Widya Istanto Nurcahyo
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro/ RSUP Dr. Kariadi Semarang

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

Perbedaan Pengaruh Pemberian Propofol Pentothal Dan Etomidate Terhadap Perubahan Kadar Procalcitonin Pada Operasi Dengan General Anestesi Iwan Dwi Cahyono; Widya Istanto Nurcahyo; Hari Hendriarto Satoto
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 3, No 3 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v3i3.6439

Abstract

Latar belakang: Prokalsitonin diperkenalkan dan digunakan sebagai sebuah marker baru dari respon inflamasi terhadap infeksi. Obat induksi anestesi yang biasa digunakan telah diketahui mempengaruhi peningkatan prokalsitonin.Tujuan: Untuk menentukan perbedaan pengaruh dari propofol, pentotal dan etomidat terhadap kadar prokalsitonin dalam general anestesi.Metode: Studi eksperimental terhadap 24 pasien yang dilakukan general anestesi. Sampel dibagi menjadi 3 grup masing-masing 8 sampel tiap grup. Grup 1, 2 dan 3 mendapatkan propofol, pentotal atau etomidat sebagai obat induksi anestesi selama prosedur penelitian, dengan dosis pemberian propofol 2,5 mg/kgbb, pentotal 5 mg/kgbb dan etomidat 0,3 mg/kgbb dan rasio O2 dan N 2O 50% : 50%, sampel darah penderita diambil sebelum induksi anestesi, 4 jam setelah induksi anestesi dan 24 jam setelah induksi anestesi. Semua sampel kemudian dikirim ke laboratorium Patologi Klinik RSUP dr Kariadi Semarang untuk diperiksa kadar prokalsitonin. Data yang diperoleh dianalisa dengan tes Kruskall -Wallis dilanjutkan dengan tes Friedman.Hasil: Karakteristik umum penderita dan data variabel yang didapat kemudian dibandingkan memberikan gambaran distribusi yang merata. Pada penelitian ini menunjukkan hasil perbedaan bermakna dari kadar prokalsitonin sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok propofol (p=0,008) dan tidak bermakna pada kelompok pentotal dan etomidat dengan nilai (p=l,00). Dalam kelompok propofol, pentotal dan etomidat nilai tengah dari kadar prokalsitonin adalah (0,175±0,1), (0,05±0,05) dan (0,05±0,05). Secara meyakinkan bahwa propofol menyebabkan peningkatan kadar prokalsitonin dibandingkan pentotal dan etomidat, dengan nilai (p=0,053)Kesimpulan: Propofol secara meyakinkan meningkatkan kadar prokalsitonin dibandingkan pentotal dan etomidat.
Perbedaan Elektrolit Plasma dan Tekanan Darah antara Preload Ringer Asetat Malat Dibandingkan dengan Ringer Laktat Ifar Irianto Yudhowibowo; Doso Sutiyono; Widya Istanto Nurcahyo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 6, No 1 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (486.338 KB) | DOI: 10.14710/jai.v6i1.6570

