Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

Injeksi Intrakamera Fluconazole pada Ulkus Kornea Jamur Vera Vera; Havriza Vitresia; Getry Sukmawati
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 8, No 3 (2019): Online September 2019
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v8i3.1070

Abstract

Fluconazole, salah satu anti jamur golongan azole, memiliki kemampuan penetrasi okular yang cukup efektif, dapat mencapai konsentrasi akuos sama dengan konsentrasi plasma. Fluconazole dapat diberikan berupa tetes mata, subkonyungtiva, atau intrakamera. Pemberian intrakamera lebih menguntungkan karena tidak melalui reaksi corneal esterase dan konsentrasi akurat langsung di KOA. Dilaporkan empat pasien dengan ulkus kornea ec.jamur, endoftalmitis eksogen ec susp. jamur dan ulkus ateromatosus ec. jamur diberikan injeksi intrakamera fluconazole dengan dosis 0,025/0,1 ml di kamar operasi. Swab kornea (+). Terdapat perbaikan pada kasus infeksi jamur dengan rata-rata 1 hari sampai 7 minggu post op. Kasus pertama, visus membaik signifikan, ukuran infiltrat dan endothelial plaque berkurang, serta hipopion menghilang pada follow up post op hari pertama. Pada kasus kedua visus membaik serta ukuran infiltrat dan edem berkurang pada minggu kedua post op. Kasus ketiga juga terdapat perbaikan, tetapi hasil yang didapatkan tidak terlalu signifikan dimana visus sedikit membaik dengan ukuran endothelial plaque dan edem kornea sedikit berkurang pada follow up minggu keempat post op. Kasus keempat perbaikan didapatkan pada minggu ketujuh post op, dimana ukuran endothelial plaque dan edem kornea berkurang serta hipopion (-). Kultur: candida (+) (kasus 1 dan 2). Pemberian fluconazole intrakamera cukup efektif pada kasus ulkus jamur refrakter.
Manifestasi Klinis dan Managemen Keratitis Herpes Simpleks di RS. Dr. M. Djamil pada Januari 2012 – Desember 2013 Raihana Rustam; Getry Sukmawaty; Havriza Vitresia
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 7 (2018): Supplement 3
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v7i0.871

Abstract

Herpes Simpleks Keratitis (HSK) merupakan salah satu penyebab kerusakan kornea. HSK terjadi akibat infeksi Herpes Simplex Virus tipe 1 (HSV-1). HSK memiliki manifestasi klinik dari epitel sampai endotel. Diagnosis didukung dengan penurunan sensibilitas kornea, pemeriksaan Giemsa dan Papaniculou. Terapi tergantung pada temuan klinis, yang bisa merupakan kontraindikasi untuk manifestasi yang berbeda. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan variasi kasus HSK, manifestasi klinis dan managemen. Metode: Studi retrospektif dari data rekam medik bulan Januari 2012-Desember 2013, Bagian Mata, RS.M.Djamil. Pasien HSK sebanyak 52 orang, bilateral 6 orang (58 mata), wanita 50%, pria 50%. Pasien terbanyak pada kelompok usia 31-40 th (26,9%). Tipe keratitis terdiri atas Epitelial 18 mata, Stromal 22 mata, gabungan 12 mata, Keratouveitis 4 mata dan Neurotropik Keratopati 2 mata. Pemeriksaan penunjang dengan tes sensibilitas kornea, Giemsa dan Papanicolou. Terapi yang diberikan antara lain Acyclovir salep mata, Acyclovir oral, Kortikosteroid tetes mata. Perbaikan visus paling banyak pada tipe keratitis stromal, 9 mata(40,9%) dan kombinasi, 9 mata(75%). Loss Case banyak pada keratitis epitelial, 11 mata(61,1%) karena pasien tidak kontrol kembali. Pemeriksaan Giemsa ditemukan Mononuclear Cell 21, Giant cell positif 12, Papanicolou positif  6. Semua kasus didapatkan penurunan sensibilitas kornea.Terapi yang diberikan Acyclovir salep mata, Acyclovir oral, Kortikosteroid tetes. Amnion Graft Transplantation dilakukan pada 2 kasus. Kasus terbanyak ditemukan tipe stromal 22 (37,9%) dengan bilateral 6 (10,3%) dan perbaikan visus (39,6%).
Orbital Cellulitis Rince Liyanti; Getry Sukmawati; Havriza Vitresia
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 8, No 4 (2019): Online December 2019
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v8i4.1117

