I Gede Artha
Unknown Affiliation

Published : 34 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 34 Documents
Search

FORMULATIF POLICY REMEDIES INDEPENDENT DECISION OF PUBLIC PROSECUTOR FOR PERSPECTIVE IN THE CRIMINAL JUSTICE SYSTEM OF INDONESIA I Gede Artha
Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Doktor Ilmu Hukum 2013
Publisher : Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (309.568 KB)

Abstract

ABSTRACTThis dissertation is a research of acquital (vrijspraak)in some criminal cases that were made by the judge, and related with the law effort of appellate and cassation. Due process of law in criminal justice of Indonesia tends to be notgiving satisfaction for the justice seekers. The many amount of criminal casesthat get acquital (vrijspraak) such as the cases of corruption, narcotic, murder, and others got opinion and contra from broad society. The practitioners andtheoreticians of law and so does the justice seekers often spotlight the judge’sverdict which is judged as the engineering of justice, full of mafia andfraudulence. The Procedure of Criminal of Indonesia based on the Criminal Code stills seem to contain disharmony of law norms such as not to give the authority to general prosecutor to submit law effort of appellate and cassation upon the acquital (vrijspraak) as written in the Article 67 and Article 244 of Criminal Code, so it creates the disharmony or injustice in the existing law norms about the acquital (vrijspraak) arrangement, it seems that there is an empty norm, even there is a blur norm in the procedure of criminal with Criminal Code as the basis. This research has purpose to give solution upon disharmony that happen in the acquital (vrijspraak) and its law effort for the general prosecutor. Beside that, it also gives a scientifically input for the theoreticians and practitioners. In studying of this acquital (vrijspraak), it uses some approaches, such as the statute approach, the analytical and conceptual approach, the case approach, the comparative approach, and the philosophical approach. The source of the researched law materials related with the primary, secondary, and tertiary law material. The future perspective of acquital (vrijspraak) arrangement construction related to appellate is: “To criminal case verdict given in the first stage court, the defendant or the general prosecutor is able and or has authority to submit the appellate request to the high court including for free verdict”. And the construction of article for acquital (vrijspraak) for cassation is: “To the criminal case verdict given in the last stage by other court except the Supreme Court, the defendant or general prosecutor is able and or has authority to submit the request for cassation to the Supreme Court including the acquital (vrijspraak)”.Key words: formulation policy, acquital, procecutor, criminal justice system.
SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI Etik Jamsianah; I Gede Artha; Ni Nengah Adiyaryani
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 1 No 01 (2012)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

KUHAP is not formulating clearly what it means with the termination ofinvestigationbut instead only providing the formulation regarding theinvestigation only. Besides theregulation regarding the procedure oftermination of prosecution has been arranged moredetail and clearer, whileregarding the termination of investigation the regulation is notcomplete.However, it can be formulated that the termination of investigation is theaction ofinvestigator to cease the investigation of an event allegedly to be acriminal act, due to “makeit clear that an event is allegedly and to determinea subject as the suspect that there is notenough evidence or from aninvestigation it is found that the event is not a criminal act or theinvestigationis terminated for the sake of law”. It is stated in KUHAP article 109subsection(2). In contrast to Public Prosecutor and Police Department as aninvestigator of a criminalact, Corruption Eradication Commission (KPK)agency which is the institution or state’sagency formed by the Law No.30year 2002 regarding Criminal Act of Corruption EradicationCommission isnot authorized to issue a Warrant of Investigation Termination (SP3) in eachofthe investigation conducted. It has been confirmed in Article 40 the LawNo.30 year 2002regarding Criminal Act of Corruption EradicationCommission.
