Dwi Marliyawati
Unknown Affiliation

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN COTTON BUD DENGAN SERUMEN OBSTURAN Pivi Money Asri; Zulfikar Naftali; Dwi Marliyawati
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 7, No 2 (2018): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (414.85 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v7i2.20760

Abstract

Latar Belakang :  Sebagian besar masyarakat Indonesia membersihkan telinga menggunakan cotton bud. Penggunaan benda asing pada liang telinga dapat mengganggu mekanisme self-cleaning berupa migrasi epithelial di liang telinga. Beberapa penelitan menyatakan penggunaan cotton bud berhubungan dengan kejadian serumen obsturan, namun penelitian-penelitian sebelumnya masih inkonsisten.Tujuan : Membuktikan hubungan kedalaman, frekuensi dan durasi penggunaan cotton bud dengan serumen obsturan.Metode : Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan desain cross-sectional. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling. Penelitian ini melibatkan 69  sampel dewasa muda mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Diponegoro yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Data dikumpulkan dengan meggunakan kuisioner dan pemeriksaan fisik dengan otoscope. Analisis inferensial  menggunakan uji Fisher’s exact. Uji multivariat menggunakan uji regresi logistik untuk mencari variabel dominan.Hasil : Analisis data menunjukan 14.5% sampel menderita serumen obsturan pada telinga kanan dan 8.7% sampel menderita serumen obsturan pada telinga kiri. Berdasarkan uji statistik didapatkan hubungan bermakna kedalaman penggunaan cotton bud  dengan serumen obsturan pada telinga kanan (p=0,012) dan telinga kiri (p=0,037). Terdapat hubungan bermakna frekuensi penggunaan cotton bud dengan serumen obsturan pada telinga kanan (p=0,001), namun tidak pada telinga kiri. Tidak terdapat hubungan bermakna durasi penggunaan cotton bud dengan serumen obsturan pada telinga kanan dan telinga kiri. Kesimpulan : Terdapat hubungan bermakna kedalaman dan frekuensi penggunaan cotton bud dengan serumen obsturan pada telinga kanan. Pada telinga kiri hanya variabel kedalaman yang memiliki hubungan bermakna dengan serumen obsturan.
PENGARUH MEROKOK TERHADAP GANGGUAN PENDENGARAN PADA USIA DEWASA MUDA Dian Lestari Ningsih; Dwi Marliyawati; Kanti Yunika
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 7, No 2 (2018): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (284.575 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v7i2.21285

Abstract

Latar Belakang: Nikotin dan karbonmonoksida pada rokok dapat menyebabkan vasospasme sehingga berkurangnya perfusi oksigen ke organ koklea. Hal ini mengakibatkan kerusakan sel rambut. Zat aktif pada rokok juga menyebabkan perubahan histopatologi pada mukosa saluran pernapasan atas yang mengakibatkan disfungsi tuba. Patofisiologi tersebut menyebabkan gangguan pendengaran pada perokok dengan tipe konduktif, sensorineural, dan campuran.Tujuan: Mengetahui pengaruh merokok terhadap gangguan pendengaran.Metode: Penelitian ini adalah penelitian obsevasional dengan rancangan kasus dan kontrol. Sampel sebanyak 66 perokok dipilih dengan menggunakan teknik consecutive sampling dan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kasus (perokok dengan gangguan pendengaran) dan kontrol (perokok tanpa gangguan pendengaran). Masing-masing kelompok dianalisis pengaruh jumlah batang rokok dan lamanya merokok terhadap gangguan pendengaran.Hasil: Uji Pearson Chi-Square menunjukan terdapat pengaruh yang bermakna  jumlah batang rokok terhadap gangguan pendengaran (p=0,013), OR=3,6 dan IK 95% 10,150-1,290. Uji Pearson Chi-Square menunjukan hasil bermakna pada pengaruh lama nya merokok terhadap gangguan pendengaran (p=0,049), OR=2,6 dan  IK 95% 72,84-0,995. Hasil uji multivariat regresi logistik didapatkan jumlah rokok >10 lebih berpengaruh terhadap gangguan pendengaran (p=0,025), OR=3,3 dan IK 95% 9,627-1,168.Simpulan: Terdapat pengaruh antara jumlah batang rokok dan lamanya merokok terhadap gangguan pendengaran. Jumlah batang rokok memiliki pengaruh lebih besar terhadap gangguan pendengaran.
PENGARUH MADU KALIANDRA TERHADAP PENURUNAN SKOR GEJALA KLINIS PENDERITA RINITIS ALERGI PERSISTEN SEDANG BERAT PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO Adli Chairul Umam; Dwi Marliyawati; Kanti Yunika; Zulfikar Naftali
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 8, No 4 (2019): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (335.581 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v8i4.25349

