Ghalif Putra Sadewa
Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Membongkar Identitas dalam Film "Wandu" Ghalif Putra Sadewa
Rekam : Jurnal Fotografi, Televisi, Animasi Vol 15, No 1 (2019): April 2019
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/rekam.v15i1.1927

Abstract

Wandu (The Effeminate) adalah film pendek televisi yang bercerita tentang problematika tiga orang waria dalam proses pencarian identitas dan haknya sebagai manusia ditengah masyarakat yang majemuk. Penolakan aspirasi waria dan citra negatif telah melekat erat pada masyarakat dan berdampak pada segala sepak terjang waria. Semua waria sama saja, itulah ungkapan yang jamak. Diskriminasi, upaya penolakan, dan perlakuan yang tidak manusiawi merupakan tekanan sosial yang terjadi akibat nihilnya identitas bagi waria. Oleh sebab itu, identitas menjadi hal terpenting bagi waria. Identitas adalah bentuk keberadaan yang kongkrit untuk mendapatkan kesejahteraan sosial yang lebih baik dan setara.Kata kunci : Identitas, Waria, film Wandu
Rangkaian Close-Up, Ekspresi Visual Ritual Tiban: Wujud Pengorbanan Dalam Film Eksperimental Ghalif Putra Sadewa
ATRAT: Jurnal Seni Rupa Vol 10, No 1 (2022): TEKNIK DAN TEKNOLOGI MEDIA KARYA VISUAL
Publisher : Jurusan Seni Rupa ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/atrat.v10i1.1837

Abstract

ABSTRACTTiban is a sacred performing art in Blitar, this tradition is trusted by the community to request rain during the dry season. The offerings, the spells, the calculation of days and the places of execution are considered necessary as a complement to traditional ceremonies. The culmination of Tiban's ritual is the sacrifice of citizens in the whip battle. But unfortunately, visibility is one of the factors that causes changes in the offender's emotions to become opaque. Visual expression of sacrifice is a manifestation of the realization of individual feelings, spontaneous, and emotional in interpreting rituals. Therefore, a close-up was chosen as a medium to closely observe the faces of Tiban participants. Close-up creates intimacy between characters, moves forward grooves or highlights details so the audience understands the moment in the ritual. This shot will simultaneously affect the structure and content of making experimental films. The close-up arrangement as a story style raises tension that focuses on the aesthetic aspects of the object of creation. The face shot provoked to show details that were previously ignored. Visual close-up is no longer a simple representation of reality, but imagery becomes a unit that creates atmosphere, defines character, intensifies the situation, and increases symbol status in the use of mise en scene as a plot. The aim is to produce meaning, emotion, rethink, while presenting a new perspective.Keywords : experimental, close-up, face expression, ritualABSTRAKTiban adalah seni pertunjukkan sakral di Blitar, tradisi ini dipercaya masyarakat guna memohon hujan saat musim kemarau. Sesaji, mantra, perhitungan hari serta tempat pelaksanaan dipandang perlu sebagai pelengkap upacara adat. Puncak dari ritual Tiban adalah pengorbanan warga dalam adu cambuk. Namun sayang, jarak pandang menjadi salah satu faktor penyebab perubahan emosi pelaku menjadi kabur. Visual ekspresi pengorbanan merupakan bentuk realisasi dari perasaan individu, spontan, dan emosional dalam memaknai ritual. Oleh karena itu, close-up dipilih sebagai medium untuk mengamati secara dekat wajah peserta Tiban. Close-up menciptakan keintiman antar karakter, menggerakkan alur ke depan atau menyoroti detail sehingga penonton memahami momen dalam ritual. Bidikan ini sekaligus akan memengaruhi struktur dan konten dalam penciptaan film eksperimental. Rangkaian close-up sebagai gaya penceritaan, menimbulkan ketegangan yang menitikberatkan kepada aspek estetik objek ciptaan. Close-up pada wajah, memprovokasi untuk menunjukkan detail-detail yang sebelumnya terlewatkan oleh pandangan. Visual dari rangkaian close-up bukan lagi representasi gambar sederhana dari realitas, tetapi gambar itu menjadi satu kesatuan yang menciptakan atmosfer, mendefinisikan karakter, mengintensifkan situasi, dan mengangkatnya ke status simbol dalam penggunaan pemanggungan (mise en scene) sebagai alur. Tujuannya menghasilkan makna, emosi, pemikiran ulang, sekaligus menyuguhkan cara pandang baru.Kata Kunci: eksperimental, close-up, ekspresi wajah, ritual
Membongkar Identitas pada Film “Wandu" Ghalif Putra Sadewa
Jurnal Desain Komunikasi Visual Nirmana Vol. 18 No. 1 (2018): JANUARY 2018
Publisher : Institute of Research and Community Outreach - Petra Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (331.472 KB) | DOI: 10.9744/nirmana.18.1.20-26