Abstract

Selulitis orbital merupakan penyakit serius yang mengancam jiwa, ditandai dengan infeksi jaringan lunak di bagian posterior septum orbital. melibatkan jaringan lunak orbita. Trombosis sinus kavernosa merupakan tahapan akhir infeksi orbita yang meluas ke intra cranium, ditandai dengan penurunan kesadaran dan gejala rangsangan meningeal. Dipresentasikan tiga kasus selulitis orbital dengan klinis khas yang sangat berbeda. Pilihan terapi diberikan diberikan berdasarkan gejala klinis. Tidak ada kesepakatan tentang antibiotik terbaik untuk digunakan, golongan antibiotik β-laktam selama 4-6 minggu masih direkomendasikan sebagai agen lini pertama, dan untuk kasus thrombosis sinus kavernosus, antibiotik meropenem dan vankomisin selama 6-8 minggu merupakan terapi utama. Observasi lanjutan dan pemeriksaan radiografi dapat dilakukan sesuai indikasi. Manajemen yang tepat dari pasien selulitis orbita memerlukan multidisiplin tim. Diagnosis cepat dan terapi yang tepat diharapkan bermanfaat untuk perbaikan visual dan klinis yang baik, meskipun kadang masih terdapat gejala residual seperti sikatrik kornea dan trichiasis. Selulitis orbital merupakan kasus yang mengancam jiwa, karena penyebaran infeksi yang dapat mencapai intrakranial. Diharapkan dengan diagnosis cepat dan pemberian antibiotik agresif berdasarkan gejala klinis dapat menyelamatkan nyawa pasien.
Penatalaksanaan Multirinosinusitis Kronis dengan Komplikasi Abses Subperiosteal Sinistra Dolly Irfandy; Desy Ambriani; Dolly Irfandy; Havriza Vitresia
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 9, No 4 (2020): Online December 2020
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v9i4.1562

Abstract

Abses subperiosteal merupakan salah satu komplikasi dari rinosinusitis baik akut ataupun kronis. Beberapa faktor sangat berperan sebagai penyebab penyebaran rinosinusitis ke orbita. Diagnosis rinosinusitis kronik dengan komplikasi abses periorbita ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, nasoendoskopi, tomografi komputer serta Magnetic Resonance Imaging (MRI). Penatalaksanaan rinosinusitis kronis dengan komplikasi abses subperiosteal adalah pemberian medikamentosa antibiotik intravena spektrum luas atau kombinasi, dekongestan, kortikosteroid sistemik disertai dengan tindakan operatif yaitu pendekatan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF). Dilaporkan satu kasus rinosinusitis kronis dengan komplikasi abses subperiosteal kiri pada laki-laki umur 40 tahun dan telah dilakukan perawatan dan dilanjutkan dengan pembedahan melalui pendekatan BSEF. Rinosinusitis kronik dengan komplikasi abses subperiosteal dapat ditatalaksana dengan terapi antibiotik dan pembedahan. Keterlambatan penanganan mempengaruhi tingkat kerusakan. Penanganan dengan antibiotik yang adekuat dan BSEF memberikan prognosis yang baik pada pasien.Kata kunci: abses subperiosteal, BSEF, rinosinusitis kronik                         
Dampak Visual Dan Manifestasi Klinis Endoftalmitis Pasca Operasi Pada Rumah Sakit Mata Di Padang Havriza Vitresia
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 8, No 1 (2019): Online Maret 2019
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v8i1.979

