Eka Laksmi Hidayati, Eka Laksmi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Published : 16 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search
Journal : Sari Pediatri

Insiden Hiponatremia Pasca operasi Mayor pada Anak di Ruang Rawat Intensif Nathanne Septhiandi; Rismala Dewi; Piprim B Yanuarso; Evita Kariani B. Ifran; Novie Amelia; Eka Laksmi Hidayati
Sari Pediatri Vol 17, No 5 (2016)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp17.5.2016.327-334

Abstract

Latar belakang. Penggunaan cairan yang tidak tepat sering menimbulkan peningkatan kejadian hiponatremia yang berhubungan erat dengan meningkatnya berbagai komplikasi, seperti edema otak, kejang, bahkan kematian.Tujuan. Mengetahui insiden hiponatremia pada anak pasca tindakan operasi mayor.Metode. Studi retrospektif potong lintang dilakukan terhadap anak usia 1 bulan hingga 18 tahun yang menjalani tindakan operasi mayor dan masuk ruang rawat intensif. Penelusuran status medik sesuai kriteria inklusi dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi. Dicatat data subjek pre operasi, intra operasi, serta pemantauan pasca operasi. Definisi hiponatremia <135 mEq/L, diklasifikasikan sesuai derajat hiponatremia dan dilakukan pencarian lebih lanjut terhadap komplikasi.Hasil. Didapat 90 subjek, terdiri atas 56,7% laki-laki (51,1%) dan  rentang usia 1 bulan hingga 17 tahun. Tindakan laparatomi dengan berbagai indikasi dijalani 47,8% subjek. Hampir semua subjek (9 3,3%) mendapat cairan hipotonik pasca operasi. Insiden hiponatremia pasca operasi 28,9%, 11,1% di antaranya hiponatremia sedang-berat. Rerata kadar natrium pasca operasi (130,1±4,1) mEq/L, rerata total cairan (79,8±27,4) mL/kg. Pada 30,9% subjek yang mendapatkan cairan hipotonik pasca operasi mengalami kejadian hiponatremia, rerata lama rawat 5,6±4 hari. Terdapat 1/26 subjek yang mengalami komplikasi berupa kejang dan edema otak.Kesimpulan. Insiden hiponatremia pasca tindakan operasi mayor di ruang rawat intensif hampir mencapai 30% dan sebagian besar mendapat cairan hipotonik pasca operasi. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengevaluasi pemberian cairan pasca operasi yang tepat untuk mencegah hiponatremia. 
Fungsi Ginjal Pasien Thalassemia Mayor yang Mendapatkan Kelasi Besi Oral Teny Tjitra Sari; Aulia Fitri Swity; Hikari Ambara Sjakti; Eka Laksmi Hidayati; Dian Puspita Sari
Sari Pediatri Vol 20, No 4 (2018)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (129.396 KB) | DOI: 10.14238/sp20.4.2018.242-8

Abstract

Latar belakang. Peningkatan angka kelangsungan hidup pasien thalassemia menyebabkan terdeteksinya berbagai penyakit komorbid termasuk komplikasi pada ginjal. Anemia kronis, kelebihan besi, dan pemakaian kelasi besi, terutama kelasi besi oral diduga berpengaruh pada fungsi ginjal. Berbagai derajat disfungsi tubular dan abnormalitas laju filtrasi glomerulus (LFG) dideteksi dengan berbagai macam pemeriksaan. Tujuan. Membandingkan laju filtrasi ginjal (tubulus dan glomerulus) pada pasien thalassemia yang mendapatkan kelasi besi oral.Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan di Pusat Thalassemia RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan Maret – Juli 2017. Kriteria inklusi adalah pasien thalassemia major berusia <18 tahun, dan telah mendapatkan kelasi oral minimal selama 1 tahun. Kriteria eksklusi adalah pasien telah memiliki penyakit atau kelainan ginjal sebelumnya dan menggunakan kelasi besi kombinasi. Pasien menjalani pemeriksaan hematologi, kreatinin serum, feritin serum, dan pengambilan urin pagi sewaktu untuk pemeriksaan kadar kalsium dan kreatinin urin sewaktu.Hasil. Penurunan nilai LFG pada 15 pasien deferipron (DFP) 53,6%, tetapi masih dalam batas normal, sedangkan 12 pasien deferasirox (DFX) 46,2%. Tidak ada perbedaan bermakna antara fungsi tubular ginjal yang dinilai berdasarkan rasio kalsium kreatinin urin pada pasien thalassemia yang mendapatkan DFP dibandingkan dengan DFX. Terdapat 1 (3,6%) pasien dengan hiperkalsiuria pada kelompok DFP dan 7 pasien (12,9%) dengan hiperkalsiuria pada kelompok DFX.Kesimpulan. Terdapat penurunan fungsi ginjal pada pasien yang mendapat kelasi besi oral, walaupun hal ini tidak bermakna. Pemeriksaan fungsi tubular maupun glomerular ginjal pasien thalassemia mayor perlu dinilai secara berkala, mengingat penggunaan kelasi besi jangka panjang dan cukup tingginya angka kejadian penurunan LFG dan hiperkalsiuria. Pemeriksaan rasio kalsium kreatinin urin maupun LFG perlu diukur pada saat pasien kontrol bersamaan dengan pemeriksaan kreatinin serum.
Pengalaman Transplantasi Ginjal pada Anak di Jakarta Sudung O. Pardede; Eka Laksmi Hidayati; Cahyani Gita Ambarsari; Henny Adriani Puspitasari; Partini P. Trihono; Taralan Tambunan
Sari Pediatri Vol 21, No 1 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (98.256 KB) | DOI: 10.14238/sp21.1.2019.44-9

