nFN Saptana
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Published : 15 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Evaluasi Kebijakan Tujuh Gema Revitalisasi dalam Pembangunan Pertanian nFN Saptana; Muhammad Iqbal; Ahmad Makky Ar-Rozi
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 11, No 2 (2013): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v11n2.2013.107-127

Abstract

Pertanian untuk pembangunan menjadi isu hangat sepanjang sejarah kehidupan manusia. Dalam tataran impelementasi kebijakan terutama di negara-negara berkembang sering terjadi kebijakan yang salah kelola sehingga pembangunan pertanian tidak berjalan seperti yang diharapkan. Kementerian Pertanian menetapkan 7 Gema Revitalisasi Pertanian dalam rangka mencapai empat target pembangunan pertanian, yaitu revitalisasi lahan, revitalisasi perbenihan dan perbibitan, revitalisasi sumber daya pertanian, revitalisasi pembiayaan, revitalisasi kelembagaan petani, dan revitalisasi di bidang teknologi dan industri hilir. Kinerja implementasi revitalisasi pertanian meskipun sudah menunjukkan kinerja yang cukup baik terutama dari peningkatan produksi pangan, namun masih menghadapi permasalahan-permasalahan pokok adalah baik teknis, ekonomi, maupun sosial kelembagaan. Kebijakan revitalisasi pertanian memerlukan penyempurnaan, baik dalam aspek teknis, kelembagaan pengelola, pelaku usaha, dukungan pendanaan, dan aspek sosial budaya, serta ekosistem pertanian. Harus ada konsistensi antara yang diformulasikan dalam rumusan kebijakannya dengan implementasinya di lapangan. Kesadaran dan tanggung jawab bersama dalam politik pangan, semangat nasionalisme, dan kebijakan yang berpihak kepada petani dan produksi dalam negeri hendaknya mewarnai seluruh kebijakan pembangunan pertanian.
Dampak Kebijakan Pemerintahan DKI di Bidang Perunggasan terhadap Ketersediaan Ayam di DKI Jakarta Arief Daryanto; nFN Saptana
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 3 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v9n3.2011.219-236

Abstract

Kebijakan Pemerintah Daerah DKI Jakarta yang dituangkan melalui Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2007, tanggal 24 April 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas diperkirakan akan memiliki dampak yang bersifat positif maupun negatif bagi pelaku bisnis ayam ras pedaging (broiler). Tulisan ini ditujukan untuk melihat dampak kebijakan Pemda DKI Jakarta terhadap ketersediaan ayam di wilayah DKI Jakarta. Dampak Perda No. 4 Tahun 2007 yang diimplementasikan pada Januari 2010 antara lain adalah menurunnya jumlah pasokan ayam dari daerah pemasok ke pusat-pusat pasar di Wilayah DKI Jakarta, dari 804,44 ribu ekor menjadi hanya sekitar 604,44 ribu ekor atau turun sebesar 200 ribu ekor per hari. Fenomena kelangkaan daging ayam dan lonjak harga di pasar-pasar wilayah DKI Jakarta tersebut baik pada periode sebelum maupun sesudah Perda DKI bersifat temporal terutama pada hari-hari besar keagamaan, terutama menjelang puasa dan Hari Raya Idul Fitri. Peraturan daerah ini telah menjadi pemicu kelangkaan dan lonjak harga yang lebih tinggi. Beberapa strategi dalam menjamin ketersediaan daging ayam di wilayah DKI Jakarta dapat dilakukan dengan menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan di wilayah DKI Jakarta, meningkatkan kelancaran arus distribusi dari daerah pemasok utama ke pusat-pusat pasar di wilayah DKI-Jakarta, dan upaya stabilisasi harga daging ayam ras pedaging (broiler).
Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman Tebu-Sapi Potong di Jawa Timur nFN Saptana; Nyak Ilham
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 13, No 2 (2015): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v13n2.2015.147-165

