Erwin Pradian
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 26 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 26 Documents
Search

Efektivitas Penggunaan Prewarming dan Water Warming untuk Mengurangi Penurunan Suhu Intraoperatif pada Operasi Ortopedi Ekstremitas Bawah dengan Anestesi Spinal Syam, Emvina Husni; Pradian, Erwin; Surahman, Eri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (415.019 KB)

Abstract

Laju penurunan suhu inti tubuh dapat dikurangi dengan tindakan pemanasan sebelum operasi (prewarming) selama 30 menit dan menggunakan alas penghangat water warming selama operasi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas prewarming dan alas penghangat water warming dalam mengurangi penurunan suhu intraoperatif. Penelitian dilakukan dengan metode acak terkontrol buta tunggal terhadap 30 pasien di ruang operasi bedah sentral Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Mei–Juli 2013 yang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok yang dilakukan prewarming selama 30 menit dan menggunakan alas penghangat water warming selama operasi, kelompok pasien yang menggunakan alas penghangat water warming selama operasi, dan kelompok kontrol. Pencatatan suhu inti tubuh dilakukan pada membran timpani tiap 15 menit sejak awal induksi sampai operasi selesai. Analisis data hasil penelitian dilakukan dengan uji statistik yaitu uji chi-kuadrat, uji-t, Uji Friedman dan uji analysis of variance (ANOVA) dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna. Suhu inti tubuh rata-rata pada kelompok prewarming dan water warming 36,62 °C (p=0,023), kelompok water warming 36,24 °C (p<0,001), dan kelompok kontrol 35,94 °C (p<0,001) yang secara statistik berbeda signifikan. Simpulan penelitian ini adalah penggunaan prewarming dan water warming dapat mengurangi dan memperlambat derajat penurunan suhu selama operasi.Kata kunci: Prewarming, suhu inti tubuh, water warmingEffectiveness of Prewarming and Water Warming to Reduce Intraoperative Temperature Decrease on Spinal Anesthesia for Lower Extremity Orthopedic SurgeryThe decline rate of core body temperature can be reduced by perioperative care such as prewarming (the application of heat to patient’s body prior to surgery) for 30 minutes and by using a water warming pad during surgery. The purpose of this study was to determine the effectiveness of prewarming and water warming pad to reduce intraoperative temperature decrease on spinal anesthesia. This study was conducted by a single-blind randomized controlled trials method involving 30 patients in central operating theatre Dr. Hasan Sadikin Hospital-Bandung within May–July 2013 were classified into three groups, the group of prewarming patients performed for 30 minutes and were using water warming pad during surgery; the group of patients without prewarming and were using water warming pad during surgery; and the control group. Core body temperature on tympanic membrane was recorded every 15 minutes from the initial induction through the end of operation. The result data were analyzed by using chi-square (χ2) test, t test, Friedman Test and ANOVA test, in which the value of p<0.05 was considered significant. Average core body temperature of the prewarming and water warming pad group was 36.62 °C (p=0.023), the water warming pad group was 36.24 °C (p<0.001), and the control group was 35.94 °C (p<0.001), this result statistically significant. The conclusion of this study is prewarming prior to surgery and the use of water warming pad during surgery could reduce temperature decline rate during operation.Key words:  Core body temperature, prewarming, water warming  DOI: 10.15851/jap.v1n2.119
Blok Aksilar dengan Panduan Ultrasonografi pada Operasi Debridement Lengan Bawah Pasien Systemic Lupus Erythematosus, Gagal Ginjal Kronik, Sirosis Hepatis, dan Gagal Jantung Prihartono, Mohamad Andy; Yadi, Dedi Fitri; Pradian, Erwin
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (528.82 KB)

