Indriasari Indriasari
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran /RSHS Bandung

Published : 15 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Syok Indeks dan Skor APACHE II pada Pasien yang Meninggal di GICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2016 Damayanti, Eka; Indriasari, Indriasari; Fuadi, Iwan
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 1 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (718.334 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n1.1285

Abstract

Sistem skoring untuk menilai prognosis dan mortalitas merupakan bagian penting dalam perawatan di General Intensive Care Unit (GICU). Sistem skoring yang lazim digunakan adalah acute physiological and chronic health evaluation (APACHE II), namun sistem ini memiliki kelemahan yang berkaitan dengan banyaknya variabel yang digunakan. Syok indeks (SI) merupakan modalitas yang baik untuk memprediksi mortalitas yang dibuktikan dalam beberapa penelitian baik di Instalasi Gawat Darurat (IGD) maupun GICU. Penelitian ini bertujuan mengetahui angka SI dan skor APACHE II pada pasien yang meninggal di GICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari sampai Desember 2016. Penelitian dilakukan selama bulan Agustus 2017. Metode yang digunakan adalah deskriptif observasional retrospektif terhadap 198 subjek penelitian yang diambil di bagian rekam medis. Penelitian ini memperoleh angka SI berkisar 0,51-2,29 dengan median 1,08. Jumlah pasien dengan angka SI <9 sebanyak 27 pasien (13,6%) dan SI ≥9 sebanyak 171 pasien (86,4%). Skor APACHE II berkisar 5–44 dengan median 28. Jumlah pasien dengan skor APACHE II <25 sebanyak 64 pasien (32,3%), 25-35 sebanyak 114 pasien (57,6%) dan >35 sebanyak 20 pasien (10,1%). Lama perawatan yang lebih pendek didapatkan pada pasien dengan SI dan APACHE II yang tinggi mengindikasikan bahwa makin tinggi skor SI dan APACHE II makin tinggi pula angka mortalitas.Kata kunci: Acute physiological and chronic health evaluation II, general intensive care unit, syok indek
Penggunaan Skor Apfel Sebagai Prediktor Kejadian Mual dan Muntah Pascaoperasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Hendro, Rachmad Try; Pradian, Erwin; Indriasari, Indriasari
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (818.136 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n2.1425

