Kanti Yunika
Unknown Affiliation

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

PENGARUH MEROKOK TERHADAP GANGGUAN PENDENGARAN PADA USIA DEWASA MUDA Dian Lestari Ningsih; Dwi Marliyawati; Kanti Yunika
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 7, No 2 (2018): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (284.575 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v7i2.21285

Abstract

Latar Belakang: Nikotin dan karbonmonoksida pada rokok dapat menyebabkan vasospasme sehingga berkurangnya perfusi oksigen ke organ koklea. Hal ini mengakibatkan kerusakan sel rambut. Zat aktif pada rokok juga menyebabkan perubahan histopatologi pada mukosa saluran pernapasan atas yang mengakibatkan disfungsi tuba. Patofisiologi tersebut menyebabkan gangguan pendengaran pada perokok dengan tipe konduktif, sensorineural, dan campuran.Tujuan: Mengetahui pengaruh merokok terhadap gangguan pendengaran.Metode: Penelitian ini adalah penelitian obsevasional dengan rancangan kasus dan kontrol. Sampel sebanyak 66 perokok dipilih dengan menggunakan teknik consecutive sampling dan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kasus (perokok dengan gangguan pendengaran) dan kontrol (perokok tanpa gangguan pendengaran). Masing-masing kelompok dianalisis pengaruh jumlah batang rokok dan lamanya merokok terhadap gangguan pendengaran.Hasil: Uji Pearson Chi-Square menunjukan terdapat pengaruh yang bermakna  jumlah batang rokok terhadap gangguan pendengaran (p=0,013), OR=3,6 dan IK 95% 10,150-1,290. Uji Pearson Chi-Square menunjukan hasil bermakna pada pengaruh lama nya merokok terhadap gangguan pendengaran (p=0,049), OR=2,6 dan  IK 95% 72,84-0,995. Hasil uji multivariat regresi logistik didapatkan jumlah rokok >10 lebih berpengaruh terhadap gangguan pendengaran (p=0,025), OR=3,3 dan IK 95% 9,627-1,168.Simpulan: Terdapat pengaruh antara jumlah batang rokok dan lamanya merokok terhadap gangguan pendengaran. Jumlah batang rokok memiliki pengaruh lebih besar terhadap gangguan pendengaran.
HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KOGNITIF DENGAN RIWAYAT OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (OSAS) PADA PASIEN PASCA STROKE ISKEMIK DI RSUP DR KARIADI Surya Dewi Setyaningrum; Kanti Yunika; Yovita Andhitara
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 6, No 2 (2017): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (348.998 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v6i2.18636

Abstract

Latar belakang : Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) merupakan penyakit yang berhubungan dengan gangguan dan penurunan aliran udara selama tidur. Sebanyak 2-5% populasi penduduk dunia menderita OSAS. OSAS dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif. Belum banyak penelitian mengenai fungsi kognitif pada pasien pasca stroke iskemik yang juga mengalami OSAS.Tujuan : Mengetahui hubungan antara fungsi kognitif dengan riwayat OSAS pada pasien pasca stroke iskemik.Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain Cross-sectional Study. Sampel terdiri dari 40 pasien pasca stroke iskemik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dilakukan penilaian OSAS menggunakan kuesioner Epworth Sleepiness Scale (ESS) dan penilaian fungsi kognitif menggunakan Montreal Cognitive Assessment (MoCA-Ina). Uji statistik menggunakan uji Fisher Exact.Hasil : Dari 40 subyek penelitian didapatkan sebanyak 20 orang (50%)  mengalami OSAS dan 20 orang (50%) tidak mengalami OSAS. Dari 20 subjek yang memiliki OSAS, 19  subyek (95%) memiliki gangguan kognitif dan 1 orang (5%) tidak mengalami gangguan kognitif. Dari 20 subyek yang tidak OSAS, 13  subyek (65%) memiliki gangguan kognitif dan 7 orang (35%) tidak mengalami gangguan kognitif. Pada uji Fisher Exact didapatkan perbedaan yang signifikan antara OSAS dan fungsi kognitif (p=0,022).Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara fungsi kognitif dengan riwayat Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada pasien pasca stroke iskemik.
HUBUNGAN OBESITAS DENGAN DERAJAT SUMBATAN HIDUNG Arga Purlina Wijayanti; Anna Mailasari Kusuma Dewi; Hermawan Istiadi; Kanti Yunika
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 8, No 4 (2019): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (347.774 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v8i4.25321