Abstract

Blok aksilar sangat menguntungkan dilakukan pada operasi daerah lengan bawah. Pasien wanita berusia 28 tahun dengan diagnosis systemic lupus erithematosus (SLE), gagal ginjal kronik, sirosis hepatis dan gagal jantung, direncanakan operasi nekrotomi debridement di lengan bawah di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Maret 2012. Dilakukan anestesi blok aksilar dengan panduan ultrasound Sonosite M Turbo menggunakan high frequency probe linear, jarum stimulasi 50 mm dan nerve stimulator dengan obat anestesi lokal bupivakain 0,5% dengan adjuvan epinefrin 1:200.000. Keberhasilan blok aksiler dikonfirmasi dengan menstimulasi sensoris dan nervus motorik yang telah diblok. Blok tercapai secara sempurna dalam waktu ±15 menit. Operasi dilakukan setelah blok tercapai dan operasi berlangsung selama 1 jam. Simpulan, blok aksilar dengan panduan ultrasound memberikan hasil yang memuaskan dengan angka keberhasilan yang tinggi. Pada pasien ini sangat menguntungkan dilakukan anestesi regional blok saraf perifer dibandingkan dengan anestesi umum karena komplikasi penyakit yang banyak.Kata kunci: Blok aksilar, systemic lupus eritematosus, ultrasounografiAxillary Block with Ultrasound Guided for Debridement of the Forearm in Patient with Systemic Lupus Erythematous, Chronic Renal Failure, Hepatic Cirrhosis, and Congestive Heart DiseaseAxillary block is beneficial when applied to a forearm operation. A 28-year-old female patient diagnosed with systemic lupus erythematosus, chronic renal failure, hepatic cirrhosis and heart failure, was planned for necrotomy debridement operation of the forearm in Dr. Hasan Sadikin Hospital-Bandung in March 2012. An axillary block anesthesia was done with Sonosite M Turbo ultrasound guidance that used high frequency linear probe, 50 mm stimulating needle, and nerve stimulator containing bupivacaine 0.5% and epinephrine adjuvant 1:200,000. The operation can be initiated after the block was achieved and the duration of operation was 1 hour. In conclusions, axillary block with ultrasound guidance gives satisfying result with higher success rate. Peripheral nerve block (regional anesthesia) is more beneficial to this patient than general anesthesia due to multiple complications.Key words: Axillary block, systemic lupus erythematosus, ultrasound   DOI: 10.15851/jap.v1n2.124
Pemberian Bolus 7,5 mL Poligelin pada Ruang Epidural untuk Menurunkan Kejadian Postdural Puncture Headache pada Anestesi Spinal Jaya Sutawan, I. B. Krisna; Pradian, Erwin; Maskoen, Tinni T.
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 3 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1104.434 KB)

Abstract

Post dural puncture headache (PDPH) mengakibatkan morbiditas pada ibu yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi spinal. PDPH disebabkan karena penurunan tekanan intratekal akibat kebocoran cairan serebrospinalis. Bolus poligelin pada ruang epidural diharapkan secara sementara meningkatkan tekanan ruang epidural dan mengurangi kebocoran cairan serebrospinalis sehingga dapat menurunkan kejadian PDPH. Penelitian dilakukan dengan uji klinis single blind randomized controled trial pada 90 wanita hamil yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi spinal pada Oktober sampai Desember 2011 Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Sampel dikelompokkan secara random menjadi kelompok bolus 7,5 mL poligelin dan kelompok kontrol, selanjutnya dilakukan penilaian PDPH sampai hari kelima pascaanestesi spinal. Analisis statistik berdasarkan Uji Eksak Fisher, memperlihatkan bahwa angka kejadian PDPH pada kedua kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan bermakna secara statistik (p<0,05). Simpulan dari penelitian ini adalah bolus poligelin pada ruang epidural dapat menurunkan angka kejadian PDPH pada pasien yang menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi spinal.Kata kunci: Anestesi spinal, poligelin, post dural puncture headache, ruang epidural  Bolus 7.5 mL Polygeline into the Epidural Space in Reducing the Incidence of Postdural Puncture Headache on Spinal AnesthesiaAbstractPost dural puncture headache (PDPH) may cause morbidity in women undergoing caesarean section with spinal anesthesia. PDPH is caused by a reduction of intrathecal pressure due to leakage of cerebrospinal fluid. Polygeline bolus into the epidural space is expected to temporarily increase the pressure of the epidural space therefore reduces cerebrospinal fluid leakage so that it may reduce the incidence of PDPH. The study conducted was a single-blind randomized clinical trial on 90 pregnant women undergoing caesarean section with spinal anesthesia from October until December 2011 in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung. Samples were randomly divided into the bolus of 7.5 mL polygeline group and the control group. Evaluation of PDPH was performed until 5th day post-spinal anesthesia. Statistical analysis using Fishers Exact Test, showed that the incidence of PDPH in both treatment groups showed a statistically significant difference (p<0.05). The conclusion of this study is polygeline bolus into the epidural space may decrease the incidence of PDPH in patients undergoing caesarean section with spinal anesthesia.Key words: Epidural space, polygeline, post dural puncture headache, spinal anesthesia DOI: 10.15851/jap.v1n3.193
Penambahan Natrium Bikarbonat 8,4% pada Lidokain 2% untuk Mengurangi Nyeri Saat Infiltrasi Anestetik Lokal Rahmansyah, Doni Arief; Nawawi, A. Muthalib; Pradian, Erwin
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1093.211 KB)