ANALISIS YURIDIS MENGENAI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA GRATIFIKASI SEKS DITINJAU DARI UU No. 31 TAHUN 1999 Jo UU No 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Nik Mirah Mahardani; I Gede Artha
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 05, No. 02, Februari 2016
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Judul dari penulisan jurnal ini adalah Analisis Yuridis mengenai pertanggungjawaban pidana pada grafitikasi seks dari perspektif UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun masalah yang diangkat adalah pemahaman dan pengertian tentang gratifikasi serta analisis mengenai pertanggungjawaban gratifikasi seks. Metode yang digunakan ialah metode penelitian hukum normatif yaitu norma kabur. Hasil dari analisa dari tulisan ini adalah, gratifikasi yang tidak diperbolehkan hanya klasifikasi gratifikasi pada penjelasan Pasal 12B ayat (1) saja, pada penjelasan pasal tersebut tidak disebutkan gratifikasi seks sebagai salah satu klasifikasi gratifikasi, dan juga tidak termasuk dalam gratifikasi “fasilitas lainya” karena jika di analisis berdasarkan pembuktian, gratifikasi seks tidak dapat diukur nilainya diatas Rp 10.000.000,00 atau dibawah Rp. 10.000.000,00. Kesimpulan dari tulisan ini adalah Pasal 12B ayat (1) tidak dapat mengakomodir jika adanya fenomena gratifikasi seks karena ketidak jelasan pengaturannya dan hal ini menyebabkan tersendatnya dalam hal pembuktian yang akan beruntun pada penjatuhan sanksi dan pertanggungjawaban.
PENERAPAN PIDANA ADAT TERHADAP PELAKU YANG MELAKUKAN PELANGGARAN ADAT Gede Agus Engga Suryawan Sudirga; I Gede Artha
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 7 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Negara Indonesia hingga saat ini masih menggunakan kitab undang-undang hukum pidana sebagai sumber hukum pidana. Padahal KUHP sendiri merupakan warisan dari Kolonial Belanda. Jauh sebelum adanya KUHP di Indonesia sudah terdapat norma hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum adat. Dalam hukum adat sendiri terdapat pengaturan mengenai sanksi adat yang akan diterima apabila pelaku melakukan pelanggaran adat.. Oleh sebab itu diperlukan suatu pembaharuan hukum pidana dengan langkah menggali nilai-nilai adat istiadat setempat, agar tercipta suatu produk hukum pidana yang selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan suatu masalah yaitu: bagaimana kedudukan pidana dalam hukum postif di Indonesia? Dan Bagaimana penerapan pidana adat berdasarkan rancangan kitab undang-undang hukum pidana tahun 2019?.Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian yang digunakan meggunakan metode normatif berdasarkan pendekatan perundang-undangan. Sehingga diperoleh jawaban bahwa secara yutidis kedudukan pidana adat diatur dalam pasal 18 b ayat )2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 5 ayat (3) sub b UU No. 1 Drt/1951 serta Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, sedangkan pengakuan pidana adat dalam R-KUHP tahun 2019 mendapatkan pengaturan pada BAB XXXIII Pasal 597 tentang tindak pidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Ganjaran hukuman yang akan diterima bila melakukan pelanggaran adat yaitu pemenuhan kewajiban adat setempat. Kata Kunci : Pidana, Pidana Adat, Pelanggaran
KONSEPSI PRAPENUNTUTAN BERDASARKAN KUHAP Putu Tresna Nararya Indranugraha; I Gede Artha
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Prapenuntutan merupakan salah satu mekanisme dalam penyelesaian perkara pidana sebelum dilakukannya penuntutan di persidangan. Prapenuntutan dilakukan apabila setelah penuntut umum mempelajari dan meneliti berkas perkara dari penyidik, penuntut umum menganggap hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum menginstrusikan penyidik agar kekurangan tersebut dilengkapi melalui petunjuk-petunjuk disertai pengembalian berkas perkara tersebut. Namun, dalam praktik prapenuntutan masih menimbulkan permasalahan baik dari definisi maupun mekanisme. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang dibahas adalah berapa kali suatu berkas perkara dapat dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik dan bagaimana konsekuensi hukumnya jika penyidik tidak mampu menyempurnakan berkas perkara yang dimaksud. Jenis metode penelitian dalam jurnal ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, disertai dengan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Adapun sumber bahan hukum meliputi sumber bahan hukum primer dan sekunder dengan teknis studi pustaka dan studi dokumen untuk kemudian di analisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa batas berapa kali berkas perkara dapat dikembalikan kepada penyidik tidak diatur dalam perundang-undangan. Sehingga, seringkali mengakibatkan suatu perkara tidak kunjung selesai, karena bolak-baliknya berkas perkara dan akhirnya menyebabkan suatu perkara terbangkalai yang berimbas pada hak-hak korban dan tersangka tidak terpenuhi karena proses penyidikan yang tidak berjalan secara efektif dan pasti. Kata Kunci : Prapenuntutan, Penuntut Umum, Penyidik, Berkas Perkara.