Abstract

EnglishCapacity of land-based forage beef cattle farming is lim ited. Integrated sugarcane and beef cattle farming is an alternative to increase cattle population and domestic beef production. The purpose of this paper are (1) to analyze additional potential capacity of cattle through deve loping integrated sugarcane and beef cattle farming; (2) to analyze feasibility of the integrated farming system; (3) to identify principal constraints of the integrated farming system; and (4) to analyze prospect of the integrated farming system. The study was conducted in East Java Province through interviewing the respondents consisting farmers, farmer groups, and key respondents. The results showed that (1) the potential sugarcane waste of sugar mills was able to accommodate 2.86 heads of livestock units/hectare/ year, but if it did not take into acc ount the waste processed into fuel for sugar mill, then it could produce as many as 2.70 heads of livestock units/h ectare/year; (2) financially the integrated farming was profitable, i.e. Rp12.28 million/year for sugarcane farm ing and Rp9.20 million/year foo cattle farm; (4) business of the integrated farming slowly developed due to small business scale and limited farm ers’ capital. The required policies are (1) business actors’ empowerment and business scale improvement using both domestic and imported cattle; (2) enhancing roles of government and private sector as suppliers of cattle breed; (3) developing complete feed factory using local raw materials; and (4 ) improving technical guidanc e and assistance for farmers to accelerate technology adoption and subsidi zed credit access as source of capital. IndonesiaUsaha ternak sapi potong berbasis lahan untuk sumber hijauan pakan, daya tampungnya semakin terbatas. Integrasi usaha tanaman tebu dan ternak sapi potong merupakan alternatif pemecahan masalah untuk meningkatkan populasi sapi dan peningkatan produksi daging sapi domestik. Tujuan tulisan ini adalah (1) menganalisis perkiraan potensi tambahan kapasitas tampung ternak sapi potong dengan pengembangan integrasi tanaman tebu-ternak sapi; (2) menganalisis kelayakan usaha pada Sistem Integrasi Tanaman Tebu-Ternak Sapi Potong; (3) mengidentifikasi kendala pokokpengembangan Sistem Integrasi Tanaman Tebu-Ternak Sapi potong; dan (4) menganalisis prospek pengembangan Sistem Integrasi Tanaman Tebu-Sapi Potong. Penelitian dilakukan di Provinsi Jawa Timur melalui wawancara dengan responden yang terdiri dari petani, kelompok tani, dan responden kunci lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) potensi limbah tanaman tebudan industri pabrik gula (PG) mampu menampung 2,86 ekor ST/ha/tahun, namun jika tidak memperhitungkan bagas karena sudah digunakan untuk bahan bakar dalam penggilingan tebu maka dapat dikembangkan sebanyak 2,70 ekor ST/ha/tahun; (2) secara finansial sistem usaha integrasi tanaman tebu-ternak sapi menguntungkan dengan tingkat keuntungan atas biaya tunai untuk usaha tani tebu sebesar Rp12,28 juta/tahun dan usaha ternak sapi sebesar Rp9,20 juta/tahun; (3) sistem usaha integrasi tanaman-ternak sapi lambat berkembang karena adopsi teknologi masih rendah akibat skala usaha masih kecil dan modal peternak terbatas. Kebijakan pendukung yang perlu dilakukan adalah (1) meningkatkan pelaku usaha dan skala usaha dengan menggunakan sapi domestik dan impor; (2) meningkatkan peran pemerintah dan swasta sebagai pemasok sapi bibit/indukan; (3) mengembangkan industri pakan komplit berbahan baku pakan lokal;dan (4) meningkatkan bimbingan teknis dan pendampingan untuk mempercepat adopsi teknologi dan mengakses kredit bersubsidi sebagai sumber modal peternak.
Kemandirian Pangan Berbasis Pengembangan Masyarakat: Pelajaran dari Program Pidra, SPFS, dan Desa Mapan di Nusa Tenggara Timur dan Jawa Barat nFN Saptana; Wahyuning K. Sejati; I Wayan Rusastra
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 12, No 2 (2014): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v12n2.2014.119-141

