Muhammad Syuib
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga

Pencabutan Hak Hadhȃnah Terhadap Istri Yang Berzina Berdasarkan Perspektif Tarjih Maşhlahah (Analisis Putusan Hakim Tingkat Banding Nomor: 59/Pdt.G/2017/MS-Aceh) Mutiara Fahmi; Muhammad Syuib; Yunita Arnanada
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 1, No 2 (2018): El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v1i2.7635

Abstract

Salah satu konsekuensi akibat adanya perceraian yaitu hadhânah. Jadi terjadi perceraian anak yang belum mumayyiz adalah hak ibu sebagai pemegang hadhânah. Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi bagi perempuan pengasuh, jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka gugur hak  hadhânah terhadapnya. Syaratnya ialah: Islam, baligh, berakal sehat, memiliki kemampuan untuk mendidik anak, amanah, berbudi pekerti yang baik. Namun bagaimana jika istri berzina dengan laki-laki lain apakah ia masih berhak diberikan hadhânah atau tidak. Dalam putusan hakim tingkat banding di Mahkamah Syar’iyyah Aceh Nomor 59/Pdt.G/2017/MS-Aceh masih memberikan hak hadhânah kepada istri yang berzina. Oleh sebab itu penulis skripsi ingin mengetahui bagaimana dasar pertimbangan Mejelis Hakim Mahkamah Syar’iyyah Aceh memberikan hadhânah kepada istri yang berzina dan bagaimana kesesuaian putusan hakim Mahkamah Syar’iyyah Aceh tersebut jika ditinjau dalam perspektif tarjih maşhlahah. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Hasil penelitian yang temukan ialah Pertimbangan Hakim Mahkamah Syar’iyyah Aceh tetap memberikan hadhânah kepada ibu didasari atas hakim marujuk pada Pasal 105 KHI yang menyatakan “dalam hal terjadinya perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya”. Kemudian, Majelis hakim tingkat banding mempelajari lagi pada putusan tingkat pertama, bahwa menurut keterangan saksi yang diajukan oleh para pihak tidak ada yang menyatakan jika istri berzina dengan laki-laki lain, dan suami tidak memiliki bukti yang dapat menguatkan argumentasi yang menyatakan kalau istri berzina dengan laki-laki lain, oleh karena itu Majelis hakim tingkat banding tidak dapat mencabut hak hadhânah terhadap istri. Jika ditinjau dari perspektif tarjih maşhlahah, putusan  Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyyah sudah tepat dalam memberikan hadhânah kepada istri. Hakim dalam memutuskan perkara hadhânah disini beralih kepada aturan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105, dikarenakan istri tidak dapat dibuktikan bahwa ia berzina dengan laki-laki lain dan istri juga belum menikah dengan laki laki lain. Oleh karena itu hakim menetapkan hadhânah kepada istri yang berzina tetap mengutamakan kemashlahatan dengan cara mengambil kemudaratan yang paling ringan.
Persepsi Masyarakat terhadap Izin Poligami Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 M. Syuib M. Syuib; Aji Afdillah
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 2, No 1 (2019): El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v2i1.7642

Abstract

Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan. Salah. Hukum Keluarga Islam, memang memperbolehkan poligami tetapi membatasi kebolehan poligami hanya sampai 4 orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula yang harus dipenuhi suami seperti keharusan berlaku adil diantara para istri. Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak dibicarakan dan juga kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidak adilan gender. Berdasarkan Pasal 3 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan yaitu istri yang terdahulu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat Gampong Gue Gajah mengenai izin poligami, mengapa masyarakat Gampong Gue Gajah secara umum menolak praktik poligami walaupun sudah ada perizinan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Untuk memperoleh jawaban tersebut, peneliti menggunakan metode deskriptif normatif. Adapun metode pengumpulan data dengan wawancara dan dikategorikan sebagai penelitian lapangan (Field research). Berdasarkan penelitian yang dilakukan dilapangan, faktor yang menyebabkan banyaknya masyarakat hingga menafikan poligami karena kurangnya edukasi tentang pemahaman mengenai Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 5 ayat (1)  mengenai prosedur perizinan poligami. Selama ini masyarakat memandang poligami itu ialah hal buruk dengan alasan gender dan hak asasi manusia (HAM). Paling umum masyarakat menyampaikan mereka tidak siap baik secara mental, hati, hingga takut diperlakukan tidak adil. Padahal dalam Undang-undang Perkawinan telah memberikan kewenangan kepada istri terdahulunya, bahwasanya jika suami ingin berpoligami maka harus mendapatkan izin lisan dan tertulis di depan persidangan.