Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

PRINSIP DASAR HUKUM POLITIK ISLAM DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN FAHMI, MUTIARA
Petita : Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Syariah Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : State Islamic University (UIN) Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (222.508 KB) | DOI: 10.22373/petita.v2i1.1814

Abstract

Kajian ini bertujuan merumuskan prinsip dasar hukum politik Islam menurut perspektif Al-Quran mengingat hukum politik Islam (fiqh siyasah) adalah hukum yang terus berkembang dengan cepat dan dinamis, Perkembangan ini memerlukan pengetahuan tentang prinsip-prinsip dasar apa yang dirumuskan para ulama dalam bidang siyasah sehingga perkembangan hukum politik Islam tidak lari dari rel dan norma standar yang telah disepakati. Menurut Islam, mekanisme operasional pemerintahan dan ketatanegaran mengacu pada prinsip-prinsip syari’ah yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis. Prinsip-prinsip negara dalam Islam tersebut ada yang berupa prinsip-prinsip dasar yang mengacu pada teks-teks syari’ah yang jelas dan tegas, dan ada pula prinsip-prinsip tambahan yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam fiqh siyasah atau Hukum ketatanegaraan dalam Islam. Prinsip-prinsip hukum politik Islam yang telah diuraikan oleh para pakar politik Islam dalam berbagai referensi sangat variatif, dalam kajian ini prinsip-prinsip siyasah dan penyelenggaraan negara dalam Alquran dapat diformulasikan tujuh prinsip dasar hukum politik Islam. yaitu : 1). Prinsip kedaulatan; 2). Prinsip keadilan; 3). Prinsip musyawarah dan Ijma’; 4). Prinsip persamaan; 5). Prinsip hak dan kewajiban negara dan rakyat; 6). Prinsip amar ma’ruf nahi munkar.
Penetapan Nasab Anak Mulā’anah melalui Tes DNA (Studi atas Metode Istinbāṭ Yūsuf al-Qaraḍāwī) Fahmi, Mutiara; fahmi, fitiya
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 3, No 1 (2019)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (437.607 KB) | DOI: 10.22373/sjhk.v3i1.5024

Abstract

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini mampu menelusuri jejak nasab yang disebut dengan DNA. DNA merupakan jenis asam nukleat dalam tubuh manusia yang diduga kuat dapat digunakan sebagai alat ukur keterhubungan tali darah antara anak dengan orang tua, baik dalam kasus anak zina maupun anak mulā’anah. Penelitian ini mengkaji pendapat Yūsuf Al-Qaraḍāwī tentang penetapan nasab anak mulā’anah melalui tes DNA. Masalah yang didalami adalah bagaimana pandangan Yūsuf al-Qaraḍāwī tentang hukum penetapan nasab anak mulā’anah melalui tes DNA, dan bagaimana metode istinbāṭ yang digunakan Yūsuf al-Qaraḍāwī dalam hal tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan jenis studi pustaka (library research). Data dikumpulkan dari bahan kepustakaan dan dianalisa dengan cara deskriptif-analisis. Hasil analisa penelitian menunjukkan bahwa pandangan Yūsuf al-Qaraḍāwī tentang hukum penetapan nasab anak mulā’anah melalui tes DNA tidak dapat dilakukan oleh suami. Penetapan nasab anak mulā’anah melalui tes DNA dapat dilakukan oleh isteri. Isteri dapat meminta hakim untuk tes DNA terhadap anak yang disanksikan. Metode istinbāṭ Yūsuf al-Qaraḍāwī terhadap penetapan nasab anak mulā’anah melalui tes DNA cenderung menggunakan metode penalaran istiṣlāḥiyyah, satu bentuk penalaran yang bertumpu pada pertimbangan kemaslahatan atau tujuan dari pensyariatan. Penggunaan tes DNA menurutnya tidak hanya bermanfaat dan memberi maslahat bagi isteri, tetapi juga suami, dan anak mulā’anah. Terhadap masalah penelitian ini, terdapat beberapa saran bahwa hendaknya, Yūsuf al-Qaraḍāwī mengurai lebih jauh tentang implikasi terkait bukti tes DNA terkait kejelasan status anak bagi suaminya dalam hal hak-ahak anak.
Patah Titi and Substitute Heirs: A Study of Legal Pluralism on the Inheritance System in Aceh Community Khairuddin Hasballah; Ridwan Nurdin; Muslim Zainuddin; Mutiara Fahmi
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 21, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v21i2.22792

