Hariyo Satoto
Bagian Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro/ RSUP Dr. Kariadi Semarang

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Kadar Substansi P Serum Pada Pemberian Parasetamol Intravena Perioperatif Pada Pasien Kraniotomi Bondan Irtani Cahyadi; Hariyo Satoto; Heru Dwi Jatmiko
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 7, No 2 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (404.524 KB) | DOI: 10.14710/jai.v7i2.9820

Abstract

Latar belakang : Manajemen nyeri pasca kraniotomi sangat penting karena 60-84% pasien pasca kraniotomi merasakan nyeri sedang hingga berat. Rasa nyeri ini ditransmisikan olehserabutsaraf C yang melibatkan neuropeptida substansi P (SP). Pemberian analgetik golongan opioid memiliki efek samping seperti alergi, gangguan gastrointestinal, mual, muntah, hipotensi, depresi nafas maupun retensi urin. Paracetamol memiliki efek yang mengurangi kebutuhan analgesia opioid, dan menghambat hiperalgesia yang dimediasi oleh SP.Tujuan : Mengetahui efek pemberian parasetamol intravena perioperatif terhadap kadar SP serum pasca kraniotomi.Metode : Empat puluh responden berusia 18-45 tahun akan menjalani kraniotomi reseksi tumor intraserebral elektif, ASA I-II, dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok P diberikan paracetamol 1000 mg intravena per 6 jam selama 24 jam pasca operasi, kelompok K mendapat plasebo. Analgetik pasca operasi menggunakan morfin syringe pump 0,01 mg/kg/jam titrasi sesuai VAS.  Level SP serum diperiksa menggunakan Cusabio SP ELISA kit sebelum operasi dan 12 jam setelah operasi. VAS dinilai pada jam 1, 6, 12, dan 24 jam pasca operasi. Jumlah total pemakaian morfin dalam 24 jam dan efek mual muntah dicatat.Hasil : Kadar SP pra operasi pada kelompok P 16,89± 31,395 pg/ml dan pasca operasi 36,58 ± 46,960 pg/ml. Level SP pra operasi kelompok K 9,58 ± 10,656 pg/ml dan pasca operasi 26,09 ± 22,506 pg/ml. Peningkatan kadar SP pasca operasi kelompok P sebesar 19,69± 28,625 pg/ml, sedangkan kelompok K 16,51 ± 14,972 pg/ml. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar SP dan  peningkatannya pada kedua kelompok penelitian (p=0,793 dan p=0,540), sedangkan nilai  VAS dan jumlah morfin yang diberikan berbeda bermakna (p<0,05).Simpulan : Pemberian parasetamol intravena perioperatif pada pasien kraniotomi mengurangi kebutuhan morfin dan nilai VAS lebih baik, namun tidak mempengaruhi kadar SP pasca operasi. 
Pengaruh Pemberian Cairan Ringer Laktat Dibandingkan Nacl 0,9% Terhadap Keseimbangan Asam-Basa Pada Pasien Sectio Caesaria Dengan Anestesi Regional Muhammad Mukhlis Rudi; Hariyo Satoto; Uripno Budiono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 4, No 1 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v4i1.6434