Abstract

Latar belakang : Pemberian preload untuk mencegah hipotensi pada anestesi spinal dapat mempengaruhi keseimbangan cairan tubuh.Tujuan : Untuk melihat perbedaan elektrolit plasma dan tekanan darah antara preload RAM dibandingkan dengan RL.Metode : Penelitian eksperimental uji klinis tahap II secara acak tersamar ganda. Pemilihan sampel secara Consecutive Random Sampling didapat jumlah sampel 38 orang. Kelompok I (n=19) mendapat preload 20 cc/kgBB RAM dan kelompok II (n=19) mendapat preload 20 cc/kgbb RL. Sebelum  preload, diambil sampel darah untuk pemeriksaan konsentrasi elektrolit plasma. Setelah  preload dan 30 menit setelah itu dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan konsentrasi elektrolit plasma. Pengukuran tekanan darah dilakukan sebelum anestesi spinal dan segera setelah anestesi spinal tiap 5 menit sampai 30 menit. Uji statistik dengan uji paired t-test.Hasil : Selisih Na sebelum preload dan Na setelah preload dengan Na 30 menit setelah preload antara kelompok yang mendapat preload RAM dan RL berbeda bermakna. Sedangkan selisih Na setelah preload  dengan Na 30 menit setelah preload berbeda tidak bermakna. Selisih K sebelum  preload, K setelah preload dan 30 menit setelah preload dan K 30 menit setelah preload berbeda tidak bermakna. Selisih Cl sebelum dan Cl 30 menit setelah preload berbeda bermakna. Selisih Cl sebelum dan Cl setelah preload dan konsentrasi Cl setelah 30 menit preload berbeda tidak bermakna. Terdapat perbedaan tekanan sistolik yang bermakna antara kelompok preload  RAM dan RL  terjadi antara menit ke-25 sampai menit ke-30 setelah spinal. Sedangkan untuk variabel tekanan darah diastolik terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok preload  RAM dan RL  terjadi antara menit ke-15 sampai menit ke-20 setelah spinal.Simpulan : RAM meningkatkan konsentrasi Na dan Cl lebih tinggi dibanding RL pada pasien dengan spinal anestesi segera setelah dilakukan loading, tetapi perbedaan konsentrasi elektrolit lebih jauh tidak ditemukan. Tidak ada perubahan tekanan darah yang bermakna diantara kedua kelompok.
Hubungan Cardiopulmonary Bypass dengan Jumlah Neutrofil Polimorfonuklear Pada Pasien Yang Menjalani Coronary Artery Bypass Grafting Yanuar Kushendarto; Widya Istanto Nurcahyo; Heru Dwi Jatmiko
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 1, No 3 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v1i3.6561

Abstract

Latar Belakang: Angka kejadian dan angka mortalitas penyakit jantung iskemik (Ischaemic Heart Disease/ IHD) masih cukup tinggi yaitu sekitar 68 tiap 1000 penduduk atau sekitar 6,8% dan jumlah penduduk. Pengobatan IHD bertujuan untuk revaskularisasi pembuluh darah yang tersumbat dapat menggunakan teknik farmakologik atau operatif (Percutaneous Coronary Intervention/ PCI atau Coronary Artery Bypass Graft/ CABG). Tindakan CABG dapat menggunakan mesin cardio pulmonary bypass (CPB)/ On-Pump Coronary Artery Bypass atau tanpa menggunakan mesin CPB / Off-Pump Coronary Artery Bypass (OPCAB). Kejadian disfungsi organ pada pasien yang menjalani operasi CABG dengan mesin CPB dihubungkan dengan Systemic Inflammatory Response Syndrome yang diakibatkan oleh berbagai faktor antara lain faktor tindakan operasi dan faktor mesin CPB tersebut. Tujuan penelitian ini untuk melihat pengaruh lamanya waktu Cardio Pulmonary Bypass pada operasi Coronary Artery Bypass Graft terhadap pola jumlah neutrofil p olimorfonuklear darah tepi, dapat merupakan suatu penanda respon inflamasi yang dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi.Metode: Pasien yang akan menjalani operasi CABG diambil sampel darah untuk diperiksa gambaran neutrofil PMN pada pra torakotomi, post torakotomi, menit ke 15 dan menit ke 30 sete Fah pemasangan mesin CPB.Hasil: Uji beda jumlah neutrofil ditemukan perbedaan bermakna jumlah neutrofil pada menit ke (pra torakotomi) dengan post torakotomi, menit ke 15 dan menit ke 30 CPB (p < 0,05). Uji beda jµga ditemukan perbedaan bermakna pada jumlah neutrofil post torakotomi dengan menit ke 30 CPB (p < 0,05) dan menit ke 15 CPB dan menit ke 30 CPB (p < 0,05). Tetapi tidak ditemukan perbedaan bermakna jumlah neutrofil post torakotomi dengan menit ke 15 CPB (p 0,05).Simpulan: Terdapat peningkatan jumlah neutrofil pada pasien yang menjalani CABG menggunakan CPB.  
Monitoring Kardiovaskuler pada Pediatric Intensive Care Aprilina Rusmaladewi; Ery Leksana; Widya Istanto Nurcahyo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 2, No 3 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v2i3.6461

