Claim Missing Document
Check
Articles

Analisis Yuridis Putusan Praperadilan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Darwin, Darwin; Dahlan, Dahlan; Suhaimi, Suhaimi
JURNAL MERCATORIA Vol 12, No 1 (2019): JURNAL MERCATORIA JUNI
Publisher : Universitas Medan Area

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (852.961 KB) | DOI: 10.31289/mercatoria.v12i1.2363

Abstract

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perluasan kewenangan praperadilan diluar KUHAP serta akibat hukum terhadap putusan praperadilan dalam perspektif sistem peradilan pidana. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mencari literatur (buku-buku), makalah, dan data yang diperoleh di internet atau bahan hukum yang terkait dengan pembahasan serta dokumentasi hukum mencari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang segala hal yang berkaitan materi pembahasan.  Hasil penelitian menjelaskan sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 sejatinya terdapat beberapa putusan hakim praperadilan yang juga telah yang memperluas kewenangan praperadilan dalam Pasal 77 KUHAP. Perluasan objek Praperadilan tersebut menimbulkan akibat hukum antara lain Penyitaan, Penggeledahan dan Pemblokiran Rekening, Pelepasan Police Line atas Fasilitas Umum, Penetapan Tersangka sehingga lembaga praperadilan dalam proses pembuktiannya berpotensi terlalu jauh masuk dan ikut menguji pokok perkara yang harusnya baru diuji di proses pembuktian di persidangan.
PERAN PENASIHAT HUKUM DALAM PEMENUHAN HAK TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN ONLINE DI ERA COVID-19 Suhaimi Suhaimi
JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora Vol 8, No 3 (2021): JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (190.47 KB) | DOI: 10.31604/justitia.v8i3.255-263

Abstract

Pemeriksaan perkara pidana pada semua tingkat pemeriksaan, termasuk pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menggantikan Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR). KUHAP berbeda dengan HIR, karena KUHAP sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), di antaranya memberikan sejumlah hak kepada terdakwa untuk membela kepentingannya dalam proses persidangan di pengadilan. Akan tetapi dengan merebaknya Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sejak awal Tahun 2020, pemeriksaan perkara pidana mulai dilaksanakan secara online atau melalui teleconference, dan ada kecerderungan Penasihat Hukum tidak dapat mendampinginya secara langsung selama proses persidangan. Dalam hal ini tentunya akan mempengaruhi pemenuhan hak-hak terdakwa di pengadilan, bahkan dikhawatirkan akan terabaikan. Padahal pendampingan  terdakwa oleh penasihat hukum dimaksudkan guna memberikan bantuan hukum, menghadapi serta memberi petunjuk terhadap terdakwa mengenai langkah-langkah serta upaya yang harus dilakukan saat berada di depan persidangan maupun membantu terdakwa dalam bertindak. Hal tersebut tentunya akan sulit diperoleh apabila Penasihat Hukum tidak dapat mendampingi terdakwa secara langsung pada saat persidangan berlangsung. Konsekwensinya pemenuhan hak terdakwa di persidangan akan terabaikan. Sehingga perlu kiranya masalah ini dibahas secara mendalam, guna menjelaskan peran Penasihat Hukum dalam pemenuhan hak terdakwa dalam persidangan online di Era Covid-19.
Penggunaan Akta Kuasa Menjual Sebagai Jaminan Pelunasan Utang Dalam Peralihan Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah Rosa Lianda Islami; dahlan dahlan; suhaimi suhaimi
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 9 No 4 (2020)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2020.v09.i04.p12

