Mujibussalim Mujibussalim
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Penertiban Terhadap Hak Milik Atas Tanah Yang Terindikasi Terlantar Di Kota Banda Aceh Suhaimi Suhaimi; Herawati Herawati; Mujibussalim Mujibussalim
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 1: April 2017 (Print Version)
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (324.779 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i1.12301

Abstract

Pasal 27 huruf a angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, menegaskan bahwa hak milik hapus bila tanahnya jatuh kepada negara karena diterlantarkan. Tanah dikatakaan diterlantarkan, menurut Pasal 6 ayat (1) PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, hak milik tersebut diidentifikasi dan diteliti terlebih dahulu. Apabila upaya penertiban yang diatur dalam PP No. 11 Tahun 2010 tidak dipatuhi oleh pemiliknya, menurut Pasal 9 ayat (2) PP No. 11 Tahun 2010 Kepala BPN atas usul Kepala Kantor Wilayah BPN menetapkan tanah tersebut sebagai tanah terlantar, sehingga menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Walaupun penelantaran tanah dapat mengakibatkan hapusnya hak atas tanah, akan tetapi dalam kenyataannya di Kota Banda Aceh masih dijumpai adanya hak milik atas tanah yang diterlantarkan (terindikasi terlantar). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak milik atas tanah yang terindikasi terlantar di Kota Banda Aceh belum dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar, karena penelantaran tersebut bukan dilakukan dengan sengaja. Penelantaran tanah termasuk hak milik atas tanah dapat mengakibatkan terganggunya keindahan Kota Banda Aceh dan dapat mengganggu warga masyarakat di sekitarnya. Upaya yang ditempuh pihak Kanwil BPN Provinsi Aceh terhadap hak milik atas tanah yang terindikasi terlantar di Kota Banda Aceh sampai saat ini hanya baru sebatas melakukan pemantauan di lapangan, yang dilakukan oleh pihak Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh.Article 27 of the Act Number 5, 1960 on the Fundamental Agrarian Rules states known as the Agrarian Act (later celled as UUPA) that the right of owning the land title right states that the right is void if it is owned by a state one of those is it is abandoned. The land can be deemed as abandoned land, pursuant to Article 6 (1) of the Government Regulation Number 11, 2010 regarding the Enforcement and Empowerment of Abandoned Land,the Right is identified and investigated in order to determine whether the land can be deemed as abandoned land. If the effort of enforcement base don the mechanism ruled in the Government Regulation Number 11, 2010 is not obeyed by the land owners, hence Article 9 (2) of the Government Regulation Number 11, 2010 the Head of the Land Authority Agency base don the reference of the Head of Regional National Land Authority could determine that the land is deemed as abandoned land and it becomes the land owned directly by a State. Despite the fact that he abandonment of the land causes the void of the right in Banda Aceh can be found the right that is abandoned (indicated abandoned). The research shows that the right, which is indicated abandoned in Banda Aceh, has not been grouped as abandoned land as the abandonment is not done intentionally. The abandonment of the land might be said as the factor causing the insight views of Banda Aceh and it can disturb the society around the land. The efforts done by the National Land Authority of Aceh Province towards the land’s right that is indicated abandoned in Banda Aceh till now is only observation that is done by the National Land Authority office of Banda Aceh.
Implikasi Putusan Hakim Dalam Penetapan Sanksi Di Bawah Minimum Terhadap Tindak Pidana Narkotika Endy Ronaldi; Dahlan Ali; Mujibussalim Mujibussalim
Syiah Kuala Law Journal Vol 3, No 1: April 2019
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (437.966 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v3i1.12152

Abstract

Tindak pidana narkotika merupakan kejahatan luar biasa sehingga menjadi prioritas pemerintah untuk diperangi. Penanggulangan tindak pidana narkotika diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Salah satu pengaturan dalam undang-undang tersebut adalah pemberian sanksi di bawah minimum melalui putusan hakim. Sebagaimana kasus yang terjadi dalam Putusan Nomor 64/PID/2012/PN Sigli, Putusan No. 1/pid.sus/2016/PN Cag. (narkotika) dan Putusan No. 14/pid.sus/2016/PN Cag. Adapun permasalahan yang dikaji yaitu faktor penyebab hakim memutuskan sanksi di bawah minimum kepada pelaku narkotika dan implikasinya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan mengkaji aspek normatif atas permasalahan yang dikaji. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kasuistik dengan menelaah putusan pengadilan. Putusan pengadilan dengan penetapan sanksi di bawah minimum disatu sisi bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum pidana. Sehingga hal ini diakomodir dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 2015. Narcotics crimes are extraordinary crimes so that become government priorities to be minimized. Tackling narcotics crime is regulated in Law No. 35 of 2009 concerning Narcotics. One of the regulations in the law is to impose sanctions below the minimum through a judge's decision. As the case with is the Decision Number 64/PID/2012/PN Sigli. The problems studied are the factors that cause the judge to decide the minimum sanctions for narcotics and their implications. The research method used is a normative juridical method by examining the normative aspects of the problem under study. The approach taken is a casuistic approach by examining court decisions. Court decisions with the determination of sanctions below the minimum on the one hand are contrary to the principle of legality in criminal law. So that accommodated in the Supreme Court Circular No. 3 of 2015.
Tindak Pidana yang Dilakukan Pengungsi Internasional di Indonesia Ida Tutia Rakhmi; Mujibussalim Mujibussalim; Mahfud Mahfud
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 21, No 1 (2019): Vol. 21, No. 1 (April 2019)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v21i1.11383