Abstract

Post operative nausea and vomiting (PONV) merupakan kejadian mual dan atau muntah setelah tindakan operasi menggunakan anestesi pada 24 jam pertama pascaoperasi. Kejadian PONV dilaporkan memiliki perbedaan pada berbagai bangsa dan etnis. Skor Apfel merupakan salah satu prediktor PONV yang objektif dan paling sederhana. Sebelum menggunakannya sebagai prosedur rutin di RSHS, dilakukan penelitian ini yang bertujuan menilai apakah skor Apfel dapat digunakan sebagai prediktor PONV pada pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum di RSHS. Dilakukan suatu studi diagnostik secara potong lintang pada 100 pasien yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum di RSHS pada bulan September–Oktober 2017. Subjek penelitian dikelompokkan dalam 5 kelompok skor Apfel, yaitu perempuan, tidak merokok, menggunakan opioid pascaoperasi, dan memiliki riwayat PONV sebelumnya. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat 42% angka kejadian PONV, terdiri atas skor Apfel 0 (8,3%), skor 1 (19,04%), skor 2 (36,6%), skor 3 (63,63%), dan skor 4 (80%) yang sesuai dengan nilai prediktif skor Apfel. Angka kejadian PONV pada skor Apfel risiko tinggi (≥3) 61,9%, bermakna secara signifikan dapat membedakan kejadian PONV dengan nilai sensitivitas 61,9%, spesifisitas 81,0%, dan nilai AUC 0,777. Hasil ini menunjukkan bahwa skor Apfel memiliki validitas yang baik untuk membedakan antara pasien yang akan mengalami PONV dan yang tidak. Simpulan penelitian ini, skor Apfel dapat dipakai untuk memprediksi kejadian PONV di RSHS. Kata kunci: Post operative nausea and vomiting, prediktor, skor Apfel, validitas  Use of Apfel Score as a Predictor for Post-Post-operative Nausea and Vomiting in Dr. Hasan Sadikin General HospitalPost-operative nausea and vomiting (PONV) is defined as any nausea, retching, or vomiting that occurs  during the first 24 hour after surgery. Previous studies have reported that nationality and ethnicity influence the incidence of PONV. Apfel score is one of the objective and best simplified predicting PONV scoring systems available. Until recently, no predicting PONV score is used in Dr. Hasan Sadikin General Hospital (RSHS). Before implementing any scoring system as a protocol in this hospital, validation of the clinical risk assessment score in the hospital setu is needed. This was a cross-sectional diagnostic study on 100 patients underwentpost- various elective surgeries under general anesthesia. Subjects were divided into five groups, based on the Apfel risk scoring system. Factors observed consisted of four factors: female gender, nonsmoking status, post-operative use of opioids, and history of PONV or motion sickness. The results  were analyzed for total incidence of PONV in each Apfel score group. Of 100 patients assessed, a total of 42% experienced PONV. Patients  in Apfel score 0, 1, 2, 3, and 4 presented a PONV incidence score of 8.3%, 19.04%, 36.6%, 63.63%, and 80%, respectively. This incidence corresponds to the previous predicted values Apfel score. The incidence of PONV in patients  under high risk Apfel score (≥3) was 61.9%, showing a significant correlation with PONV. The sensitivity was 61.9%, the specificity was 81.0%, and the AUC value was 0.777. This confirms that Apfel score has good validity to predict the incidence of PONV. In conclusion, Apfel scoring system is useful for identifying patients with PONV in RSHS.Key words: Apfel score, post-post-operative nausea and vomiting, predictor, validity
Perbandingan Kedalaman Sedasi antara Deksmedetomidin dan Kombinasi Fentanil-Propofol Menggunakan Bispectral Index Score pada Pasien yang Dilakukan Kuretase Singarimbun, Daniel Asa; Indriasari, Indriasari; Maskoen, Tinni T.
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (929.029 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n2.1424

Abstract

Kuretase tergolong bedah minor yang menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan pasien sehingga memerlukan tindakan sedasi-analgesi. Tujuan penelitian adalah membandingkan kedalaman sedasi antara deksmedetomidin dan kombinasi fentanil-propofol menggunakan bispectral index score (BIS) pada pasien yang dilakukan kuretase. Penelitian ini merupakan penelitian randomized controlled trial dengan teknik double blind pada 36 pasien dengan status fisik American Society of Anesthesiologists (ASA) I−II yang menjalani kuretase di ruangan Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Juli sampai Oktober 2017. Kelompok deksmedetomidin mendapatkan loading dose deksmedetomidin 1 mcg/kgBB dalam waktu 10 menit dilanjutkan dosis pemeliharaan 0,5 mcg/kgBB/jam. Kelompol fentanil-propofol mendapatkan loading dose propofol 1 mg/kgBB dalam 10 menit diikuti dosis pemeliharaan 50 mcg/kgBB/jam ditambah fentanil 1 mcg/kgBB dalam 5 menit, lalu dicatat nilai BIS. Data dianalisis dengan uji-t dan Uji Mann-Whitney dengan p<0,05 dianggap bermakna. Analisis data statistik nilai BIS kelompok deksmedetomidin 79,50±2,121 dan fentanil-propofol 85,22±0,732 dengan perbedaan bermakna (p<0,05). Simpulan, penelitian ini menunjukkan kedalaman sedasi pada kelompok deksmedetomidin menghasilkan nilai BIS lebih rendah dibanding dengan fentanil-propofol pada pasien yang dilakukan kuretase. Kata kunci: Bispectral index score(BIS), dexmedetomidine, fentanil, kuretase, propofol Comparison of Sedation Depth between Dexmedetomidine and Fentanyl-Propofol using Bispectal Index Score in Patients Undergoing Curettage Curettage is a minor surgical procedure that can cause pain and anxiety. Therefore, analgesia and sedation are needed. The purpose of this research was to compare the depth of sedation using bispectral index score (BIS) scale between dexmedetomidine and fentanyl-propofol combination in patients undergoing curettage. This was a double blind randomized controlled trial on 36 patients with American Society of Anesthesiologists (ASA) physical status I−II at the delivery room of Dr. Hasan Sadikin General Hospital  from July to October 2017. Subjects were randomized into two groups: dexmedetomidine group receiving a loading dose of 1 mcg/kgBW dexmedetomidine in 10 minutes followed by 50 mcg/kgBW/hour for maintenance and fentanyl-propofol group receiving a loading dose of 1 mg/kgBW propofol in 10 minutes and fentanyl 1 mcg/kg within 5 minutes followed by a maintenance dose of propofol 50 mcg/kgBW/hour. The BIS score in dexmedetomidine group (79.0±2.121) was significantly lower than in fentanyl-propofol group (85.22±0.732) with p<0.05. Hence, the sedation depth observed through BIS score evaluation shows that the score in dexmedetomidine group is lower than in fentanyl-propofol group in patients undergoing curettage. Key words: Bispectral index score (BIS), curettage, dexmedetomidine, fentanyl, propofol 
Efektivitas Analgesik 24 Jam Pascaoperasi Elektif di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2017 Prabandari, Dita Aryanti; Indriasari, Indriasari; Maskoen, Tinni Trihartini
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (798.105 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n2.1221