Abstract

Anestesi memegang peranan penting terhadap perkembangan Pediatric Intensive care karena ilmu pengetahuan dan keterampilan anestesiologist dalam mengelola jalan nafas dan pernafasan, monitoring sirkulasi dan akses vaskular. Pediatric Anestesi juga menjadi leader pada pengelolaan pernafasan pada anak dan intensive care. Ilmu pengetahuan anestesi dan keterampilan pada keadaan akut dan emergensi di dalam ruang operasi dan keterampilan dalam memberikan bantuan hidup dasar menjadikan anestesi menjadi leader di banyak PICU.
Pengaruh Pretreatment Vitamin C 200 Miligram Terhadap Kadar Cortisol Serum Pada Induksi Etomidat Ratna Anggraeni; Hariyo Satoto; Widya Istanto Nurcahyo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 3, No 1 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v3i1.6451

Abstract

Latar Belakang: Etomidat adalah salah satu agen anestesi yang berefek minimal terhadap kardiovaskular. Namun, etomidat mendepresi produksi kortisol. Salah satu agen yang dapat meminimalisir efek depresi tersebut adalah vitamin C.Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pretreatment vitamin C 200 mg pada operasi elektif dengan anestesi umum terhadap kadar kortisol serum.Metode: penelitian ini merupakan penelitian Randomized Contolled Trial dengan 30 subjek yang dibagi dalam dua kelompok sama besar (n=15), yaitu kelompok kontrol yang menerima etomidat 0,2 mg/kgBB dan kelompok perlakuan yang menerima etomidat dan vitamin C 200 mg iv preoperasi. Masing-masing kelompok tersebut selanjutnya diperiksa kadar kortisolnya pre anestesi, 2 jam pasca induksi, 8 jam pasca induksi. Uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dan Paired T Test digunakan untuk membandingkan kadar kortisol di masing-masing kelompok. Uji Mann Whitney dan Independent Sample T Test digunakan untuk membandingkan antar kelompok kontrol dan perlakuan.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok kontrol, kadar kortisol preanestesi 244,15 dan 2 jam pasca induksi 185,52 + 35,88 berbeda bermakna (p=0,002). Begitu pula antara kadar 2 jam dengan 8 jam pasca induksi 349,81 + 121,28 (p=0,000). Sedangkan pada kelompok perlakuan, kadar kortisol antara pre anestesi 258,49 (175,45-369,09) dan 2 jam pasca induksi 202,14 + 45,3 tidak berbeda bermakna (p=0,256), begitu pula 2 jam pasca induksi dengan 8 jam pasca induksi 251,39 + 122,91 (p=0,691).Kesimpulan: Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian vitamin C 200 mg intra vena 30 menit pre operasi dapat menurunkan efek depresi kortisol oleh pemberian etomidat 0,2 mg/kgBB.
Lama Analgesia Lidokain 2% 80 mg Dibandingkan Kombinasi Lidokain 2% dan Epinefrin pada Blok Subarakhnoid Rezka Dian Trisnanto; Uripno Budiono; Widya Istanto Nurcahyo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 2, No 3 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v2i3.6458

