Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

BEBERAPA PARAMETER KIMIA YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT MERAH Kappaphycus alvarezii (DOTY) DI PERAIRAN LEBIH-DALAM Petrus A. Wenno; Rajuddin Syamsuddin; Magdalena Latuihamallo
Chimica et Natura Acta Vol 2, No 3 (2014)
Publisher : Departemen Kimia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (416.982 KB) | DOI: 10.24198/cna.v2.n3.9162

Abstract

Secara konvesional, budi daya rumput laut memerlukan wilayah besar pada perairan dangkal, tetapi tidak semua air cocok untuk pembiakannya. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh beberapa parameter kimia yang cocok untuk tumbuhnya ganggang merah Kappaphycus alvarezii di perairan laut dalam. Penelitian ini difasilitasi dengan beberapa rakit gantung yang ditempatkan secara diagonal, satu di bawah yang lain, pada kedalaman 100, 250, 400, 550 dan 700 cm. Pemotongan tunas dari strain hijau dan coklat digunakan sebagai bibit awal dengan berat 50, 100 dan 150 g. Semua tunas diikat pada tali nilon dengan diameter 1 mm yang sudah diatur pada tali dengan diameter 5 mm yang kemudian akan ditempatkan horizontal pada rakit gantung. Ruang antara dua tali panjang dan dua rumpun rumput laut diatur pada jarak 25 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari laju pertumbuhan harian berkurang dengan meningkatnya kedalaman air. Rata-rata tertinggi dari laju pertumbuhan harian (DGR) dari kedua strain pada berat 100 g yaitu 5,28 ± 0,24% untuk hijau dan 5,45 ± 0,18% untuk cokelat. Analisis varians (ANOVA) dari DGR menunjukkan interaksi antara strain dan berat awal, antara strain dan kedalaman, dan antara berat awal dan kedalaman yang signifikan (P <0,01), namun antara strain, berat awal dan kedalaman tidak ada yang signifikan (P> 0,05). Zat kimia yang berhubungan dengan DGR berdasarkan analisis regresi multivariat yaitu salinitas, pH, amonium dan magnesium
THE IMPACT OF SEAWEED FARMING ON THE PHYTOPLANKTON COMMUNITY STRUCTURE Parman Parakkasi; Chair Rani; Rajuddin Syamsuddin; Rahmadi Tambaru
Jurnal Ilmu Kelautan SPERMONDE VOLUME 6 NOMOR 1, 2020
Publisher : Hasanuddin University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20956/jiks.v6i1.9900

Abstract

This study was aimed to analyze the impact of seaweed farming on changes in the structure of phytoplankton communities on various ecosystems and their relationship with environmental factors. The study was conducted in May-October 2017 in the waters of Karampuang Island, Mamuju Regency. Plankton samples were collectedfromthreecultivationareas, namely areas with sandy bottom (control), seagrass beds, and coral reefs. In each area, three media were placed with a longline system, size 40 x 30 m2 (as replication). Sampling was carried out at the beginning before initiation of the cultivation and every two weeks after cultivation was started for 42 days. Phytoplankton sampling and measurement of environmental factors were carried out at fivesamplingpoints representing the cultivation areas. In sandy areas, sampling was also applied in areas outside the cultivation at a distance of 25m and 50m. Variance analysis was used to analyze differences in the species number and abundance of phytoplankton. Ecological indices was used to test phytoplankton biodiversity. PCA was used to analyze its relationship with environmental factors. Differences in the species number and abundance of phytoplankton between farming areas according to temporal scale were found. The high number and speciesabundance of phytoplankton were found in seagrass areas and significantly different from coral reefs and sandy area. Seaweed farming at the beginning of the farming period showed a positive impact by increasing the number of species and abundance of phytoplankton, but then decreased after entering Week 4-Week 6, along with the occurrence of ice-ice disease on the seaweed. Diversity index value was classified as medium with high equality without the dominance of particular species. The high number of species and abundance of phytoplankton occured at second weeks in all cultivation areas which are characterized by abundance of zooplankton with environmental characteristics, i.e. high DO and low PO4, NO3, andDOM.
ESTIMASI BEBAN LIMBAH ORGANIK DARI TAMBAK UDANG SUPERINTENSIF YANG TERBUANG DI PERAIRAN TELUK LABUANGE Mudian Paena; Rajuddin Syamsuddin; Chair Rani; Haryati Tandipayuk
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Vol. 12 No. 2 (2020): Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis
Publisher : Department of Marine Science and Technology, Faculty of Fisheries and Marine Science, IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/jitkt.v12i2.27738