Abstract

Infiltrasi anestesi lokal di daerah penyuntikan jarum epidural menggunakan lidokain menimbulkan nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan penambahan natrium bikarbonat 8,4% pada lidokain HCl 2% dengan perbandingan 1:10 untuk mengurangi nyeri saat infiltrasi. Penelitian dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2013 di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian dilakukan dengan uji klinis acak tersamar ganda pada 44 pasien yang menjalani operasi dengan teknik anestesi epidural. Subjek dibagi 2 kelompok, kelompok eksperimen (LB) mendapatkan infiltrasi lidokain HCl 2% alkalin dengan menambahkan natrium bikarbonat 8,4% dengan perbandingan 1:10, kelompok kontrol (L) mendapatkan lidokain HCl 2%. Pada kedua kelompok dinilai numeric rating scale (NRS) saat infiltrasi lidokain HCl 2%. Hasil penelitian diuji dengan uji chi-kuadrat, uji-t, dan Uji Mann-Whitney, tingkat kepercayaan 95% dan kekuatan uji 94%, dianggap bermakna bila nilai p<0,05. Analisis statistik menunjukkan perbedaan bermakna nilai median NRS pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol saat infiltrasi anestesi lokal (5 vs 3), dengan nilai rentang (3–6 vs 1–4) dengan nilai p<0,05. Simpulan penelitian ini adalah alkalinisasi lidokain HCl 2% dengan penambahan natrium bikarbonat 8,4% dengan perbandingan 1:10 mempunyai efek mengurangi nilai NRS.Kata kunci: Alkalinisasi, lidokain HCl 2%, natrium bikarbonat 8,4%Addition of 8.4% Sodium Bicarbonate to 2% Lidocaine in Reducing Pain During Local Anaesthetic InfiltrationLocal anesthetic infiltration in the area of epidural injections using lidocaine can cause pain. This research was done in June–July 2013, in Dr. Hasan Sadikin Hospital, to determine the effectiveness of adding 8.4% sodium bicarbonate to lidocaine HCl 2 % with 1:10 ratio. This was a double-blind randomized control study involving 44 patients undergoing surgery with epidural techniques. Subjects were divided into two groups, the experimental group ( LB ) was given 2% lidocaine HCl with sodium bicarbonate 8.4% 1:10 ratio as a local anestetich while the control group (L) was given lidocaine 2%. Numeric rating scale (NRS) was assessed during infiltration. Data was analyzed using chi-squere test, t-test and Mann-Whitney Test , with 95% confidence level and 94% strength tes and considered significant if p<0.05. Statistical anaylsis showed a significant difrerence in median of NRS in the experiment compared to control group during local anaesthetic infiltration (5 versus 3), with range of 3–6 versus 1–4 with p>0.05. In conclusion, alkalinization of 2% lidocaine HCl by addition of 8.4% sodium bicarbonate with 1:10 ratio has an effect in reducing NRS.Key words: Alkalinization, lidocaine HCl 2%, sodium bicarbonate 8.4% DOI: 10.15851/jap.v2n1.234
Perbandingan Granisetron 0,01 mg/KgBb dengan Ondansetron 0,08 Mg/Kg.Bb Untuk Mencegah Mual Muntah Pascaoperasi Dini Mastektomi Radikal Modifikasi Fitriyana, Budi; Pradian, Erwin; Nawawi, A. Muthalib
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mual muntah pascaoperasi tidak hanya menyebabkan ketidaknyamanan bagi pasien, namun juga menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan elektrolit, regurgitasi dan aspirasi, perdarahan serta lepasnya jahitan pembedahan. Pasien yang mengalami mual muntah pascaoperasi akan membutuhkan perhatian dan pengobatan lebih lanjut yang tentu saja meningkatkan biaya pelayanan medis. Wanita yang menjalani mastektomi dengan disertai pengambilan kelenjar getah bening ketiak mempunyai resiko tinggi terjadinya mual muntah pasca operasi. Banyak anti muntah yang diberikan termasuk diantaranya antihistamin, butyrophenon, dan antagonis reseptor dopamin telah dilaporkan mempunyai efek samping yang tidak diinginkan antara lain sedasi yang berlebihan, hipotensi, mulut kering, dysphoria, halusinasi dan efek ekstrapiramidal. Antagonis reseptor 5 HT3 memberikan kemajuan yang besar sebagai penanganan mual muntah pascaoperasi karena efek sampingnya yang sedikit bila dibandingkan dengan obat-obat anti muntah sebelumnya. Penelitian ini akan membandingkan dua obat antagonis reseptor 5 HT3 yaitu granisetron dengan ondansetron dalam mencegah mual muntah pascaoperasi dini mastektomi radikal modifikasi. Dilakukan penelitian pada 58 pasien ASA I dan II yang dilakukan mastektomi radikal modifikasi dengan anestesi umum. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan uji klinis acak terkontrol buta ganda. Sampel dibagi menjadi dua kelompok dengan randomisasi blok. Kelompok G diberikan granisetron 0,01 gr/kg.bb dan kelompok O diberikan ondansetron 0,08 mg/kg.bb. Obat perlakuan diberikan intravena 30 menit sebelum operasi selesai Evaluasi dilakukan pada tekanan darah, denyut jantung, saturasi oksigen dan lama pembedahan. Mual muntah pascaoperasi dinilai segera setelah operasi tiap jam sampai 6 jam pascaoperasi (mual muntah pascaoperasi dini) dengan 4 skala (0-3). Data dianalisis dengan uji-t, uji Chi-square, uji Mann-Whitney, dan uji Exact Fisher pada program SPSS ver.16 Windows. Hasil penelitian menunjukkan terdapat kecenderungan keluhan mual muntah pascaoperasi lebih banyak terjadi pada kelompok O (27,6%) dibandingkan dengan kelompok G (6,9%). Pada analisis statistik yang dilakukan dengan uji Chi-square didapatkan hasil perbedaan yang bermakna (p <0,05). Simpulan pemberian granisetron 0,01 gr/kg.bb intravena lebih baik dibandingkan dengan ondansetron 0,08 mg/kg.bb. intravena dalam dalam menurunkan kejadian mual muntah pascaoperasi dini mastektomi radikal modifikasi.Kata kunci: Mual muntah pascaoperasi dini, granisetron, ondansetron, mastektomi radikal modifikasi Comparison Granisetron 0.01 Mg / Kg.Bb With Ondansetron 0.08 Mg / Kg.Bb To Prevent Early Postoperative Nausea Vomiting Modified Radical MastectomyPostoperative nausea and vomiting not only cause discomfort to the patient, but also lead to electrolyte imbalance, regurgitation and aspiration, bleeding and loss of surgical sutures. Patients who experience postoperative nausea and vomiting will require further attention and treatment which of course increases the cost of medical services. Women who underwent mastectomy with accompanying decision underarm lymph nodes have a high risk of postoperative nausea and vomiting. Many anti-vomiting are given including antihistamines, butyrophenon, and dopamine receptor antagonists have been reported to have undesirable side effects including excessive sedation, hypotension, dry mouth, dysphoria, hallucinations and extrapyramidal effects. 5 HT3 receptor antagonists provide a major advancement for treatment of postoperative nausea and vomiting due to fewer side effects when compared with anti-vomiting medications before. This study will compare the two drugs 5 HT3 receptor antagonist granisetron with ondansetron in preventing postoperative nausea and vomiting modified radical mastectomy early. Conducted research on 58 patients ASA I and II modified radical mastectomy is performed under general anesthesia. Sampling was carried out using double-blind randomized controlled trial. Samples were divided into two groups by block randomization. Group G is given granisetron 0.01 gr / kg.bb and group O is given ondansetron 0.08 mg / kg.bb. Drug treatment is administered intravenously 30 minutes before the surgery ended on a complete evaluation of blood pressure, heart rate, oxygen saturation and length of surgery. Postoperative nausea and vomiting shortly after surgery assessed every hour until 6 hours after surgery (early postoperative nausea and vomiting) to 4 scale (0-3). Data were analyzed by t-test, Chi-square test, Mann-Whitney test and Fishers Exact test on Windows SPSS ver.16 The results suggest there is a tendency complaints of postoperative nausea and vomiting occurs more frequently in group O (27.6%) compared with group G (6.9%). In the statistical analysis performed with Chi-square test results obtained were significant differences (p <0.05). Conclusion that the provision of granisetron 0.01 mg / kg.bb better than intravenous ondansetron 0.08 mg / kg.bb. intravenously in lowering the incidence of early postoperative nausea and vomiting modified radical mastectomy.Keywords: early postoperative nausea and vomiting, granisetron, ondansetron, modified radical mastectomy DOI: 10.15851/jap.v1n1.158
Korelasi Penanda Anatomis Blokade Saraf Iskiadikus Pendekatan Anterior dengan Panjang Femur dan Tinggi Badan Menggunakan Ultrasonografi Purnamasidi, Maransdyka; Pradian, Erwin; Kurniadi Kadarsah, Rudi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (535.703 KB)