Abstract

Tantangan untuk mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan dihadapkan pada tingginya pertumbuhan permintaan pangan, sedangkan pertumbuhan produksi atau penyediaannya lebih lambat. Makalah ini ditujukan untuk mengkaji kemandirian pangan berbasis masyarakat. Berdasarkan hasil kajian terhadap program ketahanan pangan dan penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat diperoleh beberapa temuan pokok sebagai berikut: (a) perluasan cakupan kegiatan usaha, yang tidak hanya sebatas aktivitas ekonomi usahatani primer, namun melakukan kegiatan nonfarm yang menghasilkan nilai ekonomi tinggi; (b) percepatan transformasi struktural ekonomi dari basis pertanian primer ke arah pengembangan agroindustri berbahan baku setempat; (c) fokus pembangunan pertanian dan agroindustri di perdesaan tanpa mengabaikan keterkaitannya dengan sektor nonpertanian di perkotaan; (d) melakukan percepatan integrasi ekonomi desa-kota; (e) pentingnya mendorong pertumbuhan ekonomi perdesaan, peningkatan kapasitas dan akses masyarakat desa terhadap kegiatan ekonomi produktif, pendekatan multisektoral melalui pemberdayaan berbasis komunitas; dan (f) sinergi dan harmonisasi BLT/Raskin/JPS dalam program ketahanan pangan. Eksistensi dan antisipasi program pengembangan kemandirian pangan berbasis masyarakat menunjukkan bahwa: (a) kerangka dasar program telah mengarah pada paradigma baru pengembangan masyarakat berbasis komunitas dan dalam masa transisi berbasis nilai tambah ekonomi; (b) peningkatan pembangunan kapasitas masyarakat lokal perlu dikomplementasi dengan akses terhadap sumber-sumber ekonomi secara lebih luas; (c) pemantapan pembangunan infrastruktur dan program lintas sektoral dilakukan secara terintegrasi dalam memacu pertumbuhan ekonomi perdesaan; dan (d) percepatan transformasi struktural dan integrasi ekonomi desa-kota. Implikasi kebijakan penting dalam program kemandirian pangan berbasis masyarakat harus dilakukan melalui pendekatan kelompok usaha, melalui proses sosial yang matang, dan adanya keterpaduan antar kegiatan usaha yang dikembangkan pada kelompok sasaran tersebut.
Fluktuasi Harga Telur Ayam Ras dan Faktor Penyebabnya Nyak Ilham; nFN Saptana
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 17, No 1 (2019): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v17n1.2019.27-38