Abstract

Nyeri akut pascaoperasi masih merupakan permasalahan dalam pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Hampir 50% pasien pascaoperasi elektif mengalami nyeri yang berujung terhadap peningkatan kejadian nyeri kronik dan penurunan kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran mengenai analgesik yang digunakan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan efektivitasnya terhadap nyeri pascaoperasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif observasional prospektif cross-sectional yang dilakukan pada pasien usia 18–65 tahun dengan status fisik American Society of Anaesthesiologist (ASA) kelas I–III di ruang perawatan pada jam ke-24 pascaoperasi selama tahun 2017 sebanyak 476 pasien. Subjek penelitian dikelompokkan berdasar atas jenis operasi yang menyebabkan nyeri ringan, sedang dan berat. Jenis analgesik pascaoperasi yang digunakan dan skala nyeri menggunakan numeric rating scale (NRS) dicatat. Efektif bila skala nyeri menggunakan NRS pada jam ke-24 pascaoperasi <4 dan tidak efektif bila NRS ≥4. Hasil penelitian didapatkan jenis analgesik terbanyak yang digunakan pada pasien pascaoperasi elektif adalah kombinasi petidin dan ketorolak i.v. dan derajat nyeri pada jam ke-24 pascaoperasi elektif yang dialami pasien adalah nyeri ringan NRS 1–3 (57,8%), nyeri sedang NRS 4–6 (26,9%), dan nyeri berat NRS 7–10 (2,7%). Simpulan penelitian ini adalah efektivitas analgesik pascaoperasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung masih belum baik karena masih terdapat sepertiga pasien mengalami nyeri NRS ≥4 dari target rumah sakit 100% bebas nyeri.Kata kunci: Analgesik pascaoperasi, derajat nyeri pascaoperasi, efektivitas analgesik pascaoperasi Effectiveness of Analgesics 24 Hours Post-Post-Elective Surgery in Dr. Hasan Sadikin General Hospital in 2017Acute post-operative pain is still a worldwide issue in healthcare services. Nearly 50% of post-elective surgery patientspost- experience post-post-operative pain, causing increased chronic pain and decreased patient satisfaction towards healthcare services. This study aimed to provide  description on the types of analgesics used in Dr,Hasan Sadikin General Hospital and their effectiveness on post-operative pain. This  was a cross-sectional descriptive observational prospective study performed on 476 patients aged 18–65 years old with a physical status American Society of Anaesthesiologist (ASA) class I–III, treated in the ward 24 hours post- surgery in 2017. Subjects were classified based on the type of surgery that induced mild, moderate, and severe pain. The types of post-operative analgesics used and post-surgery Numeric Rating Scale (NRS) were documented. Analgesics was considered effective if the 24 hour post-surgery NRS was <4 and ineffective if the NRS was ≥4. This study showed that the type of analgesicsa mostly used for post-operative pain  was the combination of pethidine and ketorolac i.v. Pain scales experienced by patients at 24 hours post- surgery were mild withNRS 1–3 (57.8%), moderate pain with NRS 4–6 (26.9%), and severe pain with NRS 7–10 (2.7%). In conclusion, the post-operative analgesics provided in Dr. Hasan Sadikin General Hospital has not met the 100% pain free target set by the hospital target because some patients still experience pain with NRS ≥4.  . Hence, the effectiveness is still not adequate. Key words: Effectivity of post- operative analgesia, post- operative analgesia, post- operative pain scale
PERBANDINGAN PERMEN KARET RASA MINT DENGAN ONDANSETRON 4 MG INTRAVENA DALAM MENGATASI KEJADIAN MUAL MUNTAH PASCA OPERASI MASTEKTOMI Nobelia Carnationi; Ezra Oktaliansah; Indriasari Indriasari
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 3 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v7n3.1808