Abstract

Endoftalmitis pasca operasi didefinisikan sebagai inflamasi okuler berat yang mengenai segmen anterior dan posterior mata setelah operasi intraokuler. Sumber mikroorganisme penyebab dapat berasal dari flora normal permukaan mata atau dari instrumen yang terkontaminasi. Tujuan penelitian adalah mengetahui dampak visual dan manifestasi klinis pasien endoftalmitis eksogen pasca operasi yang di dapatkan selama tahun 2016, di rumah sakit mata di kota Padang. Data dikumpulkan secara retrospektif dari rekam medis pasien yang didiagnosa Endoftalmitis Eksogen Pasca Operasi. Didapatkan 18 orang pasien dengan karakteristik laki-laki =b8 orang, wanita = 10 orang dengan umur berkisar antara 50-86 tahun (rerata 67 tahun). Operasi intraokuler yang dilakukan sebelumnya adalah fekoemulsifikasi dan PPV (Pars Plana Vitrektomi). Lamanya muncul gejala klinis dihitung dari tindakan operasi sebelumnya, didapatkan terbanyak dalam waktu 3 hari pasca operasi, yaitu 50%. Semua pasien dilakukan injeksi intravitreal Antibiotik Vancomycin dan Ceftazidime segera saat diagnosa ditegakkan dan 6 pasien diantaranya dilakukan PPV (Pars Plana Vitrektomi). Manifestasi klinis yang sering dikeluhkan pasien adalah mata kabur dan nyeri yaitu pada hampir semua kasus (88,9%) dan tanda inflamasi pada segmen anterior dan posterior mata. Dampak visual yang didapatkan dimana visus akhir setelah tindakan dan follow up setelah 4 minggu adalah 20/400 sebanyak 55,6 % (10 orang) dan bahkan beberapa diantaranya mempunyai visus yang lebih baik dari 20/200 pada 70% (7 orang). Diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat dan cepat maka kasus endoftalmitis eksogen pasca operasi penglihatan dapat diselamatkan.
Profil Tingkat Keparahan Retinopati Diabetik Dengan Atau Tanpa Hipertensi pada di RSUP Dr. M. Djamil Padang Putri Nirmala Dewi; Fadrian Fadrian; Havriza Vitresia
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 8, No 2 (2019): Online Juni 2019
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v8i2.993

Abstract

Retinopati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular dari Diabetes Melitus (DM) berupa mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan mikrovaskular pada retina. Retinopati diabetik menempati urutan ke-4 sebagai penyebab kebutaan secara global setelah katarak, glukoma, dan degenerasi makula. Terdapat berbagai faktor yang memengaruhi derajat keparahan retinopati diabetik seperti hiperglikemia, lama durasi DM, dan hipertensi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui profil tingkat keparahan retinopati diabetik dengan atau tanpa hipertensi pada pasien diabetes melitus di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jenis penelitian ini adalah deskriptif observasional retrospektif  dengan menggunakan data sekunder, yaitu rekam medik pasien retinopati diabetik di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari-Desember 2016. Data diolah menggunakan microsoft excel dan analisis data disajikan melalui analisis univariat. Populasi untuk penderita diabetes melitus sebanyak 1500 orang dengan penderita retinopati diabetik sebanyak 187 orang (12,5%) dan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 162 orang. Hasil penelitian berdasarkan karakteristik penderita menurut usia terbanyak pada usia 45-65 tahun yaitu 129 orang (79,6%), menurut jenis kelamin lebih banyak pada laki-laki yaitu 87 orang (53,7%), menurut durasi menderita DM lebih banyak pada penderita >5 tahun sebesar 110 orang (68%), menurut ada tidaknya dislipdemia lebih banyak pada penderita dengan dislipdemia sebanyak 116 orang (71,7%). Profil tingkat keparahan retinopati diabetik terbanyak ada pada pasien dengan hipertensi pada stadium retinopatidiabetik proliferative sebanyak 56 orang (69,6%).
THE EFFICACY OF BARE SCLERA AND MULTILAYER AMNIOTIC MEMBRANE TRANSPLANTATION (MLAMT) FOR RECURRENT MOOREN’S ULCER Getry Sukmawati; Havriza Vitresia
Majalah Kedokteran Andalas Vol 33, No 1: April 2009
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1311.625 KB) | DOI: 10.22338/mka.v33.i1.p%p.2009

