Nyak Ilham
Pusat Sosial EKonomi dan Kebijakan Pertanian

Published : 17 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

Pengembangan Rantai Pasok Daging Ayam secara Terpadu di Jawa Barat dan Jawa Timur nFN Saptana; Nyak Ilham
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 18, No 1 (2020): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v18n1.2020.41-57

Abstract

The main problem faced by the broiler industry from time to time was its vulnerability to various large and short-term shocks. This study aimed to assess and formulate policy recommendations for the development of the supply chain integration of chicken meat. The analytical methods used in this study were the supply chain, market integration, and price fluctuation analysis. The results of this study indicated that supply chain actors in live broiler commodities and chicken meat were still quite long and less competitive. The dominant position in determining prices in the chicken meat supply chain was integrator companies and collectors. Broiler market integration at the farm level in the production center in West Java and the retailer level in the City of Bandung was not well integrated with the Market Index Connection (IMC) value of 5.956 (not integrated) and in East Java was also not integrated but with better the IMC value of 1.654. The level of chicken meat price fluctuations was quite moderate, as indicated by the Coefficient of Variation (CV) value 6.82. Broiler prices at the producer level were more volatile than the price of chicken meat at the consumer level. Policy implications drawn from this study are the need to cut the very long supply chain, improve the market structure towards a more competitive one, increase market integration, and maintain stabilization of chicken meat prices. AbstrakPermasalahan pokok yang dihadapi industri broiler dari waktu ke waktu adalah kerawanannya terhadap terhadap berbagai goncangan besar dan berjangka pendek. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menghasilkan rekomendasi kebijakan pengembangan rantai pasok daging ayam ras secara terpadu.Metode analisis yang digunakan adalah analisis rantai pasok, integrasi pasar, dan fluktuasi harga. Hasil penelitian ini menunjukkan pelaku rantai pasok pada komoditas broiler hidup dan daging ayam masih cukup panjang dan kurang kompetitif. Posisi dominan dalam penentuan harga pada rantai pasok daging ayam adalah perusahaan integrator dan pedagang pengepul. Integrasi pasar broiler di tingkat peternak di daerah sentra produksi di Jawa Barat dan di tingkat pedagang pengecer di Kota Bandung tidak terintegrasi dengan baik dengan nilai Index Market Conection (IMC) sebesar 5,956 (tidak terintegrasi), dan di Jawa Timur juga tidak integrasi namun dengan nilai IMC yang menunjukkan lebih baik, yaitu  1,654. Tingkat fluktuasi harga daging ayam cukup moderat, yang diindikasikan oleh nilai Coefisien Variasi (CV) 6,82. Harga broiler di tingkat produsen lebih fluktuatif dibandingkan harga daging ayam ras di tingkat konsumen. Implikasi kebijakan dari temuan penelitian ini adalah perlunya memotong rantai pasok yang terlalu panjang, memperbaiki struktur pasar ke arah struktur yang lebih kompetitif, meningkatkan keterpaduan pasar dan menjaga stabilisasi harga daging ayam.
Kinerja Berbagai Pola Usaha Pembibitan Sapi Lokal di Beberapa Daerah Pengembangan Sapi Potong Nyak Ilham; Kurnia Suci Indraningsih; Roosganda Elizabeth
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 15, No 1 (2017): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v15n1.2017.67-82