Abstract

Latar Belakang : Rinitis alergi merupakan kelainan akibat paparan alergen yang menyebabkan inflamasi mukosa hidung. Obat antihistamin biasanya digunakan sebagai penatalaksanaan awal pada rinitis alergi. Madu dipercaya memiliki bahan yang mengandung antialergi, antioksidan dan antiinflamasi. Pemberian antihistamin dan madu diharapkan dapat menurunkan skor gejala klinis rinitis alergi dibandingkan hanya dengan pemberian antihistamin. Tujuan : Mengetahui pengaruh pemberian madu kaliandra terhadap penurunan skor gejala klinis pada penderita rinitis alergi persisten sedang berat. Metode : Penelitian ini merupakan true experimental dengan desain randomized control trial pretest-posttest design. Terdapat 40 sampel penelitian yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan yang diberi madu kaliandra 50 mg dan cetirizine 10 mg dan kelompok kontrol yang hanya diberi cetirizine 10 mg. Penilaian skor gejala klinis rinitis alergi dilakukan sebelum dan 2 minggu setelah diberi perlakuan, kemudian dibandingkan antara kedua kelompok. Hasil : Pemberian madu kaliandra 50 mg dan cetirizine 10 mg per hari selama 2 minggu menurunkan skor gejala klinis rinitis alergi pada kelompok perlakuan (p=0,000) dan kelompok kontrol (p=0,000). Perbandingan skor gejala klinis rinitis alergi antara kedua kelompok menunjukkan adanya perbedaan bermakna (kelompok perlakuan p=0,000 dan kontrol p=0,003). Kesimpulan : Pemberian madu kaliandra dapat menurunkan skor gejala klinis pada penderita rinitis alergi persisten sedang berat.Kata Kunci : Rinitis alergi, skor gejala klinis, madu kaliandra, cetirizine.
PERBANDINGAN RESPON KLINIS PENDERITA KARSINOMA NASOFARING YANG MENDAPAT KEMOTERAPI CISPLATIN NEOADJUVANT DENGAN CONCURRENT Ulfa Trimonika; Willy Yusmawan; Dwi Marliyawati
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 7, No 2 (2018): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (343.707 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v7i2.20702