Abstract

Permen karet rasa mint dapat menstimulasi sefalik vagal yang mampu mencegah mual dan muntah. Penelitian ini bertujuan membandingkan permen karet rasa mint dengan ondansentron 4 mg terhadap mual muntah pascaoperasi. Metode penelitian adalah eksperimental secara acak terkontrol buta tunggal pada 46 wanita yang menjalani mastektomi terhadap wanita (>18 tahun) yang mengalami mual dan muntah pascaoperasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Februari–Juli 2019. Data perbaikan mual muntah dianalisis dengan uji chi kuadrat. Hasil perhitungan statistik menunjukkan kelompok permen karet rasa mint mampu mengatasi mual muntah lebih banyak dibanding dengan ondansentron (18 orang vs 9 orang) dengan perbedaan yang sangat bermakna (p<0.001). Simpulan penelitian adalah permen karet rasa mint mengatasi lebih banyak pasien yang mual muntah pascaoperasi mastektomi dibanding dengan ondansetron. Comparison between Mint Chewing Gum and 4 mg Intravenous Ondansentron in Nausea and Vomiting Treatment after MastectomyMint flavored gum can stimulate the cephalic vagal that can eventually prevent nausea and vomiting. This study aimed to compare the use of mint flavored gum and 4 mg ondansetron in treating post-operative vomiting. This was a single blind randomized experimental study conducted on 46 women (>18 years old) underwent mastectomy who experienced post-operative vomiting in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung between February and July 2019. Data on postoperative nausea and vomiting were analyzed using chi square. The statistical results showed that the mint flavored gum had a significantly better ability in treating post-operative nausea and vomiting when compared to ondansetron (18 versus 9 person) (p<0.001). In conclusion, mint flavored gum has a better ability in postoperative nausea and vomiting treatment after mastectomy compared to ondansetron.
Perbandingan Kedalaman Sedasi antara Deksmedetomidin dan Kombinasi Fentanil-Propofol Menggunakan Bispectral Index Score pada Pasien yang Dilakukan Kuretase Daniel Asa Singarimbun; Indriasari Indriasari; Tinni T. Maskoen
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (929.029 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n2.1424

