Teti Madiadipoera
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala, dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Bedah Sinus Endoskopik Sebagai Pilihan Tata laksana Proptosis pada Mukosil Sinus Fronto-etmoidalis Asimetris Bilateral dengan Komplikasi Kusmiardiani, Desti; Ratunanda, Sinta Sari; Madiadipoera, Teti
Jurnal Sistem Kesehatan Vol 3, No 3 (2018): Volume 3 Nomor 3 Maret 2018
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (237.291 KB) | DOI: 10.24198/jsk.v3i3.16991

Abstract

Mukosil sinus paranasal merupakan lesi kistik pada sinus, dihasilkan dari akumulasi sekresi mukus dan deskuamasi epitel akibat obstruksi kronis dari osteum sinus. Mukosil memiliki sifat tumbuh lambat, sering di area sinus frontal dan etmoid, namun jarang terjadi bilateral asimetris. Mukosildapat menyebabkan distensi dinding sinus, sehingga dapat menimbulkan komplikasi ke area sekitarnya, terutama area mata. Dilaporkan satu kasus mukosil sinus fronto-etmoidalis asimetris bilateral dengan komplikasi orbita unilateral di Rumah Sakit Dr.Hasan Sadikin.Wanita 67 tahun dengan gejala klinis proptosis nonaksial pada orbita kanan, tanpa disertai diplopia, gangguan gerak bola mata maupun visus. Pasien memiliki riwayat bekerja di pabrik pembakaran genteng selama puluhan tahun. Metode pemeriksaan nasoendoskopi dan CT Scan menunjukkan mukosil bilateral asimetris pada sinus frontal-etmoid.Dilakukan prosedur pengangkatan mukosil dengan pendekatan marsupialisasi secara endoskopik. Pascaoperasi didapatkanhasil perbaikan gejala proptosis dan tidak terdapat rekurensi mukosil.Penatalaksanaan segera pembedahan endoskopik pada mukosil sinus frontoetmoidalis dapat memperbaiki komplikasi proptosis dengan morbiditas yang rendah dan luka operasi yang minimal, dibandingkan bedah terbuka.Kata kunci: Mukosil sinus frontoetmoidal, proptosis, pembedahan endoskopi sinus
Rinosinusitis Alergi pada Hipertiroidisme Kartika, Orlena Dharmantary; Ratunanda, Sinta Sari; Madiadipoera, Teti
Jurnal Sistem Kesehatan Vol 4, No 1 (2018): Volume 4 Nomor 1 September 2018
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (222.477 KB) | DOI: 10.24198/jsk.v4i1.19189

Abstract

Prevalensi penyakit alergi semakin meningkat di seluruh dunia, tetapi hubungan dan pengaruhnya dengan penyakit tiroid autoimun khususnya hipertiroidisme masih belum banyak dibahas dan dimunculkan kasusnya. Kasus ini diajukan untuk memberikan gambaran bahwa rinosinusitis alergi dan penyakit tiroid autoimun khususnya hipertiroidisme memiliki satu mata rantai yang saling berhubungan dari segi patofisiologi dan akan menentukan morbiditas hipertiroidisme tersebut. Dilaporkan dua kasus rinosinusitis alergi disertai hipertiroidisme. Kasus pertama wanita usia 64 tahun dengan benjolan di leher anterior, dan kasus kedua pasien pria usia 61 tahun yang dikonsulkan dari Poliklinik Endokrinologi Penyakit Dalam dengan keluhan utama hidung tersumbat. Pada kedua pasien dilakukan pemeriksaan skor total gejala hidung, penilaian kualitas hidup dengan SNOT-22, pemeriksaan nasoendoskopi dan Tes Kulit Tusuk (TKT), serta pemantauan kadar hormon tiroid dan konsumsi obat antitiroid, kemudian dilakukan tata laksana rinosinusitis alergi dengan pemberian cuci hidung, antibiotik, kortikosteroid intranasal, dan antihistamin generasi kedua. Didapatkan hasil penurunan skor total gejala hidung, perbaikan kualitas hidup, perbaikan secara nasoendoskopi, penurunan kadar hormon tiroid, serta penurunan konsumsi obat antitiroid. Rinosinusitis alergi pada hipertiroidisme harus ditangani dengan baik karena dengan mengatasi rinosinusitis alergi maka akan menurunkan morbiditas hipertiroidisme.Kata kunci: rinosinusitis alergi, penyakit tiroid autoimun, hipertiroidisme
Pengaruh imunoterapi spesifik terhadap adenoid pada pasien rinitis alergi Pratita, Nindya; Madiadipoera, Teti; Ratunanda, Sinta Sari; Dermawan, Arif; Boesoirie, Shinta Fitri
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 47, No 1 (2017): Volume 47, No. 1 January - June 2017
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (484.302 KB) | DOI: 10.32637/orli.v47i1.194