Abstract

Latar Belakang : Salah satu modalitas kemoterapi pada karsinoma nasofaring stadium lanjut adalah kombinasi kemoterapi dan radiasi. Kombinasi kemoterapi dapat diberikan secara adjuvant, neoadjuvant dan concurrent. Pilihan kemoterapi concurrent mengalami kendala akibat keterbatasan alat dan waktu tunggu yang lama. Oleh karena itu pemberian kemoterapi neoadjuvant menjadi pilihan terapi. Cisplatin digunakan sebagai salah satu regimen kemoterapi. Penilaian keberhasilan terapi dapat dinilai dari respon klinis.Tujuan : Mengetahui perbedaan respon klinis penderita karsinoma nasofaring yang mendapat kemoterapi cisplatin neoadjuvant dengan kemoterapi concurrent.Metode : Penelitian observasional komparatif yang dikaji menggunakan data rekam medik di RSUP Dr Kariadi Semarang tahun 2012-2016. Sampel dibagi menjadi kelompok yang mendapat kemoterapi neoadjuvant dan kemoterapi concurrent. Penilaian respon klinis yaitu respon positif : Complete Response (CR) dan Partial Response (PR); respon negatif : Stable Disease (SD) dan Progressive Disease (PD). Uji statistik dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square.Hasil : Didapatkan 46 sampel, 23 mendapat kemoterapi cisplatin neoadjuvant  dan 23 mendapat kemoterapi cisplatin concurrent. Terdapat perbedaan bermakna pada respon klinis antara penderita KNF yang diberi kemoterapi concurrent dengan penderita yang diberi kemoterapi neoadjuvant (p= 0,049). Respon klinis positif pada kemoterapi concurrent sebesar 47,8% dan respon negatif 2,2% sedangkan pada kemoterapi neoadjuvant respon positif sebesar 34,8% dan respon negatif 15,2% (RR 1,375 dan 95% CI 1,035 – 1,827).Simpulan : Respon terapi penderita KNF yang mendapat kemoterapi concurrent lebih baik dari pada kemoterapi neoadjuvant. 
PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK Syaffa Sadida Zahra; Anna Mailasari; Dwi Marliyawati
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 5, No 4 (2016): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (334.074 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v5i4.15964

Abstract

Latar Belakang: Asap rokok dapat memicu respon inflamasi pada hidung sehingga mengakibatkan gejala sumbatan hidung. Irigasi hidung menggunakan larutan salin dapat mengurangi gejala hidung pada inflamasi kronis.Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian irigasi hidung terhadap derajat sumbatan hidung pada perokok.Metode: Penelitian ini berjenis true eksperimental dengan rancangan pretest posttest control group design. Sampel sebanyak 64 perokok dipilih dengan mengunakan teknik consecutive sampling dan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok perlakuan (dengan irigasi hidung) dan kontrol (tanpa irigasi hidung). Kelompok perlakuan diberikan irigasi hidung menggunakan NaCl 0.9% satu kali sehari selama 14 hari. Masing-masing kelompok dinilai sumbatan hidungnya menggunakan kuesioner NOSE Scale sebelum dan setelah 14 hari.Hasil: Rerata delta derajat sumbatan hidung pada kelompok perlakuan (-1.69) dan kelompok kontrol (0.25). Uji Mann-whitney menunjukkan perbedaan yang bermakna pada delta derajat sumbatan hidung kelompok perlakuan dan kontrol (p=0.021).Simpulan:Irigasi hidung berpengaruh terhadap derajat sumbatan hidung pada perokok.
HUBUNGAN ANTARA LAMANYA PAPARAN BISING DENGAN GANGGUAN FISIOLOGIS DAN PENDENGARAN PADA PEKERJA INDUSTRI TEKSTIL Rona Elfiza; Dwi Marliyawati
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 6, No 2 (2017): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (551.712 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v6i2.18632

