Hikari Ambara Sjakti, Hikari Ambara
Departemen Ilmu Keseahatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

Pengaruh Pemberian Vitamin E terhadap Kadar Oksidan pada Leukemia Limfoblastik Akut Fase Induksi Dewi Anggraeni; Hikari Ambara Sjakti; Bernie Endyarni Medise
Sari Pediatri Vol 23, No 6 (2022)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp23.6.2022.402-8

Abstract

Latar belakang. Penderita leukemia limfoblastik akut (LLA) akan mengalami perubahan status oksidan dan antioksidan sejak awal diagnosis dan selama kemoterapi. Vitamin E merupakan antikarsinogenik dan berperan mencegah kerusakan oksidatif pada struktur sel dan jaringan lewat reaksi pemecahan radikal bebas. Tujuan. Mengetahui pengaruh vitamin E terhadap kadar oksidan, kadar enzim transaminase, dan insiden demam neutropenia pada LLA saat awal dan selesai kemoterapi fase induksi. Metode. Uji klinis acak tersamar ganda yang membandingkan kelompok vitamin E dengan kelompok plasebo pada penderita LLA saat awal dan selesai kemoterapi fase induksi pada bulan Juni-November 2019 di poliklinik Hematologi Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM Kiara. Hasil. Terdapat peningkatan kadar median MDA saat awal fase induksi dan terjadi penurunan MDA secara bermakna saat selesai fase induksi pada kelompok plasebo. Terdapat peningkatan median enzim transaminase (AST dan ALT) saat awal fase induksi dan terjadi penurunan delta median AST secara bermakna saat selesai fase induksi pada kelompok plasebo. Insiden demam neutropenia (per episode) ditemukan hampir sama pada kelompok vitamin E dan kelompok plasebo. Kesimpulan. Vitamin E tidak terbukti secara bermakna memperbaiki kadar MDA, enzim transaminase, dan insiden demam neutropenia pada penderita LLA fase induksi.
Peran Pemeriksaan Immature Platelet Fraction dalam Imun Trombositopenia Fatimah Saidah; Hikari Ambara Sjakti
Sari Pediatri Vol 20, No 3 (2018)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (172.341 KB) | DOI: 10.14238/sp20.3.2018.190-6

Abstract

Latar belakang. Pemeriksaan immature platelet fraction (IPF) untuk mengetahui produksi trombosit dapat membedakan trombositopenia yang disebabkan gangguan trombopoiesis atau peningkatan destruksi trombosit. Nilai diagnostik IPF pada imun trombositopenia (ITP) belum dapat dibuktikan secara konsisten. Tujuan. Mengetahui manfaat pemeriksaan IPF dalam penegakan diagnosis ITP pada anak. Metode. Pencarian artikel dilakukan menggunakan instrumen PubMed, Cochrane, dan Google Cendekia dengan kata kunci yang sesuai. Seleksi dilakukan sesuai kriteria inklusi dan eksklusi serta telaah judul dan abstrak. Telaah kritis dilakukan dengan evaluasi validity, importance, dan applicability. Hasil. Diperoleh dua artikel berupa studi potong lintang dan studi retrospektif. Kedua studi melaporkan nilai IPF yang lebih tinggi pada pasien ITP dibandingkan dengan kelompok kegagalan sumsum tulang maupun kontrol (p<0,001). Studi pertama mendapatkan nilai IPF 9,4% bersifat diagnostik untuk ITP dengan sensitivitas 88%, spesifisitas 85,7%. Dari studi kedua didapatkan nilai IPF >8,45% memiliki sensitivitas 80,4% dan spesifisitas 79,9% untuk membedakan ITP dengan penyebab trombositopenia lainnya. Kesimpulan. Nilai IPF yang meningkat dapat bermanfaat untuk membantu diagnosis pada kasus ITP yang tidak disebabkan ganggguan trombopoiesis. Nilai IPF yang normal atau rendah tidak selalu dapat menyingkirkan diagnosis ITP mengingat kemungkinan adanya gangguan trombopoiesis pada ITP.
Fungsi Sistolik dan Diastolik Jantung pada Pasien Anak dengan Osteosarkoma yang Mendapat Terapi Doksorubisin Di RS Cipto Mangunkusumo Kristin Handojo; Hikari Ambara Sjakti; Piprim B. Yanuarso; Arwin AP Akib
Sari Pediatri Vol 16, No 3 (2014)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp16.3.2014.149-56

