Sawitri Sawitri
Departemen / Staf Medik Fungsional Kesehatan Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

A Retrospective Study: Erysipelas and Cellulitis Patients’ Profile Amalia Rositawati; Sawitri Sawitri
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 28 No. 2 (2016): AGUSTUS
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (400.23 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V28.2.2016.137-145

Abstract

Background: Erysipelas and cellulitis are acute infectious diseases caused by Streptococcus pyogenes/haemolytic and Staphylococcus aureus, which attack the subcutaneous tissue and superficial areas (dermis and epidermis). In the course of the disease, erysipelas and cellulitis often fall in a serious condition that requires proper handling. Purpose: To determine a general overview as well as predictive factors of the severity of erysipelas and cellulitis condition. Methods: Retrospective study by evaluating medical records of erysipelas and cellulitis patients in Medical Ward of Dermatology, Dr. Soetomo General Hospital Surabaya from the period of 2012-2014. Results: The incidence of new cellulitis patients during 2012-2014 were 29 cases (67.4%) while erysipelas 14 cases (32.6%). Most of chief complaint were the form of swelling, redness, and pain sensation. The most common of prodromal symptoms were febris, precipitating factors largely due to scratching and stab wounds. Most underlying disease of both erysipelas and cellulitis was anemia. Predilection was common in the lower extremities in erysipelas (92.8%) and cellulitis (93.1%). Normal count of leukocytes in patients with erysipelas was 52.9% and 56.25% in patients with cellulitis. Culture examination was perfomed in 33 (76.74%) of the total 43 cases. Ampicillin injection therapy was commonly used in 22 patients (51.1%). Conclusion: The correct management could increase the recovery rate, prevent complication and recurrency of erysipelas and cellulitis. Key words: cellulitis, erysipelas, Streptococcus pyogenes/haemoliticus, Staphylococcus aureus.
Pengaruh Pemberian Topikal Campuran Produk Metabolit Amniotic Membrane Stem Cell (AMSC) pada Penyembuhan Ulkus Plantar Kronis Morbus Hansen Asmahani Thohiroh; Cita Rosita SP; Sawitri Sawitri
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 30 No. 1 (2018): APRIL
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (49.006 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V30.1.2018.48-57

Abstract

Latar Belakang: Ulkus plantar kronis pada Morbus Hansen (MH) masih menjadi permasalahan dalam hal medis maupun sosial pasien. Produk metabolit amniotic membrane stem cell (AMSC) mengandung growth factor dan sitokin yang dibutuhkan pada penyembuhan ulkus kronis. Vitamin C sebagai antioksidan, antiinflamasi, dan sintesa kolagen bermanfaat pada penyembuhan luka. Campuran keduanya diharapkan dapat membantu penyembuhan ulkus kronis MH. Tujuan: Untuk membuktikan pengaruh pemberian topikal campuran produk metabolit AMSC dengan vitamin C pada prosentase penyembuhan ulkus plantar kronis Morbus Hansen yang lebih cepat dibandingkan perawatan standar dengan framycetin gauze dressing (FGD). Metode: Penelitian merupakan penelitian eksperimental analitik dengan menggunakan metode uji klinis terkontrol, pemilihan pasangan serasi, dan desain paralel yang membandingkan terapi topikal gel campuran produk metabolit AMSC dengan vitamin C (PM-AMSC-VC) (perlakuan) dan FGD (kontrol) pada pasien ulkus plantar kronis MH. Hasil: Rerata prosentase penyembuhan ulkus setiap minggu dan diakhir studi didapatkan rerata prosentase yang lebih besar pada kelompok perlakuan yang mendapatkan gel campuran produk metabolit AMSC dengan vitamin C dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan FGD. Didapatkan perbedaan bermakna sebelum dan sesudah pengobatan pada selisih luas dan dalam ulkus antara kelompok campuran produk metabolit AMSC dengan vitamin C dan FGD, yaitu pada selisih luas ulkus didapatkan hasil p=0,012 dan selisih dalam ulkus p=0,015. Simpulan: Pemberian topikal campuran produk metabolit AMSC dengan vitamin C memberikan hasil yang baik pada penyembuhan ulkus plantar kronis MH.
Condylomata Acuminata in Children: Report of Two Rare Cases Yuri Widia; Shinta Dewi Rahmadhani; Sawitri Sawitri; Afif Nurul Hidayati
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 29 No. 2 (2017): AGUSTUS
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (330.212 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V29.2.2017.175-181