Abstract

This research analyzes the issue of the practice of inheritance of patah titi and substitute heirs in Acehnese society according to the Compilation of Islamic Law (KHI), Islamic jurisprudence (fiqh) and local custom (adat). This empirical legal research uses a legal pluralism approach. Legal pluralism is a theory that analyzes the diversity of laws applicable and applied in the lives of society and the state. Data collection techniques include in-depth interviews and literature review. The findings reveal that the people of Aceh practice a religious legal system, which consists of the KHI, fiqh, and adat in the distribution of inheritance. In the customary law, the practice known as “patah titi” concerns the case of inheritance in which an heir predeceases the testator, thus preventing the heirs’ living descendants from receiving inheritance rights. The customary practice in regards to patah titi bears a similarity to fiqh, in which it does not recognize a substitute heir, as fiqh only recognizes the replacement of the heir’s position. According to ulamas and traditional leaders, the practice of patah titi causes a divergent of opinions in which some agree whereas others do not. Those who disagree are more likely to use the term “will”, meaning that even though grandchildren do not inherit, sometimes they get property by way of a will. Furthermore, substitute heirs as confirmed in the KHI, although unavailable in fiqh and adat literature, are still recognized as they are in accordance with maqāṣid sharīah (the objectives of Islamic law), i.e. for justice and benefit purposes. To conclude, such a practice is a consequence of legal pluralism, which prioritizes harmonization and integration between the three legal systems.   Abstrak: Penelitian ini menganalisis persoalan praktik pewarisan patah titi dan ahli waris pengganti dalam masyarakat Aceh menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam), fikih, dan adat setempat. Penelitian hukum empiris ini menggunakan pendekatan pluralisme hukum. Teknik pengumpulan data meliputi wawancara mendalam dan studi pustaka. Temuan mengungkapkan bahwa masyarakat Aceh menganut sistem hukum agama, yang terdiri dari KHI, fikih, dan adat dalam pembagian warisan. Dalam hukum adat, praktik yang dikenal sebagai patah titi menyangkut kasus pewarisan di mana seorang ahli waris mendahului pewaris sehingga mencegah keturunan ahli waris yang masih hidup untuk menerima hak warisan. Kebiasaan patah titi memiliki kesamaan dengan fikih, yaitu tidak mengenal ahli waris pengganti, karena fikih hanya mengenal pengganti kedudukan ahli waris. Para ulama dan tokoh adat berpendapat bahwa praktik ini menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat yang ada yang setuju dan ada yang tidak. Mereka yang tidak setuju lebih cenderung menggunakan istilah “wasiat”, artinya meskipun cucu tidak mewarisi, terkadang mereka mendapatkan harta dengan cara wasiat. Selanjutnya ahli waris pengganti yang ditegaskan dalam KHI, meskipun tidak ada dalam fikih dan literatur adat, tetap diakui sesuai dengan maqashid syariah (tujuan hukum Islam), yaitu untuk tujuan keadilan dan kemaslahatan. Kesimpulannya, praktik semacam itu merupakan konsekuensi dari pluralisme hukum yang mengutamakan harmonisasi dan integrasi antara ketiga sistem hukum tersebut.   
Prinsip Dasar Konstitusi Negara dalam Perspektif Al Quran Mutiara Fahmi
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v3i1.340

