Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Hubungan Kadar Lipid Darah dan hsCRP pada Anak Obesita Anindita Soetadji; Agustini Utari; Rina Pratiwi; Maria Mexitalia; Hertanto W Subagjo
Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine Vol. 2 No. 3 (2014): Med Hosp
Publisher : RSUP Dr. Kariadi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36408/mhjcm.v2i3.190

Abstract

Latar belakang : Obesitas telah menjadi epidemi global karena prevalensi dan komplikasinya baik pada anak maupun dewasa. Meskipun aterosklerosis telah diketahui dimulai pada masa anak, tetapi sampai sekarang belum ada penanda aterosklerosis dini khususnya pada anak. Tujuan penelitian ini adalah mencari hubungan antara kadar lipid darah dengan hsCRP sebagai penanda dini aterosklerosis pada anak. Metode : Desain penelitian adalah belah lintang. Tempat penelitan di SMP Domenico Savio, salah satu SMP di Semarang, yang telah diketahui tinggi angka obesitasnya. Dinilai indeks massa tubuh (IMT) dan persentase lemak tubuh pada murid usia 12-14 tahun, serta kadar lipid darah (kolesterol total, LDL, HDL serta trigliserida) dari darah puasa. Sampel dipilih secara acak, dihitung dengan rumus untuk uji korelasi, dibutuhkan sampel 35 anak obesitas, dan diambil 35 anak normal sebagai pembanding, maka total subyek penelitian minimal adalah 70 orang. Hasil : Terdapat perbedaan kadar trigliserid (95%CI;0,13-0,26) dan hsCRP (95%CI;0,37-0,87) pada kelompok obesitas dan kontrol. Pada seluruh subyek, hsCRP berhubungan sedang dengan IMT (r=0,445;p< 0,05) dan persen lemak tubuh (r=0,44;p<0,05) serta hubungan lemah antara kadar HDL dan hsCRP (r=-0,227; p<0,05). Simpulan : Kadar hsCRP akan meningkat bila terjadi peningkatan IMT dan persentase lemak tubuh, sedangkan kadar HDL kolesterol bersifat protektif terhadap peningkatan hsCRP
PEMAHAMAN MATERI HAK ASASI MANUSIA TERHADAP SIKAP KEMANUSIAAN SISWA Rina Pratiwi; Holilulloh Holilulloh; M. Mona Adha
Jurnal Kultur Demokrasi Vol 2, No 3 (2013): Jurnal Kultur Demokrasi
Publisher : FKIP Unila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The purpose of this study was to clarify the effect of the material understanding of human rights to humanitarian attitude in class VII in Junior High School 2 Hulu Sungkai North Lampung years lesson 2012/2013. The method used in this research is descriptive method, this research is the study population by the number of respondents 77 students. Data analysis using Chi Square. Results of research show that the: (1) influence of comprehension material human rights (X) dominant on category not quite comprehend (2) attitude humanity students' (Y) dominant on category disagree (3) the results of research showed there are relation a significant, and ketegori of closeness high between the influence of understanding material human rights, meaning that the higher the level of of understanding students' will affect the attitudes humanitarian grade students VII in Junior High School 2 Hulu Sungkai North Lampung years lesson 2012/2013.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh pemahaman materi hak asasi manusia terhadap sikap kemanusiaan siswa kelas VII di SMP Negeri 2 Hulu Sungkai Kabupaten Lampung Utara tahun pelajaran 2012/2013. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, penelitian ini merupakan penelitian populasi dengan jumlah responden 77 siswa. Analisis data menggunakan Chi Kuadrat. Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) pengaruh pemahaman materi hak asasi manusia (X) dominan pada kategori kurang paham (2) sikap kemanusiaan siswa (Y) dominan pada kategori kurang setuju (3) hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan, dan ketegori keeratan tinggi antara pengaruh pemahaman materi hak asasi manusia, artinya semakin tinggi tingkat pemahaman siswa akan mempengaruhi sikap kemanusiaan siswa kelas VII di SMP Negeri 2 Hulu Sungkai Kabupaten Lampung Utara tahun pelajaran 2012/2013. Kata kunci :hak asasi manusia, kemanusiaan, pemahaman materi, sikap
PERBEDAAN PERTUMBUHAN ANAK PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DENGAN KELAINAN SIMPLEKS DAN KELAINAN KOMPLEKS PADA USIA 2-5 TAHUN Adinda Adinda; Anindita Soetandji; Rina Pratiwi
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 7, No 2 (2018): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (420.401 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v7i2.21279