Abstract

Background: Condylomata acuminata are mostly found in adult patients through sexual contact. Non-sexual transmission should be considered in children with condylomata acuminata. There are no Food Drug Administration (FDA) guidelines approved for condyloma acuminata in children less than 12 years old. Purpose: To report two rare cases of condylomata acuminata in children. Cases: Two girls, aged 1 and 2 years old came at different times to Dermatology and Venereology Outpatient Clinic Dr. Soetomo General Hospital with perianal tumors. Both were born by vaginal delivery. There was no history of the same disease on the genital or the skin of both parents. Physical examinations on the perianal area were multiple flesh-colored papules with ‘cauliflower’ appearance. There was no sign or symptom of sexual abuse. Histopathological examinations in both patient show epidermis with hyperkeratosis, acanthosis, papilomatosis, some epithelial cell show koilocytosis. On the dermis layer there were proliferation from capillary blood vessel, infiltration mononuclear, intact membrane basale and no sign of malignancy. Human papillomavirus (HPV) subtypes examination results were type 11. Discussion: Trichloroacetic acid (TCA) was giving different results on both cases. The patient who did not show improvement with TCA was consulted to pediatric surgery to get electrodessication therapy by hefrycauter. Conclusion: Accurate history and physical examination isneeded to determine the mode transmissions of condylomata acuminata in children. Human papillomavirus (HPV) subtypes examination is not routinely performed and has limitation to determine the mode of transmission, especially in children. Perinatal transmission should be considered in children up to 2 years old. Multiple modalities are available for the treatment of warts in children.
TINEA KAPITIS PADA REMAJA Nurina Dhani Rahmayanti; Sawitri Sawitri
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 30 No. 1 (2018): APRIL
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (475.602 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V30.1.2018.88-94

Abstract

Latar Belakang: Tinea kapitis adalah infeksi dermatofita pada kulit kepala, alis dan bulu mata yang cenderung menyerang rambut dan folikel, umumnya pada anak. Pada remaja dapat diberikan terapi sesuai terapi standar tinea kapitis. Kasus: Remaja wanita, 16 tahun, berat badan 33kg dengan amenore primer, datang ke Poli Kulit dan Kelamin RS Dr. Soetomo Surabaya karena kebotakan di kepalanya sejak 3 minggu sebelumnya. Awalnya berupa bercak kemerahan, gatal, tertutup sisik tipis. Rambut berubah menjadi abu-abu, kusam, mudah rontok sehingga menyebabkan kebotakan. Pemeriksaan fisik dan laboratorium dalam batas normal. Pemeriksaan dermatologis menunjukkan adanya alopesia diameter 10 cm x 10 cm dengan plak eritematosa ringan tertutup skuama tipis di daerah parieto-occipitalis. Rambut keabu-abuan, kusam, mudah dicabut. Pemeriksaan wood lamp menunjukkan fluoresensi hijau terang. Pemeriksaan KOH menunjukkan adanya spora ektotrik. Hasil kultur Sabouraud Dextrose Agar (SDA) positif dan diidentifikasi sebagai Microsporum audouinii. Penderita didiagnosis dengan tinea kapitis tipe greypatch, diberikan griseofulvin 125mg tablet mikron 2x3 per hari dan sampo ketoconazole 2% sehari sekali. Pada follow-up minggu ke-6, lesi membaik, gatal berkurang, pemeriksaan wood lamp dan KOH memberikan hasil negatif. Diskusi: Pada pasien ini, terdapat amenore primer, dimana kadar hormon progesteron rendah menyebabkan berkurangnya produksi sebum sehingga komponen free fatty acid yang berfungsi fungistatik dan fungisidal juga rendah dan meningkatkan resiko tinea kapitis. Griseofulvin merupakan terapi pilihan untuk kasus tinea kapitis yang disebabkan oleh spesies Microsporum audouinii
Mutasi Onkogen dan Tumor Suppressor Gen pada Xeroderma Pigmentosum Shinta Dewi Rahmadhani; Sawitri Sawitri; Willy Sandika
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 30 No. 1 (2018): APRIL
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (356.543 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V30.1.2018.26-33