Abstract

This paper basically moved from efforts to prove scientifically and academically that Islam is a religion that has a complete political doctrine and system state, by means of track and ensure the basic principles of the constitution in the verses of the Koran as the primary source of Islamic law normative approach Islam. This study aims to answer some questions: What are the Basic Principles of State Constitutions contained in Alquran? And verses manasaja containing Basic Principles of State Constitutions in the Koran? This study used a descriptive-analytical method with normative-juridical approach (Shar'ie / fiqh).
TIM PENGAWAL UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH: DUALISME KLEMBAGAAN DAN KEWENANGAN YANG SUMIR Mutiara Fahmi; Zahlul Pasha Karim; Nyak Fadhlullah
Jurnal Legislasi Indonesia Vol 18, No 4 (2021): Jurnal Legislasi Indonesia - Desember 2021
Publisher : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54629/jli.v18i4.782

Abstract

ABSTRACTThis study aims to examine the presence of the UUPA Guard Team which is generally intended to ensure that the articles in the UUPA run properly. This research uses a type of normative legal research, which is carried out by examining library materials that are focused on examining the application of the rules or norms in the UUPA. Data collection techniques were carried out through library research by reading previous studies and readings related to the development of Aceh's special autonomy, followed by observation, in-depth interviews with key informants and several informants who are closely related to this study. The results showed that the formation of the UUPA Guard Team was important because the work apparatus of the Aceh Government and the DPRA did not specifically have the competence and ability to understand the regulations in the UUPA. The formation of the UUPA Guard Team by both the Aceh Government and the DPRA was due to the demands of the article in the UUPA that every change to the UUPA must go through consultation and consideration of the DPRA and the Governor of Aceh, so that the UUPA Guard Team is expected to provide input to the two institutions when there is an attempt to change the provisions. in the UUPA. The presence of the UUPA Guard Team for the specificity of Aceh did not have a direct impact. This is due to the nature of the Guard Team being only limited to the Aceh government support team which was formed temporarily to provide input on the enactment of the UUPA so far. ABSTRAKPenelitian ini bertujuan menelaah kehadiran Tim Pengawal UUPA yang secara umum ditujukan untuk memastikan agar pasal-pasal dalam UUPA berjalan sebagaiamana mestinya. Penelitian menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan pustaka yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah atau norma-norma dalam UUPA. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui library research dengan membaca studi sebelumnya dan bacaan-bacaan yang berkaitan dengan perkembangan otonomi khusus Aceh, dilanjutkan dengan observasi, indepth interview dengan key-informan dan beberapa informan yang berhubungan erat dengan studi ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan Tim Pengawal UUPA penting dilakukan disebabkan perangkat kerja Pemerintah Aceh dan DPRA yang ada tidak secara khusus memiliki kompetensi dan kemampuan memahami aturan dalam UUPA. Pembentukan Tim Pengawal UUPA baik oleh Pemerintah Aceh dan DPRA dikarenakan tuntutan pasal dalam UUPA bahwa setiap terdapat perubahan terhadap UUPA maka harus melalui konsultasi dan pertimbangan DPRA dan Gubernur Aceh, sehingga Tim Pengawal UUPA diharapkan dapat memberikan masukan terhadap kedua lembaga tersebut tatkala ada upaya untuk mengubah ketentuan dalam UUPA. Kehadiran Tim Pengawal UUPA terhadap kekhususan Aceh tidaklah berdampak secara langsung. Hal ini dikarenakan sifat Tim Pengawal hanya sebatas tim pembantu pemerintahan Aceh yang dibentuk secara temporer untuk memberi masukan terhadap keberlakuan UUPA selama ini.
PRINSIP DASAR HUKUM POLITIK ISLAM DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN Mutiara Fahmi
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 2 No 1 (2017)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2305.021 KB) | DOI: 10.22373/petita.v2i1.59