Abstract

Wandu (The Effeminate) adalah film pendek televisi yang bercerita tentang problematika tiga orang waria dalam proses pencarian identitas dan haknya sebagai manusia ditengah masyarakat yang majemuk. Penolakan aspirasi waria dan citra negatif telah melekat erat pada masyarakat dan berdampak pada segala sepak terjang waria. Semua waria sama saja, itulah ungkapan yang jamak. Diskriminasi, upaya penolakan, dan perlakuan yang tidak manusiawi merupakan tekanan sosial yang terjadi akibat nihilnya identitas bagi waria. Oleh sebab itu, identitas menjadi hal terpenting bagi waria. Identitas adalah bentuk keberadaan yang kongkrit untuk mendapatkan kesejahteraan sosial yang lebih baik dan setara
PENINGKATAN KUALITAS PADA MIGRASI TV DIGITAL Ghalif Putra Sadewa
Offscreen Vol 2, No 01: Offscreen: Journal Of Film and Television (July-December 2022)
Publisher : Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26887/os.v1i3.3098

Abstract

Pada tahun 2022 pemerintah melalui Kementerian Kominfo mulai menerapkan analog switch off secara penuh pada 341 daerah yang mengalami perpindahan dari siaran tv analog menjadi digital. Dengan dilakukannya migrasi siaran analog ke digital, maka penyiaran televisi analog akan berangsur dihentikan. Digitalisasi siaran di Indonesia sudah tidak dapat terelakkan lagi keberadaannya. Migrasi sistem penyiaran bukan sekedar menyalurkan data visual dan suara lebih baik tetapi juga menyoal kemampuan multifungsi dan multimedia terbarukan, seperti layanan interaktif hingga informasi peringatan dini bencana. Disisi lain, membuka lebih besar tumbuhnya industri ekonomi kreatif berbasis digital. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dalam mengumpulkan data. Hasil penelitian berupa pemahaman tentang kebutuhan mendesak migrasi televisi termasuk distribusi namun juga tidak melupakan unsur estetika sehingga menghasilkan tayangan yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Vertical Video Trends Among Amateur Digital Platform Users as an Alternative for Film Production Retno Mustikawati; Ghalif Putra Sadewa; Muhammad Alvin Fadholi
Journal of Urban Society's Arts Vol 9, No 2 (2022): October 2022
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/jousa.v9i2.7949

