Rosida Erowati
Syarif Hidayatullah State Islamic University Of Jakarta

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

PELAFALAN DAN PENGENALAN KOSAKATA PADA PEMELAJAR BIPA DI DALAM TES KEMAHIRAN BERBICARA Rosida Erowati; Neneng Nurjanah
Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol 7, No 1 (2020)
Publisher : Department of Indonesia Language and Literature Teaching, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/dialektika.v7i1.8514

Abstract

Abstract: The speaking skills of BIPA 1 learners include the ability to pronounce Indonesian phonemes accurately. The accuracy of phoneme pronunciation is not only intended for fluency in speaking, but so that students are able to distinguish the meaning of words. By utilizing a qualitative descriptive approach, this study aims to describe the pronunciation of BIPA learners in Egypt in a speaking ability test. This pronunciation description indicates the ability of BIPA learners to recognize vocabulary, the meaning of words, as well as the difficulty of pronunciation in tests of speaking ability. The results of this study indicate that beginner BIPA learners in Egypt have difficulty at the phonological level, namely the phonetic articulation of consonant sounds / b /, / p /, / ŋ /, / ɲ /, / k /, / ʔ / and consistently having difficulty to map sound / b / to / p /. In addition, it tends to double the sound / ŋ / with / ɡ /, also avoiding the sound / ɲ /.Abstrak: Kemahiran berbicara pemelajar BIPA 1 mencakup kemampuan melafalkan fonem bahasa Indonesia dengan jitu. Ketepatan pelafalan fonem tidak semata ditujukan untuk kelancaran berbicara, namun agar pemelajar mampu membedakan makna kata. Dengan memanfaatkan pendekatan deskriptif kualitatif, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pelafalan pemelajar BIPA di Mesir dalam tes kemampuan berbicara.  Deskripsi pelafalan ini mengindikasikan kemampuan pemelajar BIPA dalam mengenali kosakata, makna kata-kata, serta kesulitan pelafalan dalam tes kemampuan berbicara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemelajar BIPA pemula di Mesir memiliki kesulitan pada level fonologis, yaitu pada artikulasi fonetik pada bunyi konsonan /b/, /p/, /ŋ/, /ɲ/, /k/, /ʔ/ dan secara konsisten kesulitan untuk memetakan bunyi /b/ ke /p/. Selain itu, cenderung menggandakan bunyi /ŋ/ dengan /ɡ/, juga menghindari bunyi /ɲ/.
DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI “TAPI” KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI Fajar Setio Utomo; Rosida Erowati
Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : Department of Indonesia Language and Literature Teaching, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (232.509 KB) | DOI: 10.15408/dialektika.v1i1.1414

Abstract

Literary work which inflames a feeling of divine love and the prophetic spirit that led to the transcendental intensity enliven the Indonesian literary treasures. In this regard, it is worth to note the exiistence of  Sutardji as a sufi poet. Many critics and observers who see Sutardji as Indonesian poet who has an intensity appreciation of divinity (monotheism) and high religiosity.  It  is proven  by  the  presence of  poetry O, AMUK, and  AX that sensationaized Indonesia poetry.The research method that is used in this research is descriptive qualitative method.The data collection was done by using library technique and record, while data analysis was performed by using the method of semiotic reading model which consists of three stages of analysis, namely; syntax, semantic, and pragmatic.Poetry But, in this case, is loaded with ideas of Sufism Wahdatul Wujud, which shows the proverbial human  existence with the  existence of God, the proverbial human dimension and the divine dimension, merging creature with the Creator, with the result that there  are  two dimensions  of Sufism,  the transcendent  dimension and immanent dimension.
FIKSI TRANSKULTURAL SEBAGAI FENOMENA BUDAYA DIASPORA: KAJIAN PADA KARYA BUNGA ROOS DARI TJIKEMBANG (1927) DAN DIMSUN TERAKHIR (2006) Agni Malagina; Rosida Erowati
Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol 2, No 1 (2015)
Publisher : Department of Indonesia Language and Literature Teaching, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3736.204 KB) | DOI: 10.15408/dialektika.v2i1.2197