Abstract

The principle is a norm or value that is agreed universally. The basic principles of the electoral law is needed in order to run the state administration system in Islam which is very dynamic and moves quickly.This study attempted to formulate some basic principles of the laws of political Islam from the perspective of the Quran which is the law of political Islam (fiqh siyasah) is a law that continues to grow rapidly and dynamically, This development requires a knowledge of the basic principles of what defined the scholars in the field siyasah so that the legal development of political Islam does not out of the track and norms that have been agreed upon, both in terms of theory and application.According to Islam, the operating mechanism of the government and constitutional refers to Shari'ah principles which is derived from the Quran and Hadits. The principles of the Islamic state in any of these are basic principles that refer to the clear and unequivocal texts of Shari'ah, and there are additional principles that is conclution and included to fiqh siyasah or Islamic constitutional law.Legal principles of political Islam that has been described by experts on political Islam in various references are very varied, but the study to the principles siyasah and administration of the state in the Qur'an can be formulated seven basic principles of the electoral law of Islam. namely: 1). The principle of sovereignty; 2). The principle of justice; 3). The principle of syura and consensus'; 4). The principle of equality; 5). The principle of the rights and obligations of the state and the people; 6). The principle of amar ma’ruf nahi munkar. Abstrak: Kajian ini bertujuan merumuskan prinsip dasar hukum politik Islam menurut perspektif Al-Quran mengingat hukum politik Islam (fiqh siyasah) adalah hukum yang terus berkembang dengan cepat dan dinamis, Perkembangan ini memerlukan pengetahuan tentang prinsip-prinsip dasar apa yang dirumuskan para ulama dalam bidang siyasah sehingga perkembangan hukum politik Islam tidak lari dari rel dan norma standar yang telah disepakati. Menurut Islam, mekanisme operasional pemerintahan dan ketatanegaran mengacu pada prinsip-prinsip syari’ah yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis. Prinsip-prinsip negara dalam Islam tersebut ada yang berupa prinsip-prinsip dasar yang mengacu pada teks-teks syari’ah yang jelas dan tegas, dan ada pula prinsip-prinsip tambahan yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam fiqh siyasah atau Hukum ketatanegaraan dalam Islam. Prinsip-prinsip hukum politik Islam yang telah diuraikan oleh para pakar politik Islam dalam berbagai referensi sangat variatif, dalam kajian ini prinsip-prinsip siyasah dan penyelenggaraan negara dalam Alquran dapat diformulasikan tujuh prinsip dasar hukum politik Islam. yaitu : 1). Prinsip kedaulatan; 2). Prinsip keadilan; 3). Prinsip musyawarah dan Ijma’; 4). Prinsip persamaan; 5). Prinsip hak dan kewajiban negara dan rakyat; 6). Prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Kata kunci: Prinsip Dasar, Politik Islam
Sengkarut Pola Hubungan Lembaga Penyelenggara Pemilu di Daerah Otonomi Khusus Mutiara Fahmi; Zahlul Pasha; Khairil Akbar
Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol. 10 No. 1 (2020): April
Publisher : Prodi Siyasah (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/ad.2020.10.1.1-31