Abstract

Latar belakang: Pemberian cairan pada pasien yang akan operasi, khususnya sectio caesaria (SC), sebelumnya jarang dilakukan pemeriksaan elektrolit, sehingga dapat menimbulkan gangguan keseimbangan elektrolit yang akan memperberat proses metabolik dan penyembuhannya. Pemeriksaan elektrolit setelah operasi sangat penting, karena intervensi cairan selama operasi, dengan alasan untuk mengontrol elektrolit dan keseimbangan asam-basa.Metode: Penelitian ini termasuk eksperimental berupa uji klinik tahap 2 yang dilakukan secara acak tersamar ganda dengan tujuan untuk mengetahui cairan mana yang lebih baik, RL ataupun NaCl 0,9% terhadap strong ion difference (SID) keseimbangan asam-basa yang didasarkan pada metode Stewart. Pasien yang dipersiapkan untuk menjalani operasi SC, sebagai salah satu persyaratan untuk menjalani tindakan pembiusan dan mencegah mual muntah. Kemudian dilakukan pemasangan jalur intravena serta pengambilan darah vena di ruang bedah sentral dan diberikan premedikasi serta “loading” cairan sebelum dibius dengan tujuan untuk mencegah terjadinya hipotensi akibat obat regional anestesinya. Setelah itu, selama operasi pasien diberikan cairan kristaloid. Setelah operasi selesai, dilakukan pemeriksaan darah vena. Data-data yang dicatat untuk perhitungan statistik yang termasuk dalam tujuan penelitian ini adalah kadar elektrolit. Uji statistik dengan menggunakan t-test.Hasil: Rerata sebelum operasi SID RL (38,58±2,28) menunjukkan alkalosis, sedangkan SID NaCl (37,42±4,35) menunjukkan asidosis. Rerata setelah operasi SID RL (37,79±1,18) menunjukkan kestabilan dibandingkan rerata SID NaCl (39,67±3,10) yang alkalosis.Kesimpulan: Pemberian RL pada pasien sectio caesaria lebih menguntungkan dibandingkan NaCl, karena NaCl sangat mempengaruhi pergeseran SID keseimbangan asam-basa Stewart.
Midazolam Intravena Dosis Rendah Tidak Mempengaruhi Nitric Oxide Intraperitoneal Mencit Balb/C Yang Terpapar Lipopolisakarida Akhmad Ridconi; Hariyo Satoto; Uripno Budiono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 3, No 2 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v3i2.6445

Abstract

Latar belakang: Lipopolisakarida dapat mengaktivasi NF-kB (Nuclear Factor kappa B) untuk terjadinya apoptosis dan kegagalan organ. NO (nitric oxide), suatu sitokin pro inflamasi, memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya hipoten si sistemik pada syok septik akibat aktivasi faktor transkripsional NF-kB. Antioksidan dapat melemahkan efek paparan dari lipopolisakarida dan memblok produksi NF-kB. Midazolam, obat sedasi yang seringkali digunakan di ruang rawat intensif (ICU) untuk penderita sepsis, diduga memiliki efek antioksidan dan anti inflamasi melalui penghambatan sistem ubiquitin NF-kB, sehingga pembentukan NO dapat dihambat. Tujuan: mengetahui pengaruh pemberian Midazolam dalam dosis 0,07-0,2 mg/kg terhadap kadar NO mencit yang diberi endotoksin lipopolisakarida intraperitoneal. Metode: merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan desain randomized post test only controlled group pada 20 ekor mencit Balb/c yang disuntik lipoplisakarida intraperitoneal dan midazolam dosis 0,07 ; 0,1 ; dan 0;2 mg/kg intravena. Mencit dibagi menjadi 4 kelompok secara random, yaitu kelompok P1 sebagai kontrol, kelompok P2 yang mendapat midazolam 0,07 mg/kg, kelompok P3 yang mendapat midazolam 0,1 mg/kg, dan kelompok P4 yang mendapat midazolam dosis 0,2 mg/kg. Pemeriksaan NO diambil dari kultur makrofag intraperitoneal setelah 6 jam pemberian midazolam. Hasil dinilai dengan uji statistik nonparametrik Kruskal Walis dan Mann-Whitney dengan derajat kemaknaan p<0,05. Hasil: Tidak terdapat perbedaan kadar NO yang signifikan pada kelompok P2 dibanding P1 (1,77 ± 0,23 vs. 1,76 ± 0,26, p=0,841) dan P3 dibanding P1 (1,50 ±0,22 vs. 1,76 ± 0,26, p=0,310). Kadar NO pada kelompok P4 (3,11 ± 0,44) lebih tinggi dibanding P1 Secara signifikan (p=0,032). Simpulan: Pada mencit Balb/c sepsis, pemberian midazolam 0,1 mg/kg tidak dapat menurunkan kadar NO intraperitoneal secara signifikan. Pemberian midazolam 0,2 mg/kg meningkatkan kadar NO intraperitoenal mencit endotoksemia secara signifikan.
Pemberian Lidokain 1,5 mg/Kg/Jam Intravena untuk Penatalaksanaan Nyeri Pasien Pasca Laparatomi Dicky Hartawan; Hariyo Satoto; Uripno Budiono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 4, No 3 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (655.232 KB) | DOI: 10.14710/jai.v4i3.6424