Abstract

Latar Belakang : Pada usia 2-5 tahun pertumbuhan anak mengalami perlambatan. Banyak anak terdiagnosis PJB >1 tahun karena minimnya pemeriksaan dini. Anak dengan PJB paling sering mengalami gangguan pertumbuhan.Tujuan: Mengetahui perbedaan pertumbuhan anak PJB dengan kelainan simpleks dan kelainan kompleks pada usia 2-5 tahun.Metode: Penelitian secara observasional dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian adalah anak usia 2-5 tahun dengan PJB tanpa kelaianan bawaan lain yang datang ke Poliklinik Anak RSUP dr. Kariadi.Sampel dibagi menjadi PJB kelainan simpleks asianotik (n=43), PJB kelainan kompleks asianotik (n=43), PJB sianotik (n=43). Data yang digunakan adalah data sekunder. Analisis data menggunakan chi-square untuk data kategorik dan data numerik dengan uji one way Anova jika persebaran data normal dan uji Kruskal Wallis jika persebaran data tidak normal.Hasil: Terdapat perbedaan pada WAZ (p=0,02) antara ketiga kelompok dimana pasien dengan berat badan kurang lebih banyak pada PJB sianotik (p= 0,012) dan berat badan normal lebih banyak pada PJB asianotik simplek (p=0,017). Tidak ada perbedaan pada ΔWAZ, ΔHAZ, dan ΔWHZ bulan 0-2 serta rerata WAZ, HAZ,WHZ bulan ke-0,1,2 antara ketiga kelompok PJB. Tidak terdapat pebedaan pada penyakit infeksi dan sistem pembiayaan antara ketiga kelompok PJB.Simpulan: Terdapat perbedaan pada WAZ antara ketiga kelompok PJB.
ASUPAN PROTEIN HEWANI SEBAGAI FAKTOR RISIKO PERAWAKAN PENDEK ANAK UMUR 2-4 TAHUN Anggita Chandra Oktaviani; Rina Pratiwi; Farid Agung Rahmadi
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 7, No 2 (2018): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (389.805 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v7i2.20846

Abstract

Latar Belakang : Perawakan pendek merupakan salah satu bentuk kekurangan gizi yang ditandai dengan tinggi badan menurut umur di bawah standar deviasi (<-2SD) dengan referensi World Health Organization (WHO) tahun 2006. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi nasional anak balita pendek (stunted) dan anak balita sangat pendek (severe stunted) berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) adalah 37.2% terdiri dari 18.0% sangat pendek dan 19.2% pendek. Berdasarkan laporan Nutrition in the First 1,000 Days State of the World’s Mothers tahun 2012 menyatakan bahwa kejadian perawakan pendek dipengaruhi oleh kondisi pada masa 1000 hari kehidupan mulai dari janin berada dalam perut atau ketika wanita dalam kondisi hamil sampai anak tersebut berumur 2 tahun. Masa ini disebut dengan masa windows critical, karena pada masa ini terjadi perkembangan otak atau kecerdasan dan pertumbuhan badan yang cepat.Tujuan : Menganalisis peran asupan protein hewani sebagai faktor risiko perawakan pendek pada anak umur 2-4 tahun.Metode : Penelitian analitik observasional dengan rancangan penelitian kasus-kontrol. Sampel terdiri dari 106 anak prasekolah umur 2-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Rowosari Kota Semarang selama periode Mei-Agustus 2017. Uji statistik menggunakan uji komparatif Chi-square dan analisis multivariat regresi logistik.Hasil : Berdasarkan 106 subjek kasus-kontrol di wilayah Puskesmas Rowosari Semarang, didapatkan hubungan bermakna pada jumlah asupan protein hewani (p=0,000 OR 6,059 95% CI 2,517-14,588) dan pendapatan orang tua (p=0,009 OR 1,899 95% CI 0,733-4,919) terhadap perawakan pendek. Hubungan tidak bermakna didapatkan pada jenis asupan protein hewani seperti daging (p=0,186), susu (p=1,000), telur (p=0,077), ikan (p=0,374), makanan laut (p=1,000), asupan protein lain (p=1,000), riwayat pemberian ASI (p=0,077), umur pemberian MP-ASI (p=1,000), dan tingkat pendidikan ibu (p=0,251).Simpulan : Pada penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan pada variabel jumlah asupan protein hewani dan pendapatan orang tua terhadap perawakan pendek.
FAKTOR RISIKO KOLONISASI STREPTOCOCCUS PNEUMONIAE PADA NASOFARING BALITA DENGAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) Anngi Vita Shelma Siany; Helmia Farida; Rina Pratiwi
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 5, No 4 (2016): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (336.864 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v5i4.14238