Abstract

Pencemaran lingkungan oleh limbah organik mengandung nitrogen (N) dan fosfat (P) yang bersumber dari tambak udang superintensif karena penggunaan pakan yang banyak merupakan masalah serius dalam pengembangan teknologi superintensif di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi jumlah pakan yang terbuang ke lingkungan selama budidaya di tambak superintensifdan untuk mengestimasi jumlah limbah N dan P yang terbuang ke lingkungan dari kegiatan budidaya superintensif. Metode penelitian dilakukan sebanyak 3 tahap; tahap pertama dilakukan pada tambak superintensif selama 76 hari dengan melakukan budidaya udang superintensif dengan kepadatan 600 ekor/m2 selanjutnya dilakukan pengamatan pakan yang terbuang. Tahap kedua adalah melakukan uji kecernaan udang skala laboratorium dan tahap ketiga adalah penelitian ekskresi udang skala laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pakan tidak termakan yang terbuang ke lingkungan dari tambak superintensif sebesar 24,32% dari total pakan yang digunakan. Beban limbah organik dari tambak udang superintensif yang terbuang ke perairan Teluk Labuange sebesar 3,89 ton terdiri dari limbah organik mengandung N sebesar 3,61 ton/tahun dengan rerata buangan ke perairan 10,31 kg/hari, dan limbah organik mengandung P sebesar 0,28 ton/tahun dengan rerata buangan ke perairan 0,81 kg/hari. Hasil ini menunjukkan bahwa perairan Teluk Labuange telah mengalami tekanan limbah organik yang berasal dari kegiatan tambak udang superintensif.
PENGARUH KEDALAMAN DAN BOBOT Sargassum aquifolium TERHADAP TINGKAT SERANGAN ICE ICE DAN KADAR KARAGENAN PADA RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii Naning Dwi Sulystyaningsih; Rajuddin Syamsuddin; Zainuddin Zainuddin
Jurnal Riset Akuakultur Vol 14, No 1 (2019): (Maret, 2019)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (126.738 KB) | DOI: 10.15578/jra.14.1.2019.39-46

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kedalaman dan bobot Sargassum terhadap tingkat serangan ice-ice dan kadar karagenan pada rumput laut Kappaphycus alvarezii. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dengan percobaan di lapangan. Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola Faktorial dengan dua faktor yaitu; tingkat kedalaman dari permukaan laut (A) dan bobot Sargassum (B). Faktor pertama (A) terdiri atas tiga taraf yaitu; A1: kedalaman 30 cm, A2: kedalaman 45 cm, dan A3: kedalaman 60 cm. Perlakuan diulang sebanyak tiga kali dengan total 36 satuan perlakuan. Parameter yang diamati yaitu tingkat serangan ice-ice dan kadar karagenan. Data variabel penelitian yang diperoleh akan dianalisis perbedaannya menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) pada taraf kesalahan 5%. Apabila terdapat pengaruh yang signifikan akan dilanjutkan dengan uji lanjut W-Tukey. Tidak ada pengaruh kedalaman dan bobot Sargassum terhadap serangan ice-ice dan kadar karagenan dan tidak ada interaksi antara keduanya pada Kappaphycus alvarezii.This study aimed to determine the effects of Sargassum culture depth and weight on ‘ice-ice’ disease development and carrageenan levels of Kappaphycus alvarezii. The study used an on-field experimental method and designed following a factorial randomized complete design (CRD) with two factors, namely the depth of culture (A) and the weight of Sargassum (B). Factor (A) consisted of three levels, namely A1 : 30 cm depth, A2 : 45 cm depth, and A3 : 60 cm depth. Each treatment was repeated three times, a total of 36 treatment units of Sargassum for the whole experiment. The parameters observed ware the rate of ice-ice attack and carrageenan level of Sargassum. Data from the research variables obtained were analyzed for differences using ANOVA at 5% error margin. If there was a significant effect, a post-hoc test using W-Tukey was conducted. There was no effect of the culture depth and weight of Sargassum on ‘ice-ice’ attack and carrageenan levels. There was no observed interaction between ‘ice-ice’ and carrageenan level on Kappaphycus alvarezii 
ANALISA STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON DAN POTENSI PENGGUNAANNYA SEBAGAI BIOINDIKATOR LIMBAH ORGANIK DI TELUK LABUANGE, SULAWESI SELATAN Mudian Paena; Rajuddin Syamsuddin; Chair Rani; Haryati Tandipayuk
Jurnal Riset Akuakultur Vol 15, No 2 (2020): (Juni, 2020)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (126.738 KB) | DOI: 10.15578/jra.15.2.2020.129-139