Abstract

Latar Belakang: Penanggulangan nyeri post operasi yang efektif merupakan salah satu hal yang penting dan menjadi problema bagi ahli anestesi. Salah satu jenis pembedahan dengan tingkat nyeri pasca operasi tinggi adalah laparotomi. Menurut penelitian terdahulu IVLI (intravenous lidokain infusion) berpotensi dan efektif untuk mengurangi nyeri paska operasi pada kasus bedah abdominal.Tujuan: Mengetahui apakah penggunaan lidokain intravena 1,5mg/kg/jam dapat menjadi salah satu alternatif pengelolaan nyeri paska operasi laparotomiMetode: Penelitian ini merupakan uji eksperimental klinis dengan desain acak tersamar di Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUP Dr. Kariadi Semarang. Sampel diambil dari pasien yang menjalani operasi laparatomi menggunakan “consecutive sampling” dan dibagi menjadi dua kelompok : Kelompok 1 (K1) diberikan lidokain 1mg/kg/iv 30 menit sebelum insisi kulit dan dilanjutkan dengan lidokain 1,5mg/kg/jam sampai 48 jam paska operasi; Kelompok 2 (K2) diberikan plasebo. Pasien dinilai Score Analog Visual dan parameter hemodinamik post operatif, bila SAV >5 pasien mendapatkan rescue analgesia. Analisis statistik dengan SPSS for Windows versi 17.Hasil: Pasca operasi terdapat perbedaan bermakna pada kebutuhan rescue analgesia (4 vs 15 subjek , p=0.01), waktu dimulainya rescue analgesia(jam ke 18.0±6.92 vs 14.5±5.19, p=0.01), penggunaan opioid (12,9±1,53 vs 16,57±2,59 mg , p=0.01), VAS 12 jam (3,8±0,88 vs 5,3±0,56, p=0.00),VAS 24 jam (4,1±0,54 vs 5,6±0,62, p=0.00),VAS 48 jam (4,5±0,51 vs 5±0,0,p=0,02), dan laju jantung (p=0,00) kedua kelompokSimpulan: Pemberian Lidokain 1,5 mg/kg intravena cukup efektif dalam pengelolaan nyeri post laparotomi dan dapat menurunkan kebutuhan penggunaan analgetik opioid dalam pengelolaan nyeri post laparotomi
Pengaruh Penggunaan Mesin Cardiopulmonary Bypass Terhadap Kadar Leukosit pada Operasi Bedah Jantung Rapto Hardian; Hariyo Satoto; Soenarjo Soenarjo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 4, No 1 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v4i1.6435

Abstract

Latar belakang : Prosedur bedah jantung menggunakan mesin cardiopulmonary bypass semakin banyak dilakukan. Penggunaan mesin cardiopulmonary bypass dianggap menyebabkan peningkatan jumlah leukosit yang merupakan salah satu tanda terjadinya Systemic inflammatory response syndrome (SIRS).Tujuan : untuk mengetahui pengaruh penggunaan mesin cardiopulmonary bypass terhadap peningkatan jumlah leukosit pada operasi bedah jantung.Metode : merupakan penelitian cohort observational prospective pada 22 pasien yang menjalani operasi bedah jantung menggunakan Cardiopulmonary bypass. Pengambilan sampel darah tepi untuk menghitung leukosit diambil pada saat pra sternotomy (Leukosit 1), pra kanulasi (Leukosit 2), menit ke 15 (Leukosit 3) selama CPB dan menit ke 30 (Leukosit 4) selama CPB. Sampel darah dihitung menggunakan mesin secara otomatis. Uji statistik menggunakan Paired t-test dan Wilcoxon signed ranks test (dengan derajat kemaknaan < 0,05).Hasil : karakteristik data penderita akan disajikan dalam bentuk tabel. Pada penelitian ini didapatkan hasil uji pada Leukosit 2 dengan Leukosit 3 didapatkan hasil yang tidak bermakna p = 0,170 (p > 0,05 ). Hasil uji pada Leukosit 1 dengan Leukosit 2, Leukosit 1 dengan Leukosit 3, Leukosit l dengan Leukosit 4, Leukosit 2 dengan Leukosit 4, dan Leukosit 3 dengan Leukosit 4, didapatkan hasil yang bermakna dengan p = 0,019, p = 0,026, p = 0,001, p = 0,003 dan p = 0,007 (p < 0,05).Kesimpulan : terdapat peningkatan jumlah leukosit pada pemakaian mesin CPB terutama pada menit ke 30. Pada menit ke 15 belum terdapat peningkatan jumlah leukosit yang bermakna akibat pemakaian mesin CPB
Pengaruh Pretreatment Vitamin C 200 Miligram Terhadap Kadar Cortisol Serum Pada Induksi Etomidat Ratna Anggraeni; Hariyo Satoto; Widya Istanto Nurcahyo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 3, No 1 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v3i1.6451