Abstract

Blokade saraf iskiadikus pendekatan anterior dapat digunakan untuk memfasilitasi pembedahan di bawah lutut dan sangat bermanfaat untuk pasien yang tidak dapat diposisikan lateral. Tujuan penelitian ini untuk mencari korelasi penanda anatomis blokade saraf iskiadikus pendekatan anterior dengan panjang femur dan tinggi badan menggunakan ultrasonografi pada subjek penelitian laki-laki. Metode penelitian ini adalah observasional eksperimental dengan pengambilan data secara cross sectional di ruang operasi bedah sentral Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada September–November 2012. Persamaan korelasi panjang femur dan tinggi badan dengan penanda anatomis blokade saraf iskiadikus pendekatan anterior dihitung berdasarkan analisis regresi linear dan uji analysis of variance (ANOVA) untuk menentukan kelayakan persamaan regresi linear, pada taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan korelasi yang kuat antara penanda anatomis blokade saraf iskiadikus pendekatan anterior dan panjang femur (r=0,784) dengan korelasi searah dan bermakna (p<0,05). Terdapat korelasi yang sangat kuat antara penanda anatomis blokade saraf iskiadikus pendekatan anterior dan tinggi badan (r=0,921) dengan korelasi searah dan bermakna (p<0,05). Berdasarkan hasil analisis regresi linear, diperoleh persamaan: Titik “P” = (0,182 x tinggi badan)–24,647cm. Titik “P” (0,275 x panjang femur)–4,764 cm. Simpulan, penelitian ini menunjukkanbahwa terdapat korelasi penanda anatomis blokade saraf iskiadikus pendekatan anterior dengan panjang femur dan tinggi badan menggunakan ultrasonografi.Kata kunci: Blokade saraf iskiadikus, pendekatan anterior, panjang femur, tinggi badan, ultrasonografiAnterior Approach to the Sciatic Nerve Block in Correlation with Femur Length and Patient’s Height Using Ultrasound As a GuidanceAnterior sciatic nerve blocks is an alternative anesthetic technique for below knee surgery and very useful for patients that cannot positioned laterally. This study was conducted to improve correlations between anterior sciatic anatomical marking with femur length and patient’s height using ultrasound as a guidance. The method of this study was a cross sectional experimental observation study in central operating theatre >Dr. Hasan Sadikin Hospital-Bandung within September–November 2012. Correlation formula between femur length or patient’s height and anterior sciatic anatomical marking was calculated using linear regression analytic and analysis of variance (ANOVA) test with interval of confidence 95%. A total of 92 subject, between 25 to 47 years studied. The results of this study showed a strong correlation between anterior sciatic anatomical marking and femur length (r=0.784) p<0.05, a very strong correlation between anterior sciatic anatomical marking and subject’s height (r= 0.921) and p<0.05). Formula based on linear regression analysis: “P” point (0.275 x femur length)–4,764 cm. “P” point = (0.182 x height)–24,647 cm. The >conclusion of this study shows correlation between anterior sciatic anatomical marking with femur length and patient’s height using ultrasound.Key words: Anterior approach, femur length, height, sciatic block, ultrasound DOI: 10.15851/jap.v1n2.118
Perbandingan Efektivitas Pemberian Efedrin Oral Dosis 25 mg dengan 50 mg Preoperatif terhadap Kejadian Hipotensi Pascaanestesi Spinal pada Seksio Sesarea Rosita, Selly Oktarina; Pradian, Erwin; Sitanggang, Ruli Herman
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 3 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1104.166 KB)