Abstract

Power of attorney is a statement whereby a person gives authority to another person or legal entity to and on his behalf perform legal acts. The practice of granting power of attorney based on a power of attorney to sell made by a notary is not in accordance with the regulations, as a result the power of attorney used as collateral for debt repayment contains elements of illegal acts. The decisions reviewed in this thesis research are decision number: 69 / Pdt.G / 2018 / PN.Bna and decision number: 70 / PDT / 2017 / PT.BDG. The purpose of this study is to analyze the law of the use of selling deeds as collateral for debt repayment in the transfer of ownership of land rights. This type of research is normative juridical with an invited approach and a case approach. The source of the legal material used is secondary data which is analyzed qualitatively and comes from deductive. The results reveal that whether the deed that sells as collateral for debt repayment in the transfer of ownership of land ownership is in accordance with the regulations. Kuasa adalah pernyataan dengan mana seseorang memberikan wewenang kepada orang atau badan hukum lain untuk dan atas namanya melakukan perbuatan hukum. Praktiknya pemberian kuasa berdasarkan akta kuasa menjual yang dibuat notaris tidak berjalan sesuai peraturan perundang-undangan, akibatnya akta kuasa menjual yang digunakan sebagai jaminan pelunasan utang mengandung unsur perbuatan melawan hukum. Adapun putusan yang dikaji dalam penelitian tesis ini yaitu putusan nomor: 69/Pdt.G/2018/PN.Bna dan putusan nomor : 70/PDT/2017/PT.BDG. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis akibat hukum dari penggunaan akta kuasa menjual sebagai jaminan pelunasan utang dalam peralihan kepemilikan hak milik atas tanah. Jenis penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah data sekunder yang dianalisis secara kualitatif dan ditarik kesimpulan secara deduktif. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa apakah akta kuasa menjual sebagai jaminan pelunasan utang dalam peralihan kepemilikan hak milik atas tanah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tanggung Jawab Pengembang Dalam Perjanjian Bangun Bagi Dengan Akta Notaris Yeni Afrilla; Yanis Rinaldi; Suhaimi Suhaimi
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol 7, No 3 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/ius.v7i3.663

Abstract

Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang dan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik.” Perjanjian Bangun Bagi Perumahan dan Pertokoan merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya kata sepakat antara pengembang dengan pemilik tanah dan asas (freedom of contract)sesuai dengan aturan didalam Pasal 1338 junto Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam perjanjian tersebut pengembang dengan pemilik tanah berharap memperoleh hak sesuai dengan perjanjian.”Kesepakatan yang telah diperjanjikan diharapkan menjadi dasar yang kuat bagi pengembang dengan pemilik tanah untuk takut tidak memenuhi perjanjian tersebut atau bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh pengemabang ataupun pemilik tanah yang mengakibatkan kerugian bagi mereka atas wanprestasi tersebut. Faktor penyebab ternyadinya wanprestasi dalam perjanjian bangun bagi biasanya tidak cukup aturan hukum yang dapat menjadi pedoman pelaksanaan hak dan kewajiban pengembang dengan pemilik tanah didalam perjanjian bangun bagi  itu sendiri, diketahui dari jumlah Pasal yang memuat tentang hak dan kewajiban sangatkah sedikit dalam perjanjian bangun bagi, terkait ketentuan pembagian hasil yang kurang rinci disebut didalanya, sehingga mengakibatkan ketika terjadi wanprestasi, perjanjian tersebut tidak dapat dijadikan dasar eksekusi.
Eksistensi Mawah (Bagi Hasil) Tanah Pertanian Dalam Masyarakat Hukum Adat Di Kecamatan Kuta Cot Glie, Kabupaten Aceh Besar Suhaimi Suhaimi; Abdurrahman Abdurrahman; Ishak Ishak
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol 9, No 1: April 2021 : Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/ius.v9i1.843