Abstract

This article seeks to analize the pattern of relations and authority of election agencies in special autonomous regions in Indonesia. The difference in the pattern of relations between election agencies in the special sutonomy region coincided with the implementation of asymmetric decentralization policies in Indonesia. As a result, differences in authority and specificity that is owned by one region with other regions. Whereas the Indonesian constitution based on Article 22E paragraph (5) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia states that all regulations relating to the electoral institutions in Indonesia apply nationally. The research method used is normative and empirical. This study found similarities and differences in the pattern of relationships and authority of election agencies in the special sutonomy Region. The similarity is that the election agencies in this Special Autonomous Region has lost certain duties and authorities that affect the pattern of their relationship. The difference lies in the lost duties and authority. In DKI Jakarta, the duties and responsibilities of the election organizers in the Regency/City are only in the context of assisting the Election organizing tasks in the Province. The duties and authority of the election organizers in DIY are reduced in the case of the Governor General Election. While in Aceh, the task of supervision is divided between two organizing agencies, namely the Aceh Panwaslih and the Aceh Province Panwaslih. In the future, this pattern of relations and authority will become a source of conflict and dispute. While in Papua Province, the election organize did not hold general elections due to the implementation of the noken system in some of these areas. Artikel ini berupaya menganalisis pola hubungan lembaga penyelenggara pemilu di daerah otonomi khusus di Indonesia. Perbedaan pola hubungan lembaga penyelenggara pemilu di daerah otsus muncul bersamaan dengan implementasi kebijakan desentralisasi asimetris di Indonesia. Akibatnya, muncul perbedaan kewenangan dan kekhususan yang dimiliki oleh satu daerah dengan daerah lain. Padahal konstitusi Indonesia berdasarkan Pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa segala peraturan yang terkait dengan lembaga pemilihan umum di Indonesia berlaku secara nasional. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif dan empiris. Penelitian ini menemukan adanya kesamaan dan perbedaan pola hubungan dan kewenangan lembaga penyelenggara Pemilu di Daerah Otonomi Khusus. Kesamaannya adalah, lembaga penyelenggara Pemilu di Daerah Otonomi Khusus ini sama-sama kehilangan tugas dan kewenangan tertentu yang memengaruhi pola hubungan mereka. Perbedaannya terletak pada tugas dan kewenangan yang hilang. Di DKI Jakarta, tugas dan kewengan penyelenggara Pemilu di Kabupaten/Kota hanya dalam rangka membantu tugas penyelenggara Pemilu di Provinsi. Tugas dan kewenangan penyelenggara Pemilu di DIY diciutkan dalam hal Pemilukada Gubernur. Sedang di Aceh, tugas pengawasan dibagi kepada dua lembaga penyelenggara, yakni Panwaslih Aceh dan Panwaslih Provinsi Aceh. Ke depan, pola hubungan dan kewenangan ini menjadi sumber konflik dan sengketa. Sementara di Provinsi Papua, lembaga penyelenggara pemilu tidak melaksanakan pemilihan umum akibat penerapan sistem noken di beberapa daerah tersebut.
Partai Politik Lokal di Daerah Otonomi Khusus: Perbandingan Yuridis Aceh dan Papua Musrafiyan Musrafiyan; Mutiara Fahmi; Zahlul Pasha Karim
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/justisia.v6i2.11536

Abstract

The existence of local political parties is one of the special powers for Aceh and Papua Provinces. Unlike Aceh, the rules regarding local political parties in Papua are not clearly stated in Law no. 21 of 2001 concerning Special Autonomy for Papua Province. This paper attempts to analyze the comparison between Law Number 11 of 2006 concerning the Government of Aceh and Law Number 21 of 2001 on Special Autonomy for the Province of Papua regarding local political parties, and the consequences for Aceh and Papua of differences in local political party arrangements. The method that the author uses is library research with a law approach and a sociological approach. The results of the research show that the Aceh special autonomy law contains 20 articles concerning the formation of local political parties. Furthermore, the existence of local political parties in Aceh can be seen in the participation of some of these parties in the 2009 2014 and 2019 general elections. While Article 28 of the Papua Special Autonomy Law which accommodates political parties does not have permanent legal force to be further interpreted as local political parties. it is also not applicable because it is not equipped with government regulations regarding the formation of local political parties in Papua. Even the Constitutional Court through its decision Number 41/PUU-XVII/2019 rejected the judicial review of Article 28 of the Papua Special Autonomy Law.
Pencabutan Hak Hadhȃnah Terhadap Istri Yang Berzina Berdasarkan Perspektif Tarjih Maşhlahah (Analisis Putusan Hakim Tingkat Banding Nomor: 59/Pdt.G/2017/MS-Aceh) Mutiara Fahmi; Muhammad Syuib; Yunita Arnanada
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 1, No 2 (2018): El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v1i2.7635