Abstract

Fiksi transkultural muncul di Indonesia sejak masa kolonial Belanda melalui para pengarang keturunan Tionghoa generasi kedua maupun berikutnya. Tema transkultur lahir sebagai bentuk ekspresi dari kegelisahan mereka sebagai diasporan Cina di wilayah ini. Negosiasi dan resistensi terhadap budaya leluhur yang terjadi dalam proses pembentukan identitas mereka dimanifestasikan dalam bentuk karya sastra yang menampilkan pergulatan para tokoh protagonisnya dalam menyikapi permasalahan kehidupan mereka. Dalam Bunga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay pergulatan itu muncul pada tokoh Bian Koen, Marsiti, dan Gwat Nio dan upaya penciptaan third space tampil secara simbolik pada tokoh Gwat Nio. Sedangkan dalam Dimsum Terakhir karya Clara Ng pergulatan tersebut muncul pada tokoh ayah—Nung Atasana, dan keempat perempuan anak kembarnya (Siska, Indah, Rosi, Novera) dengan upaya penciptaan third space yang intensif pada keempat protagonis perempuan. Hasil analisis ini menguatkan argumen bahwa identitas merupakan proses yang senantiasa dalam pergulatan (in the making) sebagaimana terlihat dalam kedua karya berbeda jaman ini. Dengan demikian, identitas ke-Cina-an bagi diasporan Tionghoa di Indonesia senantiasa cair, tidak kaku, dan selalu menghadapi dinamika renegosiasi dari jaman ke jaman.
Revolusi dalam Dua Novel Indonesia : Sebuah Bandingan Ahmad Bahtiar; Rosida Erowati; Novi Diah Haryanti
Buletin Al-Turas Vol 25, No 2 (2019): Buletin Al-Turas
Publisher : Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (437.229 KB) | DOI: 10.15408/bat.v25i2.10228

Abstract

Penelitian ini beranjak dari permasalahan bagaimana gambaran masa revolusi fisik serta pengaruhnya terhadap masyarakat yang diungkapkan melalui tokoh-tokohnya dalam dua novel Indonesia yaitu Jalan tak Ada Ujung  karya Mochtar Lubis (1952) dan Pulang  karya Toha Mohtar (1957). Untuk itu, tujuan penelitian ini mengetahui gambaran masa revolusi serta pengaruhnya terhadap tokoh  dalam kedua novel tersebut. Sebagai strategi pembacaan digunakan  pendekatan Sosiologi Sastra serta metode naturalistik.  Dari latar waktu, tempat, sosial, dan budaya yang tampil pada kedua novel tersebut, diperoleh sejumlah informasi gambaran  masa itu yang ditampilkan pengarang.  Temuan dalam penelitian adalah kedua novel tersebut  mengungkapkan  gambaran revolusi yang berbeda. Novel Jalan Tak Ada Ujung menggambarkan masa penting dalam revolusi yang menampilkan kondisi sosial yang tidak jelas.  Kondisi tersebut melahirkan tokoh yang semakin degradatif secara moral dan spiritual. Sedangkan Pulang menampilkan gambaran masa-masa tenang setelah tidak lagi terjadi konflik-konflik fisik. Namun, ketenangan tersebut menyimpan memori konflik yang mengganggu hubungan sosial dalam mengisi kemerdekaan.  This article discusses about the problem of how the physical revolution and its influence on society were portrayed through its characters in Indonesian novels. The novel full of information at that time is the Way of No Edge by Mochtar Lubis and Pulang by Toha Mohtar. Two approaches, the Sociology of Literature approach and naturalistic methods are used to reveal new meanings and produce different interpretations. From the setting of time, place, social, and cultural background that appears in the two novels, there are a number of information and descriptions of the period that the author displays. The results of the analysis reveal a different picture of the revolution between the two novels. Novel Jalan Tak Ada Ujung describes an important period in maintaining independence so that it displays social conditions that are not clear. This condition gives birth to figures who are increasingly morally and spiritually degradative. Whereas Pulang shows a picture of calm times after no physical conflicts occur. However, this calm saves a memory of conflicts that disrupt social relations in filling independence.
Distribution of The Sensible Jacques Ranciere Rosida Erowati
Jubindo: Jurnal Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol 3 No 3 (2018): Jubindo
Publisher : Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Timor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (689.859 KB) | DOI: 10.32938/jbi.v3i3.347

