I Dewa Ayu Dwi Mayasari
Falkultas Hukum, Universitas Udayana Denpasar

Published : 34 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 34 Documents
Search

Keabsahan Akta Yang Dibuat Oleh Notaris Dengan Digital Signature Ni Nengah Nuri Sasmita; I Dewa Ayu Dwi Mayasari
Acta Comitas Vol 6 No 02 (2021)
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/AC.2021.v06.i02.p06

Abstract

Tujuan penulisan ini yaitu untuk mengetahui prosedur daripada pembuatan duatu akta dengan penggunaan digital signature serta keotentikan akta notaris terkait relevansi daripada penggunaan digital signature. Metode penelitian yang digunakannya adalah metode penelitian hukum normatif dengan jenis pendekatan perundang-undangan dan juga konsep hukum. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pembuatan akta notaris dengan secara elektronik itu hampir mirip prosesnya dengan proses pembuatannya akta secara konvensional. Setelah suatu draft aktanya siap, dilakukanlah proses pembacaan isi aktanya yang nantinya akan di tandatangani oleh para pihak. Para pihak yang berkepentingan itu lalu menyetujui isi-isi dari aktanya, maka selanjutnya notaris lalu memberitahu semua pihak-pihak untuk selanjutnya menandatangani akta dengan digital signature. Lalu notaris memverifikasikan semua tanda tanga tersebut. Sebagai alat bukti, maka dimana dalam surat atau aktanya yang terdapat digital signature tersebut, di Indonesia yang kekuatannya dapat bisa diuraikan jadi akta otentik atau akta dibawah tangan dan masuk ke dalam alat bukti surat. Akta otentik apabila digital signaturnya telah terverifikasi. Masuk ke dalam Akta dibawah tangan jika digital signaturenya belum terverifikasi.
Legalitas Peresmian Akta Notaris Berbasis Cyber Notary Melalui Media Konferensi Zoom I Dewa Gede Cahaya Dita Darmaangga; I Dewa Ayu Dwi Mayasari
Acta Comitas Vol 6 No 01 (2021)
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/AC.2021.v06.i01.p16

Abstract

This study aims to find out about the legality of the inauguration of cyber-based notary deeds through the Zoom Conference media and the legal consequences of notarial deeds inaugurating the Zoom Conference media. The research method used is normative legal research methods that use a statutory approach and analysis of legal concepts based on primary and secondary legal materials. The study result show that according to Article 1868 of the Civil Code stipulates that the making of an authentic deeds is made is the presence of an authorized public official. Homeever, when referring to the explanation of Article 15 paragraph (3) of Law Number 2 of 2014 concerning the Position of Notary Public, there is no clarity regarding the explanation regarding electronic certification (cyber notary) whether tappers must remain physically present in front of a notary or may not ignore it virtually. Regarding the inauguration of deeds through the Zoom Conference media, its is necessary to have clearer regulations regarding the concept of cyber notary in the world of notary so that notaries can carry out their duties without violating laws and regulations. The concept of cyber notary, in the inauguration of the deed, it is felt that there is a need for regulations that clearly regulate how the terms or conditions in the inauguration of authentic deeds/notaries are carried out using the concept of cyber notary, one of which is the Zoom Cenference media. Studi ini bertujuan untuk mengetahui mengenai legalitas peresmian akta Notaris berbasis cyber notary melalui media Konferensi Zoom dan akibat hukum peresmian akta otaris dilakukan dengan media Konferensi Zoom. Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan metode penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan serta analisis konsep hukum dengan bersumber pada bahan-bahan hukum primer maupun sekunder. Hasil studi menunjukan bahwa menurut Pasal 1868 KUHPerdata menentukan mengenai pembuatan akta otentik tersebut dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang. Tetapi apabila merujuk terhadap penjelasan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris tidak ada kejelasan mengenai penjelasan mengenai sertifikasi elektronik (cyber notary) apakah para penghadap harus tetap hadir secara fisik dihadapan notaris ataukah boleh tidak melaikan secara virtual. Terkait dengan peresmian akta melalui media Konferensi Zoom maka diperlukan adanya pengaturan lebih jelas mengenai konsep cyber notary dalam dunia kenotariatan agar notaris dapat menjalankan tugas jabatannya tanpa menyalahi undang-undang dan peraturan perundang-undangan. Konsep cyber notary ini dalam peresmian akta dirasa perlunya ada pengaturan yang mengatur dengan jelas bagaimana ketentuan atau syarat dalam peresmian akta autentik/notaris yang dilakukan dengan menggunakan konsep cyber notary salah satunya adalah media Konferensi Zoom.
Penyelesaian Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Belum Bersertifikat Ni Made Indahwati; I Dewa Ayu Dwi Mayasari
Acta Comitas Vol 6 No 03 (2021)
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/AC.2021.v06.i03.p18

