Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

The Shift Paradigm of the Death Penalty in the Draft Criminal Code titin nurfatlah; Amiruddin Amiruddin; Ufran Ufran
Unram Law Review Vol 4 No 1 (2020): Unram Law Review (Ulrev)
Publisher : Faculty of Law, University of Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/ulrev.v4i1.111

Abstract

This study aims to determine the concept of the death penalty in the future Indonesian criminal law. The method used is a normative research method. The approaches in this research are the statute approach, conceptual approach, historical approach, and comparative approach. The conclusion based on the results of the research, the death penalty in the Draft of the Penal Code is no longer a primary punishment but has separate rules. The provisions of the death penalty in the Draft Penal Code is particular and as an alternative punishment. The purpose of this death penalty provision includes giving broader consideration for judges in giving decisions as not arbitrary towards the convicted; give more attention to the objectives of the punishment. Additionally, the provision advocates the death penalty as a last resort in protecting the community, as the judges shall look for other punishment as an alternative to the death penalty. The Draft of the Criminal Code bases on Neo-Classical school of thought, which maintains a balance between objective factors (actions/outward) and subjective factors (people/ inner/inner attitudes).
TRANSFORMASI PENGHENTIAN PENYIDIKAN KASUS KORUPSI DI INDONESIA Ratna Purnamasari; Amiruddin Amiruddin; Rina Khairani Pancaningrum
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (412.875 KB) | DOI: 10.24843/KS.2021.v10.i01.p07

Abstract

Artikel ini bertujuan menganalisis transformasi penghentian penyidikan kasus korupsi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif. dengan. Adapun hasil penelitian ini yakni Sebelum terbitnya UU No. 19 Tahun 2019 KPK tidak berhak mengeluarkan SP3 dan persyaratannya mengacu pada Pasal 109 ayat (2) KUHAP sedangkan pada UU No. 19 Tahun 2019 mengatur kewenangan dan persyaratan KPK mengeluarkan SP3. Revisi Pasal 40 pada Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK bahwa KPK diberikan kewenangan mengeluarkan SP3 kepada tersangka korupsi apabila memenuhi syarat seperti yang tertuang dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP di tambah ketentuan baru yakni SP3 dapat dikeluarkan apabila penyidikan tidak selesai dalam 2 tahun. This article aims to analyze the transformation of the termination of investigations into corruption cases in Indonesia. This research uses normative research methods. with. The results of this study, namely, before the issuance of Law no. 19 of 2019 the KPK is not entitled to issue SP3 and the requirements refer to Article 109 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code while Law no. 19 of 2019 regulates the authority and requirements of the KPK to issue SP3. Revised Article 40 of Law Number 19 of 2019 concerning the KPK that the KPK is given the authority to issue SP3 to corruption suspects if it meets the requirements as stated in Article 109 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code plus a new provision namely SP3 can be issued if the investigation is not completed within 2 year.
Penerapan Sanksi Pidana Tambahan Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Di Lingkungan TNI AD (Study Kasus Korem 162/WB) Ismail Ismail; Amiruddin Amiruddin; Rina Khairani Pancaningrum
Jatiswara Vol 37 No 1 (2022): Jatiswara
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jtsw.v37i1.371

Abstract

Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai kompenen utama alat pertanahan negara harus memiliki tugas pokok yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam pasal tersebut disebut ada tiga tugas pokok TNI yakni menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara. Berdasarkan tugas pokok tersebut, TNI dituntut untuk tetap professional dan memiliki sikap disipilin yang tinggi dalam menjalankan tugas sebagai abdi bangsa dan negara. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa kriteria perbuatan yang dapat dihukum pidana tambahan pemberhentian dengan tidak hormat terhadap Prajurit TNI AD dan penerapannya terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba bagi Prajurit TNI AD dengan studi kasus Korem 162/WB. Beberapa kasus tindak pidana narkoba yang melibatkan personel Korem 162/WB dan jajarannya setelah melalui proses persidangan di Pengadilan Militer III-14 Denpasar memperoleh putusan dengan sanksi hukuman pidana pokok diikuti dengan pidana tambahan pemberhentian dengan tidak hormat atau pemecatan dari dinas militer.
Tindakan Maladministrasi Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi Muhammad Anshori Sudirman; Amiruddin Amiruddin; Lalu Parman
Pagaruyuang Law Journal Volume 3 Nomor 2, Januari 2020
Publisher : Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31869/plj.v3i2.1952