Abstract

Latar Belakang: Obesitas merupakan faktor risiko yang signfikan untuk perkembangan banyak penyakit, salah satunya gangguan pernapasan. Pada orang yang mengalami obesitas, deposit jaringan adiposa dapat menyebabkan penurunan dimensi saluran napas bagian atas dan dapat meningkatkan resistensi aliran udara. Massa tubuh yang tinggi menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen dan dengan demikian pasien harus bernapas dengan frekuensi yang lebih tinggi atau volume yang lebih besar setiap inspirasi. Tujuan: Mengetahui hubungan obesitas dengan derajat sumbatan hidung. Metode: Penelitian observasi analitik dengan pendekatan cross sectional pada 54 penderita obesitas di lingkungan Universitas Diponegoro Semarang. Subjek yang sudah memenuhi kriteria telah dilakukan pemeriksaan fisik hidung. Derajat sumbatan hidung dinilai menggunakan kuesioner NOSE Scale dan PNIF. Analisis data dilakukan dengan Uji Chi-Square. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna antara obesitas dengan derajat sumbatan hidung yang dinilai menggunakan PNIF. Setelah dilakukan uji statistik dengan chi square didapatkan perbedaan yang bermakna (p = 0,033) (OR 1,400 IK 95% 0,332 – 4,381). Pada pengukuran menggunakan kuesioner NOSE dan pada uji statistik dengan chi square didapatkan perbedaan yang tidak bermakna yaitu (p=0,628). Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara obesitas dengan derajat sumbatan hidung.Kata kunci: Obesitas, derajat sumbatan hidung.
PENGARUH MADU KALIANDRA TERHADAP PENURUNAN SKOR GEJALA KLINIS PENDERITA RINITIS ALERGI PERSISTEN SEDANG BERAT PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO Adli Chairul Umam; Dwi Marliyawati; Kanti Yunika; Zulfikar Naftali
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 8, No 4 (2019): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (335.581 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v8i4.25349

Abstract

Latar Belakang : Rinitis alergi merupakan kelainan akibat paparan alergen yang menyebabkan inflamasi mukosa hidung. Obat antihistamin biasanya digunakan sebagai penatalaksanaan awal pada rinitis alergi. Madu dipercaya memiliki bahan yang mengandung antialergi, antioksidan dan antiinflamasi. Pemberian antihistamin dan madu diharapkan dapat menurunkan skor gejala klinis rinitis alergi dibandingkan hanya dengan pemberian antihistamin. Tujuan : Mengetahui pengaruh pemberian madu kaliandra terhadap penurunan skor gejala klinis pada penderita rinitis alergi persisten sedang berat. Metode : Penelitian ini merupakan true experimental dengan desain randomized control trial pretest-posttest design. Terdapat 40 sampel penelitian yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan yang diberi madu kaliandra 50 mg dan cetirizine 10 mg dan kelompok kontrol yang hanya diberi cetirizine 10 mg. Penilaian skor gejala klinis rinitis alergi dilakukan sebelum dan 2 minggu setelah diberi perlakuan, kemudian dibandingkan antara kedua kelompok. Hasil : Pemberian madu kaliandra 50 mg dan cetirizine 10 mg per hari selama 2 minggu menurunkan skor gejala klinis rinitis alergi pada kelompok perlakuan (p=0,000) dan kelompok kontrol (p=0,000). Perbandingan skor gejala klinis rinitis alergi antara kedua kelompok menunjukkan adanya perbedaan bermakna (kelompok perlakuan p=0,000 dan kontrol p=0,003). Kesimpulan : Pemberian madu kaliandra dapat menurunkan skor gejala klinis pada penderita rinitis alergi persisten sedang berat.Kata Kunci : Rinitis alergi, skor gejala klinis, madu kaliandra, cetirizine.
PERBEDAAN SKOR RSI PENDERITA LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX YANG MENDAPAT OMEPRZOLE DAN LANSOPRAZOLE Sri Endah Eka Putri; Willy Yusmawan; Kanti Yunika
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 7, No 1 (2018): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (328.206 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v7i1.19393