Abstract

Abstract This article to analyze the imposition of land mortgages that do not yet have a certificate and solutions if the givere mortgage on land that does not have the certificate has died and there is an heir while the credit has not paid off. The method in this writing is using the method of normative juridical law. This study also uses an assessment of existing library materials such as rules and legislation, related literature. It can be concluded that uncertified land can be charged with Mortgage as long as the application for credit is carried out simultaneously with the registration of the transfer of land rights to the BPN and if the debtor dies before the repayment period ends, the debt on the credit can be transferred to the heirs of the debtor. Abstrak Artikel ini bertujuan menganalisis mengenai Pembebanan dari hak tanggungan yang belum memiliki sertifikat serta solusi jika pemberi dari Hak Tanggungan berupa tanah yang tidak memiliki sertifikat tersebut sudah meninggal dunia serta adanya pewaris sementara kredit belum lunas terbayarkan. Metode dalam penulisan ini yaitu menggunakan metode hukum yuridis normative. Penelitian ini juga menggunakan pengkajian bahan pustaka yang ada seperti aturan serta perundang-undangan, literatur yang mempunyai kaitan. Dapat disimpulkan bahwa tanah yang belum bersertifikat dapat dibebankan Hak Tanggungan sepanjang pengajuan kredit dilakukan secara bersamaan dengan pendaftaran peralihan ha katas tanah ke BPN dan Apabila debitur meninggal dunia sebelum jangka waktu pelunasan berakhir, maka utang atas kredit tersebut dapat dialihkan kepada ahli waris dari debitur.
Kepastian Hukum Pendirian Perseroan Perseorangan Tanpa Akta Notariil Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja Farhad Lubbena; I Dewa Ayu Dwi Mayasari
Acta Comitas Vol 7 No 01 (2022)
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/AC.2022.v07.i01.p11

Abstract

The purpose of this study is to examine the legal certainty of an individual company which does not use a notarial deed in its establishment. This study uses a descriptive legal research method. The law approach and legal concept analysis are the approaches used in this research. The collection of legal materials in this journal uses a literature study. The description technique is a method of analyzing legal materials used in this journal referring to the relevant laws and regulations, the collected literature related to the problems of this journal. The results of this study indicate that in the process of establishing a limited liability company there are quite significant differences, namely in Law Number 40 of 2007 with Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation. The process of forming a PT generally must be made in the form of a notarial deed. It is different from the process of establishing a sole proprietorship which is regulated in Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, where the establishment process is carried out by completing a statement of establishment which does not have to be written down in the form of a notarial deed. The function of a notarial deed at the establishment of a PT is to protect third parties or the public against misuse of the establishment of a PT and provide a protection for the interests of other PT.
Urgensi Rekonstruksi Pengaturan Praktek Perjanjian Perdagangan Melalui E-Commerce I Dewa Ayu Dwi Mayasari; Dewa Gde Rudy
Jurnal Komunikasi Hukum Vol 7 No 1 (2021): Februari, Jurnal Komunikasi Hukum
Publisher : Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jkh.v7i1.31473