Abstract

Latar Belakang: Etomidat adalah salah satu agen anestesi yang berefek minimal terhadap kardiovaskular. Namun, etomidat mendepresi produksi kortisol. Salah satu agen yang dapat meminimalisir efek depresi tersebut adalah vitamin C.Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pretreatment vitamin C 200 mg pada operasi elektif dengan anestesi umum terhadap kadar kortisol serum.Metode: penelitian ini merupakan penelitian Randomized Contolled Trial dengan 30 subjek yang dibagi dalam dua kelompok sama besar (n=15), yaitu kelompok kontrol yang menerima etomidat 0,2 mg/kgBB dan kelompok perlakuan yang menerima etomidat dan vitamin C 200 mg iv preoperasi. Masing-masing kelompok tersebut selanjutnya diperiksa kadar kortisolnya pre anestesi, 2 jam pasca induksi, 8 jam pasca induksi. Uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dan Paired T Test digunakan untuk membandingkan kadar kortisol di masing-masing kelompok. Uji Mann Whitney dan Independent Sample T Test digunakan untuk membandingkan antar kelompok kontrol dan perlakuan.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok kontrol, kadar kortisol preanestesi 244,15 dan 2 jam pasca induksi 185,52 + 35,88 berbeda bermakna (p=0,002). Begitu pula antara kadar 2 jam dengan 8 jam pasca induksi 349,81 + 121,28 (p=0,000). Sedangkan pada kelompok perlakuan, kadar kortisol antara pre anestesi 258,49 (175,45-369,09) dan 2 jam pasca induksi 202,14 + 45,3 tidak berbeda bermakna (p=0,256), begitu pula 2 jam pasca induksi dengan 8 jam pasca induksi 251,39 + 122,91 (p=0,691).Kesimpulan: Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian vitamin C 200 mg intra vena 30 menit pre operasi dapat menurunkan efek depresi kortisol oleh pemberian etomidat 0,2 mg/kgBB.
Perbandingan Kadar IL-10 Serum dengan dan Tanpa Infiltrasi Levobupivakain pada Nyeri Pasca Insisi Mochamad Rofii; Hariyo Satoto; Mohamad Sofyan Harahap
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 2, No 2 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v2i2.6462

