Imam Santoso
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Merdeka Malang

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

DI ANTARA KE- MASA LALU-AN DAN KE-KINI-AN KOTA BERSEJARAH Imam Santoso
Mintakat: Jurnal Arsitektur Vol 4, No 1 (2003): September 2003
Publisher : Architecture Department University of Merdeka Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (148.712 KB) | DOI: 10.26905/mintakat.v4i1.1958

Abstract

Kerinduan akan masa lalu pada sebuah kota tentunya akan lebih terasa indah, ketika menempatkan kesejarahan kota tersebut pada suatu posisi yang benar dan tepat. Sebagai contohnya L’arc de Grand au Defense di Paris (semacam ‘Regol’ dalam istilah Jawa) yang tentunya dapat menjadi panutan para arsitek di negeri ini di dalam memberi sentuhan pada suatu karya kearsitekturan kota yang berakar dan memiliki perhatian pada arti kesejarahan. Melihat fenomena terhadap pemakaian bangunan yang bernilai kesejarahan atau ke-kuno-an (klasik) adalah sebagai pengikat fungsi baru yang cenderung mempunyai nilai positif. Di kota-kota di Indonesia sepertinya hal tersebut belum mencapai perkembangan kota yang ideal antara ke-masa lalu-an dan ke-kini-an, masyarakat masih menilai dan melihat bahwa yang kuno tersebut adalah usang. Sehingga perlu untuk mencontoh dalam kasus bangunan La Defense di kota Paris baru, dimana perancangnya berhasil memberikan nuansa lain pada kota baru tersebut tanpa meninggalkan ciri-ciri yang ada pada kota Paris lama, dengan memanfaatkan apa yang disebut ‘historis axis’ sebagai pengikatnya.
PELUANG DAN TANTANGAN ARSITEKTUR DALAM INDIKATOR TEMATIK BUDAYA, AGENDA 2030 Dina Poerwoningsih; Imam Santoso
Mintakat: Jurnal Arsitektur Vol 20, No 1 (2019): Maret 2019
Publisher : Architecture Department University of Merdeka Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (285.567 KB) | DOI: 10.26905/mj.v20i1.3772

Abstract

Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat peluang dan tantangan arsitektur di era SDGs-2030 ini. Salah satunya dengan pendekatan keterkaitan dan hubungan arsitektur dan budaya. Salah satu alasan eksternal adalah baru di era SDGs-2030 inilah budaya mendapatkan pengakuan dan tempat sebagai penentu perubahan dunia. Hidup di dunia yang terglobalisasi adalah sebuah keniscayaan, oleh karenanya diperlukan pola pikir global dalammenghadapi tantangan dan realitas global tersebut. Demikian pula semestinya dalam cara dan pola pikir kita pelaku akademis dan praktisi bidang arsitektur di era tersebut. Tulisan ini bertujuan menyampaikan eksistensi peluang dan tantangan arsitektur di era SDGs-2030 khusunya dalam tema budaya. Strategi yang dilakukan adalah membaca peluang dalam isu-isu utama Agenda 2030 yang tertuang dalam sebuah konvensi Culture 2030 Indicator. Penelitian yang mendukung tulisan ini bersifat deskriptif eksploratif. Sejumlah 22 poin konvensi dalam tema budaya yang terdapat pada 4 isu utama Agenda 2030 digunakan sebagai alat utama analisis. Sementara itu klasifikasi bidang atau kegiatan arsitektur diperlukan untuk melihat bobot peluang dan tantangan yang berbeda-beda. Analisis dilakukan secara interpretatif terhadap setiap poin konvensi dalam keterkaitannya dengan setiap klas kegiatan arsitektur. DOI: https://doi.org/10.26905/mj.v20i1.3772
PENDEKATAN PERSEPSI DAN KOGNISI DALAM ANALISIS IDENTITAS KOTA, STUDI KASUS KAWASAN PUSAT KOTA MALANG Tonny Suhartono; Agus Sukandar; Imam Santoso
Mintakat: Jurnal Arsitektur Vol 20, No 1 (2019): Maret 2019
Publisher : Architecture Department University of Merdeka Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (526.993 KB) | DOI: 10.26905/mj.v20i1.3255