Abstract

Kuretase tergolong bedah minor yang menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan pasien sehingga memerlukan tindakan sedasi-analgesi. Tujuan penelitian adalah membandingkan kedalaman sedasi antara deksmedetomidin dan kombinasi fentanil-propofol menggunakan bispectral index score (BIS) pada pasien yang dilakukan kuretase. Penelitian ini merupakan penelitian randomized controlled trial dengan teknik double blind pada 36 pasien dengan status fisik American Society of Anesthesiologists (ASA) I−II yang menjalani kuretase di ruangan Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Juli sampai Oktober 2017. Kelompok deksmedetomidin mendapatkan loading dose deksmedetomidin 1 mcg/kgBB dalam waktu 10 menit dilanjutkan dosis pemeliharaan 0,5 mcg/kgBB/jam. Kelompol fentanil-propofol mendapatkan loading dose propofol 1 mg/kgBB dalam 10 menit diikuti dosis pemeliharaan 50 mcg/kgBB/jam ditambah fentanil 1 mcg/kgBB dalam 5 menit, lalu dicatat nilai BIS. Data dianalisis dengan uji-t dan Uji Mann-Whitney dengan p<0,05 dianggap bermakna. Analisis data statistik nilai BIS kelompok deksmedetomidin 79,50±2,121 dan fentanil-propofol 85,22±0,732 dengan perbedaan bermakna (p<0,05). Simpulan, penelitian ini menunjukkan kedalaman sedasi pada kelompok deksmedetomidin menghasilkan nilai BIS lebih rendah dibanding dengan fentanil-propofol pada pasien yang dilakukan kuretase. Kata kunci: Bispectral index score(BIS), dexmedetomidine, fentanil, kuretase, propofol Comparison of Sedation Depth between Dexmedetomidine and Fentanyl-Propofol using Bispectal Index Score in Patients Undergoing Curettage Curettage is a minor surgical procedure that can cause pain and anxiety. Therefore, analgesia and sedation are needed. The purpose of this research was to compare the depth of sedation using bispectral index score (BIS) scale between dexmedetomidine and fentanyl-propofol combination in patients undergoing curettage. This was a double blind randomized controlled trial on 36 patients with American Society of Anesthesiologists (ASA) physical status I−II at the delivery room of Dr. Hasan Sadikin General Hospital  from July to October 2017. Subjects were randomized into two groups: dexmedetomidine group receiving a loading dose of 1 mcg/kgBW dexmedetomidine in 10 minutes followed by 50 mcg/kgBW/hour for maintenance and fentanyl-propofol group receiving a loading dose of 1 mg/kgBW propofol in 10 minutes and fentanyl 1 mcg/kg within 5 minutes followed by a maintenance dose of propofol 50 mcg/kgBW/hour. The BIS score in dexmedetomidine group (79.0±2.121) was significantly lower than in fentanyl-propofol group (85.22±0.732) with p<0.05. Hence, the sedation depth observed through BIS score evaluation shows that the score in dexmedetomidine group is lower than in fentanyl-propofol group in patients undergoing curettage. Key words: Bispectral index score (BIS), curettage, dexmedetomidine, fentanyl, propofol 
Pengaruh Lantunan Ayat Al-Quran terhadap Kebutuhan Opioid Tambahan Pascaseksio Sesarea Silvi Winasty; Indriasari Indriasari; Nurita Dian Kestriani
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 2 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (132.142 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n2.1756

Abstract

Lantunan ayat Al-Quran dapat menstimulasi β endorfin yang dihasilkan hipofisis anterior otak. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh  lantunan ayat Al-Quran terhadap intensitas nyeri dan kebutuhan opioid tambahan pascaseksio sesarea dengan regional spinal. Metode penelitian adalah eksperimental  secara acak terkontrol buta tunggal pada 32 ibu hamil berusia >18 tahun dan beragama islam di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan April–Mei 2019. Data jumlah penggunaan opioid tambahan pascaoperasi  selama 24 jam yang diberikan dengan patient controlled analgesia (PCA) dianalisis dengan Uji Mann-Whitney. Hasil perhitungan statistik diperoleh penggunaan opioid tambahan pada kelompok lantunan Al-Quran lebih sedikit  dibanding dengan kelompok kontrol  (21,87 mcg vs 107,87 mcg) dengan perbedaan yang sangat bermakna (p<0,0001). Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa lantunan ayat Al-Quran sebagai terapi tambahan penatalaksanaan nyeri pascaseksio sesarea menurunkan  penggunaan opioid tambahan.Effect of Quran Recital on Additional Opioid Requirement in Post-Cesarean SectionThe recitation of Al-Quran could stimulate β endorfins which is produced by anterior pituitary. This study aimed to identify the effect of listening to Al-Quran recitation on pain intensity and additional opioid requirement in patients after spinal cesarean section surgery. This was a randomized single blind controlled experiment on 32 pregnant moslem women over 18 years old treated in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in April 2019-May 2019. The amount of additional 24-hours post-operative opioid requirement using Patient Controlled Analgesia (PCA) was analyzed by the Mann-Whitney Test. Results showed that the use of additional fentanyl in the Al-Quran recitation group was significantly less than in the controlled group(21.87 mcg vs 107.87 mcg) (p<0.0001). Therefore, Al-Quran recitation as an additional therapy in the management of pain is able to reduce the dose of additional fentamyl needed in postcaesarean section patients.
Chula Formula sebagai Prediktor Ketepatan Kedalaman Endotracheal Tube pada Intubasi Nasotracheal Akhmad Rhesa Sandy; Indriasari Indriasari; Ruli Herman Sitanggang
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (235.653 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.1491