Abstract

Latar Belakang : Koloni Streptococcus pneumoniae di nasofaring merupakan suatu tahap patogenesis yang berperan dalam patogenesis berbagai penyakit pada anak, tetapi tidak selalu menimbulkan gejala klinis. Terdapat hubungan antara kolonisasi S. pneumoniae dengan ISPA. Berbagai faktor diperkirakan berpengaruh pada proses kolonisasi S. pneumoniae pada nasofaring anak dengan ISPA.Tujuan : Membuktikan faktor-faktor yang mempengaruhi kolonisasi S. pneumoniae pada nasofaring balita dengan ISPA, yaitu ISPA berulang, ASI eksklusif, paparan asap rokok, dan kepadatan hunian.Metode : Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional. Subyek anak ISPA diambil dari BKPM Semarang secara consecutive sampling. Faktor risiko diidentifikasi dengan wawancara orang tua. Kolonisasi S. pneumoniae menggunakan kultur sampel swab nasofaring anak ISPA pada agar darah domba + gentamycin 5%, lalu dilanjutkan dengan tes optochin.Hasil : Didapatkan 63 sampel, dengan prevalensi kolonisasi S. pneumoniae pada anak ISPA sebesar 26,98%. Setelah dilakukan analisis multivariat regresi logistik, ISPA berulang (p=0,917), ASI eksklusif (p=0,772), paparan asap rokok (p=0,831), dan kepadatan hunian (p=0,960) tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan.Kesimpulan : ISPA berulang, ASI eksklusif, paparan asap rokok, dan kepadatan hunian bukan faktor risiko kolonisasi S. pneumoniae pada nasofaring anak dengan ISPA.
DOMINASI ASUPAN PROTEIN NABATI SEBAGAI FAKTOR RISIKO STUNTING ANAK USIA 2-4 TAHUN Dedes Swarinastiti; Galuh Hardaningsih; Rina Pratiwi
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 7, No 2 (2018): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (357.217 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v7i2.21465

Abstract

Latar Belakang: Stunting telah menjadi prioritas masalah kesehatan global akibat morbiditas dan mortalitas yang besar. Indonesia termasuk negara dengan prevalensi kejadian stunting yang tinggi sekitar 37,2 % berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2013. Defisiensi protein berperan menyebabkan stunting. Dominasi asupan protein nabati dapat menjadi salah satu faktor risiko kejadian stunting akibat kandungan asam amino esensialnya yang tidak lengkap.Tujuan: Menganalisis dominasi asupan protein nabati sebagai faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 2-4 tahun.Metode: Rancangan penelitian bersifat analitik observasional dengan desain kasus-kontrol, dilakukan di Semarang periode Mei-Agustus 2017 dengan subyek penelitian adalah anak usia 2-4 tahun. Analisis data bivariat menggunakan uji Chi-Square dan Fisher’s Exact, sedangkan uji multivariat dengan uji Regresi Logistik.Hasil: Responden 114 anak, yang terbagi menjadi 2 kelompok kasus dengan 57 anak stunting dan kelompok kontrol dengan 57 anak berperawakan normal. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan signifikan untuk asupan jenis protein nabati kedelai (p=0,047; OR = 4,49) dan tingkat pendapatan keluarga (p=0,032; OR = 2,35) sebagai faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 2-4. Hubungan tidak signifikan ditemukan pada kejadian stunting dengan faktor lain seperti : dominasi asupan protein nabati, tingkat pendidikan ibu, riwayat pemberian ASI, serta faktor demografi. Hasil uji multivariat didapatkan tidak ada variabel yang berpengaruh terhadap variabel terikat, stunting (p>0,05).Simpulan: Dominasi asupan protein nabati tidak merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 2-4 tahun
PERBEDAAN PERTUMBUHAN ANAK PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DENGAN KELAINAN SIMPLEK DAN KELAINAN KOMPLEK PADA UMUR 0-2 TAHUN. Cornelius Anggi Novatriyanto; Anindita Soetandji; Rina Pratiwi
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 7, No 2 (2018): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (426.599 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v7i2.21287