Abstract

Latar Belakang:  Teknologi dalam industri diterapkan untuk mempermudah pekerjaan dan meningkatkan hasil kerja. Mesin-mesin dalam industri tekstil merupakan terapan dari teknologi canggih yang biasa digunakan selain pemakaian tenaga sumber daya manusia. Mesin-mesin yang beroperasi tidak hanya memberi keuntungan, namun terdapat dampak negatif berupa limbah, zat-zat beracun, polutan udara dan juga suara bising.Tujuan: mengetahui apakah ada hubungan paparan bising dengan gangguan fisiologis dan pendengaran pada pekerja pabrik tekstil PT. Panca Tunggal Jaya Semarang.Metode: Metode penelitian ini adalah studi cross sectional, Subjek penelitian adalah pekerja pabrik tekstil PT. Panca Tunggal Jaya Semarang dengan populasi 42 orang, Sampel penelitian diambil secara consecutive random sampling, penelitian ini menggunakan data tekanan darah, nadi dan tes fungsi pendengaran dengan alat OAE. Analisis bivariate dilakukan uji Chi-square dengan signifikan p<0.05.Hasil: Pada hasil penelitian ini kasus hipertensi,takikardi  banyak terdapat pada pekerja pabrik tesktil yang bekerja kurang dari 5 tahun dengan 5 sampel (23,8%),3 sampel (14,3%). Gangguan pendengaran hasil nya sama dengan 40 sampel (95,2%) . berdasarkan uji hipotesis terdapat  perbedaan yang bermakna pada tekanan darah (p=0,017). Sedangkan variable lain tidak bermakna secara statistik.Simpulan: terdapat hubungan yang bermakna antara lamanya paparan bising dengan perubahan tekanan darah. Perbedaan hubungan antara lamanya paparan bising dengan perubahan denyut nadi dan pendengaran pada pekerja pabrik tekstil adalah tidak bermakna secara statistik.
FAKTOR RISIKO RINITIS ALERGI PADA ANAK USIA 13-14 TAHUN DI SEMARANG Arteria Dewi Nurhutami; Suprihati Suprihati; Dwi Marliyawati; Anna Mailasari Kusuma Dewi
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 9, No 2 (2020): DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL ( Jurnal Kedokteran Diponegoro )
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (448.548 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v9i2.27096

Abstract

Latar Belakang : Berdasarkan survey WHO penderita rinitis alergi berjumlah sekitar 400 juta penduduk dunia. Studi ISAAC pada kelompok usia 13-14 tahun didapatkan prevalensi sebesa 1.4 - 39.7%. Rinitis alergi juga dikatakan sebagai masalah global yang selalu mengalami peningkatan dan memerlukan perhatian khusus. Riwayat atopi keluarga, faktor gaya hidup dan keadaan lingkungan merupakan faktor yang berkontribusi terhadap kejadian rinitis alergi. Tujuan : Mengetahui faktor risiko rinitis alergi pada anak usia 13- 14 tahun di Semarang. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain cross-sectional. Penelitian ini menggunakan kuesioner ISAAC yang diisi oleh 310 responden di SMP Nusa Bhakti dan SMP N 19 Semarang. Sampel dipilih secara consecutive sampling. Hasil : Didapatkan sebanyak 113 (36.5%) siswa yang menderita rinitis alergi. Dimana dari 310 responden didapatkan sebanyak 66 siswa (21%) terpapar asap kendaraan, 204 siswa (66%) terpapar asap rokok, 131 siswa (42%) memiliki hewan peliharaan, 178 siswa (57%) terpapar debu rumah, 29 siswa (9%) menderita asma dan 63 siswa (20%) menderita eksem. Simpulan: Faktor risiko yang bermakna pada penderita rinitis alergi usia 13-14 tahun di Semarang adalah memiliki hewan peliharaan (OR=1.444), terpapar asap kendaraan (OR=2.010) dan menderita eksem (OR=3.163).Kata Kunci : Rinitis alergi, Faktor risiko, Kuesioner ISAAC
PENGARUH DERAJAT MEROKOK TERHADAP FUNGSI TUBA EUSTACHIUS PADA PEROKOK AKTIF Adiyani Harianingrum; Zulfikar Naftali; Dwi Marliyawati
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 7, No 2 (2018): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (386.962 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v7i2.21191

