Sri Mulyati Chalil
Universitas Langlangbuana

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

ASPEK HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS SERTA IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA Sri Mulyati Chalil
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 20 No 1 (2021): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XX:1:2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32816/paramarta.v20i1.100

Abstract

Sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual, merek memiliki fungsi yang sangat penting bagi eksistensi sebuah perusahaan. Pemboncengan reputasi terhadap merek terdaftar banyak sekali terjadi dan dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Tidak sedikit pengusaha di negeri ini yang melakukan tindakan pemboncengan reputasi terhadap merek terdaftar dengan cara membuat suatu merek yang mirip dan dapat mengelabui konsumen, dan merek tersebut ternyata dapat disahkan dalam pendaftaran merek oleh Dirjen HKI. Undang-Undang 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Greografis menyebutkan bahwa permohonan harus ditolak oleh Dirjen HKI apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek lain yang sudah terdaftar lebih dahulu. Para pelaku bisnis seringkali melakukan kecurangan dan tidak mempunyai itikad baik dalam menjalankan usahanya yaitu dengan membonceng ketenaran merek terkenal milik pihak lain untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Itikad tidak baik merupakan perbuatan yang tidak jujur yang memiliki niat membonceng atau meniru ketenaran merek milik pihak lain demi kepentingan usahanya yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain.
PENERAPAN SANKSI REHABILITASI BAGI PENYALAH GUNA DAN PECANDU NARKOTIKA Sri Mulyati Chalil
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 14 No 2 (2015): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XIV:2:2015
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, selain mengatur ketentuan-ketentuan sanksi pidana, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 terdapat ketentuan tentang jaminan pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu Narkotika. Kemudian dengan adanya ketentuan tersebut, telah memberikan wewenang kepada hakim untuk memerintahkan penyalah guna atau pecandu menjalani pengobatan serta perawatan melalui rehabilitasi. Permasalahan yang diangkat adalah Bagaimana upaya pemerintah dan penegak hukum dalam menerapkan sanksi rehabilitasi bagi penyalah guna dan pecandu Narkotika serta Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan program pemberian sanksi rehabilitasi bagi penyalah guna dan pecandu Narkotika, Upaya pemerintah dan penegak hukum dengan membentuk peraturan-peraturan tentang pelaksanaan atau petunjuk teknis penempatan penyalah guna dan pecandu Narkotika di lembaga rehabilitasi, sudah cukup untuk menghindarkan pidana penjara dari penyalah guna dan pecandu Narkotika yang hanya sebagai pemakai saja.
PENGESAMPINGAN PERKARA (DEPONERING) OLEH JAKSA AGUNG Sri Mulyati Chalil
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 15 No 1 (2016): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XV:1:2016
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hukum sebagai perlindungan dalam kepentingan manusia agar kepentingan manusia dapat terlindungi, hukum harus dilaksanakan melalui pelaksanaan dalam penegakan hukum sehingga hukum menjadi suatu kenyataan. Salah satu lembaga negara yang berperan penting dalam proses penegakan hukum di Indonesia adalah Kejaksaan Republik Indonesia,untuk menjalankan fungsinya dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang mengendalikan tugas dan wewenangnya. Jaksa Agung HM Prasetyo mengesampingkan perkara (deponering) mantan pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dengan alasan kepentingan umum. Permasalahan hukum yang akan dikaji adalah mengenai konsep kepentingan umum yang menjadi alasan dikeluarkannya deponering terhadap kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, serta relevansi pengesampingan perkara (deponering) dengan asas persamaan kedudukan dalam hukum (equality before the law).
Legalitas Kewenangan Komandan dalam Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing) Muhamad Sopian; Sri Mulyati Chalil
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 16 No 3 (2017): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XVI:3:2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32816/paramarta.v16i3.50