Abstract

In general, the agreement is made face-to-face. However, along with technological developments, agreements can now be made through electronic media (internet) or E-commerce. Through E-commerce, it has brought changes in human activities because through the internet, any transaction can be done, including making an agreement. However, many problems arise in transactions conducted electronically, such as trading transactions or buying and selling online. The problems that can be conveyed are firstly the urgency to reconstruct the practice of trade agreement arrangements through E-Commerce, second form of legal protection against parties who are disadvantaged in practicing trade agreements through E-Commerce and thirdly the settlement that can be carried out if there is a dispute in the practice of a trade agreement through E -Commerce. This research uses normative legal research, with a statutory approach and analysis of legal concepts and uses primary, secondary and tertiary legal sources. Furthermore, it is collected systematically using documentation studies and added with supporting data. The conclusion of this research is that the reconstruction of trade agreement practice arrangements is very urgent to be carried out for philosophical, sociological, juridical and practical reasons, both forms of legal protection against the aggrieved party, namely the Civil Code, ITE Law, Consumer Protection Law and the third settlement that can be done if a dispute occurs is through the Litigation, Non Litigation or BPSK channels.
Keabsahan Perjanjian Cessie Melalui E-Commerce I Dewa Ayu Dwi Mayasari
KERTHA WICAKSANA Vol. 13 No. 1 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.13.1.2019.51-56

Abstract

Pada umumnya perjanjian cessie dibuat langsung atau tatap muka antara pihak yang ingin masuk ke dalam kontrak. Cessie adalah transfer piutang atas nama (debitur) dari kreditor lama kepada kreditor baru. Seiring perkembangan jaman dan teknologi, tidak hanya transaksi yang dapat dilakukan melalui media elektronik, perjanjian Cessie pun sering dilakukan melalui media elektronik. Permasalahan yang pertama adalah keabsahan perjanjian cessie yang dilaksanakan melalui E-Commerce dapat dianggap sah setelah para pihak membaca dan menyetujuinya, dan menandatangani kontrak elektronik. Selanjutnya, Permasalahan yang kedua mengenai bentuk perlindungan hukum yang bisa diberikan kepada pihak-pihak yang masuk kontrak cessie melalui e-commerce mengacu pada 1 poin 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Hasil analisis kedua permasalahan yang diangkat menunjukkan bahwa Keabsahan perjanjian cessie yang dilaksanakan melalui E-Commerce dapat dianggap sah setelah para pihak membaca dan menyetujuinya, serta menandatangani dokumen elektronik dimaksud dengan mencantumkan kewajiban dan hak dari para pihak sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan. Kata Kunci: E-Commerce; Keabsahan; Perjanjian Cessie In general, cessie agreements are made directly or face to face between parties who want to enter into the contract. Cessie is the transfer of receivables on behalf of (debtors) from old creditors to new creditors. Along with the development of time and technology, not only transactions that can be done through electronic media, Cessie agreements are often carried out through electronic media. The first problem is the validity of the cessie agreement carried out through E-Commerce can be considered valid after the parties have read and agreed to it, and signed an electronic contract. Furthermore, the second problem concerning the form of legal protection that can be given to parties entering the cessie contract through e-commerce refers to 1 point 2 of Law Number 11 the Year 2008 concerning Information and Electronic Transactions. The results of the analysis of the two problems raised indicate that the validity of the cessie agreement carried out through E-Commerce can be considered valid after the parties have read and agreed to it, and signed the electronic document by including the obligations and rights of the parties following the approved agreement. Keywords: E-Commerce; The Legality; Cessie Contract
Prinsip-Prinsip Kepariwisataan dan Hak Prioritas Masyarakat dalam Pengelolaan Pariwisata berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Dewa Gde Rudy; I Dewa Ayu Dwi Mayasari
KERTHA WICAKSANA Vol. 13 No. 2 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.13.2.2019.73-84