Abstract

Law No. 41/2014 deals with animal husbandry and health, supply and development of beef cattle breeding conducted by prioritizing domestic production by farmers, breeding companies and both central and local governments. One of beef cattle breeding issues in Indonesia is the concept of breeding still partially developed and not closely related with its type and dispersion in Indonesia. This paper aims to describe and characterize various business patterns of beef cattle breeding. Based on existing patterns and characteristics, breeding business has been developed in order to increase national production of beef cattle breeding. Data and information were collected from four provinces, i.e. Aceh, Central Java, Bali, and NTB. Primary data were collected through interview involving 185 respondents from various stakeholders. Data and information were analyzed through qualitative and quantitative description approach with tabulation and schemes techniques. Three types of beef cattle breeding are intensive and semi-intensive farmers’ groups, company, and government patterns. Based on each pattern, there was linkage of manufactured product utilization among the existing patterns to optimize of national beef cattle breeding system. To support this linkage, it needs synergy in various patterns of cattle beef breeding in a region where local BPTU-HPT/UPTD play a role as producers of cattle beef breed and advisers for farmers’ groups and companies in its working region. Government is expected to purchase qualified beef cattle breeding products manufactured by its advised farmers groups. AbstrakUndang-undang No 41/2014 mengatur tentang penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan, penyediaan dan pengembangan bibit sapi dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri, baik oleh peternak, perusahaan peternakan, pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota. Masalah perbibitan sapi potong di Indonesia antara lain  adalah konsep pembangunan pembibitan masih parsial, belum terkait erat baik jenis maupun sebarannya di Indonesia. Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan dan mengkarakteristikan berbagai pola usaha pembibitan sapi potong. Berdasarkan pola dan karakteristik yang ada dibuat rancang bangun pengembangan usaha pembibitan guna meningkatkan produksi bibit sapi potong nasional. Data dan informasi dikumpulkan dari empat provinsi yaitu Aceh, Jawa Tengah, Bali dan NTB. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mencakup 185 responden dari berbagai pihak terkait. Analisis data dan informasi dilakukan secara deskripsi kualitatif dan kuantitatif dengan teknik tabulasi dan skema. Ada tiga pola pembibitan sapi potong yaitu Pola KTT intensif dan semi intensif, pola perusahaan, dan pola pemerintah. Berdasarkan karakteristik masing-masing pola dapat dibuat keterkaitan pemanfaatan produk yang dihasilkan untuk merancang optimasi sistem pembibitan sapi nasional. Untuk mendukung hal itu, perlu membangun sinergitas kerja berbagai pola pembibitan sapi dalam satu kawasan regional dimana UPT/UPTD pembibitan sapi selain berperan sebagai produsen bibit sapi juga sebagai pembina pada KTT dan perusahaan dalam wilayah kerjanya. Pemerintah diharapkan berperan menjaring produk bibit sapi berkulitas yang dihasilkan oleh KTT binaannya.
Dinamika Program Swasembada Daging Sapi: Reorientasi Konsepsi dan Implementasi Ashari Ashari; Nyak Ilham; Sri Nuryanti
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 2 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v10n2.2012.181-198

Abstract

Upaya pencapaian swasembada daging sapi di Indonesia telah mengalami dinamika mulai dari konsep program, organisasi pelaksana, dokumen pendukung dan sistem pendanaan. Berbagai upaya perbaikan tersebut dilakukan untuk mencapai target swasembada daging sapi pada tahun 2014. Namun, peluang keberhasilan swasembada daging sapi 2014 pun masih dipertanyakan. Konsep program merupakan penentu efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan program. Makalah ini bertujuan untuk menelaah secara kritis tentang berbagai konsep swasembada daging sapi yang pernah dan sedang diimplementasikan pemerintah. PSDS 2014 dirancang dengan tiga skenario berdasarkan data dukung agribisnis sapi potong Indonesia, yaitu optimis, kemungkinan besar, dan pesimis. APBN merupakan sumber pendanaan PSDS 2014 namun pembagiannya belum sesuai potensi 20 provinsi pelaksana. Dana yang ada dialokasikan ke provinsi bukan prioritas serta 63,5 persen penyalurannya dalam bentuk bantuan sosial. Dengan keterbatasan dana dan waktu, implementasi PSDS 2014 seharusnya difokuskan enam kegiatan utama, yaitu: (1) pengembangan usaha pembiakan dan penggemukan sapi lokal; (2) optimalisasi IB dan INKA; (3) penyediaan dan pengembangan pakan dan air; (4) penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan keswan; (5) penyelamatan sapi betina produktif, dan (6) pengaturan stok sapi bakalan dan daging melalui pengendalian import. Upaya mengakselerasi PSDS 2014 memerlukan komitmen kuat semua pemangku kepentingan, sehingga upaya yang dilakukan dapat menuju sasaran program secara efektif dan efisien.
Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman Tebu-Sapi Potong di Jawa Timur nFN Saptana; Nyak Ilham
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 13, No 2 (2015): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v13n2.2015.147-165