Abstract

Latar belakang: Rinitis alergi (RA) adalah suatu reaksi inflamasi hidung yang diperantarai oleh IgE, dengan gejala hidung tersumbat, rinore, bersin, dan rasa gatal, akibat mukosa hidung terpapar alergen.Hipertrofi adenoid (HA) dianggap sebagai salah satu komorbid dari RA, sehingga mungkin terdapathubungan antara RA dengan HA.Tujuan: Mengetahui pengaruh imunoterapi spesifik terhadap penurunanukuran adenoid pada pasien RA.Metode: Penelitian dilakukan dengan desain quasi-eksperimental,menggunakan anamnesis, nasoendoskopi, dan skin prick test (SPT). Pengukuran derajat adenoid dilakukanpada 32 sampel di Poliklinik Rinologi-Alergi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala- Leher Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung selama Februari – Juni 2015. Penelitian ini dibagimenjadi dua kelompok yaitu kelompok pasien RA dengan HA sebagai komorbid yang mendapatkanpengobatan imunoterapi spesifik, dan kelompok yang mendapatkan terapi medikamentosa kombinasiberupa fluticasone furoate dengan cetirizine.Hasil: Pada kelompok yang diberikan imunoterapi spesifik,terjadi penurunan ukuran adenoid yang bermakna, dibandingkan dengan kelompok yang diberikan terapimedikamentosa kombinasi. Persentase penurunan untuk kelompok imunoterapi spesifik sebesar 80,4%,sedangkan pada kelompok pembanding sebesar 60,5%.Kesimpulan: Terdapat penurunan ukuran adenoidsecara signifikan pada kelompok yang mendapatkan pengobatan imunoterapi spesifik, yang lebih baikjika dibandingkan terapi medikamentosa kombinasi.Kata kunci: Rinitis alergi, hipertrofi adenoid, imunoterapi spesifik ABSTRACTBackground: Allergic rhinitis (AR) is an IgE-mediated inflammation reaction of the nosecharacterized by specific symptoms of nasal obstruction, rhinorrhea, sneezing, and nasal itching, whenthe nasal mucous membrane was exposed to allergen. Adenoid hyperthrophy (AH) is considered to beone of AR comorbid factor, and there might be a relationship between AR and AH. Purpose: To evaluatethe effect of specific immunotherapy in decreasing the size of AH in AR’s patients. Methods: This studydesign was a quasi-experimental. We used anamnesis, nasoendoscopic finding, and skin prick test.Measurement of adenoid had been conducted on 32 subjects in the Rhinology-Allergy Clinic of ORL-HNSDepartement of Dr. Hasan Sadikin General Hospital during February – June 2015. This study was dividedinto a group which was given specific immunotherapy, and a group which was given medical treatmentin the form of combination fluticasone furoate and cetirizine. Results: The group which was treated withspecific immunotherapy showed a significant decrease of the adenoid size compared to the group withcombination medication of fluticasone furoate and cetirizine. Specific immunotherapy decreased adenoidsize up to 80.4%, while in the other group was 60.5%.Conclusion: The study showed that the decreaseof adenoid size in the group treated with specific immunotherapy treatment was better than the grouptreated with combined medication treatment.Keywords: Allergic rhinitis, adenoid hyperthrophy, specific immunotherapy
Manifestasi Klinis Refluks Laringofaring: Studi pada Anak Usia 0–24 Bulan dengan Laringomalasia Sudiro, Melati; Saputri, R. Ayu Hardianti; Madiadipoera, Teti; Boesoirie, M. Thaufiq S.; Setiabudiawan, Budi
Majalah Kedokteran Bandung Vol 49, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (293.038 KB) | DOI: 10.15395/mkb.v49n2.1057