Abstract

Abstrak Pariwisata merupakan faktor penting dalam pembangunan ekonomi suatu Negara, karena mendorong perkembangan beberapa sektor perekonomian nasional. Mengingat begitu pentingnya pariwisata bagi perekonomian suatu Negara, maka pariwisata itu harus dikelola dengan sebaik-baiknya agar betul-betul dapat mendatangkan kesejahteraan bagi rnasyarakat. Jadi pengelolaan tersebut dapat diartikan sebagai suatu proses perencanaan, kebijaksanaan penyelenggaraan, serta pemanfaatan umber daya alam yang terkandung didalamnya secara berkelanjutan. Terkait dengan pengelolaan pariwisata, terkait dengan sejumlah prinsip-prinsip pengelolaan yang pada dasarnya menekankan pada nilai-nilai kelestarian lingkungan alarn komunitas, dan nilai-nilai sosial yang memungkinkan wisatawan menikmati kegiatan wisatanya secara bermanfaat bagi kesejahteraan komunitas lokal. Pengelolaan kepariwisataan melibatkan berbagai pihak, seperti pemerintah daerah, pihak swasta (pelaku usaha pariwisata) dan masyarakat yang diharapkan ikut berpartisipasi. Dalam penelitian ini dibahas dua permasalahan. Pertama, Bagaimana prinsip~prinsip penyelenggaraan kepariwisataan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan dan Bagaimana hak prioritas masyarakat dalam pengelolaan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Penelitian jenis ini merupakan penelitian hukum normatif karena mempfokuskan analisa terhadap norma hukum yang muncul. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisa konsep hukum. Mengenai prinsip-prinsip penyelenggaraan kepariwisataan diatur berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Mengenai hak-hak prioritas masyarakat dalam pengelolaan yaitu setiap masyarakat mempunyai hak prioritas menjadi pekerja/buruh, konsinyasi, dan pengelolaan dalam bidang usaha pariwisata. Dalam konteks pengelola ini, setiap masyarakat diberikan hak untuk mengusahakan sumber daya yang dimilikinya dalam bidang usaha pariwisata. Konstruksi ini menjadikan masyarakat sekitar tidak lagi menjadi komunitas marginal, tetapi memiliki daya tawar (bargaining position) yang lebih dalam menentukan sendiri dan menikmati keuntungan pariwisata yang terdapat di wilayahnya. Abstract Tourism is an important factor in the economic development of a country, because it encourages the development of several sectors of the national economy. Given the importance of tourism for the economy of a country, tourism must be managed as well as possible so that it can truly bring prosperity to the community. So management can be interpreted as a planning process, implementation policy, as well as sustainable use of natural resources contained in it. Related to tourism management, it is related to a number of management principles which basically emphasize the values of environmental conservation, community values and social values that enable tourists to enjoy their tourism activities in a way that is beneficial to the welfare of the local community. Tourism management involves various parties, such as the regional government, the private sector (tourism business actors) and the people who are expected to participate. In this research has two issues were discussed. first, how the principles of tourism management according to Law Number 10 of 2009 concerning Tourism and How are community priority rights in management according to Law Number 10 of 2009 concerning Tourism This type of research is normative legal research because it focuses on analysis against legal norms that arise. The approach used is the legal approach and legal concept analysis approach. Regarding the principles of the implementation of tourism are regulated based on the provisions of Article 5 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism. Regarding community priority rights in management, each community has priority rights to be workers / laborers, consignment, and management in the field of tourism business. In the context of this manager, every community is given the right to seek the resources it has in the field of tourism business. This construction makes the surrounding community no longer a marginal community, but has a bargaining position that is more in its own right and enjoys the tourism benefits found in its territory.
Analisis Analisis Yuridis Tentang Proses Mediasi dalam Alternatif Penyelesaian Sengketa Tanah Adat di Bali: Indonesia I Dewa Ayu Dwi Mayasari; Dewa Gde Rudy
KERTHA WICAKSANA Vol. 15 No. 2 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.15.2.2021.90-98