Abstract

Latar Belakang: Xeroderma pigmentosum (XP) adalah penyakit yang jarang, diturunkan secara autosomal resesif dengan gangguan pada perbaikan deoxyribonucleic acid (DNA) yang sering mengakibatkan keganasan. Pada XP terdapat lesi DNA yang tidak dapat diperbaiki dan mutasi gen yang mengatur perkembangan kanker kulit.  Tujuan: Menjelaskan patogenesis molekular dan genetik XP, terutama tumor suppressor gen dan mutasi onkogen. Telaah Kepustakaan: Pasien XP dengan radiasi sinar ultraviolet (UV) menghasilkan perkembangan yang tinggi dari squamous cell carcinoma (SCC), basal cell carcinoma (BCC), dan melanoma maligna (MM). Hal itu bisa dikarenakan hipersensitifitas akut perbaikan DNA yang tidak sempurna karena mutasi tumor suppressor gen (gen p53, INK-ARF, dan PTCH) dan gen Ras pada proto-onkogen (Ha-ras, Ki-ras, dan N-ras). Simpulan: Deteksi mutasi gen dapat dilakukan mengggunakan polymerase chain reaction (PCR) dan single strand conformation polymorphism (SSCP-PCR).
Penurunan Skor Melasma Area and Severity Index (MASI) antara Asam Traneksamat Topikal dan Modifikasi Formula Kligman dengan Plasebo Topikal dan Modifikasi Formula Kligman pada Pasien Frea Astrilia Tamarina; Sawitri Sawitri; Hari Sukanto
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 30 No. 3 (2018): DESEMBER
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (566.43 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V30.3.2018.231-239

Abstract

Latar Belakang: Melasma merupakan kelainan pigmentasi yang dapat menyebabkan gangguan kualitas hidup. Modifikasi Formula Kligman digunakan sebagai terapi standar melasma di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian retrospektif mengenai distribusi kemajuan penyakit melasma berdasarkan skor melasma area and severity index (MASI) di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada periode 2012-2014, menunjukkan jika hanya 44,4% yang mengalami penurunan skor pada kunjungan ulang. Asam traneksamat (AT) telah dilaporkan beberapa studi sebagai terapi adjuvan yang dapat menurunkan skor MASI dan memberikan perbaikan klinis pigmentasi. Penggunaannya secara topikal dianggap aman, tanpa efek samping serius. Tujuan: Mengevaluasi perbedaan selisih penurunan skor MASI antara pemberian AT topikal dan modifikasi Formula Kligman dengan pemberian plasebo topikal dan modifikasi Formula Kligman pada pasien melasma. Metode: Penelitian eksperimental analitik dengan uji klinis acak terkontrol, tersamar tunggal, yang membandingkan AT topikal dan modifikasi Formula Kligman (kelompok perlakuan) dengan plasebo topikal dan modifikasi Formula Kligman (kelompok kontrol), setelah pemakaian minggu ke-4, 8, dan 12 pada pasien melasma. Hasil: Studi melibatkan 14 pasien kelompok perlakuan dan 14 pasien kelompok kontrol. Hasil menunjukkan perbedaan bermakna setelah pemakaian minggu ke-4 (p=0,032) pada selisih penurunan skor MASI antara kelompok perlakuan dan kontrol. Tidak terdapat perbedaan bermakna setelah pemakaian minggu ke-8 (p=0,052) dan minggu ke-12 (p=0,057). Kedua agen memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan titik tangkap yang berbeda. Simpulan: Terdapat perbedaan bermakna setelah pemakaian minggu ke-4 pada selisih penurunan skor MASI antara pemberian AT topikal dan modifikasi Formula Kligman dengan pemberian plasebo topikal dan modifikasi Formula Kligman. Diperlukan penelitian lanjutan untuk membandingkan dan menentukan efikasi dari masing-masing agen.
Artikel asli: Profil Kadar CXCL 10 Serum pada Pasien Vitiligo Di Unit Rawat Jalan Kesehatan Kulit Dan Kelamin RSUD Dr Soetomo Surabaya Ardhiah Iswanda Putri; Sawitri Sawitri; Diah Mira Indramaya
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 31 No. 2 (2019): AGUSTUS
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (429.018 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V31.2.2019.84-90

Abstract

Latar Belakang: Vitiligo adalah penyakit depigmentasi yang paling sering dijumpai dengan manifestasi klinis berupa makula berwarna putih susu berbatas tegas, patogenesis kompleks yang belum dipahami dengan baik sehingga evolusi penyakit tidak dapat diprediksi. Peran kemokin CXCL 10 pada vitiligo masih belum banyak diketahui dan dipelajari. Penelitian mengenai kadar CXCL 10 serum pada vitiligo belum pernah dilakukan di Indonesia. Tujuan: Untuk mengetahui profil kadar CXCL 10 serum pada pasien vitiligo. Metode: Rancangan penelitian ini deskriptif cross-sectional yang bertujuan untuk mengevaluasi kadar CXCL 10 serum pada pasien vitiligo, 16 sampel yang didiagnosis vitiligo dilakukan pengambilan darah pada pasien untuk mengukur kadar serum CXCL 10. Hasil: Kadar CXCL 10 serum pada penelitian ini lebih tinggi pada pasien vitiligo, tidak ada perbedaan bermakna antara laki laki dan perempuan dan distribusi proporsi tipe vitiligo tertinggi adalah generalisata. Simpulan: Profil kadar serum CXCL 10 pada pasien vitiligo berdasarkan jenis kelamin, usia, dan lama menderita vitiligo.
The Difference of Serum Vitamin E Levels between Adolescent Patients with and without Acne Vulgaris Wahyunita Desi Ratnaningtyas; Sawitri Sawitri; Dwi Murtiastutik; Afif Nurul Hidayati
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 32 No. 1 (2020): APRIL
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/bikk.V32.1.2020.40-47