Abstract

Laut Indonesia merupakan laut terluas kedua didunia yang memiliki luas laut empat kali dari luas daratannya. Wilayah ini meliputi laut olemicial, Laut Nusantara dan Zona Ekonomi Ekslusif. Selain itu bukan hanya ikan yang begitu banyaknya tetapi juga sumber daya alam yang berlimpah. Indonesia merupakan olemi kepulauan yang dimana tidak sedikit memiliki permasalahan yang berhubungan dengan laut. Permasalahan yang terdapat antara lain, masalah batas kelautan yang dimiliki Indonesia, illegal fishing, dan jalur perdagangan melalui laut. Berdasarkan Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kerugian olemi dari sektor kelautan dan perikanan diperkirakan kerugian olemi dari kejahatan illegal fishing sebesar Rp. 300 Triliun setiap Tahun. Dalam mengatasi permasalahan ini presiden mengeluarkan Perpres Nomor 115 Tahun 2015 dan presiden menunjuk Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menjadi Komandan Satgas. Yang menjadi pokok permasalahan ini adalah bagaimana legalitas pemberlakuan Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015 Tentang Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal dalam hal pengendalian alat militer dan bagaimana upaya hukum terhadap penyelesaian olemic Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015 Tentang Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal dalam hal pengendalian alat militer. Peraturan Presiden Nomor 115 tahun 2015 yang dibentuk oleh presiden dan presiden menunjuk Menteri Kelautan dan Perikanan menjadi komandan satgas. Menteri Kelautan dan Perikanan diberikan kewenangan yang prestisius, dimana komandan satgas mempunyai hak untuk mengendalikan alat militer milik TNI AL. Sedangkan dalam Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 menjelaskan bahwa pengendalian alat militer hanya dapat dikendalikan oleh Panglima TNI dan Panglima TNI bertanggung jawab kepada presiden. Penyelesaian olemic pepres ini dapat dilakukan dengan tiga opsi, pertama, judicial review yang dapat diusulkan oleh pihak-pihak yang terkait yang dalam hal ini adalah masyarakat dari kalangan akademisi ataupun masyarakat yang dirugikan secara langsung oleh perpres tersebut; kedua, revisi yang dapat dilakukan oleh pemerintah terkait dengan perpres ini, yang dimana awalnya Menteri Kelautan dan Perikanan yang menjadi komandan satgas, digantikan oleh Panglima TNI atau Wakil Panglima TNI dan atau KASAL; ketiga, yaitu penghapusan dimana pemerintah yang mengeluarkan kembali perpes yang intinya diperuntukkan mencabut Perpres Nomor 115 Tahun 2015
Penggunaan Lie Detector (Alat Pendeteksi Kebohongan) dalam Proses Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Vinca Fransisca Yusefin; Sri Mulyati Chalil
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 17 No 2 (2018): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XVII:2:2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32816/paramarta.v17i2.58