Abstract

Dewasa ini dalam kehidupan masyarakat sering terjadinya konflik atau sengketa. Termasuk sengketa pertanahan yang marak terjadi di lingkungan masyarakat adat khususnya masyarakat adat di Bali. Berbagai macam cara dilakukan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa pertanahan yang terjadi. Baik melalui lembaga pengadilan (litigasi) amupun lembaga di luar pengadilan (non litigasi). Alternatif penyelesaian sengketa banyak ditempuh oleh masyarakat karena dinilai lebih efektif dan tidak memakan waktu dan biaya yan g lebih. Salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang sering di tempuh adalah melalui jalur Mediasi atau perdamaian. Apalagi dalam menyelesaikan sengketa tanah adat di Bali. Alternatif Penyelesaian Sengketa tanah adat di Bali sering ditempuh melalui proses mediasi karena dinilai lebih efektif ,tidak memakan waktu lama dan biaya yang tinggi. Dalam penelitian ini dibahas dua permasalahan yakni Bagaimana urgensi mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa tanah adat di Bali dan Bagaimana proses mediasi dalam alternatif penyelesaian sengketa tanah adat di Bali. Penelitian ini mempergunakan jenis penelitian hukum normatif karena memfokuskan analisa terhadap norma hukum yang muncul dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisa konsep hukum. Kompleksnya persoalan tanah adat di Bali dan sedikitnya aturan tertulis mengenai hal itu, maka Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa tanah adat di Bali menjadi hal yang sangat urgen karena sengketa dapat diselesaikan secara efektif dan efisien. Dan untuk proses mediasi tidak diatur dalam peraturan perundang- undangan, sehingga proses mediasi cenderung dilakukan menurut kebutuhan para pihak yang bersengketa sesuai dengan arahan dan petunjuk dari mediator.
Kekuatan Mengikat Klausula Arbitrase dalam Kontrak Bisnis dari Perspektif Hukum Perjanjian Dewa Gde Rudy; I Dewa Ayu Dwi Mayasari
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 11 No 2 (2022)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2022.v11.i02.p14

Abstract

Arbitration clauses in a business contract are essentially aimed at avoiding dispute resolution through the judiciary. This paper aims to have a deeper understanding of matters concerning the binding force of the Arbitration Clause. This contract also traces the competence of the judiciary and the cancellation of the arbitration agreement (Arbitration Clause) that has been agreed upon by the parties from the start. This research uses normative law research with legislation approach and legal concept analysis approach. The results of the study show that from the perspective of Covenant Law, in particular the principle of Pacta Sund Servanda contained in the provisions of Article 1338 paragraph (1) of the Civil Code, the Arbitration Clause has binding force like law for the parties. With the Arbitration Clause, the arbitration institution that has been chosen by the parties authorized to settle disputes and the judiciary does not have the authority to examine and resolve the dispute. The Arbitration Clause cannot be withdrawn and canceled, unless agreed by both parties. Klausula Arbitrase dalam suatu kontrak bisnis pada hakekatnya bertujuan untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Tulisan ini bertujuan untuk memahami secara lebih dalam prihal yang menyangkut kekuatan mengikat Klausula Arbitrase. Dalam kontrak ini juga ditelusuri tentang kompetensi lembaga peradilan dan pembatalan dari perjanjian arbitrase (Klausula Arbitrase) yang sudah disepakati sejak awal oleh para pihak. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Hukum Normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum. Hasil study menunjukkan bahwa dari perspektif Hukum Perjanjian, khususnya azas Pacta Sund Servanda yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, Klausula Arbitrase mempunyai kekuatan mengikat layaknya seperti undang-undang bagi pihak-pihak. Dengan adanya Klausula Arbitrase, maka lembaga arbitrase yang telah dipilih oleh para pihak yang berwenang menyelesaikan sengketa dan lembaga peradilan tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa tersebut. Klausula Arbitrase tersebut tidak dapat ditarik dan dibatalkan, kecuali dengan sepakat kedua belah pihak.
Pengaturan Sanksi Tentang Anggaran Dasar Perseroan Yang Tidak Dikonversikan Pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 2020 Ida Ayu Gede Sinta Surya Lestari; I Dewa Ayu Dwi Mayasari
Acta Comitas Vol 7 No 02 (2022)
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/AC.2022.v07.i02.p6

Abstract

The purpose of this paper is to find out the process of classifying and setting sanctions on the articles of association of companies whose business fields are not converted to the KBLI 2020. This study uses a normative legal research method with the problem of void norms with the type of approach to legislation and legal concepts. The results show that in the process of classifying the business fields of the company's articles of association must be in accordance with Article 3 of the articles of association guided by the 2020 KBLI, then can register for legalization of establishment on the AHU system and will automatically be integrated with the OSS system. For the company still using the 2017 KBLI, the company must convert the 2020 KBLI, by changing its articles of association and registering electronically through the AHU system. And, with regard to companies that do not convert their business fields, there are no sanctions arrangements against the company and it creates legal uncertainty, so that the company cannot manage business licenses, cannot cooperate with government and private agencies, and does not have legality in Indonesia and potential for criminal activity.