Abstract

Sharp egg price fluctuation frequently takes place due to its unstable supply. This study aimed to analyze egg price fluctuation and its determinants. Conducted from September to November 2018, data of the study were collected by interviewing officers from related agencies, breeders, associations and egg traders in West Java Province. Price fluctuation was estimated using coefficient of variation. Factors influencing egg price fluctuation was analyzed descriptively. Egg price for the last five years kept increasing. Average egg price in 2018 was higher than those in last four years. High egg price at farm level affected its retail price in Jakarta. Increased egg price was due to increases in feed and DOC prices, and decreased egg production affected by disease attacks. At the same time the demand for egg enhanced along with National Religious holidays, school vacations, and foot ball world cup shows. Biosecurity, hygienic pens, and response to disease attack need improvement. Prohibition of AGP (Antibiotic Growth Promoters) should be followed up by farmers with enhancement in good farming practices, such as reducing chicken density. Corn import ban hampers poultry industry which has a negative impact on domestic egg production. AbstrakFluktuasi harga dan pasokan telur ayam ras masih sering terjadi yang menyebabkan permasalahan bagi peternak di kala harga jatuh dan bagi konsumen pada saat harga tinggi. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis permasalahan fluktuasi harga telur ayam dan faktor-faktor penyebabnya, dilakukan pada bulan September sampai Nopember 2018. Pengumpulan data dilakukan dengan metoda wawancara kepada aparat dari beberapa instansi terkait, peternak, pengurus asosiasi, dan pedagang telur ayam ras di Provinsi Jawa Barat. Tingkat fluktuasi harga diproksi dengan nilai koefisien variasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga telur ayam ras dianalisis secara deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa harga telur selama lima tahun terkahir terus meningkat. Rata-rata harga telur ayam tahun 2018 lebih tinggi dibandingkan empat tahun sebelumnya dengan fluktuasi tinggi. Harga telur yang tinggi di sentra produksi mendorong kenaikan harga di tingkat konsumen utama di DKI Jakarta. Kenaikan harga pakan dan harga DOC menyebabkan kenaikan harga telur ayam ras. Kenaikan harga telur juga disebabkan oleh berkurangnya produksi telur akibat serangan penyakit. Pada sisi lain terjadi peningkatan permintaan terhadap telur ayam akibat adanya momen Hari Besar Keagamaan Nasional, libur sekolah, dan momen piala dunia. Dari hasil kajian ini disarankan untuk meningkatkan biosekuriti dan higienitas kandang, dan peningkatan respon untuk pengendalian penyakit. Pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promoters) sebaiknya diikuti peternak dengan perubahan pola budi daya, seperti mengurangi kepadatan kandang. Kebijakan menyetop impor jagung secara total menghambat pertumbuhan industri peternakan yang berdampak negarif pada kinerja produksi dan pasokan telur. 
Manajemen Rantai Pasok Komoditas Ternak dan Daging Sapi nFN Saptana; Nyak Ilham
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 15, No 1 (2017): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v15n1.2017.83-98

Abstract

Beef products demand keeps increasing and its domestic supply is insufficient. Domestic beef production to meet domestic demand is one of priorities in the 2015-2019 Strategic Plan of the Ministry of Agriculture. This study aims to examine feasibility of cattle business, channel supply chain, and supply chain management performance of cattle and beef commodities. The method of analysis using approaches of feasibility cattle business, supply chain channels of cattle and beef commodities, and cattle supply chain management at farmers’ level. Analysis results show that small-scale cattle fattening business on cash costs was still profitable, but its profit was lower or incurring loss if based on the total costs. Medium and large business scales were profitable and depending on the race types of cattle business. Supply channels were diverse and quite long controlled by middlemen, slaughters, and inter-regional traders/distributors. Supply chain management performance of cattle commodity was relatively well structured with low to moderate market integration. To improve the supply chain management performance, it is necessary to implement a horizontally-integrated business. In addition, it is urgent to involve small and medium-large business involvement, as well as partial vertical integration. AbstrakProduk daging sapi permintaannya terus meningkat dan belum mampu dipenuhi dari produksi domestik. Pemerintah memutuskan bahwa pemenuhan kebutuhan daging sapi menjadi salah satu prioritas utama yang tercantum dalam Renstra Kementerian Pertanian 2015-2019. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelayakan usaha ternak sapi pada berbagai skala usaha, saluran rantai pasok, dan kinerja manajemen rantai pasok komoditas ternak sapi dan daging sapi. Metode analisis menggunakan analisis kelayakan usaha ternak sapi, saluran rantai pasok komoditas ternak dan daging sapi, serta manajemen rantai pasok ternak sapi di tingkat peternak. Hasil kajian menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi skala kecil atas biaya tunai masih menguntungkan, namun jika berdasarkan atas biaya total keuntungannya menjadi turun bahkan merugi. Pada usaha skala menengah dan besar memberikan keuntungan yang bervariasi dari moderat hingga tinggi tergantung pada ras sapi yang diusahakan. Saluran rantai pasok sangat beragam dan cukup panjang dengan peran utama pedagang pengumpul antar desa/kecamatan dan pedagang pemotong/pejagal, dan pedagang antar daerah/distributor. Kinerja manajemen rantai pasok komoditas ternak sapi menunjukkan bahwa  tipe struktur pengelolaan rantai pasok ternak dan daging sapi tergolong kategori “keterkaitan pasar” dengan tingkat kinerja pada level rendah hingga moderat. Implikasi kebijakan untuk meningkatkan kinerja manajemen rantai pasok dapat dilakukan melalui usaha yang terintegrasi secara horizontal, meningkatkan kinerja penerapan manajemen rantai pasok dengan melibatkan usaha skala kecil dan menengah/besar, dan meningkatkan integrasi vertikal secara parsial ke arah lebih holistik. 
Kebijakan Harga Beras Ditinjau dari Dimensi Penentu Harga nFN Hermanto; nFN Saptana
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 35, No 1 (2017): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v35n1.2017.31-43