Abstract

Masyarakat hukum adat di Kecamatan Kuta Cot Glie Kabupaten Aceh Besar mempraktekkan perjanjian bagi hasil tanah pertanian (Mawah) sesuai dengan Hukum Adat dan tidak berpedoman pada Undang-Undang No. 2 Tahun 1960, walaupun dalam undang-undang tersebut ada ancaman sanksi bagi yang melanggarnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pola Mawah yang dipraktekkan masyarakat dan untuk menganalisis faktor penyebab Mawah masih tetap berlangsung dan masih dipertahankan dalam masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis empiris. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan dan lapangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola perjanjian Mawah dilakukan dengan pola Bulueng Lhee (bagi tiga), dengan perbandingan 1 : 3 setelah dikurangi zakat, yaitu 1 bagian untuk pemberi Mawah dan 2 bagian untuk penerima Mawah. Faktor penyebab Mawah masih eksis dalam masyarakat karena sebagai sarana tolong menolong antar sesama warga masyarakat, sebagai salah satu cara memproduktifkan tanah dan karena adanya penguasaan tanah secara gadai dalam masyarakat.
MELEBIHI BATAS MAKSIMUM (Suatu Penelitian di Kabupaten Aceh Selatan). Zulkarnaini, Suhaimi, M. Gaussyah.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 3: Agustus 2015
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (120.591 KB)

Abstract

Abstract: Article 1 of the Act Number 56, 1960 states that the maximum limit of owning and having agriculture land is 20 Ha/family. This research aims to explore and explain the owning and having of land for agriculture over from its maximum limit in Aceh Selatan District. This is juridical empirical research. The research shows that firstly, the owning and having of the agriculture land is over its maximum limit in Aceh Selatan District as there is no monitoring towards this owning, it is easy for land transaction and there is no Land reform consideration committee. The efforts that have been done by the National Land Authority are by computerizing of land documen integrated online by the land location since 2011 while the land documen from 2011 and before the date cannot be done by this process, planning the establishment of the Land reform committee in the district. The local government should have computerized system of the land online beginning from the transaction in the village, the Sub District Office, PPAT and the National Land Authority Office. The local government should monitor strictly on the land status, its owning of the state land against the procedure. Key words: owning, agriculture, land, over, maximum limit. Abstrak: Pasal 1 UU No. 56 PrpTahun 1960 menegaskan bahwa: Batas maksimum penguasaan tanah pertanian 20 Ha/ KK. Penelitian ini bertujuan, untuk mengetahui dan menjelaskan terjadinya penguasaan tanah pertanian melebihi batas maksimum di Kabupaten Aceh Selatan.Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukan terjadinya penguasaan tanah pertanian melebihi batas maksimum karena tidak ada pengawasan terhadap penguasaan tanah, mudahnya transaksi jual-beli tanah dan belum terbentuknya Panitia Pertimbangan Landreform. Upaya yang telah dilakukan oleh Kantor Pertanahan melakukan komputerisasi data pertanahan mulai terintergrasi secara online dengan lokasi tanah sejak Tahun 2011 sementara data pertanahan mulai tahun 2011, perencanaan pembentukan Panitia Pertimbangan Landreform Kabupaten. Disarankan kepada Pemerintah perlu adanya system pendataan komputerisasi data pertanahan online mulai dari transaksi jual-beli tanah di tingkat Desa sampai Kantor Pertanahan. Pemerintah Daerah perlu melakukan pengawasan secara ketat terhadap status tanah, pemilikan tanah dan proses penguasaan tanah Negara yang tidak sesuai prosedur Kata Kunci :Penguasaan dan pemilikan tanah pertanian melebihi batas maksimum.
RUMUSAN DELIK DAN FORMULASI KETENTUAN PIDANA QANUN ACEH NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG KHAMAR DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA. Khairilina, Suhaimi, Dahlan Ali.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 3: Agustus 2015
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (245.82 KB)