Abstract

Latar Belakang : Laryngopharyngeal Reflux (LPR) adalah hasil aliran balik isi lambung ke laring faring yang menyebabkan cedera mukosa laring dan faring. Reflux Symptom Index (RSI) digunakan sebagai diagnosis dan evaluasi terapi LPR. Omeprazole dan lansoprazole adalah Proton Pump Inhibitor (PPI) yang paling sering digunakan sebagai terapi initial LPR. Secara farmakokinetik lansoprazole memiliki bioavaibilitas yang lebih tinggi dan interaksi dengan obat lain sedikit.Tujuan : Mengetahui perbedaan efektifitas omeprazole dibanding lansoprazole terhadap skor RSI penderita LPRMetode : Penelitian observasional komparatif menggunakan data rekam medis di poliklinik THT-KL RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2013-2017. Terdapat 47 sampel penelitian yang telah mendapat terapi selama 3 bulan dan dikelompokkan menjadi kelompok yaitu omeprazole dan lansoprazole. Evaluasi LPR setelah terapi dinilai dengan skor Reflux Symptom Index (RSI). Analisis hasil data dengan uji Independent T test, Mann Whitney dan Wilcoxon.Hasil : Rerata skor RSI sebelum terapi antara kedua kelompok dengan p=0,033. Sedangkan rerata skor RSI sesudah terapi antara kedua kelompok dengan p=0,056 (p>0,05). Uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan efektifitas yang bermakna antara kelompok omeprazole dan lansoprazole terhadap skor RSI sesudah terapi. Selisih rerata sebelum dan sesudah terapi kelompok omeprazole -7,30 ± 5,52 sedangkan lansoprazole -8,67 ± 5,86. Terdapat perbaikan yang bermakna pada seluruh gejala RSI pada kelompok lansoprazole. Simpulan : Tidak  terdapat perbedaan efektifitas yang bermakna antara kedua kelompok dan perbaikan masing masing gejala RSI pada lansoprazole lebih baik dibanding omeprazole
The Relationship Between Obstructive Sleep Apnea And Levels Of Depression And Anxiety In Young Adults Kanti Yunika
Diponegoro International Medical Journal Vol 3, No 1 (2022): July 2022
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/dimj.v3i1.14961

Abstract

ABSTRACTBackground: Obstructive sleep apnea (OSA) is one of the most common and serious sleep disorders that can cause various neurocognitive disorders such as depression and anxiety. OSA can occur in young adults, whom are in an important developmental age in human life. The relationship between OSA and levels of depression and anxiety has never been studied in young adults, especially college students. Early identification and treatment is expected to have an impact on better quality of life and productivity..Aim: To determine the relationship of OSA with levels of depression and anxiety in young adultsMethods: An observational study with a cross sectional design. Data were obtained from Berlin questionnaire, Zung Self-Rating Depression Scale and Zung Self-Rating Anxiety Scale which were filled out in September-November 2021. Bivariate analysis of OSA's relationship with depression and OSA with anxiety was tested using chi-square test. Multivariate logistic regression analysis was performed to test for confounding variables.Results:  There was a significant relationship between OSA and depression (p=0,000, OR 4.07) and OSA and anxiety (p=0,000, OR 4.5) in young adults. Logistic regression analysis showed that gender was a confounding variable of anxiety (p=0.044) in young adults.Conclusion: There is a significant relationship between OSA and levels of depression and anxiety in young adults. Young adults who have OSA are 4.07 times more likely to be depressed than young adults who don’t have OSA. Young adults who have OSA are 4.5 times more likely to experience anxiety than young adults who don’t have OSA. There is a significant relationship between OSA and the level of anxiety controlled by the confounding variable, namely gender.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (OSAS) PADA PASIEN STROKE ISKEMIK Prabha Vignesvari Sasongko; Kanti Yunika; Yovita Andhitara
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 5, No 4 (2016): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (397.934 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v5i4.15643

Abstract

Latar belakang: Prevalensi Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada pasien stroke 4-6 kali lebih besar dibandingkan populasi umum. Adanya OSAS pada pasien stroke iskemik meningkatkan risiko berulangnya stroke, perburukan kondisi neurologisnya, lama perawatan di Rumah Sakit, serta kematian.Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya OSAS pada pasien stroke iskemik.Metode: Penelitian obervasional dengan desain kasus-kontrol. Pasien stroke iskemik rawat jalan di RSUP Dr. Kariadi dikelompokkan menjadi OSAS dan Non OSAS berdasarkan hasil pengisian kuesioner Epworth Sleepiness Scale (ESS) lalu dilakukan anamnesis, dan pemeriksaan fisik. Uji statistik yang digunakan adalah chi-square, Fisher’s exact test, dan regresi logistik.Hasil: Sebanyak 15 pasien masuk dalam kelompok OSAS dan 26 pasien masuk dalam kelompok kontrol. Jenis kelamin (p = 0,033), lingkar leher (p = 0,043), dan skor mallampati (p = 0,017) berhubungan secara signifikan dengan OSAS. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia, Indeks Massa Tubuh (IMT), hipertrofi konka dan deviasi septum nasi dengan OSAS. Jenis kelamin dan skor mallampati berhubungan secara independen dengan OSAS. Jenis kelamin sebagai faktor paling dominan ( OR = 14,827 IK 95% 1,422-154,571).Kesimpulan: Jenis kelamin, lingkar leher, dan skor mallampati berhubungan secara signifikan dengan OSAS pada stroke iskemik. Jenis kelamin dan skor mallampati secara independen berhubungan dengan OSAS. Pasien stroke laki-laki berisiko 14,827 kali lebih besar untuk menderita OSAS dibandingkan perempuan.