Abstract

Latar belakang. Doksorubisin merupakan obat golongan antrasiklin yang penting dan efektif pada pengobatan tumor padat pada anak. Doksorubisin mencegah sintesis RNA dan DNA melalui proses interkalasi. Kardiotoksisitas dilaporkan paling banyak karena penggunaan doksorubisin tersebut sehingga penggunaannya masih terbatas.Tujuan. Mengetahui fungsi jantung pada anak dengan osteosarkoma setelah mendapat terapi doksorubisin di RSCM.Metode. Studi deskriptif potong lintang dilakukan di RSCM, Divisi Hematologi-Onkologi IKA dan Sub Bagian Onkologi Orthopedik dan Traumatologi, dengan menelusuri catatan registrasi dan rekam medis pasien anak dengan osteosarkoma sejak 1 Januari 2005 sampai dengan 31 Desember 2012.Hasil. Terdapat 25 subjek penelitian, 21 di antaranya selesai menjalani kemoterapi dan mendapat total dosis kumulatif doksorubisin dengan rentang 300 mg/m2 sampai 675 mg/m2. Fungsi sistolik LV mengalami penurunan rerata fraksi ejeksi 3,3% dan pemendekan 2,5% setelah mendapat doksorubisin. Fungsi diastolik LV mengalami penurunan rerata rasio E/A 17,6%. Sembilan dari 18 pasien yang selesai menjalani kemoterapi dan mendapat total dosis kumulatif doksorubisin 375 mg/m2 mengalami gangguan fungsi diastolik tidak disertai gangguan fungsi sistolik. Kardiomiopati dilatasi ditemukan pada satu pasien setelah mendapat dosis kumulatif doksorubisin 300 mg/m2 dan satu pasien setelah mendapat dosis 675 mg/m2. Pasien berusia ≥10 tahun dan berjenis kelamin perempuan lebih banyak mengalami penurunan fungsi sistolik dan diastolik LV setelah mendapat doksorubisin.Kesimpulan. Fungsi sistolik dan diastolik LV menurun setelah pasien mendapat terapi doksorubisin dengan dosis kumulatif 300 mg/m2. Penurunan fungsi diastolik mendahului penurunan fungsi sistolik LV. Dosis, usia, dan jenis kelamin perempuan dapat menjadi faktor risiko penurunan fungsi jantung setelah pemberian doksorubisin.
Penggunaan Granulocyte Colony-Stimulating Factor pada Pasien Tumor Padat yang Mengalami Neutropenia Rosary Rosary; Hikari Ambara Sjakti
Sari Pediatri Vol 11, No 6 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (77.707 KB) | DOI: 10.14238/sp11.6.2010.428-33

Abstract

Infeksi yang terkait dengan neutropenia pasca kemoterapi merupakan salah satu penyebab morbiditas danmortalitas yang cukup sering pada pasien kanker. Neutropenia pasca kemoterapi selain akan memperpanjanglama rawat dan meningkatkan risiko infeksi, juga menyebabkan tertundanya pemberian kemoterapi danpengurangan dosis kemoterapi. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kesintasan pasien.Hematopoietic growth-stimulating factor adalah sitokin yang mengatur proliferasi, diferensiasidan fungsi sel hematopoietik. Penggunaan granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) dan granulocytemacrophagecolony-stimulating foctor(GM-CSF) saat ini banyak diteliti pada pasien kanker yang berisikomengalami neutropenia. Pemberian G-CSF pada manusia menyebabkan peningkatan neutrofil yangbersirkulasi karena berkurangnya masa transit dari sel induk menjadi neutrofil matur, oleh karenanyazat ini sering dipakai untuk mengatasi neutropenia. Tujuan penulisan untuk mengetahui kegunaanyapada pasien tumor padat yang mengalami neutropenia.
Fungsi Ginjal Pasien Thalassemia Mayor yang Mendapatkan Kelasi Besi Oral Teny Tjitra Sari; Aulia Fitri Swity; Hikari Ambara Sjakti; Eka Laksmi Hidayati; Dian Puspita Sari
Sari Pediatri Vol 20, No 4 (2018)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (129.396 KB) | DOI: 10.14238/sp20.4.2018.242-8

