Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search
Journal : KRTHA BHAYANGKARA

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU PENCABULAN YANG MELANGGAR PASAL 76 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DI WILAYAH PENGADILAN NEGERI BEKASI Putri, Elfirda Ade
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 13 No. 2 (2019): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (162.448 KB) | DOI: 10.31599/krtha.v13i2.8

Abstract

Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan tidak hanya terhadap orang dewasa saja, tetapi juga diterapkan terhadap anak pelaku tindak pidana pencabulan. Pengertian tentang anak dapat ditemukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (disingkat UUPA). Pasal 1 angka 1 UUPA memberikan pengertian atas anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk yang masih berada dalam kandungan. Pencabulan kepada anak oleh anak dapat dijerat dengan Pasal 76 D dan E UU No.35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Anak yang belum berusia 12 tahun dan melakukan tindak pencabulan tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Anak yang telah berusia 12 tahun tetapi belum berusia 14 tahun tidak dapat dijatuhi sanksi pidana apabila mereka melakukan pencabulan, hanya dapat dikenai tindakan. Pertanggungjawaban apapun yang diterapkan kepada anak yang melakukan pencabulan harus memperhatikan harkat dan martabat anak serta memperhatikan kepentingan terbaik anak. Jangan sampai stigma atau label akibat pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada anak merusak masa depannya.
Analisis Legal Standing Penerbitan Surat Keterangan Nikah oleh Kepala Desa Pada Pernikahan Siri di Desa Banjarsari Bekasi Muhammad Faisal Hendriawan; Putri, Elfirda Ade; Otih Handayani
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 14 No. 2 (2020): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v14i2.389

Abstract

Tujuan perkawinan adalah membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan sosialisasi peraturan perundang-undangan bagi masyarakat dan penegakan peraturan oleh pejabat Pemerintah yang berwenang. Peneliti ini bertujuan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum yang positif yang kemudian dihubungkan dengan pembahasan yang menjadi pokok pembahasan. penelitian hukum yuridis normatif dilakukan dengan cara mengkaji aturan hukum bersifat formil seperti undang-undang, peraturan serta literatur yang berisi konsep-konsep teoritis. Hasil penelitian mendeskripsikan berdasarkan Deskresi yang dimiliki Kepala Desa diterbitkan Surat Keterangan Pernikahan oleh Kepala Desa dan Perangkat Desa Banjarsari Bekasi kepada masyarakat Desa yang melakukan pernikahan secara siri/dibawah tangan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keringanan dalam memenuhi syarat administrasi untuk pembuatan dokumen penting. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Kepala Desa dan Perangkat Desa tidak memiliki legal standing untuk menerbitkan Surat Keterangan Nikah sehingga berpotensi melakukan pelanggaran Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang mengakibatkan Surat Keterangan Nikah tidak sah menurut hukum serta kepada Kepala Desa dapat dikenakan sanksi administrasi.
Keabsahan Perkawinan Berdasarkan Perspektif Hukum Positif di Indonesia Putri, Elfirda Ade
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 15 No. 1 (2021): KRTHA BHAYANGKARA: JUNE 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v15i1.541

Abstract

Perkawinan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Perkawinan, disamping dilangsungkan sah menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, tiap-tiap perkawinan juga harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kasus disini perkawinan hanya dilakukan berdasarkan adat istiadat serta agama dan kepercayaan yang dianut saja, tanpa dicatatkan menurut peraturan perudang-undangan yang berlaku. Metode yang dipergunakan adalah yuridis normatif dan pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan, yakni studi dokumen/kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum premier dan bahan hukum sekunder. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suatu perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan dicatatkan pada kantor catatan sipil, sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkawinan. Agama mempuyai peranan penting untuk menentukan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan dikarenakan agama mempuyai kekuatan yang sakral yang nantinya akan kita pertanggungjawabkan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Sah atau tidaknya suatu perkawinan bukan ditentukan oleh pencatatan melainkan disyaratkan dengan langsung secara hukum agama masing-masing. Pencatatan merupakan hal yang penting dalam hukum Indonesia, tapi tidak mengurangi keabsahan perkawinan bila tidak dicatatkan.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU PENCABULAN YANG MELANGGAR PASAL 76 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DI WILAYAH PENGADILAN NEGERI BEKASI Elfirda Ade Putri
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 13 No. 2 (2019): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v13i2.8

Abstract

Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan tidak hanya terhadap orang dewasa saja, tetapi juga diterapkan terhadap anak pelaku tindak pidana pencabulan. Pengertian tentang anak dapat ditemukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (disingkat UUPA). Pasal 1 angka 1 UUPA memberikan pengertian atas anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk yang masih berada dalam kandungan. Pencabulan kepada anak oleh anak dapat dijerat dengan Pasal 76 D dan E UU No.35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Anak yang belum berusia 12 tahun dan melakukan tindak pencabulan tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Anak yang telah berusia 12 tahun tetapi belum berusia 14 tahun tidak dapat dijatuhi sanksi pidana apabila mereka melakukan pencabulan, hanya dapat dikenai tindakan. Pertanggungjawaban apapun yang diterapkan kepada anak yang melakukan pencabulan harus memperhatikan harkat dan martabat anak serta memperhatikan kepentingan terbaik anak. Jangan sampai stigma atau label akibat pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada anak merusak masa depannya.
Analisis Legal Standing Penerbitan Surat Keterangan Nikah oleh Kepala Desa Pada Pernikahan Siri di Desa Banjarsari Bekasi Muhammad Faisal Hendriawan; Elfirda Ade Putri; Otih Handayani
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 14 No. 2 (2020): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v14i2.389