Abstract

Laringomalasia merupakan kelainan kongenital anomali laring yang banyak ditemukan pada bayi baru lahir dan penyebab tersering stridor serta obstruksi saluran napas. Pemeriksaan laringoskopi serat lentur memperlihatkan terlipat atau terhisapnya struktur supraglotik ke dalam laring selama inspirasi. Obstruksi saluran napas pada laringomalasia akan menyebabkan tekanan negatif intratorakal, menyebabkan asam lambung naik ke jaringan laringofaring dan diduga menimbulkan refluks laringofaring (RLF). Telah dilakukan penelitian dengan pendekatan potong lintang yang bertujuan mengidentifikasi dan menilai hubungan antara laringomalasia dan gambaran refluks laringofaring pada usia 0–24 bulan yang datang ke poliklinik THT-KL RSHS Bandung periode Januari 2012–Maret 2015 berdasar atas data rekam medis dan hasil pemeriksaan laringoskopi serat lentur.  Seratus tujuh pasien laringomalasia dengan keluhan stridor mengikuti penelitian ini, 69 laki-laki (64,5%) dan 38 perempuan (35,5%) dengan usia rata-rata 4,19 bulan. Laringomalasia tipe 1 merupakan tipe terbanyak (57,9%). Gambaran RLF yang berhubungan dengan tingkat berat laringomalasia adalah edema plika ventrikularis dengan OR 3,71 (IK 95%=1,07–12,91; p=0,039) dan edema aritenoid dengan OR 4,74 (IK 95%=1,19–18,89; p=0,027). Edema ventrikular dan aritenoid merupakan gambaran RLF yang berhubungan dengan tingkat berat laringomalasia pada pada anak usia 0–24 bulan. [MKB. 2017;49(2):115–21]Kata kunci: Edema aritenoid, edema plika ventrikularis, laringomalasia, refluks laringofaring Laryngopharyngeal Reflux Manifestation: a Case Study of Laryngomalacia in Children Aged 0–24 MonthsLaryngomalacia is the most common laryngeal anomaly of the newborn and the main cause of stridor and airway obstruction in infants. From a flexible laryngoscopy examination, this anomaly is observed as curled or collapsed supraglottic structures into larynx during inspiration. Airway obstruction in laryngomalacia creates a negative intra-thoracal pressure that causes acid reflux to laryngopharynx tissue and is suspected to cause laryngopharyngeal reflux (LPR). A cross-sectional study was conducted with the objectives of identifying and assessing the relationship between laryngomalacia and LPR in patients aged 0–24 months who visited the Ear, Nose, Throat, Head, and Neck Clinic of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in the period of January 2012–March 2015, which was based on medical records and results of flexible laryngoscopy. A hundred and seven patients diagnosed with laryngomalacia  who experienced stridor symptoms in this study consisted of 69 males (64.5%) and 38  females (35.5%) with mean age of 4.19 months. Type-1 laryngomalacia represents the most cases (57.9%). Indication of LPR sign correlated with type of laryngomalacia is ventricular edema OR 3.71 (CI 95%=1.07–12.91; p=0.039) and arytenoid edema OR 4,74 (CI 95%=1.19-18.89; p=0.027). Ventricular and arytenoid edemas are signs of LPR that correlate with laryngomalacia level in patients  aged 0–24 months. [MKB. 2017;49(2):115–21]Key words: Arytenoid edema, laringomalacia, laringopharyngeal reflux, ventricular edema 
HUBUNGAN KADAR IL-8 SEKRET MUKOSA HIDUNG PADA RINOSINUSITIS KRONIK TANPA POLIP-NONALERGI DENGAN FUNGSI PENGHIDU SETELAH PEMBERIAN ANTIBIOTIK MAKROLID Candra, Edo Wira; Sumarman, Iwin; Ratunanda, Sinta Sari; Madiadipoera, Teti
Majalah Kedokteran Bandung Vol 46, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1266.558 KB)