Abstract

Rice is a staple food for most of Indonesian and becoming a quasi-public commodity. The government of Indonesia is implementing rice price policies in achieving domestic rice price stability. Floor price policy aims at protecting farm-gate price, while ceiling price aims at protecting price at consumers’ level. This paper aims to discuss a conceptual review of rice price policies. The current rice price policies lead to policies that take into account some dimensions of the determining factors, namely the dimensions of products, varieties, qualities, and levels in marketing chain. Existing rice price policies were governed by the segmented regulations. A comprehensive rice price policy is required to improve effectiveness and efficiency of the policies. It is necessary to formulate a policy capable of harmonizing the relationship between producer farmers, processing industries, marketing institutions, and consumers in a supply chain system.  AbstrakBeras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia, sehingga beras merupakan komoditas kuasi publik yang memiliki nilai strategis, baik dari aspek ekonomi, lingkungan hidup, sosial, dan politik. Dalam upaya mewujudkan stabilitas harga gabah/beras, pemerintah menerapkan kebijakan harga dasar dan harga maksimum. Harga dasar ditujukan untuk melindungi petani sebagai produsen dari jatuhnya harga gabah saat panen raya, sedangkan harga maksimum ditujukan untuk melindungi konsumen terutama dari lonjakan harga saat musim paceklik. Tulisan ini bertujuan untuk membahas tinjauan konseptual kebijakan harga gabah/beras kaitannya dengan beberapa dimensi penentu harga gabah/beras. Kebijakan harga gabah/beras pada saat ini sudah mengarah pada kebijakan harga yang memperhatikan dimensi perbedaan bentuk, jenis, kualitas, dan tingkatan dalam rantai pasar, namun belum memperhatikan dimensi musim panen. Kebijakan harga tersebut juga masih diatur dalam peraturan dan perundangan yang terpisah pisah. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas di dalam mengimplementasikan kebijakan stabilisasi harga beras diperlukan kebijakan harga gabah/beras yang komprehensif. Untuk itu perlu dirumuskan suatu kebijakan yang mampu melakukan harmonisasi hubungan antara petani produsen, industri pengolahan, lembaga pemasaran, hingga ke tingkat konsumen dalam suatu rantai pasok dan rantai nilai tambah yang efisien dan memberikan keuntungan yang wajar bagi masing-masing pihak. 
Peran Wirausaha Pertanian dalam Menghadapi Era Disrupsi Inovasi Atika Dyah Perwita; nFN Saptana
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 37, No 1 (2019): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v37n1.2019.41-58