Abstract

Tablet efedrin dapat mencegah hipotensi dengan efek samping lebih kecil. Penelitian ini bertujuan mengkaji dosis efektif tablet efedrin yang diberikan 30–45 menit sebelum dilakukan anestesi spinal untuk menurunkan kejadian hipotensi. Penelitian bersifat eksperimental acak tersamar tunggal dengan 32 ibu hamil ASA II yang menjalani operasi sesar dengan anestesi spinal di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Maret–Mei 2012. Subjek penelitian dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok 25 mg dan 50 mg. Data dianalisis dengan Uji Mann Whitney dan chi-kuadrat, nilai p<0,05 dianggap bermakna. Analisis statistik menunjukkan bahwa kejadian hipotensi pada kelompok 25 mg dan kelompok 50 mg berbeda bermakna (p=0,049). Pada kelompok tablet efedrin 25 mg kebutuhan efedrin intravena pascaanestesi spinal lebih besar (p=0,040). Simpulan penelitian ini adalah pemberian tablet efedrin 50 mg 30–45 menit sebelum anestesi spinal dapat mencegah hipotensi pascaanestesi spinal lebih baik dibandingkan dengan tablet efedrin 25 mg. Kelompok tablet efedrin 25 mg memerlukan jumlah pemberian efedrin intravena lebih banyak dibandingkan dengan kelompok tablet efedrin 50 mg.Kata kunci: Anestesi spinal, efedrin tablet 25 mg, efedrin tablet 50 mg, seksio sesarea, hipotensi Comparison of the Effectiveness of Preoperative Oral 25 mg and 50 mg Ephedrine on Postspinal Anaesthesia Hypotension in Caesarean SectionAbstractOral ephedrine is one alternative to prevent hypotension with less adverse effects. The purpose of this study was to determine the effective dose of oral ephedrine given 30–45 minutes before spinal anesthesia to reduce incidence of hypotension. The research was a single-blind randomized experimental study involving 32 pregnant women, ASA II, who underwent caesarean section with spinal anesthesia at Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung from March to May 2012. Subjects were divided into two groups, 25 mg ephedrine and 50mg ephedrine groups. Data was analyzed using Mann Whitney and chi-square test, p<0.05 was considered significant. Statistical analysis showed there was a significant difference (p=0.049) in incidence of hypotension between 25 mg group and 50mg group. 25mg group required more intravenous ephedrine after spinal anesthesia (p=0.040). The conclusion of this study was that oral 50mg ephedrine given 30–45 minutes before performing spinal anesthesia will reduce the incidence of hypotension after spinal anesthesia in comparison to oral 25mg ephedrine. In 25mg group, the amount of ephedrine intravenous administered is higher compared with 50mg group.Key words: Spinal anesthesia, 25mg oral ephedrine, 50mg oral ephedrine, caesarean section, hypotension DOI: 10.15851/jap.v1n3.192
Perbandingan Pemberian Metoprolol Tartrat dengan Lidokain secara Intravena terhadap Perubahan Tekanan Darah dan Laju Nadi Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi Koswara, Yovita; Pradian, Erwin; Redjeki, Ike Sri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 2, No 2 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (395.974 KB)