Abstract

Latar belakang. Peningkatan angka kelangsungan hidup pasien thalassemia menyebabkan terdeteksinya berbagai penyakit komorbid termasuk komplikasi pada ginjal. Anemia kronis, kelebihan besi, dan pemakaian kelasi besi, terutama kelasi besi oral diduga berpengaruh pada fungsi ginjal. Berbagai derajat disfungsi tubular dan abnormalitas laju filtrasi glomerulus (LFG) dideteksi dengan berbagai macam pemeriksaan. Tujuan. Membandingkan laju filtrasi ginjal (tubulus dan glomerulus) pada pasien thalassemia yang mendapatkan kelasi besi oral.Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan di Pusat Thalassemia RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan Maret – Juli 2017. Kriteria inklusi adalah pasien thalassemia major berusia <18 tahun, dan telah mendapatkan kelasi oral minimal selama 1 tahun. Kriteria eksklusi adalah pasien telah memiliki penyakit atau kelainan ginjal sebelumnya dan menggunakan kelasi besi kombinasi. Pasien menjalani pemeriksaan hematologi, kreatinin serum, feritin serum, dan pengambilan urin pagi sewaktu untuk pemeriksaan kadar kalsium dan kreatinin urin sewaktu.Hasil. Penurunan nilai LFG pada 15 pasien deferipron (DFP) 53,6%, tetapi masih dalam batas normal, sedangkan 12 pasien deferasirox (DFX) 46,2%. Tidak ada perbedaan bermakna antara fungsi tubular ginjal yang dinilai berdasarkan rasio kalsium kreatinin urin pada pasien thalassemia yang mendapatkan DFP dibandingkan dengan DFX. Terdapat 1 (3,6%) pasien dengan hiperkalsiuria pada kelompok DFP dan 7 pasien (12,9%) dengan hiperkalsiuria pada kelompok DFX.Kesimpulan. Terdapat penurunan fungsi ginjal pada pasien yang mendapat kelasi besi oral, walaupun hal ini tidak bermakna. Pemeriksaan fungsi tubular maupun glomerular ginjal pasien thalassemia mayor perlu dinilai secara berkala, mengingat penggunaan kelasi besi jangka panjang dan cukup tingginya angka kejadian penurunan LFG dan hiperkalsiuria. Pemeriksaan rasio kalsium kreatinin urin maupun LFG perlu diukur pada saat pasien kontrol bersamaan dengan pemeriksaan kreatinin serum.
Pola Infeksi pada Leukemia Mieloblastik Akut pada Anak Hikari Ambara Sjakti; Endang Windiastuti
Sari Pediatri Vol 13, No 6 (2012)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp13.6.2012.426-30

Abstract

Latar belakang. Leukemia mieloblastik akut cenderung memiliki risiko terkena infeksi yang lebih tinggi dibandingkan keganasan lainnya. Angka kematian pada pasien LMA di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM cukup tinggi, dan sebagian besar disebabkan oleh infeksi atau sepsis.Tujuan. Mengetahui gambaran infeksi yang terjadi pada pasien LMA di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM.Metode. Penelitian deskritifretrospektif dilakukan terhadap rekam medis pasien anak penderita LMA yang terdiagnosis antara Januari 2007-Desember 2010. Hanya pasien yang memiliki data biakan darah atau urin yang diikutsertakan pada pada penelitian ini. Data hasil biakan dan luaran pasien dikumpulkan dan dianalisis. Hasil. Terdapat 93 pasien baru LMA yang terdiagnosis selama kurun waktu penelitian, namun hanya 37 pasien yang memiliki data biakan darah atau urin. Enam belas dari 39 biakan darah dan 26 dari 42 biakan urin tumbuh bakteri yang sebagian besar adalah bakteri Gram negatif. Tujuh belas dari 23 pasien yang meninggal pada penelitian ini disebabkan oleh sepsis. Angka kematian akibat sepsis ini cenderung lebih tinggi dibandingkan penelitian lain. Hal ini mungkin terkait dengan toksisitas kemoterapi dan fasilitas perawatan khusus pasien imunokompromais yang tidak memadai. Kesimpulan. Penyebab kematian tersering pada pasien LMA adalah infeksi bakteri Gram negatif. Perawatan suportif yang baik akan menurunkan kejadian komplikasi infeksi pada psien LMA yang menjalani kemoterapi.
Hasil Pengobatan Leukemia Mieloblastik Akut pada Anak Hikari Ambara Sjakti; Djajadiman Gatot; Endang Windiastuti
Sari Pediatri Vol 14, No 1 (2012)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (220.544 KB) | DOI: 10.14238/sp14.1.2012.40-5