Abstract

Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951 beserta Protokol 1967 tentang Pengungsi. Konvensi 1951 dan Protokol 1967 juga tidak dijelaskan secara spesifik, mekanisme penegakan hukum terhadap pengungsi yang melakukan tindakan kriminalitas di negara transit. Pokok permasalahan artikel ini adalah aturan hukum dan metode penyelesaian terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pengungsi Internasional di Indonesia, dan untuk mengetahui aturan hukum dan metode penyelesaian terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pengungsi Internasional di Indonesia. Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aturan hukum dilandaskan pada teori kedaulatan dan juga yurisdiksi negara ketika memproses kasus pidana yang dilakukan pengungsi internasional, seperti yang disebutkan Pasal 2 Konvensi 1951, karena Indonesia sebagai anggota komunitas masyarakat internasional dan juga anggota PBB terikat dengan International Customary Law, yaitu prinsip non-refoulement. Penyelesaian kasus diselesaikan melalui jalur nonlitigasi, yaitu dengan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Criminal Actions was Conducted by Internasional Refugees in Indonesia Indonesia does not ratify the 1951 Refugee Convention and  Protocol 1967 Relating to The Status of Refugees. The 1951 Convention and the 1967 Protocol also not define specifically about law enforcement mechanisms against refugees who commit crimes in transit countries. Based on the above description, the main issue is what is the regulation and the method of arrangement to criminal acts who committed by refugees in Indonesia This study aims to find out and explain the regulation to criminal acts who committed by refugees in Indonesia. The research methods in this study were the juridical normative legal research method. The results of the research was based on the theory of sovereignty and the jurisdiction of the state and the non-refoulement and Article 2 Convention of the refugees. The settlement of cases in the Indonesian jurisdiction will conducted through the nonlitigation path, the way out-of-court dispute resolution.
Penerapan Asas In Dubio Pro Natura dan In Dubio Pro Reo oleh Hakim Perkara Lingkungan Hidup Wahyu Risaldi; Mujibussalim Mujibussalim; M. Gaussyah
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 20, No 3 (2018): Vol. 20, No. 3 (Desember 2018)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v20i3.11151

Abstract

Penelitian ini ingin mengetahui kesesuaian penerapan asas asas in dubio pro natura dalam putusan perkara lingkungan hidup, dan kemungkinan penerapan asas in dubio pro natura perkara pidana lingkungan hidup. Penerapan asas ini penting karena kerusakan lingkungan hidup akan mengancam umat manusia, sehingga penegakan hukum lingkungan harus dilakukan penegak hukum. Melalui Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikenal sistem penegakan melalui suatu asas yang diterapkan oleh hakim, yakni asas in dubio pro natura dan asas in dubio pro reo. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, ditemukan bahwa penerapan asas in dubio pro natura dan in dubio pro reo sesuai dengan tujuan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di samping itu, asas in dubio pro natura bisa juga diterapkan dalam perkara pidana. Penerapan asas ini efektif dalam penyelesaikan perkara lingkungan hidup. Implementation of the In Dubio Pro Natura and In Dubio Pro Reo Principles by the Environmental Judges This study aims to find out the suitability application of in dubio pro natura principles in environmental case decisions, and also the possibility of applying it’s principle in environmental crimes. The implementation of this principle is important because environmental damage will threaten humanity, so the enforcement of environmental law must be carried out by law enforcers. Through Environmental Protection and Management Law, it is known as a system of enforcement through principles applied by judges, that are the in dubio pro natura and the in dubio pro reo principles. This is normative research, it was found that the implementation of the in dubio pro natura and in dubio pro reo principles was in accordance with the objectives of the Environmental Protection and Management Law. In addition, the in dubio pro natura principle can also be applied in criminal cases. The implementation of this principle is effective in resolving environmental cases.
Reformulasi Sanksi Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Online Rahmat Fadli; Mohd. Din; Mujibussalim Mujibussalim
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 21, No 2 (2019): Vol. 21, No. 2 (Agustus 2019)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v21i2.11560

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perlindungan hukum terhadap korban pencemaran nama baik melalui media online dan menjelaskan pemenuhan restitusi yang seharusnya diterima korban pencemaran nama baik melalui media online. Pencemaran nama baik merupakan perbuatan melawan hukum, dikarenakan telah menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Rumusan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media online diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Infomasi dan Transaksi Elektronik. Sanksi pidananya diatur dalam Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang ini. Dalam Undang-Undang ini belum diatur sanksi pidana yang berbentuk restitusi, sehingga kurang melindungi korban pencemaran nama baik melalui media online. Metode penelitian ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa ancaman pidana pada Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Infomasi dan Transaksi Elektronik belum memenuhi rasa keadilan dan memberi manfaat kepada korban. Karena pada pasal ini belum mengatur sanksi pidana yang bersifat ganti rugi terhadap korban. Reformulation of  Criminal Sanctions on Defamation Through Online Media This study aims to examine the legal protection of victims of defamation through online media and explain the fulfillment of restitution that should be received by victims. Defamation is an act against the law, because it has attacked someone's honor or reputation. The formulation of criminal defamation through online media is regulated in Article 27 paragraph (3) of the Information and Electronic Transactions Law. The criminal sanctions are regulated in Article 45 paragraph (3). This law has not yet regulated criminal sanctions in the form of restitution, so it does not protect victims of defamation through online media. The research method is a normative juridical by using primary, secondary, and tertiary legal materials. The results found that the criminal threat in Article 45 paragraph (3) of the Law on Information and Electronic Transaction had not fulfilled a sense of justice and benefited for victims. It is because this article does not yet regulate criminal sanctions that are compensation for the victim.