Abstract

Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakeal dapat menyebabkan tekanan darah dan laju nadi naik secara mendadak akibat rangsangan terhadap sistem simpatis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian metoprolol 5 mg intravena dibandingkan dengan lidokain 1,5 mg/kgBB untuk mengurangi lonjakan hemodinamik akibat laringoskopi intubasi. Penelitian ini dilakukan secara uji klinis acak terkontrol buta ganda terhadap 40 pasien dengan status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) I−II yang menjalani operasi dengan teknik anestesi umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dari bulan Juli−Agustus 2013. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang diberikan metoprolol 5 mg intravena atau lidokain 1,5 mg/kgBB 3 menit sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Data penelitian dianalisis dengan uji-t, dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna. Analisis statistik menunjukkan bahwa pada 2 menit dan 3 menit setelah intubasi antara kedua kelompok didapatkan perbedaan bermakna pada seluruh  parameter hemodinamik dengan nilai  p<0,05. Simpulan dari penelitian ini adalah metoprolol 5 mg secara intravena memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan lidokain 1,5 mg/kgBB dalam hal mengurangi lonjakan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi intubasi.Kata kunci: Intubasi, laringoskopi, lidokain, metoprololComparison of Intravenous Metoprolol Tartrate and Lidocaine on Changes of Blood Pressure and Heart Rate During Laryngoscopy and IntubationLaryngoscopy and endotracheal intubation associated with a sudden rise in blood pressure and pulse rate due to stimulation of sympathetic activity. The aim of this study was to compare effectiveness of metoprolol 5 mg intavenously and lidocaine 1.5 mg/kgBW to attenuate hemodynamic response evoked by laryngoscopy and intubation. This was an experimental randomized double blind controlled trial study was conducted in 40 patients with American Society of Anesthesiologist (ASA) physical status I or II who will have surgery with general anesthesia techniques in Hasan Sadikin Hospital Bandung from July−August 2013. Subjects were divided into two groups wich received metoprolol 5 mg intravenously or lidocaine 1.5 mg/kgBW 3 minutes before laryngoscopy and intubation. All data were analysed using t-test, with  p value < 0.05 considered significant. Statistical analysis showed that on second and third minutes after intubation and laryngoscopy showed a significant differences on hemodynamic parameter between two groups with  p value <0.05. The conclusions of this study are intravenous 5 mg of metoprolol found to be better than lidocaine 1.5 mg/kgBW to attenuate hemodynamic response evoked by laryngoscopy and  intubation.Key words: Intubation, laryngoscopy, lidocaine, metoprolol DOI: 10.15851/jap.v2n2.309
Reliabilitas dan Validitas Penilaian Skala Sedasi Richmond Agitation Sedation Scale (RASS) dan Ramsay pada Pasien Kritis dengan Ventilasi Mekanik di Ruang Perawatan Intensif Suhandoko, -; Pradian, Erwin; Maskoen, Tinni T.
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 2, No 3 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1136.049 KB)