Abstract

Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi kronik dengan etiologi multifaktorial. Interleukin-8 (IL-8) adalah sitokin proinflamasi yang dominan pada RSK tanpa polip-nonalergi. Penurunan fungsi penghidu merupakan suatu gejala yang sering dikeluhkan. Klaritromisin merupakan antibiotik makrolid yang efektif karena memiliki efek antibakteri dan antiinflamasi. Tujuan penelitian untuk mengetahui perbaikan gejala klinis, fungsi penghidu dan kadar IL-8 sekret mukosa hidung, serta mencari korelasi IL-8 dengan fungsi penghidu pada RSK tanpa polip-nonalergi.Penelitian ini merupakan randomized clinical trial open labeled pre and posttest design. Data dianalisis memakai Uji Wilcoxon, Mann Whitney, dan korelasi Rank Spearman. Penelitian berlangsung di poliklinik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin pada 26 subjek yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberikan klaritromisin dan kelompok kedua diberikan amoksisilin-klavulanat. Diagnosis berdasarkan penilaian skor gejala dengan visual analogue scale (VAS), nasoendoskopi, fungsi penghidu dengan sniffin sticks test, dan dilakukan pengukuran kadar IL-8 sekret mukosa hidung dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Didapatkan perbaikan VAS, nasoendoskopi, fungsi penghidu, dan kadar IL-8 yang signifikan (p=0,001) pada kedua kelompok pascaterapi, dan penurunan skor VAS total yang signifikan pada kelompok klaritromisin (p=0,036). Terdapat korelasi signifikan penurunan kadar IL-8 dengan peningkatan fungsi penghidu (p=0,05) dan dengan gejala hidung tersumbat (p=0,022) hanya pada kelompok klaritromisin. Simpulan, pemberian klaritromisin efektif menurunkan gejala klinis terutama hidung tersumbat, meningkatkan fungsi penghidu, dan menurunkan kadar IL-8 sekret mukosa hidung pada RSK tanpa polip nonalergi. [MKB. 2014;46(1):6?14]Kata kunci: Interleukin-8, klaritromisin, rinosinusitis kronik tanpa polip nonalergi, sniffin sticks testCorrelation between IL-8 level of Nasal Secretion in Non Allergic-Chronic Rhinosunusitis without Nasal Polyp and Olfactory Function After Macrolide Treatment Chronic rhinosinusitis (CRS) is a chronic inflammatory disease caused by multifactorial etiology. Interleukin-8 (IL-8) plays an important role as a major proinflammatory cytokine in non-allergic chronic rhinosinusitis without polyp. The common symptom is olfactory function disturbance. Claritrhomycin as a macrolide antibiotics is effective for CRS because of their antibacterial and antiinflamatory activities. The purpose of this study was to observe improvement of clinical symptom depending on the visual analogue scale (VAS) score, olfactory function, IL-8 level of nasal secretion, and correlation between IL-8 with olfactory function in non-allergic CRS without nasal polyp. This was a randomized controlled trial open labeled pre- and post-test design. Data analysis used Wilcoxon, Mann Whitney, and rank Spearman correlation test. This study was conducted at the Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery Division of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. There were 26 subjects divided in two groups, the first group was given clarithromycin and the second group was given amoxicillin-clavulanate. The two groups underwent visual analogue scale (VAS) assessment, nasoendoscopy, sniffing sticks test and nasal secretion of IL-8 by enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). The two groups had a significant improvement VAS score after therapy (p=0.001) and clarithromycin group showed a statistically significant (p=0.036) effect on decreasing the total VAS score compared to the amoxcicillin-clavulanate group. There was significant correlations between decreasing IL-8 level, increasing olfactory function (p=0.05), and nasal obstruction symptom in VAS (p=0.022) was showed only in clarithromycin group. In conclusion, clarithromycin is effective in reducing clinical symptoms, especially in nasal obstruction, increasing olfactory function and decreasing IL-8 of nasal mucous secretion in non-allergic chronic rhinosinusitis without polyp. [MKB. 2014;46(1):6?14]Key words: Clarithromycin, interleukin-8, non allergic-chronic rhinosinusitis without polyp, sniffin sticks test DOI: 10.15395/mkb.v46n1.221
Efektivitas Terapi Kortikosteroid Intranasal pada Hipertrofi Adenoid Usia Dewasa berdasarkan Pemeriksaan Narrow Band Imaging Ratunanda, Sinta Sari; Satriyo, Jipie Iman; Samiadi, Dindy; Madiadipoera, Teti; Anggraeni, Ratna
Majalah Kedokteran Bandung Vol 48, No 4 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (176.465 KB) | DOI: 10.15395/mkb.v48n4.914