Abstract

Background: Subarachnoid block using isobaric lidocaine, has been applied on many variable clinic surgeries. In the country, lidocaine 2% 80 mg is preferable because of its cost The disadvantage of using lidocaine 2% 80 cc is short duration, 45 - 60 minutes, despite many surgeries take more than 1 hour, despite many surgeries take more than 1 hour.Objective: to prove whether addition of epinephrine 0.02 mg on subarachnoiod block with lidocaine 2% 80 cc able to make longer time of analgesia.Methods: It is a experimental study with quota sampling design on the 52 patients, which are undergoing surgery. In the room, blood pressure (BP), heart rate (HR), respiratory rate (RR) were measured. All of the patients were fasting 6 hour and no premedications. In the Central Operating Room/ COT ("Instalasi Bedah Sentral / IBS") vein access 18 G was inserted and colloid 7.5 cc/KgBW given as preload. The patients were divided randomly into 2 groups, lidocaine group and lidocaine - epinephrine group. Motoric block evaluation was performed on the same time with level of analgesia evaluation by using Bromage's criteria. Blood pressure, MAP, heart rate, respiratory rate were measured before and after subarachnoid block, in the first 10 minutes of surgery, measurement every minute, 20 th minute and every 10 minute, 20 th minute and then every 10 minute until there was no motoric block. Uncooperative patient and who need additional analgesia during surgery, was excluded. Using Mann - Whitney and p < 0.05. Data were gathered in tables.Results: There was no difference for patients characteristics and surgery distribution among 2 groups. Regression time of 2 segments on the lidocaine -epinephrine group was longer significantly than iidocaine group (p = 0.000). The onset of sensoric block on lidocaine was shorter significantly than lidocaine -epinephrine group (p = 0.025). Duration of motoric block on lidocaine -epinephrine group was longer significantly than lidocaine group (p = 0.000). There was no significant difference on maximal level in two groups. There was no difference significantly on BP, MAP, HR after preload. There was difference significantly on HR at 1 st and 2 nd during subarachnoid block given between two group. Side effect distribution had difference significantly.Conclusion: Regression time of 2 segments on iidocaine - epinephrine group was longer significantly than lidocaine group.Keywords : subarachnoid block, lidocaine 2% 80 mg, epinephrine 0.02 mgABSTRAKLatar belakang: Blok subarakhnoid menggunakan lidokain isobarik, banyak digunakan pada operas! untuk pasien dengan berbagai kondisi klinik. Di daerah banyak digunakan lidokain 2% 80 mg dikarenakan harganya yang relatif murah. Kerugian dari penggunaan lidokain 2% 80 mg adalah durasi yang singkat, yaitu antara 45 - 60 menit, padahal banyak tindakan pembedahan yang durasinya lebih dari 1 jam.Tujuan: Membuktikan apakah penambahan epinefrin 0,02 mg pada blok subarakhnoid dengan lidokain 2% 80 mg dapat memperpanjang lama analgesia.Metode : Merupakan penelitian eksperimental dengan desain quota sampling pada 52 pasien yang menjalani operasi di daerah region abdominal dengan blok subarakhnoid. Saat di ruangan dilakukan pengukuran tekanan darah, laju jantung, dan laju nafas. Semua penderita dipuasakan 6 jam dan tidak diberikan obat premedikasi. Penilaian blok motorik dilakukan pada saat yang sama dengan penilaian level analgesi dengan menggunakan criteria dari Bromage. Penilaian tekanan darah, TAR, laju jantung dan laju nafas dilakukan sebelum dan sesudah blok subarakhnoid selama 10 menit pertama pembedahan dilakukan tiap menit, menit ke 15,20 selanjutnya setiap 10 menit sampai hilangnya blok motorik. Pasien tidak kooperatif dan membutuhkan analgetik tambahan selama pembedahan dikeluarkan dari penelitian. Uji statistik menggunakan Mann - Whitney dan derajat kemaknaan p < 0,05. Penyajian data dalam bentuk tabel.Hasil: Karakteristik penderita dan distribusi operasi antara kedua kelompok tidak berbeda. Waktu regresi dua segmen kelompok lidokain - epinefrin lebih lama dibandingkan kelompok lidokain (p=0,000). Mula kerja blok sensorik kelompok lidokain lebih cepat dibandingkan dengan kelompok lidokain - epinefrin (pK),002). Mula kerja blok motorik kelompok lidokain lebih cepat dibandingkan dengan kelompok lidokain - epinefrin (/7= : 0,025). Lama kerja blok motorik kelompok lidokain - epinefrin lebih panjang dibandingkan dengan kelompok lidokain (p=0,000). Level maksimal blok sensorik tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. TDS, TDD, TAR, laju nafas pada keadaan hemodinamik setelah preload tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Pada laju jantung terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p=0,013). TDS, TDD, TAR, laju nafas selama blok subarakhnoid tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Laju jantung terdapat perbedaan bermakna pada menit pertama dan menit kedua selama blok subarakhnoid pada kedua kelompok. Distribusi efek samping terdapat perbedaan bermakna antaraKesimpulan: Waktu regresi 2 segmen kelompok lidokain - epinefrin lebih lama secara bermakna dibandingkan kelompok lidokain.Kata kunci : Blok subarakhnoid, lidokain 2% 80 mg, epinefrin 0,02 mg.
Perbedaan Pemberian Deksametason Antara Teknik Premedikasi dan Priming Terhadap Jumlah Neutrofil Pasien Bedah Jantung yang Menggunakan Mesin Boy Sumantomo; Widya Istanto Nurcahyo; Hari Hendriarto Satoto
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 9, No 2 (2017): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (623.204 KB) | DOI: 10.14710/jai.v9i2.19829