Abstract

Latar belakang: Nyeri insisi menyebabkan peningkatan hormon glukokortikoid yang memperlama penyembuhan luka. Transmisi nyeri dapat dihambat dengan infiltrasi Levobupivakain 0,25 %. Terapi ini akan mengurangi supresi imunitas seluler sehingga fungsi makrofag dalam membantu aktifasi sel T tidak terhambat. Aktifasi sel T ini diduga akan meningkatkan kadar IL-10 serum.Tujuan: Membandingkan kadar IL-10 serum dengan dan tanpa infiltrasi Levobupivakain 0,25 %.Metode: Dilakukan penelitian eksperimental laboratorik dengan disain “Randomized Post test only control group design”, pada tigapuluh lima ekor tikus Wistar. Kelompok penelitian dibagi menjadi tiga kelompok secara acak. Kelompok kontrol (K) lima ekor tikus, kelompok Perlakuan 1 (P1) dan kelompok Perlakuan 2 (P2) masing-masing limabelas ekor tikus. Kelompok kontrol (K) tikus dibius, tanpa insisi dan tanpa infiltrasi lalu diperiksa kadar IL-10 serumnya pada hari pertama. Kelompok Perlakuan 1 (P1) tikus dibius lalu dilakukan insisi sepanjang 2 cm dipunggung kedalaman subkutis dan injeksi tanpa Levobupivakain 0,25 % disekitar luka. Kelompok Perlakuan 2 (P2) tikus dibius laku dilakukan insisi sepanjang 2 cm dipunggung kedalaman subkutis dan infiltrasi dengan Levobupivakain 0,25 % disekitar luka. Injeksi pada kelompok P1 dan infiltrasi pada kel ompok P2 diulangi dua kali tiap 8 jam selama 24 jam. Kadar IL-10 serum kelompok P1 dan kelompok P2 diperiksa pada hari ke pertama, kedua dan ketiga. Dibandingkan kadar IL-10 serum antara ketiga kelompok. Analisis statistik dengan program SPSS 10,0 for windows.Hasil: Dari hasil pengamatan rerata berat badan tikus pada ketiga kelompok berbeda tidak bermakna dengan p = 0,874 ( p > 0,05 ). Kadar IL-10 serum pada kelompok K 0,13 ± 0,02 pg/ml, sedangkan kelompok perlakuan 1 (P1) hari pertama 0,16 ± 0,12 pg/ml ; hari kedua 0,16 ± 0,06 pg/ml dan hari ketiga 0,18 ± 0,07 pg/ml. Terjadi kenaikan sebesar 23 % pada hari pertama dan hari kedua serta 38 % pada hari ketiga pada kelompok perlakuan 1 (P1). Kadar IL-10 serum kelompok P2 pada hari pertama, kedua dan ketiga adalah 0,21 ± 0,15 pg/ml : 0,30 ± 0,11 pg/ml ; 0,29 ± 0,13 pg/ml. Terjadi kenaikan sebesar 61 % pada hari pertama, 130 % pada hari kedua dan 123 % pada hari ketiga. Data parameter klinis ketiga kelompok terdistribusi normal ( p > 0,05 ). Kadar IL-10 serum pada ketiga kelompok berbeda bermakna dengan nilai p 0,000 (p < 0,05). Kenaikan kadar IL-10 serum tertinggi adalah pada kelompok dengan infiltrasi Levobupivakain 0,25 % pada hari kedua yaitu sebesar 130 %.Kesimpula: Infiltrasi Levobupivakain 0,25 % disekitar luka insisi meningkatkan kadar IL -10 serum. Terjadi kenaikan sebesar 23 % pada hari pertama dan hari kedua serta 38 % pada hari ketiga pada kelompok perlakuan 1 (P1). Dan pada kelompok perlakuan 2 (P2) terjadi kenaikan sebesar 61 % pada hari pertama, 130 % pada hari kedua dan 123 % pada hari ketiga. Kenaikan kadar IL-10 serum tertinggi adalah pada kelompok infiltrasi dengan Levobupivakain 0,25 % yang terjadi pada hari kedua yaitu sebesar 130 %.
Perbedaan Agregasi Trombosit pada Penderita yang Mendapat Propofol dan Penthotal Arliansah Arliansah; Widya Istanto Nurcahyo; Hariyo Satoto
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 2, No 2 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v2i2.6464

Abstract

Latar belakang: Perdarahan perioperatif merupakan masalah yang sering dihadapi dalam setiap operasi. Penggunaan obat anestesi induksi mempunyai pengaruh menghambat agregasi trombosit. Propofol dan Penthotal mempengaruhi Agregasi Trombosit.Tujuan: Membuktikan perbedaan pengaruh Propofol dan Penthotal terhadap Agregasi Trombosit.Metode: Merupakan penelitian Randomized Clinical Control Trial pada 34 pasien yang menjalani anestesi umum, dibagi menjadi 2 kelompok (n=17), Propofol dan Penthotal. Masing-masing kelompok diperiksa TAT sebelum induksi dan 5 menit setelah induksi. Uji statistik pair t-test dan independent t-test terhadap propofol atau penthotal dan agregasi trombosit.Hasil: Agregasi maksimal trombosit, sebelum dan sesudah pemberian propofol atau penthotal berbeda bermakna. Kelompok penthotal persentase agregasi maksimal trombosit 68,73 ± 6,06% dan propofol 54,68 ± 9,55%, menunjukkan perbedaan yang bermakna antara keduanya (p=0,001). Hasil sesudah perlakuan, kelompok propofol 14 orang hipoagregasi (82,4%), dan 3 orang normoagregsi (17,6%). Sementara kelompok penthotal 5 orang hipoagregasi (29,4%), dan sisanya 12 orang normoagregasi (70,6%). Secara statistik propofol secara bermakna menyebabkan hipoagregasi daripada penthotal.Kesimpulan : Propofol secara bermakna menurunkan agregasi maksimal trombosit dan menyebabkan hipoagregasi lebih banyak daripada penthotal.
Perbandingan Efektifitas Propofol dan Tiopental Pada Intubasi Endotrakea Tanpa Pelumpuh Otot Sulistyowati Sulistyowati; Hariyo Satoto
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 1, No 3 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v1i3.6558