Abstract

This paper aims to discuss the problem of aesthetic in modern Indonesian literature in its relation with the politic. In contrast with the traditional understanding of the aesthetic and politic, this paper offers an alternative perspective abstracted by the French aesthetic philosopher, Jacques Rancière, to look into five problems concerning this matter. First, the mechanism of inclusion/exclusion in defining the aesthetic in relation to politic. This problem leads to the second, that is the definition of aesthetic as a distribution of sensibility which consists of the visible, the intelligible, and the possible where the main goal is to shatter the social hierarchy. In addition to this, the definition of revolutionary works relies not on the engagement of the artist into the political field, but on the succeed to bridging the hierarchical migration. Moreover, the presumption of equality as the foundation of the revolutionary in aesthetic, thus a popular work does not always consider as such. And finally, art as an act for the people to position themselves in participating in the polis, thus the idea of literacy is a very important instrument to make sure the subject to emancipate. By considering these problems, the question of when is the birth of modern Indonesian literature needs to be re-assessed.
DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN CINA DALAM NOVEL PUTRI CINA KARYA SINDHUNATA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA Indah Sundari; Rosida Erowati
Jurnal Sasindo UNPAM Vol 10, No 2 (2022): Sasindo Unpam
Publisher : Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32493/sasindo.v10i2.86-94

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mendeskripsikan bentuk-bentuk diskriminasi dalam novel Putri Cina; 2) mendeskripsikan implikasi pada novel Putri Cina  mengenai diskriminasi yang dialami perempuan Cina terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Teknik penelitian ini menggunakan analisis isi novel Putri Cina dan studi pustaka untuk mencari data yang berkaitan dengan objek penelitian. Penelitian ini mengacu pada bentuk-bentuk diskriminasi berdasarkan teori Mansour Fakih mengenai marginalisasi, subordinasi, streotip, dan kekerasan namun peneliti hanya membahas subordinasi, streotip, dan kekerasan. Hasil analisis menemukan bahwa pada novel tersebut terdapat bentuk diskriminasi subordinasi pada perempuan yaitu adanya anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting dalam memimpin atau mengambil keputusan. Pada streotip terdapat pelabelan atqau penandaan terhadap perempuan dalam keluarga maupun lingkungannya yang menyebabkan kerugian bagi perempuan. Kekerasan  yang dialami perempuan Cina dapat dirasakan berupa penyiksaan, penindasan, pembunuhan, dan integritas mental psikologisnya. Dalam konteks pembelajaran di SMA, novel Putri Cina dapat dijadikan bahan ajar materi cerita sejarah/ novel.
REPRESENTASI PESANTREN DALAM NOVEL KARYA PEREMPUAN PENULIS INDONESIA Novi Diah Haryanti; Ahmad Bahtiar; Rosida Erowati; Syihaabul Hudaa
Widyaparwa Vol 50, No 2 (2022)
Publisher : Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (388.824 KB) | DOI: 10.26499/wdprw.v50i2.1052