IMPLEMENTASI ASAS PRADUGA TAK BERSALAH OLEH PENGGUNA MEDIA SOSIAL DALAM PEMBERITAAN PIDANA DI MEDIA SOSIAL Satria Fajar Putra Dipayana; I Gede Artha
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 10 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Asas praduga tak bersalah disebut sebagai asas umum hukum acara. Namun dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya di media sosial banyak dari kalangan pengguna media sosial melakukan pelanggaran penghormatan pada asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan pidana. Hal tersebut, dapat dilihat dalam berita dan komentar pengguna media sosial yang berisi penghakiman serta tuduhan terhadap tersangka/terdakwa yang belum mendapatkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht van geweiside). Tulisan ilmiah ini mendapat permasalahan terkait, Bagaimanakah penerapan Asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan pidana di media sosial dan faktor apa saja yang mempengaruhi pelanggaran terhadap asas tersebut oleh pengguna media sosial. Tujuan penulisan ini adalah untuk menerapkan asas yang seharusnya digunakan oleh pengguna media sosial sebagai pedoman dalam berinteraksi di media sosial serta memahami faktor apa saja yang mempengaruhi pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis empiris yaitu penelitian dengan pengambilan data melalui studi lapangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa sadar atau tidak masih banyak dari kalangan pengguna media sosial sama sekali tak menghormati Asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan dan komentar di media sosial, sehingga dapat memengaruhi pola pikir dan pandangan pengguna lainya. memahami dan mengetahui apa itu asas praduga tak bersalah dan Undang-Undang yang mengaturnya didalam media sosial. Kata Kunci: Asas Praduga Tak Bersalah, Media Sosial.
KONTEKS SEDERHANA DAN CEPAT SEBAGAI BAGIAN DARI ASAS TRILOGI PERADILAN DALAM PENGAJUAN PERKARA KUMULASI OBJEKTIF DI PENGADLAN AGAMA Alberto Rischi Putra Bana; I Gede Artha
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 10 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Prinsip trilogi peradilan pada penyelesaian perkara kumulasi dipersoalkan dalam aspek perwujudan asas sederhana dan cepat. Permasalahan yang diangkat pada penyusunan jurnal ini adalah pertama, apakah pengajuan gugatan kumulatif objektif dalam proses beracara di pengadilan agama memberikan dampak terhadap asas trilogi peradilan dalam konteks sederhana dan cepat? Kedua, bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan pasca tidak diterimanya salah satu gugatan kumulatif objektif dalam beracara di pengadilan agama? Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui apakah pengajuan gugatan kumulatif objektif dalam proses beracara di pengadilan agama memberikan dampak terhadap asas trilogi peradilan dalam konteks terwujudnya asas sederhana dan cepat serta untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan pasca tidak diterimanya salah satu gugatan kumulatif objektif dalam beracara di pengadilan agama. Metode yang digunakan dalam pembuatan jurnal ini adalah metode penelitian hukum normatif didukung oleh pendekatan perundang-undangan serta analisis dan konseptual. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengajuan perkara kumulasi yang diharapkan dapat mewujudkan asas sederhana dan cepat justru menjadi rumit dan lambat sehingga belum mencerminkan prinsip sederhana dan cepat; dan tidak diterimanya salah satu gugatan kumulasi yang tidak dilengkapi dengan piranti hukum yang jelas akan mengakibatkan ketidakadilan bagi masyarakat dan dilema hakim dalam memutus perkara. Kata Kunci: Cepat, Sederhana, Kumulasi Objektif, Pengadilan Agama.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS SEBAGAI SAKSI DAN KORBAN TINDAK PIDANA DALAM PROSES PERADILAN Nindayani Ainan Nirmaya Bekti; I Gede Artha