Abstract

Abstrak“Mooren’s Ulcer” adalah ulkus kornea yang bersifat progresif, nyeri, sering berulang sedangkan penyebabnya tidak diketahui. Pada tulisan ini dilaporkan kegunaan tindakan operasi “Bare Sclera conjunctival resection” dengan pemasangan MLAMT pada ulkus Mooren yang diikuti dengan penutupan mata selama 3 hari berturut turut. Pada pasien ini dikerjakan 3 kali operasi yang sama. Kasus adalah seorang wanita berumur 45 tahun dengan Ulkus Mooren yang sudah berulang di pinggir kornea didaerah flap konyungtifa pada mata kanannya sedangkan mata kiri dengan “pthysis bulbi”. Visus mata kanan 20/25, mata kiri Nol, pemeriksaan laboratorium normal, saat ini pasien menolak untuk dilakukan operasi. Pasien datang 1 bulan kemudian dengan keadaan yang lebih buruk, dan setuju dioperasi, dilakukan Partial Bare Sclera conjunctival resection dengan MLAMT, pada hari kesembilan setelah operasi sudah terjadi epitelisasi komplit. Empat bulan kemudian ulkus korneanya meluas keparasentral dan superior kornea yang cendrung perforasi, dilakukan operasi kedua dengan tehnik yng sama. Ternyata epitelisasi kornea baru komplit pada hari ketigabelas. Hal yang sangat jelek adalah ditemukan lagi ulkus baru dibagian bawah kornea, sehingga diputuskan untuk langsung melakukan Total Bare Sclera conjunctival resection dan MLAMT, Epitelisasi komplit pada ulkus terjadi pada hari kesembilan. Pengobatan setelah operasi antibiotik tetes mata dan kortikosteroid secara sistemik. Visus mata kanan saat ini 20/40. Dapat disimpulkan bahwa Ulkus Mooren merupakan ulkus kornea yang progresif, dengan transplantasi membrane Amnion dan Bare Sclera dapat memperlama munculnya rekurensi tapi tidak menyembuhkannya.Kata kunci: MLAMT, Bare Sclera, Mooren’s ulcerAbstractMooren’s Ulcer is a progressive, pain corneal disease, which is difficult to be treated with unknown etiology. This Interventional Case Report is aimed at reporting the efficacy of Bare Sclera and (MLAMT) with three days patching for recurrent Mooren’s Ulcer.LAPORAN KASUS84We performed three times Bare Sclera conjunctiva resection with MLAMT on one case of recurrent Mooren’s ulcer. Fourty five years old female with Recurrent Mooren’s ulcer on the right eye, at margin of the conjunctival flap and pthysis bulbi on the left eye. Visual acuity (VA) on the right eye was 20/25. Normal laboratory examinations. In this condition she did not agree for operation. One month later, with worse condition, and we performed partial Bare Sclera with MLAMT. After surgery, the epithelialization was completes on the ninth day. Four months later, the active ulcer was extended to paracentral and superior cornea with impending perforatian. We did second surgery, partial Bare Sclera with MLAMT. After surgery, the epithelialization was completes on the thirteenth day. Unfortunately, we found the new ulcer on the inferior cornea, and then we decided to perform the third surgery, total Bare Sclera and MLAMT, the epithelialization was completes on the ninth day. Post operation, topical antibiotic and systemic corticosteroid. The VA on the right eye was 20/40.We conclude that, Mooren’s ulcer is a progressive corneal disease. Although only one case being reported, MLAMT can reduce the recurrence duration of Mooren’s ulcer, but cannot stop the progressivity. MLAMT could be performed more than once. Total conjunctiva resection can make epithelialization significantly faster than partial resection.Keywords: MLAMT, Bare Sclera, Mooren’s ulcer
HERPES SIMPLEX VIRUS (HSV) KERATITIS BILATERAL WITH FILAMENTOUS Karniela Ayuni Putri; Havriza Vitresia
HUMAN CARE JOURNAL Vol 6, No 2 (2021): Human Care Journal
Publisher : Universitas Fort De Kock

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32883/hcj.v6i2.1139

Abstract

Introduction: Herpetic keratitis is caused by herpes simplex virus and is a common cause of corneal blindness. Generally herpes simplex keratitis is a unilateral disease, but bilateral disease has been reported in 1,3 % to 10,9 % of patients. Filamentous keratitis most often caused by dry eye, especially aqueous tear-deficient dry eye. Objective: To report a case of bilateral herpes simplex virus keratitis bilateral with filamentous. Method: A 45 years old man was admitted to Dr. M. Djamil Hospital Padang presented with glare and blurred on both eyes since 1 week ago. VA RE is 6/30, VA LE is 6/60. On ophthalmology examination were conjunctival and ciliary injection. On the cornea of both of eyes, found infiltrate numular shaped almost all of layer of the cornea. Cornea sensitivity was decreased on both eyes. Patient diagnosed by numularis keratitis of both eyes and therapy is oral and topical acyclovir. After 2 weeks therapy, we found filamentous on left eye. Debridement of filament was performed and the therapy was continued. Result: There are improvement of visual acuity and clinical feature. VA RE 6/15, LE 6/40. Subjectively, patient feel comfort. The sign of glare and photophobia are decrease. Density of infiltrate was decrease and no filamentous was found.
Efektivitas Injeksi Intravitreal Anti-VEGF Terhadap Tajam Penglihatan pada Pasien Retinopati Diabetik Nadhifah Salsabila; Havriza Vitresia; Rini Rustini
Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia Vol 1 No 2 (2020): Juli 2020
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1055.298 KB) | DOI: 10.25077/jikesi.v1i2.134