Abstract

EnglishCapacity of land-based forage beef cattle farming is lim ited. Integrated sugarcane and beef cattle farming is an alternative to increase cattle population and domestic beef production. The purpose of this paper are (1) to analyze additional potential capacity of cattle through deve loping integrated sugarcane and beef cattle farming; (2) to analyze feasibility of the integrated farming system; (3) to identify principal constraints of the integrated farming system; and (4) to analyze prospect of the integrated farming system. The study was conducted in East Java Province through interviewing the respondents consisting farmers, farmer groups, and key respondents. The results showed that (1) the potential sugarcane waste of sugar mills was able to accommodate 2.86 heads of livestock units/hectare/ year, but if it did not take into acc ount the waste processed into fuel for sugar mill, then it could produce as many as 2.70 heads of livestock units/h ectare/year; (2) financially the integrated farming was profitable, i.e. Rp12.28 million/year for sugarcane farm ing and Rp9.20 million/year foo cattle farm; (4) business of the integrated farming slowly developed due to small business scale and limited farm ers’ capital. The required policies are (1) business actors’ empowerment and business scale improvement using both domestic and imported cattle; (2) enhancing roles of government and private sector as suppliers of cattle breed; (3) developing complete feed factory using local raw materials; and (4 ) improving technical guidanc e and assistance for farmers to accelerate technology adoption and subsidi zed credit access as source of capital. IndonesiaUsaha ternak sapi potong berbasis lahan untuk sumber hijauan pakan, daya tampungnya semakin terbatas. Integrasi usaha tanaman tebu dan ternak sapi potong merupakan alternatif pemecahan masalah untuk meningkatkan populasi sapi dan peningkatan produksi daging sapi domestik. Tujuan tulisan ini adalah (1) menganalisis perkiraan potensi tambahan kapasitas tampung ternak sapi potong dengan pengembangan integrasi tanaman tebu-ternak sapi; (2) menganalisis kelayakan usaha pada Sistem Integrasi Tanaman Tebu-Ternak Sapi Potong; (3) mengidentifikasi kendala pokokpengembangan Sistem Integrasi Tanaman Tebu-Ternak Sapi potong; dan (4) menganalisis prospek pengembangan Sistem Integrasi Tanaman Tebu-Sapi Potong. Penelitian dilakukan di Provinsi Jawa Timur melalui wawancara dengan responden yang terdiri dari petani, kelompok tani, dan responden kunci lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) potensi limbah tanaman tebudan industri pabrik gula (PG) mampu menampung 2,86 ekor ST/ha/tahun, namun jika tidak memperhitungkan bagas karena sudah digunakan untuk bahan bakar dalam penggilingan tebu maka dapat dikembangkan sebanyak 2,70 ekor ST/ha/tahun; (2) secara finansial sistem usaha integrasi tanaman tebu-ternak sapi menguntungkan dengan tingkat keuntungan atas biaya tunai untuk usaha tani tebu sebesar Rp12,28 juta/tahun dan usaha ternak sapi sebesar Rp9,20 juta/tahun; (3) sistem usaha integrasi tanaman-ternak sapi lambat berkembang karena adopsi teknologi masih rendah akibat skala usaha masih kecil dan modal peternak terbatas. Kebijakan pendukung yang perlu dilakukan adalah (1) meningkatkan pelaku usaha dan skala usaha dengan menggunakan sapi domestik dan impor; (2) meningkatkan peran pemerintah dan swasta sebagai pemasok sapi bibit/indukan; (3) mengembangkan industri pakan komplit berbahan baku pakan lokal;dan (4) meningkatkan bimbingan teknis dan pendampingan untuk mempercepat adopsi teknologi dan mengakses kredit bersubsidi sebagai sumber modal peternak.
KOMPARASI BIAYA PRODUKSI AYAM BROILER INDONESIA DAN BRASIL UNTUK ANTISIPASI IMPOR DAGING AYAM Nyak Ilham; Sudi Mardianto; nFN Sumedi
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 19, No 1 (2021): Analisis Kebijakan Pertanian - Juni 2021
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v19n1.2021.33-44