Abstract

Salah satu konsekuensi akibat adanya perceraian yaitu hadhânah. Jadi terjadi perceraian anak yang belum mumayyiz adalah hak ibu sebagai pemegang hadhânah. Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi bagi perempuan pengasuh, jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka gugur hak  hadhânah terhadapnya. Syaratnya ialah: Islam, baligh, berakal sehat, memiliki kemampuan untuk mendidik anak, amanah, berbudi pekerti yang baik. Namun bagaimana jika istri berzina dengan laki-laki lain apakah ia masih berhak diberikan hadhânah atau tidak. Dalam putusan hakim tingkat banding di Mahkamah Syar’iyyah Aceh Nomor 59/Pdt.G/2017/MS-Aceh masih memberikan hak hadhânah kepada istri yang berzina. Oleh sebab itu penulis skripsi ingin mengetahui bagaimana dasar pertimbangan Mejelis Hakim Mahkamah Syar’iyyah Aceh memberikan hadhânah kepada istri yang berzina dan bagaimana kesesuaian putusan hakim Mahkamah Syar’iyyah Aceh tersebut jika ditinjau dalam perspektif tarjih maşhlahah. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Hasil penelitian yang temukan ialah Pertimbangan Hakim Mahkamah Syar’iyyah Aceh tetap memberikan hadhânah kepada ibu didasari atas hakim marujuk pada Pasal 105 KHI yang menyatakan “dalam hal terjadinya perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya”. Kemudian, Majelis hakim tingkat banding mempelajari lagi pada putusan tingkat pertama, bahwa menurut keterangan saksi yang diajukan oleh para pihak tidak ada yang menyatakan jika istri berzina dengan laki-laki lain, dan suami tidak memiliki bukti yang dapat menguatkan argumentasi yang menyatakan kalau istri berzina dengan laki-laki lain, oleh karena itu Majelis hakim tingkat banding tidak dapat mencabut hak hadhânah terhadap istri. Jika ditinjau dari perspektif tarjih maşhlahah, putusan  Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyyah sudah tepat dalam memberikan hadhânah kepada istri. Hakim dalam memutuskan perkara hadhânah disini beralih kepada aturan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105, dikarenakan istri tidak dapat dibuktikan bahwa ia berzina dengan laki-laki lain dan istri juga belum menikah dengan laki laki lain. Oleh karena itu hakim menetapkan hadhânah kepada istri yang berzina tetap mengutamakan kemashlahatan dengan cara mengambil kemudaratan yang paling ringan.
Penggunaan Manusia Sebagai Relawan dalam Ujicoba Obat Baru: Kajian Alquran, Hadis dan Kaedah Fiqih Mutiara Fahmi
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 4, No 1 (2021): EL-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v4i1.9004

Abstract

Selama masa pandemi, penemuan vaksin dan obat menjadi sesuatu yang sangat dinantikan semua pihak. Selain persoalan kehalalan materi obat, pengujian obat menggunakan manusia sebagai media uji juga sering menjadi tanda tanya bagi sebagian orang khususnya umat Islam. Mengingat untuk memperoleh obat yang efektif dan aman, harus dilakukan melalui serangkaian ujicoba praklinik dan klinik yang memerlukan waktu yang panjang serta melibatkan sumber daya manusia yang handal dan manusia sebagai objek ujicoba. Oleh karena semua perbuatan seorang mukallaf terkait dengan hukum taklifi, maka perlu dikaji lebih lanjut: Bagaimana pandangan Islam mengenai penggunaan manusia sebagai relawan dalam pengujian obat baru? Kajian ini mencoba menjawab secara singkat pertanyaan tersebut dari perspekstif pemahaman alquran, hadis dan kaedah fiqhiyah