Abstract

Hipertrofi adenoid merupakan proses perubahan ukuran adenoid yang membesar, merupakan penyebab utama hidung tersumbat. Hipertrofi adenoid dapat terjadi karena proses yang fisiologis, akibat inflamasi, atau suatu keganasan. Proses inflamasi adenoid dapat dinilai menggunakan nasoendoskopi serat lentur dengan pencahayaan narrow band imaging (NBI). Kortikosteroid intranasal menjadi pilihan terapi medikamentosa pada penatalaksanaan hipertrofi adenoid pada anak, namun belum banyak diteliti penggunaannya pada hipertrofi adenoid usia dewasa. Tujuan penelitian ini menilai efektivitas terapi kortikosteroid intranasal untuk mengurangi ukuran adenoid dewasa berdasarkan pemeriksaan NBI. Penelitian dimulai bulan November 2012–Januari 2013 di poliklinik Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (THT-KL RSHS) Bandung dengan metode kuasieksperimental open labeled pre and posttest design. Pemilihan sampel berdasarkan urutan kedatangan, ditentukan 11 subjek penelitian. Penegakan diagnosis pada subjek penelitian berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis THT, pemeriksaan nasoendoskopi serat lentur dilengkapi dengan NBI, dan dilakukan biopsi mukosa adenoid. Subjek penelitian diberikan terapi kortikosteroid intranasal selama empat minggu, kemudian dilakukan evaluasi ulang pemeriksaan NBI dan biopsi. Data dianalisis dengan uji Wilcoxon, hasilnya didapatkan perbaikan nilai derajat inflamasi adenoid secara signifikan pascaterapi kortikosteroid intranasal (p<0,05). Uji McNemar didapatkan hasil signifikan untuk penurunan ukuran adenoid (p<0,05). Uji rank Spearman untuk menganalisis hubungan gambaran histopatologi dengan penilaian NBI pra dan pascaterapi, hasilnya didapatkan korelasi bermakna (p<0,05). Simpulan, kortikosteroid intranasal efektif diberikan pada inflamasi penyebab hipertrofi adenoid usia dewasa berdasarkan pemeriksaan NBI. [MKB. 2016;48(4):228–33]Kata kunci: Hipertrofi adenoid, kortikosteroid intranasal, narrow band imagingEffectiveness of Intranasal Corticosteroids Treatment on Adult Adenoid Hypertrophy based on Narrow Band Imaging ExaminationAbstractAdenoid hypertrophy is a process in which adenoid size becomes enlarged and causes clinical symptoms, especially nasal obstruction. Adenoid hypertrophy can be due to physiological, inflammatory, or malignancy processes. Adenoid inflammatory process can be assessed using a flexible fiberoptic nasoendoscopy with narrow band imaging (NBI). Intranasal corticosteroid is one of the choices to treat adenoid hypertrophy in children; however, more experiments are needed to use it in adults. This study was performed in the period of November 2012 to January 2013 at the outpatient clinic of the Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery Department of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, using pre- and post-test open-labeled quasiexperimental design. Sample was selected through consecutive sampling, involving 11 subjects. Diagnosis was based on research subject’s anamnesis, ear nose and throat (ENT) physical examination, NBI-equipped fiberoptic nasoendocopy examination, and adenoid mucosal biopsy. Subjects were given intranasal corticosteroid therapy for four weeks. NBI-equipped fiberoptic nasoendocopy examination and biopsy examination were performed after therapy. Data were analyzed using Wilcoxon test, showing significant improvement of the adenoid inflammation after intranasal corticosteroids therapy (p<0.05). McNemar test results showed a significant reduction in adenoid size (p<0.05). Spearman rank test showed a significant correlation between histopathologic findings and NBI examination result (p<0.05). In conclusion, intranasal corticosteroids are effective for adult adenoid hypertrophy treatment based on NBI examination. [MKB. 2016;48(4):228–33]Key words: Adenoid hypertrophy, intranasal corticosteroids, narrow band imaging
Perbandingan Efektivitas antara Omeprazol dan Lansoprazol terhadap Perbaikan Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Akibat Refluks Laringofaring Kurniawati, Tantri; Madiadipoera, Teti; Sarbini, Tonny Basriyadi; Saifuddin, Ongka M.
Majalah Kedokteran Bandung Vol 44, No 3 (2012)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1678.699 KB)