Abstract

Latar Belakang. Retinopati diabetik kelainan mata tersering paling ditakuti karena menyebabkan kebutaan permanen. Kejadiannya terus meningkat seiring peningkatan prevalensi DM. Injeksi anti vascular endothelial growth factor (VEGF) dalam terapi DME menggeser signifikan terapi primer dari terapi laser menjadi injeksi intravitreal. Objektif. Mengetahui efektivitas pemberian injeksi intravitreal anti-VEGF terhadap tajam penglihatan pada pasien retinopati diabetik di Poliklinik Mata RSUP dr. M. Djamil Padang periode Januari 2018 – Desember 2019. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan retrospektif. Data dikumpulkan dari rekam medis pasien retinopati diabetik. Pengambilan sampel dilakukan dengan total sampling, didapatkan 25 sampel yang memenuhi kriteria pada periode 2018-2019. Hasil. Injeksi intravitreal anti-VEGF diberikan pada pasien retinopati diabetik dengan NPDR sedang dengan DME (60%), NPDR berat dengan DME (16%), serta PDR (24%). Berdasarkan kategori ketajaman penglihatan WHO, terdapat 48% pasien mengalami perbaikan visus, 44% pasien tetap pada kategori yang sama, dan 8% pasien dengan visus memburuk. Simpulan. Pemberian injeksi intravitreal anti – VEGF efektif terhadap perubahan tajam penglihatan pada pasien retinopati diabetik. Kata kunci: retinopati diabetik, injeksi intravitreal anti-VEGF.
Clinical Grading of Corneal Ulcer and Its Management in Dr. M. Djamil General Hospital, Padang, Indonesia Amanda Priska Diananti; Havriza Vitresia; Getry Sukmawati
Bioscientia Medicina : Journal of Biomedicine and Translational Research Vol. 7 No. 3 (2023): Bioscientia Medicina: Journal of Biomedicine & Translational Research
Publisher : HM Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37275/bsm.v7i3.794

Abstract

Background: Infectious corneal ulcer (CU) occurs due to an agent, which may be a bacterial, fungal, or viral microorganism. A detailed examination of the ulcer was needed to determine the severity grading of the ulcer. Based on the size, depth of ulcer, density of infiltrate, and scleral involvement, it's divided into mild, moderate, and severe grades and may be used to objectively monitor the progress of the ulcer and as a parameter for management. Medical management includes topical, systemic antibiotic, and periocular injection, while amniotic membrane transplantation (AMT), conjunctiva flap, fascia lata, and evisceration as surgical. This study aimed to assess the clinical grading associated with the management of CU in Dr. M. Djamil General Hospital, Padang, Indonesia. Methods: Observational analytics based on the medical record of corneal ulcer patients in Dr. M. Djamil General Hospital, Padang, Indonesia, in 2016-2017. A total of 191 research subjects participated in this study. Data analysis was carried out using SPSS univariately. Results: The fungal, bacterial, and viral CU was diagnosed clinically. The severity grading that we found is moderate (60,73%), mild (25,14%), and severe (14,13%). All of the cases used medical treatment. Surgical was performed in moderate (36,59%) and all severe cases. AMT was performed in severe cases with perforation ≤ 4 mm and perforation > 4 mm conjunctival flap (3.7%), fascia lata (3,7%), and evisceration (61,53%), preferably. Conclusion: The clinical grading of corneal ulcers in our hospital is moderate, and it may be associated with our hospital as a referral hospital. Surgery was performed in all severe and moderate cases that don't respond well to medicine.