Abstract

Changes in strategic environment of economic globalization including disruptive innovation require agribusiness actors’ view adjustment. This paper discusses role of agri-entrepreneurs dealing with distrubictive innovation in agriculture. There are three elements of disrupsi innovation, i.e. (i) improvement levels acceptable to customer; (ii) improvement path when new agricultural commodities are introduced and refined through technological innovations; (iii) importance of different understanding between continuous and disruption innovations. Professional managers are encouraged to grow a new business expected to compete with the established ones. Agricultural business models for the upper-middle class consumers run by young entrepreneur produce new products with premium prices but the sale volume is limited. It is important to inspire young agri- entrepreneurs who accustomed to disrupted innovation to develop business based on their goals and market segments. AbstrakPerubahan lingkungan strategis berupa globalisasi ekonomi termasuk disrupsi inovasi memerlukan cara pandang baru pelaku usaha agribisnis. Tulisan ini membahas peran kewirausahaan agribisnis menghadapi era disrupsi inovasi. Ada tiga unsur disrupsi inovasi yang penting, yaitu: (i) tingkatan penyempurnaan yang dapat diterima oleh pelanggan; (2) jalur untuk penyempurnaan melalui terobosan inovasi; (iii) pemahaman yang berbeda antara inovasi berkelanjutan dan disrupsi inovasi. Para manajer profesional didorong untuk menumbuhkan bisnis baru yang dapat bersaing dengan bisnis yang telah mapan. Para wirausahawan muda menjalankan model bisnis pertanian dengan sasaran konsumen golongan ekonomi menengah-atas dengan introduksi komoditas kualitas prima dan harga premium, namun volume pasar terbatas. Implikasinya adalah perlu menyiapkan wirausaha pertanian muda yang memahami disrupsi inovasi untuk menghasilkan produk pertanian berdasarkan tujuan dan segmen pasarnya.
Potensi Pemanfaatan Kearifan Lokal untuk Menahan Konversi Lahan Sawah ke Nonsawah Kartika Sari Septanti; nFN Saptana
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 37, No 1 (2019): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v37n1.2019.59-75

Abstract

Lowland conversion to non-agriculture use improves along with economic growth. Various attempts have been exerted by the government to reduce lowland conversion. Local wisdoms throughout the regions in the country are potential to control lowland conversion. This paper aims to explore the role of local wisdoms in Indonesia and other countries in controlling lowland conversion. Some local wisdoms in Indonesia potentials for lowland conversion control are : tunggu tubang, mundang biniak, oloran sawah, Suku Samin, Buyut Cili, tradisi Ngarot, Kasepuhan Sinar Resmi, Suku Baduy, Subak, Suku Dayak, and pangale hutan. Some measures to take for empowering those local wisdoms, are: (i) incorporating local wisdoms into school education curriculum; (ii) developing a community-based natural resource management system, namely increasing participation of local people in land resource management. AbstrakKonversi lahan sawah ke nonsawah marak terjadi seiring pesatnya pertumbuhan ekonomi. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menekan laju konversi lahan sawah ke nonsawah, namun belum menunjukkan hasil yang optimal. Indonesia memiliki kekayaan kearifan lokal yang tersebar di seluruh nusantara yang berpotensi menghambat tingginya laju konversi lahan sawah ke nonsawah. Tulisan ini membahas kearifan lokal di Indonesia serta di beberapa negara yang telah dan akan dikembangkan untuk mempertahankan lahan sawah. Beberapa contoh kearifan lokal di Indonesia antara lain: tunggu tubang, mundang biniak, oloran sawah, Suku Samin, Buyut Cili, tradisi Ngarot, Kasepuhan Sinar Resmi, Suku Baduy, Subak, Suku Dayak, dan pangale hutan. Tantangan kearifan lokal pada masa depan semakin berat karena adanya pertumbuhan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, serta perubahan sosial masyarakat yang mendesak lunturnya nilai-nilai kearifan lokal. Beberapa strategi untuk mempertahankan kearifan lokal dapat dilakukan dengan cara: (1) memasukkan ke dalam kurikulum pendidikan;  (2) mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas, yaitu peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya lahan.
Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman Tebu-Sapi Potong di Jawa Timur nFN Saptana; Nyak Ilham
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 13, No 2 (2015): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v13n2.2015.147-165