Abstract

Arsitektur Kota dan identitasnya yang bukan sekedar gambar (wujud fisik – visual) dari kota yang bisa dilihat saja, melainkan juga sebagai suatu konstruksi.  Konstruksi yang terbentuk sepanjang waktu melalui proses yang panjang, akibat interaksi antara manusia, budaya, sosial dan factor-faktor alamiah. Permasalahan (issue) tentang kota banyak dilontarkan berbagai pihak; ada yang menyatakan pembentukan ruang kota harus selalu berkaitan dengan aspek fisik dan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Para perencana dan perancang (arsitektur) kota ditantang untuk menciptakan lingkungan binaan kolektif yang berarti bagi pertumbuhan serta keberlanjutan kehidupan manusia. Saat ini terjadi kecenderungan penurunan kualitas arsitektur tata ruang dan karakter pada pusat kota, yang disebabkan oleh pendekatan yang lebih menekankan segi fungsional dan pemenuhan kepentingan perekonomian semata. Seringkali hasil- hasil dari para perencana-perancang itu menjadi buruk dalam wujud maupun denah (tata ruang) bagi penggunaan untuk aktivitas kehidupan secara publik. Tulisan ini mencoba menyampaikan metode mengenali ruang dan karakter kota dengan studi kasus Kawasan Pusat Kota Malang. DOI: https://doi.org/10.26905/mj.v20i1.3255
PENELUSURAN HISTORIS MELALUI VISUAL BANGUNAN ART DECO SEBUAH UPAYA BUFFER KUALITAS WAJAH KOTA KE ERA KOMERSIALISASI DI MALANG Imam Santoso
Mintakat: Jurnal Arsitektur Vol 18, No 1 (2017): Maret 2017
Publisher : Architecture Department University of Merdeka Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (359.962 KB) | DOI: 10.26905/mintakat.v18i1.1396

Abstract

Penelusuran historis sebagai upaya dalam menata performance wajah kota telah lama dilakukan dibeberapa negara maju di Eropa dan Amerika, bahkan merambah di Asia Tenggara seperti Singapura dan Malaysia, yangmana telah banyak memberi nilai tambah bagi aset pariwisata kota melalui penandaan tempat atau kawasan seperti Chinatown, Little India, ataupun Raffles City . Dalam beberapa hal, peningkatan atau performance suatu kawasan tersebut selalu ditandai dengan sentuhan-sentuhan terhadap bangunan-bangunan yang memiliki nilai-nilai tertentu, baik secara visual bangunannya yang dikuatkan pada nilai-nilai historisnya. Fenomena perkembangan pembangunan kota hingga saat ini belum beranjak dari era komersialisme sebagai bagian dari modernisme kehidupan kota, terutama di Indonesia (secara umum). Apapun yang bernilai komersial menjadi alasan yang dianggap cukup kuat untuk membangun yang baru dan membongkar yang lama (yang bernilai histories). Fenomena yang sama tidak ada kecuali terjadi di kota Malang. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini, telah dibangun puluhan fasilitas komersial di kawasan kota Malang baik berupa ruko, kantor, hotel, dsb yang didirikan dengan mengabaikan aspek keselarasan dan kesinambungan kualitas wajah kota. Bahkan sebagian besar cenderung melanggar aturan-aturan teknis pembangunan yang ditetapkan pihak Pemkot. Kota Malang memiliki karakteristiknya sendiri sebagai salah satu kota koloni Belanda. Sejak tahun 1914 kota Malang direncanakan dengan sangat baik oleh arsitek Belanda Thomas Karsten. Perkembangan arsitektur kota Malang pada masa kolonial tidak lepas dari pengaruh arsitektur modern yang sedang melanda pada waktu itu. Tak terkecuali pada era 1920 dan 1930 an, saat berkembangnya style Art Deco di Eropa. Dalam beberapa kasus bangunan kolonial di kota Malang, karakteristik Art Deco masih eksis dan relevan dengan perkembangan jaman hingga saat ini. Sebagai contoh adalah bangunan yang berada di kawasan Kayutangan. Art Deco sebagai semangat berarsitektur (walaupun belum ada penelitian tentang hal ini), dapat dirasakan hingga saat ini. Gaya minimalis yang banyak digemari saat ini diyakini oleh sebagian arsitek di Indonesia memiliki kekuatan rancangan Art Deco. Salah satu ciri streamline hasil fabrikasi serta teknik pembentukannya dipandang sukses membentuk citra masa lampau sekaligus masa kini. Di beberapa negara di Eropa (Perancis, Belanda, dsb), dan Amerika ( Miami), style Art Deco memberi peran yang cukup besar bagi wajah kota dan kontribusi bagi kepariwisataan hingga dikenal hingga saat ini. (Tinniswood: 2002, Cherwinsky: 1981). Wajah bangunan kota Malang memiliki sebagian dari karakteristik Art Deco. Mendasarkan pada wacana Art Deco sebagai semangat berarsitektur, tentunya aset-aset bangunan yang masih tersisa di Kota Malang menjadi sangat berharga untuk dikaji. Sehingga,studi tentang karakteristik bangunan Art Deco di kawasan Kota Malang sangat diperlukan untuk menjaga performance wajah kota, dalam rangka melestarikan pusaka kota. Permasalahan yang selalu muncul untuk dikaji harus mampu menjawab tentang adanya pertanyaan seperti: Bagaimanakah karakteristik visual bangunan Art Deco di kawasan Kota Malang? DOI: https://doi.org/10.26905/mintakat.v18i1.1396
Study of Theory Based on Security at Silimo Settlement in The Baliem Valley of Papua Muhammad Amir Salipu; Anggia Riani Nurmaningtyas; Mercyana Trianne Zebua; Imam Santoso
Local Wisdom : Jurnal Ilmiah Kajian Kearifan Lokal Vol 14, No 2 (2022): July 2022
Publisher : University of Merdeka Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26905/lw.v14i2.7594