Abstract

Latar Belakang: Angka kejadian penyakit jantung bawaan (PJB) diaporkan sekitar 8-10 bayi dari 1000 kelahiran. Usia 0 – 2 tahun merupakan periode growth spurt 1 pada anak termasuk pertumbuhan otak dimana masa ini tidak boleh mendapatkan intervensi apapun seperti PJB. Hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan anak penderita PJB pada usia 0-2 tahun.Tujuan: Mengetahui perbedaan pertumbuhan anak PJB dengan kelainan simplek dan kompleks pada usia 0-2 tahun.Metode: Penelitian menggunakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian adalah anak usia 0-2 tahun dengan PJB yang datang ke Poliklinik Anak RSUP dr. Kariadi dan tidak memiliki kelainan bawaan lainnya. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa rekam medis rawat jalan RSUP dr. Kariadi dan dikelompokkan menjadi: PJB simpleks asianotik (n=43), kompleks asianotik (n=43), sianotik (n=43. Analisis data hipotesis major menggunakan chi-square dan hipotesis minor menggunakan uji repeated Anova jika persebaran data normal dan uji Kruskal Wallis jika persebaran data tidak normal.Hasil: Pasien PJB dengan tinggi badan sangat pendek terdapat perbedaan bermakna antara ketiga kelompok (p= 0,026). Tidak ada perbedaan yang signifikan pada ΔWAZ, ΔHAZ, dan ΔWHZ antara bulan ke-0 dan bulan ke-2 serta rerata WAZ, HAZ, dan WHZ bulan ke-0,1,2 pada ketiga kelompok PJB. Sistem pembiayaan dan penyakit infeksi tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada ketiga kelompok.Simpulan: Terdapat perbedaan pertumbuhan HAZ pada bulan ke-0 antara ketiga kelompok PJB.
METODE DAN POLA WAKTU PEMBERIAN ASI EKSKUSIF SEBAGAI FAKTOR RISIKO GROWTH FALTERING PADA BAYI USIA 2-6 BULAN Adinda Ratna Puspita; Rina Pratiwi
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 6, No 2 (2017): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (367.01 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v6i2.18526

Abstract

Latar Belakang Growth faltering terjadi karena masukan energi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak untuk tumbuh, atau kebutuhan energi anak yang meningkat karena kondisi tertentu. Pemberian ASI (Air Susu Ibu) eksklusif dapat memenuhi kebutuhan bayi hingga usia 6 bulan. Pemberian ASI dapat dilakukan dengan metode dan pola waktu yang bervariasi.Tujuan Menganalisis metode dan pola waktu pemberian ASI eksklusif sebagai faktor risiko growth faltering pada bayi usia 2-6 bulan.Metode Penelitian observasional analitik dengan desain case control dilakukan pada periode Maret – Mei 2016 dengan subjek kelompok kasus adalah 41 bayi usia 2-6 bulan yang mengalami growth faltering, sedangkan subjek kelompok kontrol adalah 41 bayi usia 2-6 bulan dengan arah garis pertumbuhan N1 atau N2. Kedua kelompok diambil dari Puskesmas Halmahera dan Posyandu wilayah kerjanya. Pengambilan data penelitian dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner. Uji hipotesis menggunakan uji Chi-Square.Hasil Didapatkan hubungan bermakna antara pemberian ASI eksklusif (p=0,006), pola waktu pemberian ASI (p=0,007), pemberian MP-ASI (Makanan Pendamping Air Susu Ibu) (p=0,029), dan jenis kelamin (p=0,004) dengan growth faltering pada bayi usia 2-6 bulan. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara metode pemberian ASI, status gizi ibu, tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, sosial ekonomi, ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), dan diare dengan growth faltering pada bayi usia 2-6 bulan (p>0,05). Analisis multivariat menunjukkan jenis kelamin perempuan (OR 3,837, 95% CI 1,358-10,840) merupakan dan pemberian ASI tidak eksklusif (OR 3,166, 95% CI 1,047-9,574) sebagai faktor yang dominan berhubungan dengan growth faltering.Kesimpulan Pemberian ASI tidak eksklusif dan jenis kelamin perempuan faktor risiko growth faltering pada bayi usia 2-6 bulan.
HUBUNGAN JUMLAH KONSUMSI SUSU FORMULA STANDAR TERHADAP KEJADIAN STUNTING PADA ANAK USIA 2-5 TAHUN Sherly Mediana; Rina Pratiwi
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 5, No 4 (2016): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (427.549 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v5i4.15960