Abstract

Komunitas fitoplankton di perairan Teluk Labuange semakin dipengaruhi oleh limbah organik yang berasal dari tambak udang superintensif dan kegiatan antropogenik lainnya di sepanjang garis pantai. Akibatnya, struktur komunitas plankton di teluk tersebut telah mengalami perubahan besar yang dapat digunakan sebagai bio-indikator pencemaran limbah organik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan struktur komunitas plankton di perairan Teluk Labuange dan potensi penggunaannya sebagai bio-indikator pencemaran limbah organik. Survei lapangan dilakukan di enam stasiun pengambilan sampel yang didistribusikan di dalam teluk untuk mengumpulkan sampel air, untuk analisis fitoplankton. Ada 12 titik pengambilan sampel di setiap stasiun dari total 72 sampel air dikumpulkan. Jenis-jenis bioindikator yang diidentifikasi kemudian dianalisis menggunakan CCA (Canonical Correlation Analysis) yang tersedia dalam perangkat lunak PAST (Statistik Paleontologis) untuk menghitung kekuatan hubungan antara kualitas air (amonia, nitrat, fosfat, BOT, dan COD) dan indikator fitoplankton. Data kelimpahan spesies dan fitoplankton dianalisis secara statistik menggunakan ANOVA untuk menentukan perbedaan jenis dan kelimpahan fitoplankton di setiap stasiun. Studi ini telah mengidentifikasi 48 spesies fitoplankton, di mana 18 spesies fitoplankton diidentifikasi sebagai berpotensi HAB,s (plankton berbahaya). Dari 18 spesies plankton, enam spesies dapat diklasifikasikan sebagai plankton bioindikator limbah organik, yaitu Ceratium triops, Ceratium trichoceros, Lyngbya sp, Navicula pupula, Dinophysis caudata, dan Dinophysis sp. Kehadiran enam jenis fitoplankton secara langsung berkaitan dengan tingginya konsentrasi amonia, nitrat, fosfat, BOT, dan COD di perairan. Indeks keanekaragaman fitoplankton yang dihitung dari penelitian ini menunjukkan bahwa Teluk Labuange diklasifikasikan sebagai perairan yang sangat tercemar. Oleh karena itu, upaya untuk mengurangi pasokan limbah organik kedalam teluk sangat penting dilakukan untuk memastikan keberlanjutan akuakultur pantai di Teluk Labuange, seperti instalasi pengolahan limbah di tambak udang superintensif atau pengelolaan limbah yang efektif di daerah pemukiman pesisir.Phytoplankton communities in the waters of Labuange Bay have been increasingly affected by organic waste released by superintensive shrimp farms and other anthropogenic activities along the coastline. As a result, the plankton community structure of the bay might have undergone a substantial change which could be used as a bio-indicator of organic waste pollution. The objective of this study was to determine the structure of the plankton community in the waters of Labuange Bay and assess its potential use as a bio-indicator of organic waste pollution. Field surveys were conducted in six sampling stations distributed within the bay to collect water samples for phytoplankton analysis. There were 12 sampling points in each station from which a total of 72 water samples were collected. The types of bio-indicators identified were analyzed using canonical correlation analysis (CCA) available in the paleontological statistics (PAST) software to calculate the strength of the relationship between water quality (ammonia, nitrate, phosphate, BOT, and COD) and phytoplankton indicators. Data on species and phytoplankton abundance were statistically analyzed using ANOVA to determine the differences in the type and abundance of phytoplankton in each station. This study had identified 48 phytoplankton species, of which 18 species of phytoplankton were identified as potentially HABs plankton (harmful algae blooms). From the 18 plankton species, six species could be classified as organic bio-indicator planktons, namely Ceratium triops, Ceratium