Bagi umat Islam aturan mengenai perceraian ini merupakan ganjalan yang relatif masih besar atau sekurangkurangnyamasih menjadi tanda tanya yang belum terjawab, karena dirasakan tidak sejalan dengan kesadaranhukum yang selama ini berkembang, yaitu aturan Fiqh. Aturan fiqih mengizinkan perceraian atas dasar kerelaankedua belah pihak, atau atas inisiatif suami atau inisiatif isteri secara sepihak, bahkan perceraian boleh dilakukantanpa campur tangan lembaga pengadilan. Sedangkan aturan perceraian yang tertera dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini serta aturan pelaksanaan lainnya, semisal peraturan pemerintah No. 9 Tahun1975, dirasakan terlalu jauh perbedaannya dengan kesadaran hukum yang ada ditengah masyarakat muslimsehingga menimbulkan kesulitan dilapangan. Perceraian menurut Undang-Undang yang berlaku haruslahdilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agam. Tetapi pada kenyataannya di masyarakat Minangkabau NagariUlakan yang bercerai tidak dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, dampak dari perceraian tersebut bukanhanya berpengaruh terhadap anak dan isteri tetapi ketidak jelasan status dari pasangan suami-isteri tersebut. Halini penulis ingin menyelusuri untuk mengetahui factor penyebab dan presepsi Masyarakat Minangkabau terhadapperceraian di Pengadilan Agama. Metode penelitian ini adalah Library Research dan Field. Populasi dalampenelitian ini adalah Masyarakat Minangkabau di Nagari Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten PadangPariaman, Provinsi Sumatera Barat. Dari hasil peneilitian ini didapati mayoritas masyarakat Minagkabau diNagari Ulakan sudah banyak yang mengetahui dan mengenal fungsi dari Pengadilan Agama yaitu sebagai tempatsuami-isteri yang hendak bercerai. Dan dari hasil penelitian ini banyak juga perceraian responden tidak dilakukandi Pengadilan Agama.Kata Kunci: Perceraian, Pengadilan Agama, persepsi masyarakat Minangkabau (Nagari Ulakan)