Abstract

Latar belakang: Tuba Eustachius merupakan saluran yang menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring. Gangguan fungsi tuba eustachius didefinisikan sebagai terganggunya ventilasi dari tuba eustachius yang ditandai dengan adanya gejala-gejala dan tanda-tanda disregulasi tekanan di telinga tengah. Penyebab gangguan fungsi tuba eustachius bermacam-macam, dan salah satunya adalah merokok.Tujuan: Mengetahui pengaruh derajat merokok terhadap fungsi tuba eustachius pada perokok aktif. dan menganalisis perbedaan fungsi tuba eustachius pada perokok aktif derajat ringan, dan perokok aktif derajat sedang-berat. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain cross-sectional. Sampel merupakan laki-laki perokok aktif di lingkungan Undip, Tembalang, Kota Semarang yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu perokok derajat ringan  (indeks brinkman <200) dan derajat sedang-berat (indeks brinkman ≥200). Pemeriksaan fungsi tuba eustachius dilakukan dengan menggunakan alat timpanometri. Dilakukan pengukuran puncak timpanogram (P1), puncak timpanogram dengan induksi perasat toynbee (P2) dan perasat valsava (P3). Perokok aktif dikatakan mengalami gangguan fungsi tuba eustachius apabila P1-P2<10daPa atau Pmax-Pmin<15daPa pada satu atau kedua telinga. Analisis statistik uji fishers exact digunakan untuk menilai perbedaan fungsi tuba eustachius pada perokok derajat ringan dan perokok derajat sedang-berat.Hasil: Didapatkan sampel 75 perokok aktif, 69(92%) perokok derajat ringan dan 6(8%) perokok derajat sedang-berat. Insidensi gangguan fungsi tuba eustachius pada perokok aktif sebesar 74,7%. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada hasil analisis fungsi tuba eustachius perokok derajat ringan dan perokok derajat sedang-berat (p>0,05).Simpulan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok perokok aktif derajat ringan dengan perokok aktif derajat sedang-berat terhadap gangguan fungsi tuba eustachius
Respon neoadjuvant chemotherapy platinum based pada penderita karsinoma nasofaring di RSUP Dr. Kariadi Semarang Dwi Marliyawati; Dwi Antono; Willy Yusmawan
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 43, No 2 (2013): Volume 43, No. 2 July - December 2013
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (92.476 KB) | DOI: 10.32637/orli.v43i2.67

Abstract

Latar belakang: Kemoradiasi meningkatkan survival rate pada karsinoma nasofaring (KNF) stadium lanjut. Waktu tunggu radioterapi lebih dari 2 bulan dan keterbatasan alat radiasi mengakibatkan neoadjuvant chemotherapy (NAC) platinum-based menjadi pilihan. Tujuan: Untuk mengetahui respon NAC platinum-based pada KNF. Metode: Penelitian cohort retrospective menggunakan rekam medis di RSUP Dr Kariadi Semarang 2007-2012. Sampel dibagi 2 kelompok: NAC 3 siklus dan lebih dari 3 siklus. Hubungan jumlah siklus dengan respon terapi pada tumor primer nasofaring dan kelenjar limfe leher diuji dengan chi square. Penilaian respon terdiri dari respon positif (complete response (CR), partial response (PR)), respon negatif (stable disease (SD) dan progressive disease (PD)).Hasil: Dari 97 sampel, 46 mendapat 3 siklus dan 51 lebih dari 3 siklus. Respon positif kelenjar limfe leher pada kelompok 3 siklus sebesar 67,4% (CR 30,5% dan PR 36,9%) dan tumor primer sebesar 50% (CR 11,9% dan PR 38,1%), sedangkan respon positif kelenjar limfe leher pada kelompok lebih dari3 siklus sebesar 78,4% (CR 56,8% dan PR 21,6%) dan tumor primer sebesar 62,5% (CR 23,9% dan PR 38,6%). Terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah siklus dengan respon tumor primer (p=0,021). Penderita yang tidak mengalami penundaan terapi berpengaruh 4,6 kali lebih besar menyebabkan respon positif dibandingkan dengan yang mengalami penundaan. Jumlah siklus lebih dari 3 berpengaruh 2,8 kali lebih besar menyebabkan respon positif dibandingkan 3 siklus. Kesimpulan: Pemberian NAC platinum-based lebih dari 3 siklus mempunyai respon lebih baik daripada 3 siklus. Faktor penundaan berpengaruh lebih besar terhadap respon dibandingkan jumlah siklus. Kata kunci: Neoadjuvant chemotherapy platinum-based, respon terapi, karsinoma nasofaring.