Abstract

Latar belakang: Bedah jantung terbuka merupakan salah satu jenis operasi dengan trauma yang cukup besar, dalam pelaksanaannya menggunakan mesin jantung paru. Penggunaan mesin jantung paru menyebabkan respon inflamasi yang besar dan ditandai dengan leukositosis (neutrophil). Salah satu cara untuk mengurangi produksi neutrophil ini dengan menggunakan dexamethason, ada beberapa teknik pemberian deksametason diantaranya cara premedikasi dan priming.Tujuan: Membandingkan  dexamethason 1 mg/kgBB sebagai premedikasi dan dexamethason 1 mg/kgBB saat priming terhadap jumlah neutrofil post CPB pada operasi jantung.Metode: Penelitian ini merupakan percobaan klinik secara acak yang mengikut sertakan 18 pasien bedah jantung ganti katup dengan general anestesi  dan menggunakan mesin jantung paru. Sampel dibagi 2, antara pemberian deksametason teknik premedikasi dan teknik priming. Kelompok premedikasi mendapatkan deksametason 1 mg/kgbb setelah induksi, kelompok priming mendapatkan deksametason 1 mg/kgbb pada mesin jantung paru. Dengan membandingkan jumlah neutrophil pada masing-masing teknik antara preoperasi dan postoperasi.Hasil: pada penelitian ini didapatkan penurunan produksi neutrophil batang untuk teknik premedikasi dengan (p = 0,048) dan terjadi peningkatan neutrophil batang pada teknik priming (p = 0,012). Namun pada pemeriksaan neutrophil segmen terjadi peningkatan yang tidak bermakna untuk teknik premedikasi (p = 0,086) dan peningkatan yang bermakna untuk neutrophil segmen untung teknik priming (p = 0,012).Simpulan: Pemberian dexamethasone 1 mg/kgbb dengan teknik premedikasi terbukti menurunkan jumlah neutrophil batang pada pemeriksaan paska operasi bila dibandingkan pemberian dengan teknik priming. Namun tidak terbukti pada jumlah neutrophil segmen.
Fisiologi dan Patofisiologi Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal Taufik Eko Nugroho; Jati Listiyanto Pujo; Widya Istanto Nurcahyo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 3, No 2 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v3i2.6448

