Retno Maryani
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

KEBIJAKAN PENETAPAN HARGA DASAR PENJUALAN KAYU HUTAN TANAMAN RAKYAT DALAM RANGKA PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN RAKYAT Irawanti, Setiasih; Maryani, Retno; Effendi, Rahman; Hakim, Ismatul; Dwiprabowo, Hariyatno
ISSN 0216-0897
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Harga dasar penjualan kayu hutan tanaman rakyat (HTR) perlu ditetapkan oleh menteri kehutanan untuk melindungi hak petani kayu HTR. Penetapan harga dasar tersebut perlu dikaji melalui penelusuran praktek penjualan kayu HTR yang dilakukan di lapangan. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan penetapan harga dasar penjualan kayu HTR dengan mengambil lokasi penelitian di Jambi dan Riau. Dengan menerapkan metode Policy Analysis Matrix (PAM), penetapan harga dasar didekati dengan menghitung harga pasar, harga tunggak atau tegakan dan harga sosial atau paritas. Hasil kajian menunjukkan bahwa jenis kayu, peruntukan kayu serta daur tanaman mempengaruhi harga dasar penjualan kayu. Sedangkan harga penjualan, jumlah produksi dan jarak lahan tanam ke pabrik serta faktor produksi mempengaruhi penghasilan petani. Di Jambi, selain jenis kayu acacia mangium petani HTR juga menjual kayu karet. Sedangkan di Riau, petani HTR hanya menjual kayu acacia mangium. Harga kayu di kedua lokasi kajian berbeda, dimana harga di Jambi lebih tinggi dari pada harga di Riau. Kayu karet rakyat di Jambi dijual di tingkat petani dengan harga Rp 220.000 s/d Rp 250.000 per m3 , sedangkan di Riau Rp 132.000 s/d Rp 148.000/ton. Harga tunggak kayu Acacia mangium di Propinsi Jambi sekitar Rp 208.073,84 s/d 226.471,10 per ton. Harga tunggak kayu Acacia mangium di Propinsi Riau sekitar Rp 106.218,76 s/d Rp 118.580,91 per ton. Harga sosial di Jambi 245.000 s/d 270.000, sedangkan di Riau 150.500 per m3 . Tampak bahwa harga pasar/aktual berbeda dari harga sosial/efisiensi, artinya ada divergensi. Hal ini diakibatkan oleh adanya kegagalan pasar atau distorsi kebijakan. Pasar dikatakan gagal bila tidak mampu menciptakan harga kompetitif yang mencerminkan social opportunity cost atau alokasi sumberdaya/produk yang efisien. Penyebab kegagalan pasar adalah (1) monopoli atau monopsoni, (2) negative externalities atau positive externalities, (3) pasar faktor domestik yang tidak sempurna.
Curbing Illegal Grazing Through Mediating Interests of Local Communities in East Nusa Tenggara Province, Indonesia Kurniadi, Rahman; Maryani, Retno; Wibowo, Lukas Rumboko; Prasetyo, Budiyanto Dwi; Setyowati, Retno
KOMUNITAS: International Journal of Indonesian Society and Culture Vol 12, No 1 (2020): March
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v12i1.23331

Abstract

Communities living surrounding forest  have  used state forest for grazing area  in East Nusa Tenggara Timur Province, Indonesia for a long time.  However, Indonesia government have not given them a permit for managing state forest. Government will  involve communities in state forest management   to generate people income but government ,as a principal, was worried that the communities, as agent,  will act in the way contrary to the interest of government. We used  a principal agent theory to analyze principal agent problems which will occur if  communities manage  state forest for  silvopasture purpose. The research showed that there are some principal agent problems in silvopasture contract if government give communities a permit for silvopasture purpose, i.e.  communities, as agent, are  not willing  to plant trees and keep forest. Government must control communities to prevent some principal-agent problems in silvopasture contract.
Curbing Illegal Grazing Through Mediating Interests of Local Communities in East Nusa Tenggara Province, Indonesia Kurniadi, Rahman; Maryani, Retno; Wibowo, Lukas Rumboko; Prasetyo, Budiyanto Dwi; Setyowati, Retno
Komunitas Vol 12, No 1 (2020): March 2020
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v12i1.23331

Abstract

Communities living surrounding forest  have  used state forest for grazing area  in East Nusa Tenggara Timur Province, Indonesia for a long time.  However, Indonesia government have not given them a permit for managing state forest. Government will  involve communities in state forest management   to generate people income but government ,as a principal, was worried that the communities, as agent,  will act in the way contrary to the interest of government. We used  a principal agent theory to analyze principal agent problems which will occur if  communities manage  state forest for  silvopasture purpose. The research showed that there are some principal agent problems in silvopasture contract if government give communities a permit for silvopasture purpose, i.e.  communities, as agent, are  not willing  to plant trees and keep forest. Government must control communities to prevent some principal-agent problems in silvopasture contract.