Abstract

Abstract:The elements of crime in the Khamar (alcoholic drink) Local Law Number 12, 2003 in Article 6 states that (1) Everyone or an institution is forbidden to produce, provide, sell, import, distribute, transport, keep, dump, gift, alcoholic drink and its similar products (2) Everyone or an institution is forbidden to take a part in order to produce, provide, sell, import, distribute, transport, keep, dump, gift, alcoholic drink and its similar product. Article 55 of Indonesian Penal Code states that: (1) punished as a violator: 1.Perpetrator, commander, accompanier the crimes. Article 56 of the Code states that punished as an abettor: 1. those who provide an aid of crime being committed, give an opportunity, facility, or info of committing crime. Based on Article 6 (1) and (2) of the local law there is a repetition of crime as the punishment is similar that is imprisonment. The Local Law Number 12, 2003 regarding Khamar, in Article 26 has several criminal elements that are namely:1) everyone is forbidden to consume it and its similar kinds. 2) The forbidden are to produce, provide, sell, import, distribute, transport, keep, dump, gift, alcoholic drink. 3) The 40 times of whipping for who consume and imprisonment maximally 1 year and the minimally 3 months or fine IDR. 75.000.000, and it is minimally IDR. 25.000.000. The Law has not provided clear information of the elements. Keywords :Crime Elements, Criminal Law Formulation, Criminal Law Policy. Abstrak: Rumusan delik Qanun Khamar Nomor 12 Tahun 2003 dalam Pasal 6 menyebutkan: (2) Setiap orang atau badan hukum dilarang turut serta/membantu memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan dan mempromosikan minuman khamar. Pasal 55 KUHP menyebutkan: (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana : 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;Berdasarkan isi Qanun pasal 6 ayat (2) terdapat pengulangan delik, karena ketentuan pidana sama yaitu penjara. Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2003 tentang khamar, Pasal 26 di dalamnya memuat beberapa unsur tindak pidana, yaitu: 1). Setiap orang dilarang mengkonsumsi minuman khamar. 2). Yang dilarang: memproduksi, mengedarkan, mengangkut, memasukkan, memperdagangkan, menyimpan, menimbun dan mempromosikan. 3). Ancaman pidana 40 kali cambuk bagi yang mengkonsumsi, dan ‘uqubat ta’zir berupa kurungan paling lama 1 tahun, paling singkat 3 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,-, paling sedikit Rp. 25.000.000. Dalam Qanun tersebut ada beberapa unsur tindak pidana yang tidak tegas. Kata Kunci ;Rumusan Delik, Formulasi Ketentuan Pidana, Kebijakan Hukum Pidana.
BUKTI ELEKTRONIK DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA Syaibatul Hamdi, Suhaimi, Mujibussalim
Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 4: November 2013
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (114.532 KB)

Abstract

Abstrak: Kemajuan teknologi membuat perkembangan terhadap tindak pidana, seperticyber crime,menggunakan media komunikasi dan komputer, kendati berada di dunia maya tetapi memiliki dampak nyata dalam menjalankan suatu perbuatan hukum. Pengaturan alat elektronik diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, Namun aturan tersebut belum menuntaskan suatu tindak pidana elektronik,karna alat elektronik sebagai alat bukti belum tercantum dalam KUHAP yang merupakan payung hukum utama dalam pidana, sehingga masih beragam penafsiran aparat penegak hukum terhadap bukti elektronik.Penelitian ini menjelaskan pengaturan bukti elektronik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menjadi multi tafsir aparat penegak hukum dan menjelaskan kekuatan pembuktian alat bukti elektronik dalam persidangan serta kendala dalam menggunakan alat bukti elektronik pada pembuktian pidana.Metode dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis emperis. Spesifikasi penelitian adalah deskriptif analitis dengan menggunakan data sekunder dan primer,Hasil penelitian menunjukkan pengaturan bukti elektronik belum maksimal, sungguhpun telah terdapat payung hukum yaitu UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE,Juga pengaturan bukti elektronik dicantumkan dalam beberapa perundang-undangan terkait seperti dokumen perusahaan, tindak pidana pencucian uang, kearsipan, dan perbankan serta aturan lainya,dan di tambah dengan masih minimnya sumber daya manusia aparat penegak hukum tentang IT sehingga mempunyai penafsiran yang berbeda terhadap alat elektronik sebagai alat bukti. Kekuatan pembuktian dengan alat bukti elektronik masih belum kuat, oleh karena itu keterangan ahli sangat dibutuhkan untuk menguatkan alat elektronik menjadi alat bukti. Kendala yang terjadi adalah masih kurangnya SDM aparat penegak hukum, belum meratanya polisi cyber, jaksa cyber, hakim dan sarana pendukung yang belum memadai diseluruh Indonesia.Disarankan kepada pemerintah agar memperhatikan secara khusus terhadap pengaturan alat elektronik sebagai alat bukti untuk diatur secara rinci dalam RKUHAP dan RKUHP. Sehingga dalam penegakan hukum tindak pidana cyber crime kedepandapat diselesaikan secara hukum dan penegak hukum dalam penanganan kasus cyber crime, agar mendengarkan keterangan ahli supaya mendapatkan petunjuk yang jelas untuk menguatkan alat elektronik sebagai alat bukti yang sah dan kepada Mabes Polri, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung agar dapat memberikan fasilitas yang memadai kedaerah-daerah supaya aparat penegak hukum diseluruh Indonesia dapat memutuskan kasus yang terdapat bukti elektronik secara tepat dan adil. Kata Kunci: Bukti Elektronik dan Pembuktian Pidana
PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA CYBER CRIME DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA Tanthawi, Dahlan, Suhaimi.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 1: Februari 2014
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (67.966 KB)

