sudah cukup mengangkat nama Indonesia bersaing dengan para raksasa sepakbola Asia itu. Tapi, itu prestasi terbaik timnas dalam tiga tahun terakhir. Selanjutnya, sepakbola Indonesia berada di titik nadi sejarah. Pada Sea Games di Laos 2007 lalu, bahkan Boaz Salossa dan kawan-kawan tertinggal prestasinya dari negara sekelas Laos, Myanmar dan Malaysia. Kini, sebagai salah satu upaya mengangkat kembali prestasi sepakbola Indonesia, muncul wacana naturalisasi pemain asing. Bagaimana media massa menyikapi persoalan ini, dalam kaitannya dengan kebangkitan prestasi olahraga dan nasionalisme para pemain profesional? Kata kunci: nasionalisme, sepakbola, naturalisasi, framing, media massa.
ASEAN Role and Regionalism in Southeast Asia V.L. Sinta Herindrasti
Sociae Polites Vol. 11 No. 31 (2010): Juli-Desember
Publisher : Faculty of Social and Political Sciences Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/sp.v11i31.675

Abstract

AbstractAs a regional-level organization that was founded in 1967 with 10 South East Asia state members (Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, Thailand, Brunei, Vietnam, Laos, Myanmar, Cambodia), ASEAN is frequently seen as a unique case of regional integration manifested politically and economically. When society interconnection and integration are more globally intense and bring more serious attentions for social theorists through “Globalization” concept, it cannot be denied that regionalism phenomenon is part of critical observation due to many unanswered questions: How does the regionalism process form? To what extend “globalization” forms regionalism? How do state member actors face globalization process which is sometimes uncontrolled and unregulated with huge consequence such as 1997 Asia Financial Crisis? How is arrangement system of a regional community set up considering no one cannot ensure the final process of globalization in the future, etc.ASEAN – proven not only an economic block – possesses its own formula in effort to achieve its economic, politic and sociocultural goals and in theoretical understanding and praxis of globalization phenomenon are hoped to give significant contribution for ASEAN regional integration process while still being faithful to the main goal: to push development in various aspects through regional collaboration with every state member for social welfare.Keywords: regionalism, globalization, functional integration
UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WILAYAH PERBATASAN DARAT INDONESIA – TIMOR LESTE Imelda Masni Juniaty Sianipar
Sociae Polites Vol. 18 No. 01 (2017): Januari-Juni
Publisher : Faculty of Social and Political Sciences Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/sp.v18i01.751

Abstract

AbstractOn the Annual Press Statement of the Indonesian Minister for Foreign Affairs 2017, Minister for Foreign Affairs, Retno LP Marsudi stated that Indonesia will accelerate the settlement of negotiations on the border issues of Indonesia with several neighboring countries including Timor Leste. Foreign Minister Retno also stressed that the settlement of Indonesia's border with Timor-Leste will be peaceful, without threat of violence, and with full respect for international law. This article seeks to understand the border dispute of the border areas of Indonesia-Timor Leste in international relations perspective. There are three strategies that Indonesia can implement to resolve this dispute. They are military confrontation, the use of formal institutions such as international organizations and the use of informal institutions such as norms, beliefs, ideas and values. The article argues that it is not enough to rely solely on international agreements to resolve the dispute between Noel Besi / Citrana and Bijael Sunan / Oben, Indonesia needs to emphasize the importance of understanding the norms, beliefs, ideas and values of indigenous peoples living in disputed territories. It is expected that the use of formal and informal institutions can accelerate the settlement of dispute Noel Besi / Citrana and Bijael Sunan / Oben.Keywords: land border dispute, Indonesia, Timor Leste AbstrakPada Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri Tahun 2017, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno LP Marsudi menyatakan bahwa Indonesia akan mempercepat penyelesaian perundingan masalah perbatasan wilayah Indonesia dengan beberapa negara tetangga, salah satunya adalah Timor Leste. Menlu Retno juga menekankan bahwa penyelesaian perbatasan Indonesia dengan Timor Leste akan dilakukan secara damai, tanpa ancaman kekerasan, dan dengan penghormatan sepenuhnya pada hukum internasional. Artikel ini berupaya memahami sengketa perbatasan wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste dalam perspektif hubungan internasional. Ada tiga strategi yang dapat ditempuh oleh Indonesia dalam rangka menyelesaikan sengketa ini yaitu konfrontasi militer, penggunaan institusi formal seperti organisasi internasional serta penggunaan institusi informal yaitu norma, kepercayaan, ide dan nilai. Artikel ini berargumen bahwa untuk menyelesaikan sengketa Noel Besi/Citrana dan Bijael Sunan/Oben tidak cukup menggandalkan traktat / perjanjian internasional saja, Indonesia perlu lebih menekankan pada pentingnya pemahaman akan norma, kepercayaan, ide dan nilai dari masyarakat adat yang tinggal di wilayah sengketa tersebut. Niscaya penggabungan strategi pemanfaatan institusi formal dan informal tersebut dapat mempercepat penyelesaian sengketa Noel Besi/Citrana dan Bijael Sunan/Oben.Kata kunci: sengketa wilayah perbatasan darat, Indonesia, Timor Leste

Page 5 of 14 | Total Record : 139