Abstract

Brazil is a major exporter of chicken meat in the world and is currently is trying to enter the Indonesian market. If chicken meat from Brazil succeeds in entering the Indonesian market, the national chicken industry will be affected. This study aimed to compare the competitiveness of the national and Brazilian poultry production costs. The information used was obtained from various sources, such as national dan international scientific journals reports, and media, and data from Statistics Indonesia. The information were analyzed descriptively. In 2017-2019 broiler production costs in Brazil were from IDR 9,530 to IDR 12,060, while in Indonesia were from IDR 15,465 to IDR 17,750 per kg live weight. The low production cost of Brazilian poultry was supported by this country being the main corn producer and vegetable oil in the world, a relatively large business scale, and supported by the government. In order for Indonesia to be able to compete, the national  poultry industry needs to explore the potential of local feed materials other than corn, such as cassava, palm kernel meal, crude palm oil, rice bran, as well as Black Soldier Flies as protein source. The government role needs to be focused on monitoring the quality and quantity of DOC and disease control through vaccination and application of biosecurity to reduce mortality and increase productivity. In addition, the use of Closed House System technology in cooperation with the partner breeders is expected to increase domestic poultry business scale and efficiency.AbstrakBrasil merupakan eksportir utama daging ayam di dunia dan saat ini sedang berusaha memasuki pasar Indonesia. Apabila daging ayam dari brazil berhasil masuk ke pasar Indonesia, maka industri ayam nasional akan terpengaruh. Tulisan ini bertujuan untuk membandingkan daya saing produk unggas nasional dan Brasil dari sisi biaya produksi.  Informasi yang digunakan diperoleh dari berbagai sumber, seperti jurnal ilmiah, laporan, dan media lain lingkup nasional dan intenasional, serta data dari BPS. Informasi yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Pada ytahun 2019-2019 biaya produksi ayam broiler di Brasil berkisar antara Rp9.530 – Rp12.060, sedangkan di Indonesia berkisar Rp15.465 - Rp17.750 per kg berat hidup. Rendahnya biaya produksi ini disebabkan Brasil merupakan produsen utama jagung dan minyak nabati dunia, skala usaha relatif besar, dan didukung oleh kebijakan pemerintah. Agar Indonesia dapat bersaing, hal utama yang perlu dilakukan adalah menggali potensi bahan baku pakan lokal selain jagung, seperti ketela pohon, bungkil inti sawit, crude palm oil, dan dedak padi, serta Black Soldier Flies. Peran pemerintah perlu ditingkatkan dalam pengawasan kualitas dan kuantitas DOC dan pakan yang beredar, pengendalian penyakit melalui vaksinasi dan penerapan biosecurity untuk menekan angka mortalitas dan meningkatkan produktivitas. Selain itu, penggunaan teknologi kandang tertutup pada peternak mitra dapat meningkatkan skala dan efisiensi usaha.
Kelayakan Finansial Sistem Integrasi Sawit-Sapi melalui Program Kredit Usaha Pembibitan Sapi Nyak Ilham; Handewi P. Saliem
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 4 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v9n4.2011.349-369

Abstract

Pakan merupakan faktor penting dalam usaha sapi potong. Sumber pakan potensial yang belum banyak dimanfatkan adalah lahan di bawah tanaman kelapa sawit dan limbah perkebunan dan industri kelapa sawit. Kawasan perkebunan kelapa sawit, merupakan alternatif sebagai kawasan baru pengembangan sapi potong sistem integrasi tanaman ternak. Diharapkan dukungan Program Kredit Usaha Pembibitan Sapi dapat mempercepat mendorong berbagai stakeholder untuk mengembangkan kawasan itu. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan finansial usaha sapi potong yang diintegrasikan dengan perkebunan kelapa sawit dengan berbagai pola pengusahaan ternak. Analisis di lakukan berdasarkan studi sebelumnya terkait dengan integrasi usaha ternak sapi dengan tanaman sawit. Usahatani pembibitan sapi yang diintegrasikan dengan perkebunan sawit memberikan keuntungan dengan nilai R/C berkisar 1,05 – 2,84. Secara finansial usaha tersebut layak dikembangkan dengan nilai IRR berkisar antara 21 – 29 persen, nilai B/C antara 1,35 – 2,67, dan lama pengembalian modal 4,91 – 6,4 tahun. Diharapkan pemerintah dapat lebih mendorong pihak pengusaha perkebunan terlibat sebagai avalis, fleksibilitas persyaratan perbankan dan pihak Badan Pertanahan Nasional melakukan sertifikasi untuk mendukung mengembangkan usaha pembibitan sapi yang terintegrasi dengan perkebunan sawit. 
Fluktuasi Harga Telur Ayam Ras dan Faktor Penyebabnya Nyak Ilham; nFN Saptana
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 17, No 1 (2019): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v17n1.2019.27-38