Abstract

Latar Belakang: Prevalensi Stunting di Indonesia masih tinggi (37,2%) dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang besar. Defisiensi nutrisi berperan menyebabkan stunting, dan susu formula dapat menjadi salah satu strategi untuk mengurangi stunting pada anak.Tujuan: Mengetahui hubungan jumlah konsumsi susu formula standar terhadap kejadian stunting pada anak usia 2-5 tahun.Metode: Rancangan penelitian bersifat analitik observasional dengan desain kasus-kontrol, dilakukan di Semarang pada periode Maret-Mei 2016 dengan subjek penelitian adalah anak usia 2-5 tahun yang mengkonsumsi susu formula standar. Analisis data univariat dan bivariat menggunakan uji Chi-square dan multivariat dengan uji Regresi Logistik.Hasil: Jumlah responden sebanyak 106 anak, yang terbagi menjadi 2 kelompok: kelompok kasus dengan 53 anak stunting dan kelompok kontrol dengan 53 anak berperawakan normal. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian stunting pada anak usia 2-5 tahun dengan rerata pendapatan keluarga (p = 0,004; OR = 3,559) dan jumlah konsumsi susu formula (p = 0,032, OR = 2,334). Tidak ditemukan hubungan antara kejadian stunting dengan faktor lain seperti: diet, suplementasi, riwayat pemberian ASI, serta faktor demografi. Pada uji multivariat ditemukan bahwa rerata pendapatan keluarga menjadi faktor yang paling dominan menyebabkan stunting pada anak usia 2-5 tahun (p = 0,007; OR = 3,391) diikuti oleh jumlah konsumsi susu formula standar (p = 0,048; OR = 2,190).Kesimpulan: Terdapat hubungan antara jumlah konsumsi susu formula standar dengan kejadian stunting pada anak usia 2-5 tahun.
HUBUNGAN KONSUMSI IKAN TERHADAP KEJADIAN STUNTING PADA ANAK USIA 2-5 TAHUN Annisa Nailis Fathia Rachim; Rina Pratiwi
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 6, No 1 (2017): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (403.16 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v6i1.16233

Abstract

Latar Belakang: Stunting merupakan kondisi kronis terganggunya pertumbuhan yang digambarkan pada z-score TB/U < -2SD. Prevalensi stunting di Indonesia cukup tinggi yaitu 37,2%. Salah satu penyebabnya adalah pemberian nutrisi yang tidak adekuat saat masa pertumbuhan. Diketahui dari penelitian bahwa mengkonsumsi ikan akan memberikan asupan protein dan mikronutrien untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak.Tujuan: Mengetahui hubungan konsumsi ikan (frekuensi dan jenis) terhadap kejadian stunting.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional jenis studi kasus kontrol. Jumlah subjek penelitian yaitu 106 anak usia 2-5 tahun yang mengkonsumsi ikan, yang terdiri dari 53 anak stunting pada kelompok kasus dan 53 anak normal pada kelompok kontrol. Penelitian ini dilakukan di Rowosari Semarang pada April-Juni 2016. Analisis statistik menggunakan uji Chi-square.Hasil: Dari penelitian ini, didapatkan hubungan bermakna pada konsumsi jenis ikan (p = 0,015; OR = 2,48) dan status ekonomi (p = 0,017; OR = 0,42) terhadap kejadian stunting pada anak usia 2-5 tahun. Sedangkan hubungan tidak bermakna didapatkan pada frekuensi konsumsi ikan (p = 0,302), tingkat pendidikan ibu (p = 0,109), dan riwayat pemberian ASI (p = 0,844) dengan kejadian stunting pada anak usia 2-5 tahunKesimpulan: Terdapat hubungan antara konsumsi jenis ikan dan status ekonomi terhadap kejadian stunting pada anak usia 2-5 tahun.