Abstract

Intubasi nasotrakeal adalah salah satu metode yang umum digunakan pada operasi intraoral dan maksilofasial yang memiliki keunggulan untuk menyediakan akses yang lebih baik. Hal yang menjadi perhatian utama ketika memasukkan endotracheal tube (ETT) adalah penempatan yang tepat dan sesuai sehingga menghindari komplikasi akibat malposisi ETT. Fiberoptic bronchoscope (FOB) adalah cara yang paling pasti untuk menilai penempatan ujung ETT karena menyediakan visualisasi secara langsung sehingga dapat mengukur penempatan ETT yang ideal, tetapi FOB tidak selalu tersedia di rumah sakit. Penelitian ini bermaksud menilai kesesuaian Chula formula, yaitu rumus yang menggunakan tinggi badan untuk menempatkan ETT pada posisi yang tepat. Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang dilakukan secara prospektif pada 59 subjek penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Juli sampai Agustus 2018. Subjek diintubasi nasotrakeal dengan kedalaman ETT dihitung menggunakan Chula formula, kemudian jarak ujung ETT ke carina dinilai menggunakan FOB. Hasil uji statistik dengan Guilford dan Spearman didapatkan nilai r 0,933 dan p 0,0001 yang menunjukkan kesesuaian yang sangat kuat pada Chula formula untuk menempatkan ETT pada kedalaman yang tepat. Simpulan, Chula formula dapat memprediksi kedalaman ETT dengan tepat pada intubasi nasotrakeal.Chula Formula as a Predictor for Correct Endotracheal Tube Placement for Nasotracheal IntubationNasotracheal intubation is a common method which provides better access for intraoral and maxillofacial operations. The main concern when inserting an endotracheal tube (ETT) is the correct and appropriate placement as there are many complications develop due to ETT malposition. A Fiberoptic Bronchoscope (FOB) is the best way to assess the placement of the tip of the ETT for it provides a direct visualization to measure the ideal ETT placement; however, it is not always readily available in hospitals. This study aims to assess the compatibility of Chula formula, a formula that utilizes height to determine the correct ETT placement. This study was a prospective analytical study on 59 research subjects in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from July to August 2018. The subjects were nasotracheally intubated with the ETT depth measured using the Chula formula, afterwards the distance from the tip of the ETT to the carina was assessed using an FOB. The results from Guilford and Spearman’s were an r value of 0.933 and a p value of 0.0001, showing a statistically significant conformation of the Chula formula in correct ETT placement. It is concluded that Chula formula can be used as a predictor for correct ETT placement in nasotracheal intubation.
Syok Indeks dan Skor APACHE II pada Pasien yang Meninggal di GICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2016 Eka Damayanti; Indriasari Indriasari; Iwan Fuadi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 1 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (718.334 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n1.1285