Abstract

Background: Acne vulgaris (AV) is a chronic inflammatory disease of the pilosebaceous unit, particularly among adolescents. The pathogenesis of AV is multifactorial, developing research studies  the role of free radicals and antioxidants imbalance that cause oxidative stress in AV. The main antioxidant found in the skin is vitamin E, which functions as a protector against lipid peroxide. Purpose: To compare serum vitamin E levels in adolescents with AV and healthy adolescents without AV (controls). Methods: This is a cross-sectional observational analytic study that involved 17 adolescents with AV and 17 controls in Dermatology and Venereology Outpatient Clinic Dr. Soetomo General Academic Hospital Surabaya. The subjects have met the inclusion and exclusion criterias. Result: The mean of vitamin E level in adolescent patients with AV was 7.8 ± 1.07 mg/mL and 10 ± 1.06 mg/mL in controls with the p-value in this study was p = 0.0001. Conclusion:  It was found that serum vitamin E levels in adolescent AV patients were significantly lower than the controls. Further research is required to find out more about the role of antioxidants in the pathogenesis of AV.
Profil Nilai pH dan Transepidermal Water Loss (TEWL) Pada Pasien Dermatitis Atopik Anak Icha Aisyah; Iskandar Zulkarnain; Sawitri Sawitri
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 31 No. 2 (2019): AGUSTUS
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (366.425 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V31.2.2019.138-143

Abstract

Latar belakang: Dermatitis atopik (DA) merupakan keradangan kulit yang kronis, berulang, disertai rasa yang sangat gatal, kulit terasa kering, timbul pada tempat predileksi tertentu. Peningkatan potential hydrogen (pH) dan transepidermal water loss (TEWL) pada pasien DA menunjukkan gangguan fungsi sawar kulit dan dapat menyebabkan berbagai kelainan kulit berupa kulit kering di daerah lesi maupun non lesi. Tujuan: Mengetahui nilai pH dan TEWL pada DA anak di Divisi Dermatologi Anak Unit Rawat jalan (URJ) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Metode: Penelitian deskriptif observasional dengan cross sectional (potong lintang) bertujuan untuk mengetahui nilai pH dan TEWL pada pasien DA anak di RSUD Dr Soetomo Surabaya, dengan besar sampel 20 pasien DA anak. Derajat penyakit diukur dengan menggunakan indeks SCORAD. Hasil: Nilai median pH di area lesi dan area non lesi adalah 6,54 dan 5,38. Nilai rerata TEWL di area lesi dan area non lesi adalah 22,51 g/m2/h dan 16,04 g/m2/h. Nilai pH dan TEWL pada area lesi lebih tinggi dibandingkan dengan area non lesi. Simpulan: Terdapat kecenderungan peningkatan nilai pH dan TEWL pada area lesi maupun non lesi sesuai dengan derajat keparahan DA.
Scabies in Children: A Retrospective Study Retha Retha; Sawitri Sawitri
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 32 No. 1 (2020): APRIL
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/bikk.V32.1.2020.55-61

Abstract

Background: Scabies is a skin disease in humans and is caused by Sarcoptes scabiei mite. It burrows into the skin and is transmitted through close physical contact. The common symptom is itchiness, mainly occur at night, along with a history of itch from family members or friends with whom the patients might have close physical contact before. Scabies is still a concerning health problem for the majority of poor and developing countries. Purpose: To evaluate the profile of newly-admitted children scabies patients. Methods: This study retrospectively evaluated the medical records of subjects with scabies in the Children Dermatology Division, Dermatology and Venereology Department of Dr. Soetomo General Academic Hospital, Surabaya, between January 2012 and December 2014. Results: There were 545 patients with scabies (33.6% from Children Dermatology Division visit and 3.2% from overall outpatient clinic visit), mainly consisted of children aged 5-14 years old (69%), and mostly males (62.6%). The most common symptom was itchiness (70.28%), most patient sought treatment after the complaint have been persisted for more than 30 days (51.7%), and 66.4% patients have family members with similar complaint. Most of the lesions were found on the hands (60.37%), mostly as papules (73.2%). Almost all of them did not undergo a skin scraping examination (99.1%). The most common therapy combination was permethrin 5% and oral antihistamine (49.7%). Conclusions: This profile on scabies patients was expected to aid in improving scabies treatment in the future.