Abstract

Tujuan perkawinan adalah membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan sosialisasi peraturan perundang-undangan bagi masyarakat dan penegakan peraturan oleh pejabat Pemerintah yang berwenang. Peneliti ini bertujuan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum yang positif yang kemudian dihubungkan dengan pembahasan yang menjadi pokok pembahasan. penelitian hukum yuridis normatif dilakukan dengan cara mengkaji aturan hukum bersifat formil seperti undang-undang, peraturan serta literatur yang berisi konsep-konsep teoritis. Hasil penelitian mendeskripsikan berdasarkan Deskresi yang dimiliki Kepala Desa diterbitkan Surat Keterangan Pernikahan oleh Kepala Desa dan Perangkat Desa Banjarsari Bekasi kepada masyarakat Desa yang melakukan pernikahan secara siri/dibawah tangan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keringanan dalam memenuhi syarat administrasi untuk pembuatan dokumen penting. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Kepala Desa dan Perangkat Desa tidak memiliki legal standing untuk menerbitkan Surat Keterangan Nikah sehingga berpotensi melakukan pelanggaran Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang mengakibatkan Surat Keterangan Nikah tidak sah menurut hukum serta kepada Kepala Desa dapat dikenakan sanksi administrasi.
Keabsahan Perkawinan Berdasarkan Perspektif Hukum Positif di Indonesia Elfirda Ade Putri
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 15 No. 1 (2021): KRTHA BHAYANGKARA: JUNE 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v15i1.541

Abstract

Perkawinan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Perkawinan, disamping dilangsungkan sah menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, tiap-tiap perkawinan juga harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kasus disini perkawinan hanya dilakukan berdasarkan adat istiadat serta agama dan kepercayaan yang dianut saja, tanpa dicatatkan menurut peraturan perudang-undangan yang berlaku. Metode yang dipergunakan adalah yuridis normatif dan pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan, yakni studi dokumen/kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum premier dan bahan hukum sekunder. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suatu perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan dicatatkan pada kantor catatan sipil, sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkawinan. Agama mempuyai peranan penting untuk menentukan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan dikarenakan agama mempuyai kekuatan yang sakral yang nantinya akan kita pertanggungjawabkan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Sah atau tidaknya suatu perkawinan bukan ditentukan oleh pencatatan melainkan disyaratkan dengan langsung secara hukum agama masing-masing. Pencatatan merupakan hal yang penting dalam hukum Indonesia, tapi tidak mengurangi keabsahan perkawinan bila tidak dicatatkan.
Kewenangan MUI Pasca Terbitnya PP No. 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Elfirda Ade Putri
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 15 No. 2 (2021): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v15i2.792

Abstract

Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mencantumkan label halal sehingga suatu produk layak untuk dikonsumsi oleh konsumen muslim. Pelaku usaha harus memenuhi syarat tertentu dan melewati serangkaian proses yang telah ditetapkan oleh MUI untuk memperoleh sertifikat halal. Setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha memperoleh label halal dari MUI untuk kemudian dicantumkan pada label produknya. Sertifikat halal ini hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu dan pelaku usaha harus melakukan perpanjangan untuk memperoleh sertifikasi kehalalan produknya kembali. Bahwa Permasalahan timbul ketika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan  Konsumen, tidak menjadikan sertifikasi dan labelisasi halal      sebagai sebuah bentuk kewajiban (mandotary) bagi pelaku usaha, tetapi bersifat sukarela (vo- luntary). Maka sertifikasi halal dan labelisasi halal dapat dikatakan belum mempunyai legitimasi hukum yang kuat, sehingga tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum produk pangan halal bagi konsumen.
Interpretation of The Phrase “Coercion” in The Compilation of Islamic Law as Reasons for Cancellation of Marriage Neng Widya Millyuner; Adi Nur Rohman; Elfirda Ade Putri
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 15 No. 2 (2021): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v15i2.844

Abstract

Marriage is a common thing in society with ubudiyyah elements in it. However, legal issues often accompany the sanctity of the marriage bond itself, such as the cancellation of a marriage due to an element of coercion from a third party. Article 71 Compilation of Islamic Law (KHI) states that one of the reasons for being able to apply for a marriage cancellation is because of coercion when the marriage took place. The purpose of this study is to analyze the meaning of the phrase "coercion" as a reason for annulment of marriage and its accompanying legal implications. This type of research is classified as normative-empirical legal research using a statutory approach and a conceptual approach plus a sociological approach as a tool. This research refers to a variety of primary, secondary and tertiary legal materials compiled and traced through literature studies and interviews with judges of the Religious Courts. The legal materials that have been collected are then analyzed descriptively and analytically. The results showed that what is meant by coercion in marriage is a marriage that occurs not because of one's own will or feels that he is under threat. As a form of legal consequence, annulment of a marriage by force is different from divorce, where the marriage bond that occurred before the breakup of the marriage is considered never to have occurred.