Abstract

Latar belakang.Transplantasi ginjal merupakan terapi yang efektif untuk penyakit ginjal kronik (PGK) stadium 5 atau gagal ginjal terminal. Transplantasi ginjal di dunia pertama kali dilakukan pada tahun 1950an. Di Indonesia, transplantasi ginjal pada orang dewasa telah dilakukan pada tahun 1977 dan semakin berkembang dan telah dilakukan di beberapa kota di Indonesia. Transplantasi ginjal pada anak pertama kali dilakukan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusomo pada bulan Maret 2013, terhadap seorang anak lelaki berusia 13 tahun dengan gagal ginjal terminal yang disebabkan sindrom nefrotik, dengan ginjal yang diperoleh dari non-related living donor. Ini merupakan transplantasi ginjal yang pertama kali dilakukan pada anak di Indonesia.Tujuan. Melaporkan data tentang kegiatan transplantasi ginjal yang dilakukan di Jakarta.Metode. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif yang mengambil data dari catatan medis. Hingga tahun 2018 telah dilakukan 11 kali transplantasi ginjal pada 10 orang anak terdiri atas 9 laki-laki dan 1 perempuan, dengan 1 kasus re-transplan. Rentang usia adalah 8-18 tahun, dengan penyakit dasar terdiri atas sindrom nefrotik (3 anak), dan ginjal hipoplasia (7 anak). Donor untuk kesebelas transplan anak tersebut terdiri atas 4 non-related living donor dan 7 orang related living donor, yaitu 5 orang donor ayah dan 2 orang donor ibu. Hasil. Di antara 10 pasien transplan, 3 orang menggunakan biaya pribadi atau asuransi swasta dan 8 orang dengan biaya dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Hingga bulan Agustus 2018, di antara kesepuluh anak tersebut, 7 orang hidup dan di antaranya 2 orang mengalami rejeksi pada tahun ke-3 (1 orang konversi kembali ke hemodialisis dan 1 orang telah menjalani re-transplan). Tiga pasien meninggal akibat infeksi berat.Kesimpulan. Transplantasi ginjal di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusomo dimulai pada tahun 2013, dengan donor hidup yang sebagian besar berasal dari orangtua, dengan pembiayaan sebagian besar menggunakan BPJS.
Luaran Jangka Panjang Transplantasi Ginjal pada Anak Eka Laksmi Hidayati
Sari Pediatri Vol 23, No 5 (2022)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp23.5.2022.346-52

Abstract

Transplantasi ginjal merupakan pilihan utama terapi pengganti ginjal pada pasien dengan penyakit ginjal kronik stadium 5. Beberapa faktor pada periode pratransplantasi, perioperatif, dan pascatransplantasi ikut memengaruhi luaran jangka panjang pada pasien anak yang menjalani transplantasi ginjal. Faktor-faktor pratransplantasi yang memengaruhi, antara lain, etiologi dasar penyakit ginjal kronik, kondisi fisis sebelum transplantasi, status urodinamik, jenis donor, usia resipien, serta kesesuaian HLA antara resipien dan donor. Teknik pembedahan, kecukupan perfusi darah, dan cold ischemia time selama operasi berperan penting dalam keberhasilan transplantasi. Setelah menjalani prosedur transplantasi, penggunaan obat-obatan imunosupresan jangka panjang secara optimal merupakan kunci keberhasilan transplantasi. Pemantauan secara ketat terhadap kepatuhan terapi, reaksi penolakan organ, infeksi, keganasan, kelainan metabolik, dan gangguan kardiovaskular, dibutuhkan untuk memastikan keberhasilan transplantasi dan mendeteksi adanya komplikasi terkait prosedur transplantasi.
Telaah Perbandingan Panduan Klinis Sindrom Nefrotik Idiopatik Resisten Steroid pada Anak Sudung Oloan Pardede; Reza Fahlevi; Edwin Kinesya; Eka Laksmi Hidayati; Henny Adriani Puspitasari; Partini Pudjiastuti Trihono
Sari Pediatri Vol 25, No 3 (2023)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp25.3.2023.137-46