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualifikasi tindakan maladministrasi dalam tindak pidana korupsi dan untuk mengetahui modus operandi tindakan maladministrasi dalam tindak pidana korupsi. Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif (Normative Legal Research), dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan konseptual (Konseptual Approach), dan pendekatan kasus (Case Approach). Adapun hasil penelitian ini adalah Kualifikasi tindakan maladministrasi dalam tindak pidana korupsi terletak pada mens rea (sikap batin) dari pelaku meladministrasi. Setiap pelaku maladministrasi yang berniat untuk melakukan tindakannya dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi, dan berakibat pada kerugian keuangan negara dan perekonomian negara, maka tindakan tersebut merupakan tindak pidana korupsi. Setiap modus operandi tindakan maladministrasi dalam tindak pidana korupsi adalah perilaku dan perbuatan melawan hukum, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang itu, kelalaian, pengabaian kewajiban Hukum, dalam penyelenggaraan pelayanan publik, dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial, bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Aspek Hukum Pidana Terhadap Tindakan Debt Collector Dalam Penarikan Paksa Objek Perjanjian Ahmad Ahmad; Amiruddin Amiruddin; Ufran Ufran
Jatiswara Vol. 37 No. 2 (2022): Jatiswara
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jtsw.v37i2.390

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengkaji dan menganalisa kriteria tindakan debt collector yang dapat dikategorikan tindakan pidana. Serta untuk mengkaji dan menganalisa sanksi pidana terhadap debt collector yang melakukan tindakan penarikan paksa objek perjanjian. Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach). Penelitian ini bersifat deskriptif. Metode pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah library research dengan teknik documenter. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Kriteria tindakan debt collector yang dapat dikategorikan tindakan pidana yakni tindakan debt collector yang menarik paksa disertai dengan adanya kekerasan yang dilakukan terhadap debitor maka Penulis menganggap bahwa dalam kasus ini terdapat kesalahan. Adanya kesengajaan atau kealpaan yang dilakukan oleh debt collector menandakan bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar dimana saat debt collector melakukan penarikan paksa objek perjanjian, sedangkan kealpaan debt collector adalah saat tindakan kekerasan yang dilakukan tersebut menimbulkan keadaan yang berbahaya bagi debitor sehingga debitor menderita kerugian. Sanksi pidana terhadap tindakan debt collector yang melakukan penarikan paksa objek perjanjian yang disertai dengan adanya tindakan kekerasan terhadap debitor dapat dikenakan Pasal 368 ayat (1) KUHP dan Pasal 362 KUHP.
Konsep Pertanggungjawaban Pidana Perawat dalam Memberikan Pelayanan Medis Muhammad Khairil Anwar; Amiruddin Amiruddin; Ufran Ufran
Indonesia Berdaya Vol 4, No 2 (2023)
Publisher : Utan Kayu Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47679/ib.2023484

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kriteria pelayanan medis yang dilakukan perawat yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa pelayanan medis yang dilakukan perawat yang berimplikasi pidana. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normative dengan mengguakan pendekatan Undang-Undang, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Hasil penelitian ini bahwa setiap tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus memiliki indikasi medis, dikerjakan sesuai aturan (standar profesi dan standar prosedur operasional) serta didahului oleh meminta persetujuan pasien (informed consent). Sengketa medik dapat diselesaikan melalui jalur litigasi dan non litigasi. Kedua jalur ini memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing.
Upaya Pengembalian Aset dalam Tindak Pidana Korupsi melalui Peradilan In Absentia Hilmi Manossoh Prayugo; Amiruddin Amiruddin; Ufran Ufran
Indonesia Berdaya Vol 4, No 2 (2023)
Publisher : Utan Kayu Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47679/ib.2023480

Abstract

Peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi telah difasilitasi oleh beberapa undang-undang, sepertu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 38 Ayat 1 berbunyi; “Dalam hal terdakwah telah dipanggil secara sah, tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya. Pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya berbicara mengenai penangan ataupun pemeriksaan terdakwa di muka persidangan, serta pengembalikan kerugian keuangn negara atau perekonomian negara yany timbul dari tindak pidana korupsi. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Hasil penelitian adalah Terdapat beberapa bentuk langkah penegakkan hukum pidana dalam mengembaliaan asset kekayaan yaitu Pembuktian Terbalik Dalam Rangka Optimalisasi Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi, Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata, Pidana Pembayaran Uang Pengganti Dalam Rangka Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi.
PSIKIATRI FORENSIK DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA Pradiptha Himawan Putra; Amiruddin Amiruddin; Ufran Ufran
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 6 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/KS.2023.v11.i06.p18