Abstract

Sharp egg price fluctuation frequently takes place due to its unstable supply. This study aimed to analyze egg price fluctuation and its determinants. Conducted from September to November 2018, data of the study were collected by interviewing officers from related agencies, breeders, associations and egg traders in West Java Province. Price fluctuation was estimated using coefficient of variation. Factors influencing egg price fluctuation was analyzed descriptively. Egg price for the last five years kept increasing. Average egg price in 2018 was higher than those in last four years. High egg price at farm level affected its retail price in Jakarta. Increased egg price was due to increases in feed and DOC prices, and decreased egg production affected by disease attacks. At the same time the demand for egg enhanced along with National Religious holidays, school vacations, and foot ball world cup shows. Biosecurity, hygienic pens, and response to disease attack need improvement. Prohibition of AGP (Antibiotic Growth Promoters) should be followed up by farmers with enhancement in good farming practices, such as reducing chicken density. Corn import ban hampers poultry industry which has a negative impact on domestic egg production. AbstrakFluktuasi harga dan pasokan telur ayam ras masih sering terjadi yang menyebabkan permasalahan bagi peternak di kala harga jatuh dan bagi konsumen pada saat harga tinggi. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis permasalahan fluktuasi harga telur ayam dan faktor-faktor penyebabnya, dilakukan pada bulan September sampai Nopember 2018. Pengumpulan data dilakukan dengan metoda wawancara kepada aparat dari beberapa instansi terkait, peternak, pengurus asosiasi, dan pedagang telur ayam ras di Provinsi Jawa Barat. Tingkat fluktuasi harga diproksi dengan nilai koefisien variasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga telur ayam ras dianalisis secara deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa harga telur selama lima tahun terkahir terus meningkat. Rata-rata harga telur ayam tahun 2018 lebih tinggi dibandingkan empat tahun sebelumnya dengan fluktuasi tinggi. Harga telur yang tinggi di sentra produksi mendorong kenaikan harga di tingkat konsumen utama di DKI Jakarta. Kenaikan harga pakan dan harga DOC menyebabkan kenaikan harga telur ayam ras. Kenaikan harga telur juga disebabkan oleh berkurangnya produksi telur akibat serangan penyakit. Pada sisi lain terjadi peningkatan permintaan terhadap telur ayam akibat adanya momen Hari Besar Keagamaan Nasional, libur sekolah, dan momen piala dunia. Dari hasil kajian ini disarankan untuk meningkatkan biosekuriti dan higienitas kandang, dan peningkatan respon untuk pengendalian penyakit. Pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promoters) sebaiknya diikuti peternak dengan perubahan pola budi daya, seperti mengurangi kepadatan kandang. Kebijakan menyetop impor jagung secara total menghambat pertumbuhan industri peternakan yang berdampak negarif pada kinerja produksi dan pasokan telur. 
Manajemen Rantai Pasok Komoditas Ternak dan Daging Sapi nFN Saptana; Nyak Ilham
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 15, No 1 (2017): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v15n1.2017.83-98