Abstract

Latar belakang. Sebagai salah satu penyakit ginjal anak tersering di dunia, sindrom nefrotik dapat dibedakan menjadi sensitif dan resisten steroid. Penelitian dan tata laksana sindrom nefrotik resisten steroid pada anak terus berkembang. Panduan klinis yang digunakan seringkali berbeda dan bervariasi antar fasilitas kesehatan ataupun negara di dunia.Tujuan. Membandingkan panduan klinis sindrom nefrotik idiopatik resisten steroid pada anak. Metode. Kami menentukan topik dan lingkup bahasan yang akan dibahas. Sesudah itu, dilakukan telaah dan perbandingan terhadap empat panduan klinis dari Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2012, Kidney Disease: Improving Global Outcomes tahun 2021, Indian Society of Pediatric Nephrology tahun 2021, dan International Pediatric Nephrology Association tahun 2020. Empat lingkup bahasan kajian antara lain diagnosis, pemeriksaan penunjang, batasan kriteria, dan terapi.Hasil. Didapatkan beberapa perbedaan mendasar yang ditemukan, antara lain, adanya periode konfirmasi, beberapa istilah baru, anjuran pemeriksaan genetik, serta pilihan utama terapi imunosupresan. Kesimpulan. Sesudah menelaah panduan klinis sindrom nefrotik idiopatik resisten steroid dari Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2012 dan panduan klinis baru lainnya, ditemukan beberapa pebedaan dasar. Oleh karena itu, diperlukan pembaharuan konsensus sindrom nefrotik resisten steroid yang disesuaikan dengan bukti ilmiah terbaru serta ketersediaan fasilitas kesehatan dan obat-obatan di Indonesia.
Perdarahan Saluran Cerna pada Anak dengan Penyakit Ginjal Tahap Akhir Beatrix Siregar; Eka Laksmi Hidayati; Sudung Oloan Pardede
Sari Pediatri Vol 25, No 2 (2023)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp25.2.2023.130-6

Abstract

Penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) adalah penyakit ginjal kronik (PGK) stadium 5 yang ditandai dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) < 15 mL/menit/1,73m2 selama tiga bulan atau lebih, atau suatu kondisi dengan pasien memerlukan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis, dialisis peritoneal, atau transplantasi ginjal. Pasien dengan PGTA sering mengalami gangguan saluran cerna, termasuk perdarahan saluran cerna, yang dapat terjadi dari atas maupun bawah. Perdarahan saluran cerna atas lebih umum ditemukan dan berkaitan dengan erosi saluran cerna. Pada pasien anak dengan PGTA, erosi saluran cerna umum ditemukan namun angka kejadian perdarahan saluran cerna berkaitan dengan erosi pada anak dengan PGTA belum diketahui. Patofisiologi perdarahan saluran cerna pada pasien PGTA belum sepenuhnya diketahui, namun diduga berkaitan dengan disfungsi trombosit akibat uremia, anemia, dan penggunaan obat-obatan. Mekanisme perdarahan saluran cerna tergantung etiologinya, terutama erosi dan angioektasia. Belum ada pendekatan dan tata laksana perdarahan saluran cerna khusus pada anak dengan PGTA yang terbukti secara uji klinis, namun optimalisasi dialisis dan tata laksana anemia dapat dilakukan sebagai tindakan pencegahan.
Sindrom Nefrotik Idiopatik Sensitif Steroid pada Anak: Telaah Perbandingan Panduan Klinis Partini Pudjiastuti Trihono; Reza Fahlevi; Edwin Kinesya; Eka Laksmi Hidayati; Henny Adriani Puspitasari; Sudung Oloan Pardede
Sari Pediatri Vol 25, No 4 (2023)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp25.4.2023.231-42

Abstract

Latar belakang. Sindrom nefrotik idiopatik merupakan penyakit ginjal tersering pada anak di dunia. Penelitian terkait sindrom nefrotik idiopatik pada anak terus berkembang. Namun, pada praktiknya masih terdapat variasi yang lebar terkait evaluasi dan tata laksana sindrom nefrotik idiopatik pada anak di dunia. Tujuan. Membandingkan panduan klinis sindrom nefrotik idiopatik sensitif steroid pada anak. Metode. Membandingkan empat panduan klinis sindrom nefrotik idiopatik sensitif steroid pada anak, yaitu panduan klinis sindrom nefrotik idiopatik Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2012, Kidney Disease Improving Global Outcome tahun 2021, International Pediatric Nephrology Association tahun 2022, dan Indian Society of Pediatric Nephrology tahun 2021. Dikembangkan 7 lingkup bahasan kajian, meliputi diagnosis, pemeriksaan penunjang awal, batasan kriteria, dan terapi sindrom nefrotik inisial, sindrom nefrotik relaps jarang, sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom nefrotik dependen steroid.Hasil. Didapatkan beberapa perbedaan mendasar yang ditemukan, antara lain, terkait batasan proteinuria dan hipoalbuminemia yang digunakan, dosis maksimal steroid, definisi relaps sering, pilihan terapi imunosupresan pada SN relaps sering, dependen steroid, dan pemeriksaan genetik yang dirasonalisasikan berdasarkan bukti-bukti penelitian terbaru.Kesimpulan. Terdapat beberapa perbedaan mendasar antara panduan klinis sindrom nefrotik idiopatik Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2012 dengan panduan klinis terbaru lainnya. Perlu dipertimbangkan pembaharuan konsensus sindrom nefrotik di Indonesia dengan menelaah bukti ilmiah terbaru dan disesuaikan dengan ketersediaan obat serta fasilitas pemeriksaan di Indonesia.