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 5 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penyandang disabilitas sudah memiliki perlindungan yang diatur dalam berbagai undang-undang. Namun terdapat norma konflik dalam memberikan tindakan untuk mewujudkan pemenuhan hak penyandang disabilitas antara KUHAP dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak Penyandang Disabilitas. Oleh karena itu, sistem proses peradilan terhadap saksi dan juga korban bagi penyandang disabilitas dirasa masih sangat minim. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang didukung dengan pendekatan perundang-undangan. Jenis data penelitian ini menggunakan data sekunder, yang kemudian pengumpulan datanya dilakukan dengan studi kepustakaan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengkaji faktor yang menyebabkan tidak efektifnya pemenuhan hak dalam proses peradilan terhadap penyandang disabilitas dan mengamati hal yang dapat diberikan demi memenuhi hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan untuk masa yang akan datang. Berdasarkan hasil penelitian, ada faktor yang menyebabkan tidak efektifnya pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas saksi dan korban yaitu, faktor hukumnya sendiri dan penegak hukum. Untuk mewujudkan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan adalah dengan memenuhi aksesbilitas prosedural beracara, melakukan profile assessment terhadap penyandang disabilitas dan merumuskan peraturan perundangan yang lebih khusus tentang kontruksi materi dan hukum acara pidana bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Kata kunci : Tindak Pidana, Disabilitas, Proses Peradilan, Saksi, Korban
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERSANGKA TERHADAP PENYIMPANGAN PENYIDIKAN I Gst. Ag. Gd Surya Banyuning; I Gede Artha; I Ketut Sudjana
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 05, No. 06, November 2016
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Undang undang No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang lebih popular dikenal dengan KUHAP [ Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana ] telah di berlakukan dalam rentang waktu yang relative panjang arau lama, yakni sejak tanggal 31 Desember 1981. Namun demikian dalam pelaksanannya khususnya yang berkenaan dengan perlindungan atas hak hak tersangka masih cukup banyak hal yang belum sinkrone dengan maksud dan tujuan pembentuk undang undang tersebut. Sesuai dengan permasalahn yang diajukan maka metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian secara yuridis emepris yaitu melihat permasalahan dengan peneltian yang berupa usaha untuk menemukan hukum yang sesuai untuk diterapkan guna menyelesaikan permasalahan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan secara yuridis emperis. Tugas dan wewenang penyidik diatur menurut ketentuan pasal 6 ayat (1) KUHP, sedangkan wewenang kepolisian Negara RI diatur dalam pasal 15 ayat (1) UU No. 28 tahun 1997. Kemudian hak-hak tersangka dalam proses penyidik diatur dalam pasal 50 – 68 KUHP. Undang undang yang diberlakukan adanya tindakan menyimpang penyidik dalam proses penyidik yaitu, pasal 17 KUHAP, pasal 52 KUHAP. Adapun Undang undang yang mengatur bentuk perlindungan hukum bagi tersangka dalam proses penyidikan yaitu pasal 31 UU pokok kekuasaan kehakiman ( UU No 14 tahun 1970 ), selanjutnya pasal 37 UU No. 14 tahun 1970.
KETIDAK WENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Komang Tamar Pebru Wijana; I Gede Artha; I Wayan Bela Siki Layang
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 07, No. 05, November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mekanisme tindak pidana korupsi dalam penetapan status tersangka sampai dengan saat ini masih mengacu menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Permasalahan yang akan dibahas Mengapa KPK tidak Mempunyai Kewenangan Menghentikan Penyidikan Dalam Tindak Pidana Korupsi,dan Apa Implikasi Hukum terhadap Pengaturan Pasal 40 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 Tentang Ketidak Wenangan KPK Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Metode yang digunakan penulisan karya tulis ini adalah metode penelitian hukum normatif, sumber bahan dalam penulisan tugas akhir ini dapat melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah ketentuan pasal 40 undang undang No. 30 tahun 2002 tidak memperbolehkan KPK mengeluarkan surat penghentian penyidikan agar upaya pemberantasan korupsi menjadi lebih efektif dan efisien. Implikasi hukum atas hak-hak dari orang-orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka selama 2-3 tahun yang tak kunjung diperiksa oleh KPK itu sendiri belum diatur. Saran yang dapat diberikan yaitu sebaiknya dilakukan pembaharuan peraturan perundang undangan No. 30 tahun 2002 khususnya ketentuan Pasal 40, karena tidak dapat memberikan kepastian hukum terkait hak-hak tersangka yang meninggal dunia. Kata kunci: KPK, Penggerak/Stimulan, Perintah Penghentian Penyidikan