Abstract

Abstract: Cyber Crime has become a trend of crime thesedays in which its range is alsways expanding from day to day. The nature of Cyber Crime that is timeless and not bound with any place or any boudaries of particular coutries has made cyber crime as a global crime that cause huge losses from its victims. Crimes committed only from the computers has made this type of crime very difficult to be investigated and identified. The method used in this study is a normative juridical approach and done to assess, test and examine aspects of the law, especially criminal law relating to cyber crime by conducting research on secondary data in the field of law; type of data obtained from the research literature (library research), court decisions (cases) and from other data (eg print media, seminar, etc.) associated with the title. The intent and purpose of the study was to determine how to analyze and understand the arrangement of cyber crime in the Indonesian criminal justice system, analyze and understand how the law enforcement against criminal of cyber crime in Indonesia as well as to find out and get the formulation of legal protection for victims of cyber crime in the system of Indonesian criminal law. Based on the results of this study, it is concluded that the regulation on prevention and protection of cyber crime victims in Indonesia is regulated in legislation outside the Criminal Code Bill and in the Criminal Code. Indonesian criminal justice system has not made many contributions to the protection of victims of cyber crime but is more concerned on the crime doer. This study suggests that the regulation of cyber crime prevention set in special cyberlaw legislation accomodating the interests of victims and providing restitution to the losses of victims in both material and immaterial. Keywords: cyber crime, protection of victims, restitution, trend. Abstrak: cyber crime sudah menjadi trend kejahatan masa kini yang bertambah luas jangkauannya. Sifat cyber crime yang tidak berbatas waktu, tempat maupun batas-batas wilayah suatu Negara telah menjadikan cyber crime sebagai suatu kejahatan global yang menimbulkan kerugian besar dari korbannya. Kejahatan yang dilakukan hanya dari komputer membuat pelacakan dan penyelidikan terhadap jenis kejahatan ini sangat sulit diidentifikasi. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, dengan mengkaji, menguji dan menelaah aspek hukum, khususnya hukum pidana yang berkaitan dengan tindak pidana dunia maya dengan cara mengadakan penelitian terhadap data sekunder di bidang hukum yaitu; jenis data yang diperoleh dari riset kepustakaan (library research), putusan pengadilan (kasus) serta dari data-data lain (misalnya: media cetak, hasil seminar, dan sebagainya) yang berhubungan dengan judul penelitian.Maksud dan tujuan penelitian adalah mengetahui menganalisis dan memahami bagaimana pengaturan cyber crime dalam sistem hukum pidana Indonesia, menganalisis dan memahami bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana cyber crime di Indonesia serta untuk mengetahui dan mendapatkan rumusan tentang perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana cyber crime dalam sistem hukum pidana Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengaturan tentang penanggulangan dan perlindungan korban cyber crime di Indonesia diatur dalam perundang-undangan di luar KUHP pun didalam RUU KUHP. Sistem hukum pidana Indonesia belum memberikan banyak kontribusi dalam perlindungan terhadap korban tindak pidana akan tetapi lebih banyak mengatur tentang pelaku kejahatan. saran dari penelitian ini agar pengaturan tentang penanggulangan cyber crime diatur dalam perundangan khusus cyberlaw yang mengakomodir kepentingan korban dengan mewajibkan pelaku memberikan restitusi terhadap kerugian yang dialami korban baik materi maupun immateri. Kata kunci : cyber crime, perlindungan korban, restitusi, bentuk.
TANGGUNG JAWAB BADAN PERTANAHAN NASIONAL DALAM PEMBERIAN HAK GUNA USAHA (SuatuPenelitian di Provinsi Aceh). Aris Rubianto, Ilyas Ismail, Suhaimi.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 2: Mei 2015
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (238.454 KB)