Abstract

Refluks laringofaring (RLF) adalah refluks cairan lambung melalui esofagus ke daerah laringofaring. Prevalensi RLF 15–20%, dan menjadi salah satu penyebab rinosinusitis kronik. Insidensi RLF pada penderita rinosinusitis kronik sebesar 37–72%. Prevalensi rinosinusitis kronik 16,3% pada dewasa dan berefek terhadap kualitas hidup. Omeprazol dan lansoprazol adalah proton pump inhibitor (PPI), digunakan sebagai terapi RLF, juga digunakan pada rinosinusitis kronik akibat RLF. Dilakukan penelitian periode Juni–Desember 2009. Penelitian ini merupakan randomized clinical trial dengan pengamatan open trial. Keikutsertaan 20 subjek penelitian dengan consecutive sampling, dibagi menjadi dua kelompok yang berbeda (dengan cara randomisasi sederhana) dalam pemberian PPI (omeprazol dan lansoprazol). Dilakukan pemeriksaan fisis THT, pengisian kuesioner sino-nasal outcome test 20, reflux symptom index, dan reflux finding score dengan menggunakan rinolaringoskopi serat lentur. Evaluasi setelah pemberian terapi 2 minggu dan 2 bulan. Data dianalisis dengan menggunakan uji Wilcoxon dan uji Mann-Whitney. Tidak terdapat perbedaan efektivitas antara omeprazol dan lansoprazol terhadap perbaikan derajat berat refluks laringofaring (p>0,05), namun perbaikan kualitas hidup pada kelompok perlakuan lansoprazol lebih baik bila dibandingkan dengan kelompok perlakuan omeprazol (p<0,05). Simpulan, lansoprazol lebih efektif dibandingkan dengan omeprazol dalam memperbaiki kualitas hidup pada penderita rinosinusitis kronik akibat RLF. [MKB. 2012;44(3):138–46].Kata kunci: Kualitas hidup, lansoprazol, omeprazol, refluks laringofaring, rinosinusitis kronik    Effectiveness Comparison between Omeprazole and Lansoprazole on the Improvement of Quality of Life in Patients with Chronic Rhinosinusitis Caused by Laryngopharyngeal RefluxLaryngopharyngeal reflux (LPR) is the reflux of gastric acid through the esophagus that reaches laringopharyngeal area. The prevalence of LPR in the range 15–20%, and caused chronic rhinosinusitis (CRS). The incidence of LPR in patients with CRS has ranged between 37–72%. The prevalence of CRS 16,3% in adults and affecting quality of life. Omeprazole and lansoprazole are  proton pump inhibitors (PPIs) for LPR’s therapy and also a therapy for CRS with LPR as the etiology. This research method was randomized clinical trial with open trial observation,  conducted in June to December 2009. Twenty subjects with consecutive sampling method, divided into two groups (with simple randomization), the first group received omeprazole and the other lansoprazole. The subjects conducted complete physical otolaryngology examination, sino-nasal outcome test 20, reflux symptom index and reflux finding score with fiber optic rhinolaryngoscopy. These data was obtained before therapy, after 2 weeks and  two months therapy,  analyzed with Wilcoxon’s  and Mann-Whitney’s test. There was no effectivity difference between omperazole and lansoprazole in reducing the level of severity of LPR (p>0.05), but quality of life improvement was better in lansoprazole than omeprazole group (p<0.05). In conclusion, lansoprazole is more effective than omeprazole in improvement of quality of life in patients with chronic rhinosinusitis caused by LPR. [MKB. 2012;44(3):138–46].Key words: Chronic rhinosinusitis, lansoprazole, laryngopharyngeal reflux, omeprazole, quality of life DOI: http://dx.doi.org/10.15395/mkb.v44n3.135
Peran Terapi Adjuvan Vitamin D3 Terhadap Kadar T Regulator dan Gejala Klinis Penderita Rinitis Alergi Yang Mendapat Imunoterapi Subkutaneus Initial Build Up Dose Sudiro, Melati; Madiadipoera, Teti; Setiabudiawan, Budi; Boesoirie, Thaufiq S.
Majalah Kedokteran Bandung Vol 50, No 2 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (61.23 KB) | DOI: 10.15395/mkb.v50n2.1220

Abstract

Imunoterapi spesifik (ITS) merupakan pilihan terapi pada rinitis alergi yang tidak memberikan respons perbaikan klinis dengan medikamentosa. Peran zat adjuvan diduga dapat meningkatkan efektivitas dan efikasi ITS. Penelitian ini bertujuan menganalisis peran adjuvan vitamin D3 pada ITS terhadap percepatan timbulnya respons imun toleran. Penelitian analitik komparatif numerik dua kelompok tidak berpasangan dengan rancangan uji klinis acak terkontrol ganda ini dilakukan di Klinik Rinologi-Alergi THT-KL RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung sejak Mei 2016–April 2017. Sampel terdiri atas 18 pasien menerima ITS+kalsitriol dan 18 pasien menerima ITS+plasebo yang memenuhi kriteria penelitian diambil secara consecutive sampling. Dilakukan pemeriksaan jumlah sel Tregulator dengan flowcitometry pada baseline, minggu ke-8 dan 15 dan skor gejala hidung.  Analisis dengan Uji Mann-Whitney, uji Friedman, uji T berpasangan dan analisis Post hoc. Perbandingan kenaikan rerata median jumlah sel Treg kelompok intervensi dengan kontrol pada minggu ke 8 menunjukkan nilai p=0,04, rerata MFI Treg pada kelompok intervensi dengan kontrol nilai p=0,002. Analisis post hoc terhadap MFI Treg menunjukkan peningkatan pada kelompok intervensi dengan p=0,001 pada minggu ke-8. Disimpulkan perubahan di tingkat imunologi mulai terjadi pada minggu ke-8, tetapi perbaikan gejala klinis terlihat setara.Kata kunci: Imunoterapi spesifik, rinitis alergi, sel t-toleran perifer, sel T-regulator, vitamin D3 Role of Adjuvant Therapy with Vitamin D3 on T-Regulator in Allergic Rhinitis Patient with Subcutaneus Immunotherapy Allergen-specific immunotherapy (AIT) is a potentially disease-modifying therapy that is useful for the treatment of allergic rhinitis, especially in those who do not response to pharmacotherapy. Currently, the role of adjuvant is expected to increase the clinical efficacy in AIT.  The aim of this study was to analyze the role of vitamin D3 adjuvant in AIT to induce immune tolerance. This was an unpaired comparative analytic research with a randomized controlled trial dstudy conducted at the Rhinology-Allergy Clinic ORL-HNS of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from May 2016 to April 2017. Eighteen subjects with AIT+ calcitriol treatment and 18 subjects with AIT+placebo treatment who met the study criteria were selected through consecutive sampling. All subjects were evaluated for Treg cells using flow citometry at baseline, week 8, and week 15. Nasal symptom score was also evaluated.  Statistical analysis performed in this study included Mann-Whitney test, Friedman test, T-Paired test,and Post hoc analysis. There was a significant different of Treg cells average results between the intervention group and control at week 8 with a p-value of 0.04. The mean delta value on MFI Treg reflected significant differences within intervention group (p=0.002). Post hoc analysis results presented a significant increase in MFI Treg in the intervention group at week 8 (p=0,001). Therefore, immunological changes start in week eight but the improvement of clinical symptoms looks similar. Key words: Allergic rhinitis, peripheral t-cell tolerance, regulatory t(treg) cell allergen specific immunotherapy, vitamin D3
Efektivitas Pemberian Antibiotik Disertai Lansoprazol pada Refluks Laringofaring dengan Infeksi Helicobacter pylori Nurrokhmawati, Yanti; Madiadipoera, Teti; Anggraeni, Ratna; Sarbini, Tonny Basriyadi
Majalah Kedokteran Bandung Vol 44, No 4 (2012)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (722.696 KB)