Abstract

Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ayat (1) menyebutkan tentang alat bukti yang sah. Lie detector sebagai sarana pendukung proses pengungkapan keterangan tersangka dalam tahap proses penyidikan guna membuat terang suatu perkara, khususnya dalam kasus pembunuhan Angeline dan kasus Pembunuhan berencana yang dilakukan Jessica Kumala Wongso. Lie detector dalam fungsinya untuk mendeteksi kebohongan dengan keakuratannya yang mencapai 90% ditambah beberapa polemik kasus yang kerap kali sulit untuk dipecahkan menyebabkan urgensi dari penggunaan alat ini semakin meningkat, khususnya dalam ruang lingkup penyidikan kasus tindak pidana. Pemeriksaan dengan menggunakan lie detector juga dilakukan terhadap tersangka kasus pembunuhan Angeline yang hasilnya meyakinkan penyidik bahwa Magriet menjadi tersangka utama. Adapun identifikasi masalah dalam penelitian ini membahas tentang apakah yang menjadi urgensi penggunaan lie detector (alat pendeteksi kebohongan) dalam tahap proses penyidikan terhadap tindak pidana pembunuhan berencana dan bagaimanakah kedudukan lie detector (alat pendeteksi kebohongan) dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui urgensi penggunaan lie detector (alat pendeteksi kebohongan) dalam tahap proses penyidikan terhadap tindak pidana pembunuhan berencana dan kedudukan lie detector (alat pendeteksi kebohongan) dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Hasil penelitian ini adalah lie detector memiliki urgensi dalam penggunaannya pada tahap penyidikan kasus tindak pidana pembunuhan berencana yang sulit untuk dipecahkan sebagai instrument untuk menggali keterangan tersangka guna mendapatkan persesuaian dengan alat bukti sehingga menghasilkan sebuah fakta yang sebenarnya dan kedudukan lie detector sebagai sarana pendukung pemeriksaan proses penyidikan, hasil print out lie detector ini berguna sebagai pelengkap berkas penyidikan yang dikuatkan oleh keterangan ahli psikologi forensik sehingga keterangan ahli dari hasil analisa gambar grafik dari print out pemeriksaan lie detector tersebut dapat menjadi alat bukti yang sah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yakni sebagai alat bukti keterangan ahli.
EFEKTIVITAS FUNGSI KEPOLISIAN BINA MASYARAKAT KOTA BANDUNG DALAM MALAKUKAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA Sri Mulyati Chalil; Elva Junior
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 20 No 3 (2021): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XX:3:2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32816/paramarta.v20i3.128

Abstract

Efektifitas Polisi Bina Masyarakat dengan menerapkan komitmen koordinasi yang melibatkan semua pihak, dinilai dapat melindungi masyarakat, terutama generasi muda dalam masa pertumbuhan. Fungsi Bina masyarakat dalam penanggulangan masalah narkotika harus terintegrasi dan bersinergi dengan sistem Undang-Undang narkotika terutama dalam sistem pencegahannya, Efektifitas Bina Masyarakat dalam menerapkan sistem pencegahan sebelum terjadinya tindak pidana dalam pelaksanaanya terbentur dengan adanya kendala terutama dalam membangun komitmen antara pihak penyidik Bina Masyarakat Polrestabes Kota Bandung dan struktur sosial. Membatasi kajian dalam skripsi ini adalah Efektifitas dan Kendala Fungsi Bina Masyarakat Kota Bandung Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Metode pendekatan dalam membahas permasalahan dalam skripsi ini ialah metode pendekatan yuridis normatif, tahapan penelitian dilakukan oleh penulis adalah dengan penelitian studi dokumen, penelitian dimulai dengan menelaah dan mengumpulkan sumber dokumen kepustakaan, Analisis objek menggunakan pendekatan terhadap data dan bahan hukum dilakukan dengan cara deskriptif analisis. Analisis data dilakukan metode analisa induktif – kualitatif, yaitu mengumpulkan, mencatat, kemudian meng klasifikasikan stuktur hukum dengan kasus yang diteliti. Fungsi Polisi Bina Masyarakat sangat diperlukan untuk mencegah dan memerangi peredaran gelap narkotika di wilayah Polrestabes Bandung, indikator efektifitas Bina Masyarakat dapat di lihat dari sejauh mana Bina Masyarakat dapat membentuk organisasi-organisasi dan menciptakan hukum dalam organisasi tersebut, maka hukum efektifitas fungsi Bina Masyarakat dapat terwujud jika tujuan hukum mudah di akomodir oleh organisasi dan Kendala bina masyarakat dalam melakukan penanganan peredaran narkotika di wilayah yang seperti Apatemen Gateway Pasteur, Pusat Pendidikan dan wilayah Lapas, terkendala dengan adanya perbedan bentuk struktur sosial, volatile tingkat kejahatan, informasi yang diperoleh, kesadaran hukum pengelola, perindividu, dan kemampuan soft sklill dan hard skill dari per anggota Bina Masyarakat Polrestabes Bandung itu sendiri, kendala tersebut berpengaruh terhadap efektifitas fungsi door to door