Abstract

Beef products demand keeps increasing and its domestic supply is insufficient. Domestic beef production to meet domestic demand is one of priorities in the 2015-2019 Strategic Plan of the Ministry of Agriculture. This study aims to examine feasibility of cattle business, channel supply chain, and supply chain management performance of cattle and beef commodities. The method of analysis using approaches of feasibility cattle business, supply chain channels of cattle and beef commodities, and cattle supply chain management at farmers’ level. Analysis results show that small-scale cattle fattening business on cash costs was still profitable, but its profit was lower or incurring loss if based on the total costs. Medium and large business scales were profitable and depending on the race types of cattle business. Supply channels were diverse and quite long controlled by middlemen, slaughters, and inter-regional traders/distributors. Supply chain management performance of cattle commodity was relatively well structured with low to moderate market integration. To improve the supply chain management performance, it is necessary to implement a horizontally-integrated business. In addition, it is urgent to involve small and medium-large business involvement, as well as partial vertical integration. AbstrakProduk daging sapi permintaannya terus meningkat dan belum mampu dipenuhi dari produksi domestik. Pemerintah memutuskan bahwa pemenuhan kebutuhan daging sapi menjadi salah satu prioritas utama yang tercantum dalam Renstra Kementerian Pertanian 2015-2019. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelayakan usaha ternak sapi pada berbagai skala usaha, saluran rantai pasok, dan kinerja manajemen rantai pasok komoditas ternak sapi dan daging sapi. Metode analisis menggunakan analisis kelayakan usaha ternak sapi, saluran rantai pasok komoditas ternak dan daging sapi, serta manajemen rantai pasok ternak sapi di tingkat peternak. Hasil kajian menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi skala kecil atas biaya tunai masih menguntungkan, namun jika berdasarkan atas biaya total keuntungannya menjadi turun bahkan merugi. Pada usaha skala menengah dan besar memberikan keuntungan yang bervariasi dari moderat hingga tinggi tergantung pada ras sapi yang diusahakan. Saluran rantai pasok sangat beragam dan cukup panjang dengan peran utama pedagang pengumpul antar desa/kecamatan dan pedagang pemotong/pejagal, dan pedagang antar daerah/distributor. Kinerja manajemen rantai pasok komoditas ternak sapi menunjukkan bahwa  tipe struktur pengelolaan rantai pasok ternak dan daging sapi tergolong kategori “keterkaitan pasar” dengan tingkat kinerja pada level rendah hingga moderat. Implikasi kebijakan untuk meningkatkan kinerja manajemen rantai pasok dapat dilakukan melalui usaha yang terintegrasi secara horizontal, meningkatkan kinerja penerapan manajemen rantai pasok dengan melibatkan usaha skala kecil dan menengah/besar, dan meningkatkan integrasi vertikal secara parsial ke arah lebih holistik. 
PENGEMBANGAN USAHA INTEGRASI SAWIT SAPI: DUKUNGAN LEGISLASI DAN STAKEHOLDER Nyak Ilham; nFN Ashari; IGAP Mahendri; S. Wulandari
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 39, No 1 (2021): Forum penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v39n1.2021.1-9

Abstract

The area of oil palm plantations is now reaching 14.7 million hectares, and it is an opportunity for Indonesia to develop an integrated beef cattle industry with the oil-palm integrated system. However, the development of this system is not yet massive. The problem among others is the plantation area owned by the smallholder farmers which is not sufficient for grazing area. To formulate concentrate feeds for the cattle, farmers need supports from palm oil processing companies for its raw materials. This paper is prepared as a literature review aimed at analyzing the prospects and constraints, legal aspects, and stakeholders' role in developing cattle-oil palm integration. This paper concludes that there is ample opportunity to develop an oil palm-cattle integration system. Furthermore, oil palm industry development requires legal aspects, the number of farmers and companies, and the organizations. A policy is needed to develop an oil palm-cattle integration system, coordinated by the Coordinating Ministry for Economic Affairs. The needed policies among others organizing smallholders involved in the integration system for easier access to technologies, extension, livestock health services, and access to feed raw materials such as palm kernel cake and sludge. Sustainability of oil palm-cattle integration efforts in the regions is needed to extend the status of current regulations regarding the integration system from Governor and Regency Regulations into Regional Regulations.
Spreading Of Avian Flu On Duck And Its Impact On Social Economy: Lesson Learnt From Avian Flu Cases On Chicken Nyak Ilham
WARTAZOA, Indonesian Bulletin of Animal and Veterinary Sciences Vol 23, No 2 (2013): JUNE 2013
Publisher : Indonesian Center for Animal Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (683.502 KB) | DOI: 10.14334/wartazoa.v23i2.718

Abstract

Bird flu disease that attacks duck dismissed the notion of duck immune to bird flu disease. Learning from the experience ofbird flu disease that attacks poultry in the year of 2004-2005, necessary to measure the spread of disease prevention bird flu in ducks. This paper aims to describe the business and trade patterns of duck associated with the spread of avian influenza and predict the socio-economic impact of bird flu on duck farms in Indonesia. Duck rearing patterns mostly are in the extensive and semi-intensive system, that have large potential disease transmission occured between duck and wild. Illegal trade in the crossborder region and imports from countries that re-export it, ias alo become potential as well as the entry point to the bird flu virus in Indonesia. Ducks trade between regions by land transportation is difficult to control as well becomes the potential media to spread of the virus to a wider area. The economic impact of bird flu on duck business occured due to the death of ducks, decline in production and loss of job opportunities, while that on demand reduction was not significant. Small scale farmers that were bankrupt as a result of bird flu outbreaks may require technical assistance and access to capital for recovery. In the future, development of ducks business should be directed at duck farms into a semi-intensive and intensive system to facilitate the control of epidemic diseases.Key words: Bird flu, ducks, impact, social economic