Abstract

Sistem endokrin terdiri dari kelenjar-kelenjar yang mensekresi hormon yang membantu memelihara dan mengatur fungsi-fungsi vital seperti (1) respons terhadap stres dan cedera, (2) pertumbuhan dan perkembangan, (3) reproduksi, (4) homeostasis ion, (5) metabolisme energi, dan (6) respons kekebalan tubuh. Sekresi kortisol oleh korteks adrenal diatur oleh sistem umpan balik negatif lengkung panjang yang melibatkan hipotalamus dan hipofisis anterior. Pada sistem hipotalamus-hipofisis-adrenal, corticotropin releasing hormone (CRH) menyebabkan hipofisis melepaskan ACTH. Kemudian ACTH merangsang korteks adrenal untuk mensekresi kortisol. Selanjutnya kortisol kembali memberikan umpan balik terhadap aksis hipotalamus-hipofisis, dan menghambat produksi CRH-ACTH. Sistem mengalami fluktuasi, bervariasi menurut kebutuhan fisiologis akan kortisol. Jika sistem menghasilkan terlalu banyak ACTH, sehingga terlalu banyak kortisol, maka kortisol akan mempengaruhi kembali dan menghambat produksi CRH oleh hipotalamus serta menurunkan kepekaan sel-sel penghasil ACTH terhadap CRH dengan bekerja secara langsung pada hipofisis anterior. Melalui pendekatan ganda ini, kortisol melakukan kontrol umpan balik negatif untuk menstabilkan konsentrasinya sendiri dalam plasma. Apabila kadar kortisol mulai turun, efek inhibisi kortisol pada hipotalamus dan hipofisis anterior berkurang sehingga faktor-faktor yang merangsang peningkatan sekresi kortisol (CRH-ACTH) akan meningkat. Sistem ini peka karena produksi kortisol atau pemberian kortisol atau glukokortikoid sintetik lain secara berlebihan dapat dengan cepat menghambat aksis hipotalamus-hipofisis dan menghentikan produksi ACTH.
Perbedaan Agregasi Trombosit pada Penderita yang Mendapat Propofol dan Penthotal Arliansah Arliansah; Widya Istanto Nurcahyo; Hariyo Satoto
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 2, No 2 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v2i2.6464

Abstract

Latar belakang: Perdarahan perioperatif merupakan masalah yang sering dihadapi dalam setiap operasi. Penggunaan obat anestesi induksi mempunyai pengaruh menghambat agregasi trombosit. Propofol dan Penthotal mempengaruhi Agregasi Trombosit.Tujuan: Membuktikan perbedaan pengaruh Propofol dan Penthotal terhadap Agregasi Trombosit.Metode: Merupakan penelitian Randomized Clinical Control Trial pada 34 pasien yang menjalani anestesi umum, dibagi menjadi 2 kelompok (n=17), Propofol dan Penthotal. Masing-masing kelompok diperiksa TAT sebelum induksi dan 5 menit setelah induksi. Uji statistik pair t-test dan independent t-test terhadap propofol atau penthotal dan agregasi trombosit.Hasil: Agregasi maksimal trombosit, sebelum dan sesudah pemberian propofol atau penthotal berbeda bermakna. Kelompok penthotal persentase agregasi maksimal trombosit 68,73 ± 6,06% dan propofol 54,68 ± 9,55%, menunjukkan perbedaan yang bermakna antara keduanya (p=0,001). Hasil sesudah perlakuan, kelompok propofol 14 orang hipoagregasi (82,4%), dan 3 orang normoagregsi (17,6%). Sementara kelompok penthotal 5 orang hipoagregasi (29,4%), dan sisanya 12 orang normoagregasi (70,6%). Secara statistik propofol secara bermakna menyebabkan hipoagregasi daripada penthotal.Kesimpulan : Propofol secara bermakna menurunkan agregasi maksimal trombosit dan menyebabkan hipoagregasi lebih banyak daripada penthotal.