Abstract

Refluks laringofaring adalah aliran balik isi lambung ke daerah laringofaring dan dapat dipengaruhi oleh infeksi Helicobacter pylori. Regimen terapi untuk infeksi H. pylori terdiri atas proton pump inhibitor (PPI) dan dua jenis antibiotik yaitu amoksisilin dan klaritromisin. Peran PPI pada regimen ini masih diteliti. Dilakukan penelitian mengenai perbandingan efektivitas terapi antibiotik disertai PPI (lansoprazol) terhadap perbaikan gejala klinis dan kualitas hidup penderita refluks laringofaring dengan infeksi H. pylori. Penelitian ini dilakukan di Departemen THT-KL RS Dr. Hasan Sadikin Bandung periode September 2009-Desember 2010 merupakan randomized clinical trial dengan pengamatan open label.Data dianalisis dengan menggunakan uji t dan uji Mann Whitney. Penelitian ini melibatkan 26 subjek penelitian yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberikan regimen terapi H. pylori, berupa klaritromisin dan amoksisilin dengan lansoprazol dan kelompok kedua diberikan klaritromisin dan amoksisilin tanpa lansoprazol. Dilakukan pemeriksaan skor gejala refluks (SGR), skor temuan refluks (STR), dan penilaian kualitas hidup dengan kuesioner reflux qual short-form (RQS). Evaluasi dilakukan setelah 2 minggu. Didapatkan perbedaan bermakna (p=0,034) skor SGR pascaterapi pada kelompok perlakuan antibiotik kombinasi dengan lansoprazol. Tidak didapatkan perbedaan bermakna (p=0,169) pada perbaikan STR pascaterapi. Perbaikan skor RQS lebih baik pada kelompok perlakuan pertama dibandingkan dengan kelompok kedua (p=0,018). Disimpulkan bahwa pemberian campuran antibiotik kombinasi dan lansoprazol lebih efektif terhadap perbaikan gejala klinis dan kualitas hidup dibandingkan dengan tanpa lansoprazol. [MKB. 2012;44(4):224–32].Kata kunci: Helicobacter pylori, kualitas hidup, lansoprazol, refluks laringofaringThe Effectiveness of Antibiotics with Lansoprazole in the Treatment of Laryngopharyngeal Reflux with Helicobacter pylori InfectionAbstractLaryngopharyngeal Reflux (LPR) is a reflux of gastric content to the laryngopharyngeal and influenced by Helicobacter pylori infection. The treatment of H. pylori infection consists of proton pump inhibitor and two kinds of antibiotics, i.e. amoxicillin and clarithromycin. The role of PPI is currently being studied. The objectives of the research were to compare the effectiveness of antibiotics regimen with and without lansoprazole in reducing the level of the severity and quality of life improvement in LPR patients with H. pylori infection. Twenty six subjects were divided into two groups; the first group received antibiotics with lansoprazole and the second group received antibiotics without lansoprazole. The research subjects were assessed using reflux symptom index (RSI) questionnaire and reflux finding score (RFS) while the assessment on the quality of life was performed using reflux qual short-form (RQS) questionnaire. These data were obtained at baseline and after 2 weeks of treatment. The method was randomized clinical trial with open label observation and the analysis was conducted using t and Mann Whitney tests. There was a significant improvement in the RSI post treatment in the first group (p=0.034). The difference in RFS was not significantly different statistically between both groups (p=0.169). The RQS was significantly better statistically in the first group (p=0.018). It is concluded that treatment regimen with claritromicin, amoxycillin and lansoprazole is more effective in the treatment of LPR associated with H. pylori infection compared to without lansoprazole. [MKB. 2012;44(4):224–32].Key words: Helicobacter pylori, laryngopharyngeal reflux, lansoprazole, quality of life DOI: http://dx.doi.org/10.15395/mkb.v44n4.215
Adaptasi Budaya, Alih Bahasa Indonesia, dan Validasi Sino-Nasal Outcome Test (SNOT)-22 Juanda, Ichsan Juliansyah; Madiadipoera, Teti; Ratunanda, Sinta Sari
Majalah Kedokteran Bandung Vol 49, No 4 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (115.2 KB) | DOI: 10.15395/mkb.v49n4.1145