Abstract

Abstract: Article 5 of the Government Regulation Number 24, 1997 regarding Land Registration mention that the registration is conducted by the National Land Board (BPN). Article 9 (1) point a of the Government Regulation Number 24, 1997 that becomes an object of land registration one them is Land Cultivation Right (HGU). The Board responsibility in providing the right is happening when the issuance of location permit, the provision process of the right and also the monitoring and evaluation of the right owner. This thesis aims to explain the legal impact on the responsibility of the BPN responsibility implementation that is conducted that is against the law. The research shows that the responsibility of the BPN in providing the land cultivation right has not been done as demanded by law, there is the permit issuance of location by the Head of District/Major without technical land consideration from the Regional/municipality Land Office and it is not maximally conducted. Legal consequences on the right in the process of providing the right one of the requirements is the Decision of location permit is not based on technical consideration of land can be aborted. While the effect on is no enforcement its conduct is not optimal the enforcement and empowerment of unoccupied land by the right holders is potent to the dispute in the future. It is recommended it should develop good relationship between the BPN and the District/Municipality Government and they should campaign the laws. Keywords: National, Land Board, Responsibility, Cultivation Right Abstrak: Pasal 5 Peratutan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menjadi objek pendaftaran tanah salah satunya adalah Hak Guna Usaha (HGU). Tanggung jawab BPN dalam pemeberian HGU terjadi saat penerbitan izin lokasi, proses pemberian HGU serta dalam pengawasan dan evaluasi pemegang hak. Penelitian ini bertujuan menjelaskan akibat hukum yang timbul terhadap pelaksanaan tanggung jawab jawab BPN dalam pemberian HGU yang tidak sebagaimana mestinya. Hasil penelitian menunjukan bahwa masih ada penerbitan izin lokasi oleh Bupati/Walikota tanpa didasarkan atas pertimbangan teknis pertanahan dari Kantor Pertanahan Kabapaten/Kota serta dalam pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah telantar belum maksimal. Akibat hukum terhadap HGU yang dalam poses pemberian haknya salah satu persaratanya berupa SK Izin lokasi tidak berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan adalah dapat dibatalkan. Sedangkan akibat tidak terlaksana secara optimal kegiatan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar maka tanah yang ditelantarkan oleh pemilik HGU berpotensi menimbulkan sengketa dikemudian hari. Disarankan membangun hubungan baik antara BPN dengan Pemerintah Aceh dan mensosialisasikan peraturan perundang-undangan tentang pemberian HGU kepada Pemerintah Aceh. Kata kunci: Tanggung Jawab BPN, Pemberian HGU.