Abstract

In the Baliem Valley, Papua, the tradition of tribal wars in the culture of the Hubula tribe in the past is related to the concept of site selection, spatial planning, and building form in the Silimo settlement. The problem in this study is how the selection of location, spatial planning, building form, and territoriality become the concept of security in a traditional settlement. The purpose of the study was to determine the security concept in traditional Silimo settlement that consists of site selection, spatial planning, building form, and territoriality based on security theory in settlements. In answering the problem of this research, the researchers use qualitative research methods. The researchers also use a phenomenological approach to explain or reveal the meaning of concepts or phenomena of experience based on the awareness that occurs in several individuals related to security in the Silimo settlement. The theories used in this research are the security theory in crime prevention and the theory of defensible space. The result of this research is that security theory can explain that the selection of location, spatial planning, and building form in the Silimo settlement of the Hubula Tribe in the Baliem Jayawijaya Valley was built based on the traditional conception of security. The concept of security in the Silimo settlement can be realized by: 1) The concept of territory as a defense space and territory as a territory of power; 2) The concept of space as a personal space and a public space: 3) The concept of Kinship, confederation, norms, customary rituals, which become the Patterns and Concepts of Space and Building Forms and Constructions are forms of Social Relations, Natural Relations and Ancestral Relations, to actualize a security system in Silimo settlement.
KAJIAN PERUBAHAN PERMUKIMAN SUKU BAJO BERDASARKAN KONSEP TRANSFORMASI KEBUDAYAAN IGNAS KLEDEN Muhammad Amir Salipu; Ahda Mulyati; Anggia Riani Nurmaningtyas; Imam Santoso
Mintakat: Jurnal Arsitektur Vol 23, No 2 (2022): September 2022
Publisher : Architecture Department University of Merdeka Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26905/jam.v23i2.7830