Abstract

Penelitian ini memiliki tujuan menganalisis peran psikiatri forensik dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif empiris. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Peran psikiater di dalam sistem peradilan pidana adalah sebagai legal agent dalam membantu aparat penegak hukum untuk kepentingan pemeriksaan (penyidikan, pemeriksaan tambahan pada tahap penuntutan dan pemeriksaan di persidangan) untuk menyelesaikan perkara pidana yang pelakunya diduga menderita gangguan jiwa. Kedudukannya adalah sebagai ahli atau saksi ahli dan dapat dilibatkan dalam setiap tahapan pemeriksaan tersebut. Selanjutnya keterangan ahli tersebut juga merupakan alat bukti yang sah yang membedakan keterangan dari psikiater tersebut adalah disebut sebagai keterangan ahli adalah ketika disampaikan di persidangan secara lisan dengan mengingat sumpah jabatannya, disebut bukti surat terletak pada Visum et Repertum Psychiatricum mulai dari tahap penyidikan sampai Visum et Repertum Psychiatricum dihadirkan di muka sidang secara tertulis dan disebut bukti keterangan saksi ketika diberikan oleh dokter yang bukan dokter kehakiman/forensik terhadap kondisi kejiwaan sipembuat, Dalam beberapa kasus, hakim dapat meminta psikiater untuk menjelaskan lagi alat bukti berupa Visum et Repertum Psychiatricum kepada hakim ke muka persidangan (keterangan ahli). Hal ini wajar mengingat bahasa yang digunakan psikiater adalah bahasa medis yang tidak dimengerti oleh hakim. Oleh karena itu psikiater pada umumnya berusaha untuk menggunakan bahasa yang sekiranya dapat untuk dimengerti hakim. This study aims to analyze the role of forensic psychiatry in the criminal justice system in Indonesia. The type of research used is empirical normative legal research. The results of this study indicate that the role of psychiatrists in the criminal justice system is as a legal agent in assisting law enforcement officials for the purposes of examination (investigations, additional examinations at the prosecution stage and examinations at trial) to resolve criminal cases where the perpetrators are suspected of suffering from mental disorders. His position is as an expert or expert witness and can be involved in every stage of the examination. Furthermore, the expert's statement is also valid evidence that distinguishes the statement from the psychiatrist. It is referred to as an expert's statement, when it is delivered orally in court by remembering the oath of office, it is called documentary evidence located on the Visum et Repertum Psychiatricum starting from the investigation stage to the Visum et Repertum Psychiatricum is presented before the hearing in writing and is called witness testimony when it is given by a doctor who is not a judicial/forensic doctor regarding the mental condition of the maker. In some cases, the judge may ask the psychiatrist to explain again the evidence in the form of Visum et Repertum Psychiatricum to the judge before the trial (expert testimony). This is reasonable considering the language used by psychiatrists is medical language which the judge does not understand. Therefore psychiatrists generally try to use language that judges can understand.
PERLINDUNGAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA YANG DITANGANI OLEH KEPOLISIAN DAERAH Iqbal Aji Ramdani; Amiruddin Amiruddin; Rina Khairani Pancaningrum
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 9 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/KS.2023.v11.i09.p08

Abstract

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis perlindungan saksi dalam perkara pidana yang ditangani oleh Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian mengenai bentuk perlindungan terhadap saksi yang memberikan kesaksiannya di Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat dibedakan menjadi dua yang dalam hal ini adalah saksi yang dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) dengan saksi yang tidak dilindungi oleh LPSK. Saksi yang dilindungi oleh LPSK maka bentuk perlindungannya mengacu kepada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban. Sedangkan perlindungan hukum bagi saksi yang tidak dilindungi oleh LPSK mengacu kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. This research aims to analyze the protection of witnesses in criminal cases handled by the West Nusa Tenggara Regional Police. This is a normative legal research with a legislative and conceptual approach. The research findings regarding the forms of protection for witnesses giving testimony at the West Nusa Tenggara Regional Police are divided into two categories, namely witnesses protected by the Witness and Victim Protection Agency (LPSK) and witnesses not protected by LPSK. Witnesses protected by LPSK are governed by the provisions of Article 5 of Law Number 31 of 2014 concerning witness and victim protection. On the other hand, the legal protection for witnesses not protected by LPSK is based on the provisions of Law Number 8 of 1981 concerning Criminal Procedure Law.