Abstract

Kuesioner untuk menilai kualitas hidup saat ini semakin meningkat penggunaannya dalam penelitian klinis hasil intervensi medis, baik operatif maupun medikamentosa. SNOT-22 dianggap sebagai alat ukur yang paling sesuai untuk menilai kualitas hidup pasien rinosinusitis kronik.Tujuan penelitian ini melakukan adaptasi budaya, alih bahasa, dan validasi SNOT-22 ke dalam bahasa Indonesia. Penelitian deskriptif analitik potong lintang pada 50 pasien rinosinusitis kronik di Poliklinik Rinologi Alergi Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode November 2015–Februari 2016. Diagnosis berdasar atas anamnesis, tingkat berat penyakit, nasoendoskopi berdasa Lund-Kennedy, dan penilaian kualitas hidup dengan SNOT-22. Validasi kuesioner dalam bahasa Indonesia dilakukan dengan menerjemahkan kuesioner SNOT-22 versi bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh ahli bahasa Indonesia dan diterjemahkan kembali ke bahasa Inggris oleh ahli bahasa Inggris. Dilakukan uji reabilitas menggunakan Cronbach’s alpha dan uji validitas menggunakan Rank Spearman’s. Uji Cronbach’s alpha =0,936 (sangat andal), andal jika ≥0,7 menunjukkan konsistensi yang baik. Uji Rank Spearman’s: rs=0,961 dan rs=0,978 (valid); dan keandalan (korelasi skor genap dengan skor ganjil) rs=0,900. Simpulan, hasil uji statistik menunjukkan bahwa kuesioner SNOT-22 versi bahasa Indonesia merupakan alat ukur yang valid dengan konsistensi yang baik untuk menilai kualitas hidup pasien dengan rinosinusitis kronik. Kata kunci: Bahasa Indonesia, kualitas hidup, rinosinusitis kronik, SNOT-22, validasiIndonesian Cross-cultural Adaptation,  Translation, and Validation of Sino-Nasal Outcome Test (SNOT)-22Questionnaires for quality of life (QoL) have been increasingly used in clinical trials to evaluate the impact of medical and surgical procedures. Among these, SNOT-22 was considered as the most suitable tool for assessing QoL in chronic rhinosinusitis. The purpose of this study was to conduct cross-cultural adaptation, translation, and validation of the Indonesian version of SNOT-22. This was a descriptive analitical cross-sectional study on 50 patients with chronic rhinosinusitis at the Rhinology-Allergy Clinic of the ORL-HNS Department, Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran/Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, during the period of November 2015–February 2016. Diagnosis was made based on anamnesis while the severity of the disease was determined using nasoendoscopic findings (Lund-Kennedy). QoL was measured using SNOT-22. The validation process of the Indonesian questionnaire included translation of original SNOT-22 in to Indonesian by independent Indonesian translators, and backtranslation to English by English translators. The reliability of the questionnaire was measured using Cronbach’s alpha and the discriminant validity was assessed using Rank Spearman’s. Results showed a Cronbach’s alpha of 0,936, suggesting good internal consistency while the Rank Spearman’s correlation results suggested that the translation was valid (rs=0.961 and rs=0.978). Correlation for each individual QoL itemwas also reliable (rs=0.900). Therefore, the Indonesian version of the SNOT-22 is a valid instrument with good internal consistency and validity for assessing QoL in patients with CRS.Key words: Indonesian, chronic rhinosinusitis, quality of life, SNOT-2, validation