trichoceros, Lyngbya sp., Navicula pupula, Dinophysis caudata, and Dinophysis sp. The presence of the six types of phytoplankton was directly related to the high concentration of ammonia, nitrate, phosphate, BOT, and COD in the waters. The calculated phytoplankton diversity index from this research indicated that Labuange Bay was classified as heavily polluted waters. Therefore, efforts to reduce organic waste loading in the bay are critical to ensure the sustainability of coastal aquaculture in Labuange Bay, such as waste treatment plants in superintensive shrimp farms or effective waste management in the coastal settlement areas.
Studi penggunaan zat pengatur tumbuh BAP terhadap pembentukan tunas dan pertumbuhan mutlak rumput laut (Kappaphycus alvarezii, Doty.) Rustam1 Rustam1; Rajuddin Syamsuddin; Eddy Soekandarsih; Dody Dh. Trijuno
Prosiding Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan Vol. 7 (2020): PROSIDING SIMPOSIUM NASIONAL VII KELAUTAN DAN PERIKANAN UNHAS
Publisher : Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP), Universitas Hasanuddin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kekurangan bibit dan rendahnya kualitas produksi rumput laut K. alvarezii merupakan persoalan klasik yang terjadi pada setiap sentra pengembangan budidaya. Oleh sebab itu perlu dilakukan penggunaan hormon tumbuh BAP untuk merangsang pembentukan tunas dan pertumbuhan mutlak K. alvarezii untuk memecahkan persoalan tersebut. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi optimum hormon tumbuh BAP yang merangsang pembentukan tunas pada talli dan pertumbuhan mutlak rumput laut K. alvarezii. Penelitian terdiri atas dua tahap. Pertama dilakukan laboratorium selama 3 hari dengan merendaman talli rumput laut ke dalam larutan hormon tumbuh BAP dengan konsentrasi 0,0 mg/L (kontrol); 1,0 mg/L; 2,0 mg/L; 3,0 mg/L dan 4,0 mg/L. Kedalam semua wadah ditambah pupuk Conway 1,0 mg/L untuk meningkatkan nutrisi pada media pemeliharan. Kedua rumput laut dibudidayakan di laut selama 4 minggu. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan analisis regresi nonlinier model polynomial kuadratik. Hasil menunjukkan bahwa pembentukan tunas tertinggi pada konsentrasi 2,0 mg/L dengan jumlah 387,33 ± 2,52 tunas pada minggu ke 4. Sedangkan pertumbuhan berat mutlak tertinggi pada konsentrasi 2,0 mg/L sebanyak 176,63 ± 6,81 g dan terenda pada konsentrasi 4,0 mg/L sebanyak 125,77 ± 5,57 g. Konsentrasi optimum hormon tumbuh BAP untuk merangsang pembentukan tunas pada talli dan pertumbuhan berat mutlak K. alvarezii adalah 1,82 mg/L.Kata kunci: 6-Benzylaminopurine (BAP); pembentukan tunas; pertumbuhan mutlak, K. alvarezii.
Indonesia Menuju Akuakultur Berkelanjutan Rajuddin Syamsuddin; Isyanita .
Prosiding Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan Vol. 9 (2022): PROSIDING SIMPOSIUM NASIONAL IX KELAUTAN DAN PERIKANAN UNHAS
Publisher : Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP), Universitas Hasanuddin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Indonesia sebagai negara maritim yang berperan penting dalam penyediaan sumber protein ikan harus mampu memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan secara bijak, yakni berkelanjutan untuk kebutuhan saat ini dengan memperimbangkan kebutuhan generasi yang akan datang. Masih banyak praktik budidaya perikanan yang tidak berkelanjutan, tidak ramah lingkungan dan merusak lingkungan hidup saat ini dan menggunakan sumberdaya yang tidak terbarukan secara tidak terkontrol. Oleh sebab itu penerapan teknologi akuakultur berkelanjutan, ramah lingkungan, dan akuakultur organik perlu dikembangkan. Kerjasama institusi pemerintah,, swasta dan pemangku kepentingan lainnya harus mendorong tumbuh kembangnya teknologi akuakultur berkelanjutan tersebut.