Abstract

The Vertical Video Syndrome expression adequately represents the spread of the production process and projection of amateur digital content in vertical format. For smartphone users, the vertical is the king. All components of digital life make users subconsciously hold their phones vertically on various occasions. Penetration after penetration is carried out, from flexibility and artificial intelligence, to private viewing rooms that move dynamically. As a new starting point in quite an extended period, the vertical video gives birth to a glimmer of hope in a film atmosphere that seems exclusive and rigid. However, problems have arisen as user demands have increased and smartphones have become sociocultural necessity over the last decade. With a vertical screen, people are used to spending time watching video shows, including recording all their activities. Because of that, there is a big challenge for filmmakers to see the opportunities that exist. The vertical format creates a narrow, elongated reading space. The camera movement, which used to use action from left to right, now switches from top to bottom. Subjects in vertical formats are also forced to submit to limited reading space. In conventional films, close-ups can isolate the field of view while at the same time emphasizing facial expressions. But not vertically because it will bring out a different density; what arises is not a close-up but a big close-up and even an extreme close-up. As a result, this gives motivation and a different meaning visually. It would be a lie if this didn't fall into the challenges to be solved. The field of view gets more complicated. The vertical concept encourages creators to get out of the conventional mindset. Likewise, with the actors involved, the vertical format provides a more challenging exploration of expressions and gestures. This research uses qualitative methods in collecting data and utilizes a lot of current literature. The research results are in the form of knowledge and recommendations regarding the packaging and distribution of film production in a vertical format. Tren Video Vertikal di Antara Pengguna Platform Digital Amatir sebagai Alternatif Produksi Film. Sindrom Video Vertikal, ungkapan itu cukup mewakili merebaknya proses produksi dan proyeksi konten digital amatir berformat vertikal. Bagi pengguna smartphone, vertikal adalah raja. Seluruh komponen kehidupan digital membuat pengguna secara alam bawah sadar memegang telepon secara vertikal dalam beragam kesempatan. Penetrasi demi penetrasi dilakukan, fleksibilitas, kecerdasan buatan, hingga ruang tonton privasi yang bergerak dinamis. Sebagai titik pijak baru dalam kurun waktu yang cukup panjang, video vertikal melahirkan secercah harapan dalam suasana perfilman yang terkesan eksklusif dan kaku. Namun, persoalan pun muncul, di kala tuntunan pengguna semakin tinggi dan smartphone menjadi kebutuhan sosiokultural sejak satu dekade terakhir. Dengan layar vertikal, orang terbiasa menghabiskan waktu untuk menonton tayangan video termasuk merekam segala aktivitasnya. Karena itulah, muncul tantangan besar bagi pembuat film guna melihat peluang yang ada. Format vertikal mencipta ruang baca yang menyempit memanjang. Memindahkan pergerakan kamera yang terbiasa memanfaatkan pergerakan dari kiri ke kanan, kini beralih dari atas ke bawah. Subjek pada format vertikalpun dipaksa untuk tunduk pada ruang baca yang terbatas. Pada film konvensional, close-up sudah mampu mengisolasi ruang pandang sekaligus mempertegas ekspresi wajah. Namun tidak pada vertikal karena akan memunculkan kepadatan yang berbeda, yang timbul bukan close-up melainkan big close-up bahkan extreme close-up. Alhasil ini memberi motivasi dan makna yang berbeda secara visual. Suatu kebohongan jika ini tidak masuk dalam kategori tantangan yang harus dipecahkan. Ruang pandang menjadi sedikit lebih rumit. Konsep vertikal benar-benar mendorong kreator untuk keluar dari pola pikir konvensional. Begitu pula dengan aktor yang terlibat, format vertikal memberikan tantangan eksplorasi yang lebih pada ekspresi dan gerak tubuh. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dalam mengumpulkan data dan memanfaatkan banyak literatur saat ini. Hasil penelitian berupa pengetahuan dan rekomendasi tentang pengemasan dan distribusi produksi film dalam format vertikal.
ANALISIS SCRIPT MOMENTUM PADA FILM ANIMASI MULAN Elara Karla Nugraeni; Ghalif Putra Sadewa; Dwi Putri Nugrahaning Widhi
TONIL: Jurnal Kajian Sastra, Teater dan Sinema Vol 20, No 1: Maret 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/tnl.v20i1.9622

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur naratif pada babak kedua film animasi Mulan (1998), sebuah film fiksi dengan genre animasi yang menggunakan struktur tiga babak. Fokus penelitian ini terletak pada pengembangan konstruksi cerita di babak dua melalui karakter utama. Pengembangan alur cerita pada film ini ditandai menguatnya beberapa komponen momentum yang krusial pada babak konflik hingga puncak konflik atau klimaks. Penelitian ini akan melihat bagaimana komponen-komponen script momentum diterapkan dalam film animasi Mulan, dengan fokus pada permasalahan utama yang dihadapi oleh protagonis yaitu Mulan. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan teori Linda Seger, yang meliputi Action Points, the Implied Scene, The Obstacle, The Complication, dan The Reversal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami secara lebih mendalam bagaimana struktur naratif dalam film animasi ini dibangun melalui babak dua, serta untuk mengidentifikasi peran dan pengaruh karakter utama dalam menggerakkan alur cerita. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan baru tentang penggunaan elemen-elemen naratif dalam film animasi dan memberikan kontribusi pada pengembangan studi film dan animasi di masa depan. Kata kunci: Film Mulan 1998, struktur naratif, script momentum
Film Dokumenter Mereka: “Episode Ekspresi Personal Risman Marah dalam Berkarya Seni Fotografi”, Genre Biografi sebagai Media Pendidikan Oscar Samaratungga; Ghalif Putra Sadewa
Rekam : Jurnal Fotografi, Televisi, Animasi Vol 19, No 2 (2023): Oktober 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/rekam.v19i2.10963