Abstract

EnglishCapacity of land-based forage beef cattle farming is lim ited. Integrated sugarcane and beef cattle farming is an alternative to increase cattle population and domestic beef production. The purpose of this paper are (1) to analyze additional potential capacity of cattle through deve loping integrated sugarcane and beef cattle farming; (2) to analyze feasibility of the integrated farming system; (3) to identify principal constraints of the integrated farming system; and (4) to analyze prospect of the integrated farming system. The study was conducted in East Java Province through interviewing the respondents consisting farmers, farmer groups, and key respondents. The results showed that (1) the potential sugarcane waste of sugar mills was able to accommodate 2.86 heads of livestock units/hectare/ year, but if it did not take into acc ount the waste processed into fuel for sugar mill, then it could produce as many as 2.70 heads of livestock units/h ectare/year; (2) financially the integrated farming was profitable, i.e. Rp12.28 million/year for sugarcane farm ing and Rp9.20 million/year foo cattle farm; (4) business of the integrated farming slowly developed due to small business scale and limited farm ers’ capital. The required policies are (1) business actors’ empowerment and business scale improvement using both domestic and imported cattle; (2) enhancing roles of government and private sector as suppliers of cattle breed; (3) developing complete feed factory using local raw materials; and (4 ) improving technical guidanc e and assistance for farmers to accelerate technology adoption and subsidi zed credit access as source of capital. IndonesiaUsaha ternak sapi potong berbasis lahan untuk sumber hijauan pakan, daya tampungnya semakin terbatas. Integrasi usaha tanaman tebu dan ternak sapi potong merupakan alternatif pemecahan masalah untuk meningkatkan populasi sapi dan peningkatan produksi daging sapi domestik. Tujuan tulisan ini adalah (1) menganalisis perkiraan potensi tambahan kapasitas tampung ternak sapi potong dengan pengembangan integrasi tanaman tebu-ternak sapi; (2) menganalisis kelayakan usaha pada Sistem Integrasi Tanaman Tebu-Ternak Sapi Potong; (3) mengidentifikasi kendala pokokpengembangan Sistem Integrasi Tanaman Tebu-Ternak Sapi potong; dan (4) menganalisis prospek pengembangan Sistem Integrasi Tanaman Tebu-Sapi Potong. Penelitian dilakukan di Provinsi Jawa Timur melalui wawancara dengan responden yang terdiri dari petani, kelompok tani, dan responden kunci lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) potensi limbah tanaman tebudan industri pabrik gula (PG) mampu menampung 2,86 ekor ST/ha/tahun, namun jika tidak memperhitungkan bagas karena sudah digunakan untuk bahan bakar dalam penggilingan tebu maka dapat dikembangkan sebanyak 2,70 ekor ST/ha/tahun; (2) secara finansial sistem usaha integrasi tanaman tebu-ternak sapi menguntungkan dengan tingkat keuntungan atas biaya tunai untuk usaha tani tebu sebesar Rp12,28 juta/tahun dan usaha ternak sapi sebesar Rp9,20 juta/tahun; (3) sistem usaha integrasi tanaman-ternak sapi lambat berkembang karena adopsi teknologi masih rendah akibat skala usaha masih kecil dan modal peternak terbatas. Kebijakan pendukung yang perlu dilakukan adalah (1) meningkatkan pelaku usaha dan skala usaha dengan menggunakan sapi domestik dan impor; (2) meningkatkan peran pemerintah dan swasta sebagai pemasok sapi bibit/indukan; (3) mengembangkan industri pakan komplit berbahan baku pakan lokal;dan (4) meningkatkan bimbingan teknis dan pendampingan untuk mempercepat adopsi teknologi dan mengakses kredit bersubsidi sebagai sumber modal peternak.