Abstract

Latar belakang. Leukemia mieloblastik akut (LMA) merupakan penyakit keganasan yang sering ditemukan pada anak. Hasil pengobatan LMA di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM dalam satu dekade terakhir belum pernah dievaluasi. Tujuan. Mengetahui karakteristik pasien LMA dan evaluasi hasil pengobatan serta protokol pengobatan.Metode. Penelitian deskritif dilakukan secara retrospektif terhadap rekam medis pasien LMA yang didiagnosis antara Januari 2007-Desember 2010 di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Karakteristik pasien secara klinis dan laboratoris dicatat, dan hasil pengobatan dianalisis. Estimasi kesintasan dihitung menggunakan metode Kaplan-Meier dengan bantuan program statistik.Hasil. Selama rentang waktu penelitian didapatkan 93 pasien baru LMA. Overall survival (OS) adalah 46,2% (95% IK: 21,1%;31,2%) dan event-free survival(EFS) 6,5% (95% IK: 3,1%;6,2%). Angka loss to follow-upmencapai sepertiga jumlah pasien yang mempengaruhi hasil estimasi kesintasan (overall survival). Rendahnya EFS disebabkan oleh angka kematian yang tinggi mencapai 50 dari 93 pasien dan 62% di antaranya disebabkan oleh sepsis.Kesimpulan. Keberhasilan pengobatan LMA masih sangat rendah dibandingkan laporan penelitian dari negara lain. Faktor yang paling berperan terhadap hal ini adalah kematian yang tinggi akibat infeksi berat atau sepsis. Komplikasi infeksi mungkin terjadi akibat toksisitas obat dan fasilitas perawatan untuk pasien LMA kurang memadai. Stratifikasi risiko pasien LMA dan evaluasi protokol kemoterapi yang diberikan serta penyediaan fasilitas perawatan yang baik akan memperbaiki hasil pengobatan LMA
Feeding difficulties in children with cerebral palsy Hikari Ambara Sjakti; Damayanti Rusli Syarif; Luh Karunia Wahyuni; lmral Chair
Paediatrica Indonesiana Vol 48 No 4 (2008): July 2008
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/pi48.4.2008.224-9