Abstract

Dokumenter “Mereka” merupakan proyek jangka panjang, menceritakan kisah hidup tokoh yang tekun dan berdedikasi di bidangnya masing-masing. Pemilihan genre biografi sebagai cara tutur memudahkan penonton untuk mengikuti rangkaian peristiwa yang dialami tokoh hingga membentuk ekspresi personal dalam setiap karya-karyanya. Dokumenter biografi seringkali digunakan sebagai media untuk menginspirasi dan memberikan pemahaman yang lebih dalam dari subjek filmnya. Episode kali ini, membahas ekspresi personal Risman Marah sebagai seorang maestro fotografer. Risman Marah, bukan nama asing bagi dunia fotografi Indonesia. Karya, kepakaran, hingga dedikasinya tak perlu diragukan lagi. Namun, seperti apa kehidupan Risman Marah dahulu kala? Tempaan alam dan kondisi seperti apa hingga ia menemukan jalurnya dalam fotografi. Kisah-kisah di luar proses memotret diyakini juga memiliki andil yang besar dalam kiprahnya pada dunia fotografi, baik sebagai pendidik maupun praktisi. Pertanyaan-pertanyaan tadi akan dirumuskan dengan membongkar arsip visual subjek dan diceritakan kembali lewat medium film dokumenter guna menjadi satu pemahaman tentang kisah hidup, cara berpikir, dan berkarya. Metode penciptaan film dokumenter menggunakan tahapan pra produksi, produksi, dan pasca produksi. Sedangkan hasil dari penciptaan film dokumenter akan dipublikasikan menggunakan media sosial sebagai medium promosi sekaligus edukasi dikarenakan kecenderungan akses masyarakat hari ini lebih dominan pada platform tersebut.Documentary Film “Mereka”: Episode of Risman Marah’s Personal Expression In Creating” Biography Genre As An Educational Medium. The documentary "Mereka" is a long-term project that tells the life stories of individuals who are diligent and dedicated in their respective fields. The choice of biography as a storytelling genre makes it easier for the audience to follow the series of events experienced by these individuals, leading to the formation of their personal expressions in each of their works. Biographical documentaries are often used as a means to inspire and provide a deeper understanding of the film's subjects. In this episode, we will delve into the personal expression of Risman Marah, a master photographer. Risman Marah is not an unfamiliar name in the world of Indonesian photography. His work, expertise, and dedication need no further confirmation. However, what was Risman Marah's life like in the past? How did the natural environment and conditions of that time influence his journey in the world of photography? It is believed that the stories beyond the photography process also play a significant role in his contributions to the world of photography, both as an educator and practitioner. These questions will be addressed by exploring visual archives of the subject and retelling them through the medium of a documentary film to provide a comprehensive understanding of Risman Marah's life, thoughts, and works. The documentary filmmaking process involves pre-production, production, and post-production stages. The results of this documentary will be published through social media as a means of promotion and education, considering that current society tends to be more dominant on that platform.
PENYUTRADARAAN DOKUMENTER “LELABUH ROSO ING MERAPI” DENGAN GAYA EXPOSITORY Beta Santika; Widyaningtyas Virgo K.; Ghalif Putra S.
Jurnal Ilmu Komunikasi AKRAB Vol. 8 No. 1 (2023): DESEMBER
Publisher : AKADEMI KOMUNIKASI RADYA BINATAMA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACTThe finished work "Lelabuh Roso Ing Merapi" was made into an audio visualwork after undergoing a long process from pre-production to post-production which tookmonths. In the production, the writer acts as a director who regulates all kinds ofconditions for making the work, starting from the idea being developed until the end ofthe work editing process. The director is not only responsible as a leader in the productionof a work, but also as a technical advisor for both camera and writing, as a developer ofideas which are then maximized with the script writer, and observing how the work can bedisplayed in the desired media, in this case YouTube. The director as the writer, uses anexpository style, combined with an observational directing style, with the hope ofstrengthening the naturalness of the visuals, and also aims to show the other side of theoffering itself. The work that has been created with a duration of 24 minutes is inaccordance with the provisions applicable by the academic authorities. It is hoped thateverything from this work can provide new information, so that it can indirectly be usedas knowledge for the general public, from young to old, so that they know more about theother side of the cultures or traditions that were once upheld by their ancestors, who nowit is still preserved for the people who believe and believe in it. And it is hoped that theaudience will also be able to enjoy this work which has been presented through thetheories used, starting from directing style, writing techniques, and also the variety ofshots taken and displayed in the work and report.Keywords: Lelabuh Roso Ing Merapi, Labuhan Merapi, Director, Expository, Documentary.