Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Perancangan Animasi 360o Relief Jataka Candi Borobudur bagi Remaja 16-18 Tahun I Wayan Daryatma Putra; Imam Santosa; Pindi Setiawan
ANDHARUPA: Jurnal Desain Komunikasi Visual & Multimedia Vol 5, No 01 (2019): February 2019
Publisher : Dian Nuswantoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33633/andharupa.v5i01.2019

Abstract

AbstrakCerita relief Jataka pada Candi Borobudur memiliki pesan moral yang penting untuk disampaikan sebagai sarana pendidikan budi pekerti, namun perbedaan zaman menjadi masalah yang menyebabkan cerita relief Jataka tidak dapat dibaca sehingga sulit dimengerti oleh para remaja 16-18 tahun sehingga perlu dilakukan adaptasi cerita ke media yang dapat dimengerti dengan remaja masa kini. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menyampaikan pesan cerita relief Jataka dengan Bahasa Rupa dan merancang kembali cerita tersebut ke dalam animasi 3600 agar mudah dipahami remaja 16-18 tahun. Metode penelitian ini berupa kualitatif studi kasus relief Jataka Candi Borobudur yang dimulai dengan pengambilan data melalui observasi, studi literatur, wawancara dan kuisioner. Dari hasil pengumpulan data kisah burung pelatuk dan seekor singa pada relief yang akan adaptasikan, hasil kuisioner menunjukan bahwa remaja usia 16-18 tahun aktif mengakses media sosial youtube melalui smartphone selama kurang dari sejam setiap harinya, selain itu mereka juga tertarik dengan animasi 3D dan gaya visual lowpoly. Hasil ini akan digunakan sebagai acuan dalam perancagan animasi 360o. Hasil pengujian animasi 3600 pada situs youtube menunjukkan bahwa media ini dapat membantu menyampaikan cerita relief Jataka dan pesan yang terkandung di dalamnya kepada remaja usia 16-18 tahun. Kata Kunci: animasi 3600, candi Borobudur, relief jataka, remaja  AbstractThe Jataka relief story at Borobudur Temple has an important moral message to convey as a means of character education, but the age difference is a problem that causes Jataka relief stories to be unreadable so that it is difficult for teenagers 16-18 years to understand so that stories need to be adapted to the media understandable with today's teenagers. This study aims to understand and convey the message of Jataka relief stories with Bahasa Rupa and redesign the story into 3600 animation to be easily understood by adolescents 16-18 years old. This research uses a qualitative case study of Jataka Borobudur temple relief`s which begins with data collection through observation, literature study, interviews and questionnaires. The results relief story of woodpecker and a lion that will be adapted, the results from questionnaires show that teens aged 16-18 years actively access youtube social media via smartphones for less than an hour each day, besides they are also interested in 3D animation and lowpoly visual style. These results will be used as a reference in the 3600 animation modeling. The results show that animation 3600 can help convey Jataka relief stories and messages contained therein to adolescents aged 16-18 years. Keywords: 360o animation, Borobudur temple, Jataka relief, teenagers
VARIASI PERHIASAN KEPALA ARCA PARWATI KOLEKSI MUSEUM NASIONAL DI INDONESIA Waridah Muthi’ah; Agus Sachari; Pindi Setiawan
Naditira Widya Vol. 15 No. 2 (2021): Naditira Widya Volume 15 Nomor 2 Oktober Tahun 2021
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pemujaan terhadap Parwati mendapatkan tempat yang penting pada era Hindu-Buddha di nusantara, sehubungan dengan kedudukan Parwati sebagai śakti dari dewa tertinggi dalam Śiwaisme, Dewa Śiwa. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan arca-arca dewi dan arca perwujudan ratu, yang beberapa di antaranya menjadi koleksi Museum Nasional di Indonesia. Akan tetapi, asal waktu dan identitas tokoh pada kebanyakan arca ini belum dapat diidentifikasi. Mahkota atau hiasan kepala sebagai bagian dari atribut (lakṣana) arca dapat digunakan sebagai sumber informasi melalui kajian terhadap gaya atau langgam estetika. Penelitian ini merupakan upaya untuk memahami variasi mahkota arca Parwati yang berasal dari era Majapahit, khususnya abad ke-14 M dan 15 M, berdasarkan identifikasi gaya seni dan kecenderungan penggambaran pada masa tersebut. Penelitian dilakukan menggunakan metode deskriptif-komparatif dengan pendekatan ikonografi dan morfologi estetis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada dua kecenderungan penggambaran mahkota Parwati. Patung dari Kediri dan Blitar cenderung menggambarkan mahkota Parwati dengan bentuk yang mendekati langgam Klasik Awal (Jawa Tengah), dengan menampilkan mahkota semata-mata sesuai kanon Manasara, seperti jatāmakuta, kesabandha, dan kuntala. Kecenderungan kedua menampilkan Parwati mengenakan kirīṭamakuta, yang merupakan atribut Wisnu, dan penyejajaran sifat dan kedudukannya sebagai sosok pemelihara. The worship of Parvati has an important place in the Hindu-Buddhist era in the Indonesian archipelago, with regard to Parvati's position as the spouse of the supreme god in Shivaism, Shiva. This is indicated by the presence of goddess statues and statues of the embodiment of a queen, which some are in the collections of the National Museum in Indonesia. However, the chronology and identity of the National Museum statues collection have not been distinguished. Information on both aspects of a statue can be achieved by means of the study of style or aesthetic of a crown or headdress as a feature of lakṣana (statue attribute). This research is an attempt to understand the varieties of the crowns of the Parwati statue from the Majapahit era, especially the 14th and 15th centuries, based on the identification of the art style and depiction tendencies during this period. This research was conducted using a descriptive-comparative method with approaches of iconography and aesthetic morphology. The results indicate that there are two trends in depicting Parwati’s crown. The statues from Kediri and Blitar tend to depict Parvati's crown in a form similar to those of the Early Classical (Central Javanese) style, by displaying the crown solely according to the scripture of Manasara, such as jatāmakuta, kesabandha, and kuntala. The second trend presents Parvati wearing the kirīṭamakuta, which is an attribute of Vishnu, which correlates to her nature and position as a guardian.