Abstract

Sistem skoring untuk menilai prognosis dan mortalitas merupakan bagian penting dalam perawatan di General Intensive Care Unit (GICU). Sistem skoring yang lazim digunakan adalah acute physiological and chronic health evaluation (APACHE II), namun sistem ini memiliki kelemahan yang berkaitan dengan banyaknya variabel yang digunakan. Syok indeks (SI) merupakan modalitas yang baik untuk memprediksi mortalitas yang dibuktikan dalam beberapa penelitian baik di Instalasi Gawat Darurat (IGD) maupun GICU. Penelitian ini bertujuan mengetahui angka SI dan skor APACHE II pada pasien yang meninggal di GICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari sampai Desember 2016. Penelitian dilakukan selama bulan Agustus 2017. Metode yang digunakan adalah deskriptif observasional retrospektif terhadap 198 subjek penelitian yang diambil di bagian rekam medis. Penelitian ini memperoleh angka SI berkisar 0,51-2,29 dengan median 1,08. Jumlah pasien dengan angka SI <9 sebanyak 27 pasien (13,6%) dan SI ≥9 sebanyak 171 pasien (86,4%). Skor APACHE II berkisar 5–44 dengan median 28. Jumlah pasien dengan skor APACHE II <25 sebanyak 64 pasien (32,3%), 25-35 sebanyak 114 pasien (57,6%) dan >35 sebanyak 20 pasien (10,1%). Lama perawatan yang lebih pendek didapatkan pada pasien dengan SI dan APACHE II yang tinggi mengindikasikan bahwa makin tinggi skor SI dan APACHE II makin tinggi pula angka mortalitas.Kata kunci: Acute physiological and chronic health evaluation II, general intensive care unit, syok indek
Perbandingan Kombinasi Parasetamol dan Deksametason dengan Deksametason Praoperasi untuk mengurangi angka kejadian nyeri tenggorok pasca operasi anestesi umum di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Jansen Laory; Rudi Kurniadi Kadarsah; Indriasari Indriasari
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 9, No 3 (2021)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v9n3.2549

Abstract

Postoperative sore throat (POST) setelah anestesi umum dengan pemasangan pipa endotrakea merupakan komplikasi yang sering terjadi dan tidak diinginkan. Angka kejadian nyeri tenggorok pascaoperasi setelah pemasangan pipa endotrakea adalah 6–76%. Penelitian ini bertujuan membandingkan efek kombinasi parasetamol dan deksametason dengan deksametason tunggal untuk mengurangi angka kejadian POST pada pasien setelah anestesi umum. Penelitian ini merupakan eksperimental dengan melakukan uji klinis rancangan acak lengkap terkontrol buta ganda. Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin bulan Januari–April 2021. Total 92 pasien yang dijadwalkan operasi elektif dibagi secara acak menjadi 2 kelompok. Kelompok deksametason dan parasetamol (n=46) diberikan deksametason 10 mg dan parasetamol 1.000 mg intravena. Kelompok deksametason (n=46) diberikan deksametason 10 mg intravena dan plasebo. Pada penelitian ini, derajat POST dipantau. Angka kejadian POST didapatkan lebih rendah pada kelompok kombinasi deksametason dan parasetamol dibanding dengan kelompok deksametason dan plasebo pada jam ke-0, 1, dan 6 (p=0,0001, p=0,001, dan p=0,0001). Simpulan penelitian ini adalah kombinasi deksametason parasetamol lebih baik dibanding dengan deksametason tunggal dalam menurunkan angka kejadian POST anestesi umum.Comparison of Combined Paracetamol and Dexamethasone with Preoperative Dexamethasone for Reducing Sore Throat Post General AnesthesiaPostoperative sore throat (POST) following general anesthesia with endotracheal tube insertion is a common and undesirable complication. The incidence of postoperative sore throat after insertion of an endotracheal tube is  6–76%. This study aimed to compare the effect of combined paracetamol and dexamethasone with single-dose dexamethasone to reduce POST incidence in patients after general anesthesia. This experimental study conducted a double-blind, complete randomized controlled clinical trial at RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung during  January–April 2021 Ninety-two patients scheduled for elective surgery were randomly assigned to two groups. The dexamethasone and aracetamol group (n=46) were given dexamethasone 10 mg and paracetamol 1000 mg intravenously. Dexamethasone group (n=46) was given dexamethasone 10 mg intravenously and placebo. In this study, the degree of POST was monitored. Results showed that the incidence of POST was lower in the dexamethasone and paracetamol combination group than in the dexamethasone and placebo group at 0, 1, and 6 hours (p=0.0001, p=0.001, and p=0.0001). This study concludes that the combination of dexamethasone paracetamol is better than single-dose dexamethasone in reducing the incidence of POST general anesthesia.