Abstract

Pesantren's life is a topic that is often raised in Indonesian literature. The topic of pesantren is not only written by men but also seen in women's works. This study focuses on Indonesian novels written by women in Islamic boarding schools. This study aims to see the representation of pesantren in women's novels. The research corpuses selected included Perempuan Berkalung Sorban by Abidah El Khaeliqy, Hati Suhita by Khilma Anis, Cahaya Cinta Pesantren by Ira Madan, Akademi Harapan Vita Agustina, and novel by Farahdiba Maria and Maryam. This qualitative descriptive study looks at the characteristics of the pesantren represented by women writers in modern Indonesian novels. The findings of the five novels studied. Namely, two novels (Perempuan Berkalung Sorban and Hati Suhita) represent traditional pesantren. This appears through the symbols and traditions of the santri and the kiai in the novel, such as studying the yellow book, haul, pilgrimage, and sowan. Two novels (Cahaya Cinta Pesantren and Akademi Harapan) represent modern Islamic boarding schools that show modern learning patterns and place students at the story's centre. One novel (Maria and Maryam) represents a flash boarding school. Although each novel represents a different style of pesantren, these novels have the same problem: showing the lives of women in pesantren and the tradition of matchmaking.Kehidupan pesantren menjadi topik yang sering diangkat dalam karya sastra Indonesia. Tak hanya ditulis oleh laki-laki, topik pesantren juga tampak dalam karya perempuan. Penelitian ini berfokus pada novel Indonesia berlatar pesantren yang ditulis oleh perempuan. Penelitian ini bertujuan melihat representasi pesantren dalam novel-novel karya perempuan. Korpus penelitian   yang dipilih di antaranya: Perempuan Berkalung Sorban  karya Abidah El Khaeliqy, Hati Suhita karya Khilma Anis, Cahaya Cinta Pesantren Karya Ira Madan, Akademi Harapan karya Vita Agustina, dan karya Farahdiba berjudul Maria dan Maryam. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Metode analisis isi, dengan teknik simak catat dilakukan untuk mengumpulan data berupa kutipan dalam novel. Penelitian deskriptif kualitatif digunakan untuk melihat karakteristik pesantren yang direpresentasikan perempuan penulis dalam novel Indonesia modern. Temuan dari lima novel yang diteliti yaitu, dua novel (Perempuan Berkalung Sorban dan Hati Suhita) merepresentasikan pesantren tradisional. Hal tersebut muncul lewat simbol-simbol dan tradisi yang dilakukan oleh santri dan para kiai dalam novel, seperti mengkaji kitab kuning, haul, ziarah, dan sowan. Dua novel (Cahaya Cinta Pesantren dan Akademi Harapan) merepresentasikan pesantren modern yang memperlihatkan pola pembelajaran modern dan menempatkan santri menjadi pusat cerita, dan satu novel (Maria dan  Mariam) merepresentasikan pesantren kilat. Meskipun setiap novel mewakili corak pesantren yang berbeda, novel-novel tersebut memiliki persamaan masalah yaitu memperlihatkan kehidupan perempuan di pesantren dan tradisi perjodohan.
FIKSI TRANSKULTURAL SEBAGAI FENOMENA BUDAYA DIASPORA: KAJIAN PADA KARYA BUNGA ROOS DARI TJIKEMBANG (1927) DAN DIMSUN TERAKHIR (2006) Agni Malagina; Rosida Erowati
Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol 2, No 1 (2015)
Publisher : Department of Indonesia Language and Literature Teaching, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/dialektika.v2i1.2197

Abstract

Fiksi transkultural muncul di Indonesia sejak masa kolonial Belanda melalui para pengarang keturunan Tionghoa generasi kedua maupun berikutnya. Tema transkultur lahir sebagai bentuk ekspresi dari kegelisahan mereka sebagai diasporan Cina di wilayah ini. Negosiasi dan resistensi terhadap budaya leluhur yang terjadi dalam proses pembentukan identitas mereka dimanifestasikan dalam bentuk karya sastra yang menampilkan pergulatan para tokoh protagonisnya dalam menyikapi permasalahan kehidupan mereka. Dalam Bunga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay pergulatan itu muncul pada tokoh Bian Koen, Marsiti, dan Gwat Nio dan upaya penciptaan third space tampil secara simbolik pada tokoh Gwat Nio. Sedangkan dalam Dimsum Terakhir karya Clara Ng pergulatan tersebut muncul pada tokoh ayah—Nung Atasana, dan keempat perempuan anak kembarnya (Siska, Indah, Rosi, Novera) dengan upaya penciptaan third space yang intensif pada keempat protagonis perempuan. Hasil analisis ini menguatkan argumen bahwa identitas merupakan proses yang senantiasa dalam pergulatan (in the making) sebagaimana terlihat dalam kedua karya berbeda jaman ini. Dengan demikian, identitas ke-Cina-an bagi diasporan Tionghoa di Indonesia senantiasa cair, tidak kaku, dan selalu menghadapi dinamika renegosiasi dari jaman ke jaman.
Argumentasi Saksi Ahli dalam Sidang Penistaan Agama oleh Basuki Tjahaja Purnama di Kepulauan Seribu Makyun Subuki; Rosida Erowati; Agus Sulaiman
Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol 10, No 2 (2023)
Publisher : Department of Indonesia Language and Literature Teaching, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/dialektika.v10i2.31595