Abstract

Penggunaan secara rutin skala subjektif untuk nyeri, agitasi, dan sedasi akan mendorong penatalaksanaan yang lebih efektif pada pasien untuk mencapai titik akhir yang spesifik. Setiap metode subjektif skala sedasi harus dievaluasi dalam hal reliabilitas dan validitas. Tujuan penelitian untuk mengetahui reliabilitas dan validitas skala Richmond Agitation Sedation Scale (RASS) dan Ramsay pada pasien kritis yang dirawat dengan ventilasi mekanik di ruang perawatan intensif. Jumlah subjek penelitian 82 pasien yang dinilai dengan skala sedasi RASS dan Ramsay setelah diberikannya obat analgesia dan sedasi. Penelitian observasional deskriptif yang dilakukan berdasarkan urutan datang pasien selama 4 bulan penelitian dari Mei–Agustus 2014. Metode Alpha Cronbach untuk menentukan reliabilitas dan Rank Spearman untuk menentukan validitas. Hasil penelitian ini didapatkan Skala RASS dengan nilai reliabilitas tertinggi Alpha Cronbach (α):0,951, serta nilai validitas tertinggi dengan Rank Spearman (rs):0,743. Skala Ramsay dengan nilai reliabilitas tertinggi Alpha Cronbach (α):0,921, serta nilai validitas tertinggi dengan Rank Spearman (rs):0,922. Simpulan dari penelitian ini adalah skala RASS menunjukkan keandalan dan koefisien validitas lebih tinggi daripada skala Ramsay. Kata kunci: Penilaian skala sedasi, reliabilitas, validitasRichmond Agitation Sedation Scale (RASS) and Ramsay Assessment Reliability and Validity in Critically Ill Patients with Mechanical Ventilation Support in Intensive Care Unit Routine use of subjective scales for pain, agitation, and sedation promotes more effective patient management in order to reach specific end-points. Each subjective sedation scale method should be evaluated in terms of its reliability and validity. The purpose of this study was to fassess the reliability and validity of Richmond Agitation Sedation Scale (RASS) and Ramsay scale. Subjects were 82 (eighty two) patients assessed using RASS and Ramsay sedation scale after receiving analgesia and sedation drug. This study was an observational study with cross sectional descriptive sampling conducted in consecutive patients sampling within a period of 4 months during May–August 2014. The results of the assessment were analyzed using Alpha Cronbach to determine the reliability and Rank Spearman to test the validity. It was revealed that  RASS scale had the highest reliability value with Alpha Cronbach (α):0.951 and the highest validity with Rank Spearman (rs):0.743 while the highest reliablity value achieved using the Ramsay scale was Alpha Cronbach (α):0.921 with Rank Spearman (rs): 0.922 as the highest validity score. It is concluded, therefore, that the RASS scale shows higher reliability and validity coefficients than the Ramsay scale. Key words: Assessment sedation scale, reliability, validity DOI: 10.15851/jap.v2n3.330
Perbandingan Visual Analog Score antara Teknik Injeksi Air Steril Intrakutan Satu Titik dan Empat Titik untuk Mengurangi Nyeri Persalinan Spontan Rosady, Faisal; Pradian, Erwin; Surahman, Eri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1156.005 KB)

Abstract

Hampir sepertiga para wanita yang menjalani persalinan menderita nyeri persalinan terutama di daerah pinggang belakang yang sifatnya kontinu. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan efektivitas antara injeksi satu titik dan empat titik dalam mengurangi nyeri persalinan diukur menggunakan visual analogue scale (VAS). Penelitian ini dilaksanakan bekerjasama dengan Departemen Obstetri dan Ginekologi di Rumah Sakit Dr. Hasan sadikin Bandung terhadap 50 orang wanita primipara yang menjalani persalinan spontan normal pada bulan April–Mei 2012. Disain penelitian ini menggunakan metode klinis acak terkontrol buta tunggal. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan uji-t, chi-kuadrat, dan Mann-Whitney dengan tingkat kepercayaan 95% dan dianggap bermakna bila p<0,05. Teknik injeksi satu titik dapat menurunkan skor VAS paling banyak rata-rata dari 85,40 (4,3) menjadi 47,60 (7,2) dibandingkan dengan menggunakan teknik injeksi empat titik, yaitu rata-rata 84,60 (4,3) menjadi 48,4 (8,5) pada menit ke-10. Simpulan penelitian ini tidak terdapat perbedaan penurunan skor VAS antara teknik injeksi air steril intrakutan secara empat titik dibandingkan dengan teknik injeksi satu titik.Kata kunci: Injeksi air steril intrakutan, nyeri persalinan, visual analog scaleComparison of Visual Analogue Score (VAS) between One Point and Four Points Sterile Intracutaneous Water Injection Technique to Reduce Spontaneous Delivery PainAlmost one third of women suffer from continuous lower back pain during labour. Therefore, the aim of this study was to compare the effectivity between single and four injections in reducing labour pain measured by visual analogue scale (VAS). The study was conducted in collaboration with Obstetry and Gynaecology Department in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung on 50 primipara women presenting at term. This study was a single blind randomised controlled trial. Study data was analyzed using t-test, chi-square test and Mann Whitney U test with 95% confidence interval and p<0.05 as statistically significant. One point injection technique can lower VAS scores from an average of 85.40 (4.3) to 47.60 (7.2) as compared to using four-point injection technique, from an average 84.60 (4.3) to 48.4 (8.5) at the 10th minute. In conclusion, there is no difference between one and four points sterile intracutaneous water injection technique in reducing pain as measured by VAS score.Key words: Intradermal sterile water injections, labour pain, visual analogue scale DOI: 10.15851/jap.v2n1.233