Abstract

Permukiman suku Bajo yang dikenal dengan permukiman di atas laut tersebar di beberapa wilayah perairan di Indonesia, salah satunya di wilayah pantai BajoE, Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Awalnya mereka tinggal di atas perahu, kemudian mengalami perubahan, mulai membuat rumah di atas alr, lalu berangsur-angsur bergeser membangun rumah di daratan. Perubahan permukiman dari laut ke daratan merupakan proses yang cukup lama dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitar baik faktor fisik (alam) maupun non fisik (kebudayaan). Menurut Kleden, (1987), perubahan kebudayaan sebagai sebuah proses merupakan gerakan tiga langkah sesuai arah pandang perubahan yang dapat disebut sebagai proses transformasi kebudayaan. Transformasi kebudayaan, adalah perubahan pada sistem nilai (value system), kerangka pengetahuan dan makna (system meaning), tingkah laku, interaksi dan pelembagaan bentuk-bentuk interaksi. Konsep transformasi kebudayaan tersebut dapat dipergunakan untuk mengkaji transformasi permukiman suku Bajo di BajoE dari arah pandang perubahan fisik permukiman, sosial dan ekonomi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kepustakaan, wawancara dan tinjauan lapangan untuk mendeskripsikan perubahan yang terjadi baik fisik maupun non fisik dari permukiman suku Bajo. Metode kepustakaan dipergunakan karena data yang berkaitan dengan masa lalu tidak dapat diamati secara empiris seperti pemahaman terhadap peristiwa masa lalu yang berkaitan dengan sejarah, persepsi dan sistem nilai budaya.  Berdasakan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa konsep trasnformasi kebudayaan Ignas Kleden dapat menjelaskan proses transformasi permukiman suku Bajo yang terdiri atas tiga langkah yaitu: integrasi, desintegrasi, reintegrasi (value system) dan orientasi, disorientasi, reorientasi (system of meaning). Di samping itu, perubahan kebudayaan akan merubah: Tingkah laku dari penerimaan pola, adakalanya melalui penolakan pola menjadi penerimaan pola-pola baru. Orang yang berinteraksi dari sosilisasi, melalui disosialisasi menjadi resosialisasi. Serta pemantapan bentuk-bentuk interaksi dari organisasi, melalui disorganisasi menjadi reorganisasi. Dampak dari perubahan lokasi tersebut terhadap aspek fisik adalah terjadinya perubahan pada: lokasi rumah (di atas laut ke daratan), bentuk, luas, dan tampilan rumah. Dampak pada aspek non fisik yaitu peningkatan aspek sosial ekonomi masyarakat suku Bajo di BajoE Kabupaten Bone.---------------------------------------------------------------------------The settlements of the Bajo tribe, which are known as settlements on the sea, are scattered in several water areas in Indonesia, one of which is in the BajoE coastal area, Bone Regency, South Sulawesi. At first they lived on a boat, then underwent changes, began to build houses on the river, then gradually shifted to building houses on land. Changes in settlements from sea to land is a long process and is influenced by the surrounding environment, both physical (natural) and non-physical (cultural) factors. According to Kleden, (1987), cultural change as a process is a three-step movement according to the direction of change which can be called a process of cultural transformation. Cultural transformation, is a change in the value system, the framework of knowledge and meaning (system meaning), behavior, interaction and institutionalization of forms of interaction. The concept of cultural transformation can be used to examine the transformation of Bajo tribal settlements in BajoE from the perspective of physical, social and economic changes in settlements. This research was conducted using literature, interviews and field reviews to describe changes that occurred both physically and non-physically from the Bajo tribal settlements. The library method is used because data related to the past cannot be observed empirically such as understanding past events related to history, perceptions and cultural value systems. Based on the results of the study, it was concluded that the concept of cultural transformation of Ignas Kleden can explain the transformation process of the Bajo tribal settlements which consists of three steps, namely: integration, disintegration, reintegration (value system) and orientation, disorientation, reorientation (system of meaning). In addition, cultural change will change: Behavior from acceptance of patterns, sometimes through rejection of patterns to acceptance of new patterns. People who interact from socialization, through being socialized into resocialization. As well as strengthening the forms of interaction from the organization, through disorganization into reorganization. The impact of the change in location on the physical aspect is a change in: the location of the house (above the sea to the mainland), the shape, area, and appearance of the house. The impact on non-physical aspects is an increase in the socio-economic aspects of the Bajo tribal community in BajoE, Bone Regency.