Abstract

Latar belakang: Pemberian fentanyl yang diikuti dengan propofol memberikan kondisi yang cukup untuk fasilitasi intubasi endotrakea tanpa menggunakan pelumpuh otot. Beberapa obat hipnotis anestesi telah diselidiki pada saat ini. Intubasi endotrakea dengan menggunakan fentanyl diikuti dengan propofol atau thiopental tanpa menggunakan pelumpuh otot dibandingkan pada penelitian ini.Metode: Dengan metode randomisasi acak tersamar ganda. 48 pasien dengan ASA 1 & II dibagi ke dalam 2 kelompok ( n = 24 ). Setelah pemberian Sulfas atropin 0,01 mg/kgBB, midazolam 0,07 mg/kgBB sebagai premedikasi.Fentanyl 2 µg/kgBB diberikan intravena setelah 90 detik diberikan propofol 2 mg/kgBB ( kelompok I) dan tiopental 5 mg/kgBB ( kelompok II ) .Kemudian dilakukan ventilasi oksigen 6 L/menit selama 90 detik.Setelah itu laringoskopi intubasi dilakukan.Kemudahan intubasi endotrakea dinilai sebagai sempurna,baik dan buruk.Penilaian kemudahan intubasi endotrakea berdasarkan kemudahan ventilasi, relaksasi rahang, posisi pita suara dan respon pasien terhadap intubasi dan inflasi pada pipa endotrakea.Hasil: Data demograpik dan data pengukuran pra penelitian didapatkan hasil tidak berbeda.Respon kardiovaskuler sebelum dan sesudah intubasi endotrakea didapatkan hasil berbeda bermakna (p <0,005 ) lebih stabil pada penggunaan tiopental sebagai obat hipnosis.Seluruh kondisi pada intubasi endotrakea mendapatkan hasil berbeda bermakna ( p < 0,005 ) lebih baik, dan frekwensi intubasi endotrakea pada kondisi baik berbeda bermakna ( p < 0,005 ) lebih tinggi pada kelompok propofol dibandingkan dengan kelompok tiopental untuk intubasi endotrakea bila dikombinasikan dengan fentanyl 2 µg/kgBB tanpa menggunakan pelumpuh otot.Pada penelitian ini tidak ada pasien yang diterapi untuk kasus hipotensi dan bradikardi.Kesimpulan: Propofol 2 mg/kgBB lebih baik dari tiopental 5 mg/kgBB untuk intubasi endotrakea dengan kombinasifentanyl 2 µg/kgBB tanpa menggunakan pelumpuh otot.
Pengelolaan Cairan Pediatrik Aditya Kisara; Hariyo Satoto; Johan Arifin
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 2, No 2 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v2i2.6465

Abstract

Pemberian cairan pada anak berbeda dengan pemberian cairan pada dewasa. fisiologi dari cairan tubuh, ginjal dan kardiovaskuler yang berbeda dari orang dewasa mempengaruhi jenis cairan yang diberikan pada anak. Untuk memudahkan menghitug jumlah kebutuhan cairan rumatan pada anak dapat digunakan rumus dari Holliday dan Segar. Kebutuhan cairan rumatan harus ditambah pada anak dengan demam keringat yang banyak dan status hipermetabolik. Pada anak yang akan mejalani operasi, perlu diberikan cairan pengganti puasa. Semua cairan yang hilang selama operasi harus diganti dengan cairan isotonik kristaloid, koloid atau produk darah.