Abstract

Ahok's controversial statements on the Thousand Islands seem not only led to massive and repeated demonstrations, but also linguistic debates in the courtroom. This study aims to examine the arguments of linguists who give statements in the courtroom in response to Ahok's statement. As a qualitative study using discourse analysis as a method of analysis, this study uses a critical argumentation approach developed by Walton (2002 and 2006) to examine how the argument was constructed and evaluate the quality of the argument. The analysis in this study indicates that the opinion of linguists presented by public prosecutors is often inconsistent and not based on adequate linguistic evidence, not only inconsistent with other expert statements, but also with his own statement as a scientist. Conversely, the linguist presented by Ahok's counsel is more consistent and more able to present linguistic evidence more adequately.
PELAFALAN DAN PENGENALAN KOSAKATA PADA PEMELAJAR BIPA DI DALAM TES KEMAHIRAN BERBICARA Rosida Erowati; Neneng Nurjanah
Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol 7, No 1 (2020)
Publisher : Department of Indonesia Language and Literature Teaching, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/dialektika.v7i1.8514

Abstract

Abstract: The speaking skills of BIPA 1 learners include the ability to pronounce Indonesian phonemes accurately. The accuracy of phoneme pronunciation is not only intended for fluency in speaking, but so that students are able to distinguish the meaning of words. By utilizing a qualitative descriptive approach, this study aims to describe the pronunciation of BIPA learners in Egypt in a speaking ability test. This pronunciation description indicates the ability of BIPA learners to recognize vocabulary, the meaning of words, as well as the difficulty of pronunciation in tests of speaking ability. The results of this study indicate that beginner BIPA learners in Egypt have difficulty at the phonological level, namely the phonetic articulation of consonant sounds / b /, / p /, / ŋ /, / ɲ /, / k /, / ʔ / and consistently having difficulty to map sound / b / to / p /. In addition, it tends to double the sound / ŋ / with / ɡ /, also avoiding the sound / ɲ /.Abstrak: Kemahiran berbicara pemelajar BIPA 1 mencakup kemampuan melafalkan fonem bahasa Indonesia dengan jitu. Ketepatan pelafalan fonem tidak semata ditujukan untuk kelancaran berbicara, namun agar pemelajar mampu membedakan makna kata. Dengan memanfaatkan pendekatan deskriptif kualitatif, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pelafalan pemelajar BIPA di Mesir dalam tes kemampuan berbicara.  Deskripsi pelafalan ini mengindikasikan kemampuan pemelajar BIPA dalam mengenali kosakata, makna kata-kata, serta kesulitan pelafalan dalam tes kemampuan berbicara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemelajar BIPA pemula di Mesir memiliki kesulitan pada level fonologis, yaitu pada artikulasi fonetik pada bunyi konsonan /b/, /p/, /ŋ/, /ɲ/, /k/, /ʔ/ dan secara konsisten kesulitan untuk memetakan bunyi /b/ ke /p/. Selain itu, cenderung menggandakan bunyi /ŋ/ dengan /ɡ/, juga menghindari bunyi /ɲ/.