Abstract

Background Children with cerebral palsy (CP) often have feedingdifficulties due to their disability. This results in inadequate calorieintake which finally leads to malnutrition. Several studies foundthat 30-90% of children with CP have feeding difficulties associ-ated with malnutrition. There has been no sufficient publisheddata about this problem in Indonesia.Objective To determine the prevalence of feeding difficulties andmalnutrition in children with CP.Methods A cross-sectional study was done from January toSeptember 2005 in the pediatric outpatient clinic of Dr. CiptoMangunkusumo Hospital (CMH). Children with CP underwentnutritional and feeding difficulties assessment. Nutritional sta-tus was determined by the ratio of body weight to body heightstandardized to CDC-NCHS 2000 growth curve and wereclassified based on Waterlow. Calorie intake was evaluated bydietary analysis and defined as adequate if it reached 13.9 kcal/em BH ± 10%. Feeding difficulties assessment included historytaking, physical examination and observation of feeding skill inthe outpatient clinic.Results Fifty-five children with CP were included in this study,most of them were spastic type, mainly spastic diplegic and spasticquadriplegic cerebral palsy (SQCP). Malnutrition was found in76% subjects, most were SQCP. Feeding difficulties were found in76% subjects, half of them were SQCP, 38% with spastic diplegic.Thirty- eight percents of the parents whose children had feedingdifficulties was not aware of these problems in their children.Parallel with data above, 78% subjects received inadequatecalorie intake.Conclusions The prevalence of undernourished and severemalnutrition in children with CP is 66% and 11% respectively.Malnutrition in CP patients tends to be related with inad-equate calorie intake due to feeding difficulties that is found in78% subjects especially those with SQCP
Gut wall integrity in exclusively breastfed vs. formula-fed infants Nur Hayati; Muzal Kadim; Irawan Mangunatmadja; Soepardi Soedibyo; Evita Bermansyah Ifran; Hikari Ambara Sjakti
Paediatrica Indonesiana Vol 56 No 4 (2016): July 2016
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (323.171 KB) | DOI: 10.14238/pi56.4.2016.199-204

Abstract

Background Breast milk has bioactive substances that modulate gastrointestinal maturation and maintain mucosal integrity of the gut in infants. Markers that are both non-invasive and reliable, such as fecal alpha-1 antitrypsin (AAT), calprotectin, and secretory immunoglobulin A (sIgA) have been used to assess gut integrity in adults. Higher AAT levels may imply greater enteric protein loss due to increase intestinal permeability of immaturity gut.Objective To assess and compare gut integrity of exclusively breastfed (BF) and exclusively formula fed (FF) infants aged 4-6 months.Methods Subjects were 80 healthy infants (BF=40; FF=40), aged 4-6 months who visited the Pediatric Polyclinic at St. Carolus Hospital, and lived in Pasar Minggu or Cempaka Putih Districts, Jakarta. The fecal AAT was analyzed by an ELISA method. Mann-Whitney and unpaired T-test were used to analyze possible correlations between feeding type and gut integrity.Results The BF group had significantly higher mean fecal AAT than the FF group (P=0.02). Median sIgA levels were not significantly different between groups (P=0.104). The FF group had a higher mean fecal calprotectin level but this difference was also not significant (P=0.443). There was a significant correlation between breastfeeding and mean fecal AAT level (P=0.02), but no significant correlation with calprotectin (P=0.65) or sIgA (P=0.26).Conclusion The breastfed group shows better mucosal integrity compared to the formula fed group. Higher mean fecal AAT level in the BF group is related to the AAT content of breast milk. Therefore AAT content of BF group is actually lower than formula fed group which shows greater mucosal integrity in BF group.
Age at menarche and body fat in adolescent girls Aman Bhakti Pulungan; Resyana Putri Nugraheni; Najib Advani; Arwin AP Akib; Yoga Devaera; Hikari Ambara Sjakti; Attika Adrianti Andarie
Paediatrica Indonesiana Vol 60 No 5 (2020): September 2020
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/pi60.5.2020.269-76

Abstract

Background Menarcheal age is important in adolescent girls due to its associations with health outcomes at adulthood. Modifiable factors that may influence menarcheal age include body fat mass and fat distribution. Objective: To investigate possible correlations between body fat mass and fat distribution with age at menarche in adolescent girls. Methods This study was a cross-sectional study on 32 girls aged 10-15 years in Central Jakarta, who experienced menarche within the time period of July to September 2019. Data on menarcheal age was collected by recall. Body fat mass and distribution were calculated using anthropometric measurements and bioelectrical impedance analyzer (BIA) results. Results The mean age of study subjects was 12.06 (SD 0.82) years and the mean age at menarche was 11.91 (SD 0.83) years. Correlation tests revealed a moderate negative correlation between body mass index-for-age and menarcheal age (r= -0.45; P=0.01) and weak negative correlation between waist-height ratio and menarcheal age (r= -0.37; P=0.03). Conclusion Menarcheal age is correlated with body mass index-for-age and waist-height ratio. However, no significant correlations between menarcheal age and body fat mass or distribution are found.