Latar Belakang : Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu didunia dan penyebab kematian nomor tiga di dunia. Dua pertiga stroke terjadi di negara berkembang. Insiden stroke meningkat seiring bertambahnya usia. Stroke dapat menurunkan kualitas hidup pasien pasca stroke berupa kesehatan fisik, fungsional maupun disfungsi psikososial termasuk gangguan fungsi kognitif. Secara umum, penyandang pasca stroke, sering mengalami masalah pada kestabilan emosional karena adanya perubahan kemampuan dalam melakukan aktifitas, dan hal ini harus disadari dengan pendekatan kooperatif. Banyak penderita merasa putus asa, karena merasa kelumpuhannya seakan-akan pasti tidak bisa pulih lagi. Salah satu terapi komplementer adalah tehnik SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) yang merupakan sebuah teknik ilmiah revolusioner dan spektakuler karena dikenal sangat mudah dan cepat untuk dapat dirasakan hasilnya yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah fisik, mengatasi berbagai masalah emosi, mengatasi berbagai masalah keluarga atau meningkatkan kualitas hidup pasien pasca stroke. Metode : Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah quasy eksperiment. Lokasi penelitian dilakukan di Kota Mojokerto. Jenis sampling yang digunakan adalah simpel random sampling. Pengolahan data dilakukan dengan tahap editing, coding, scoring dan tabulating. Data kualitas hidup pasien pasca stroke diukur dua kali yaitu sebelum diberikan tehnik SEFT (Spriritual Emotional Freedom Technique) dan setelah dilakukan tehnik SEFT (Spriritual Emotional Freedom Technique). Hasil : Dari hasil uji nonparametric wilcoxon yang dilakukan pada kelompok ekperimen dan kelompok kontrol masing-masing menunjukkan bahwa terapi yang digunakan baik terapi non farmakologis maupun terapi farmakologis memiliki pengaruh terhadap peningkatan kualitas hidup pada pasien pasca stroke. Untuk kelompok eksperimen didapatkan nilai signifikasi sebesar 0,027, dan untuk kelompok kontrol didapatkan nilai signifikasi sebesar 0,049. Dari hal tersebut nampak bahwa pasien pasca stroke yang diberikan terapi SEFT sebagai pendamping terapi farmakologis memiliki perubahan yang berarti dibandingkan dengan pasien pasca stroke yang hanya mendapatkan terapi farmakologis. Kesimpulan : Diperlukan peran aktif berbagai pihak untuk mensosialisasikan SEFT sebagai terapi komplementer pendamping terapi farmakologis. Hal ini dikarenakan sebagian besar tenaga medis di Indonesia cenderung memiliki persepsi bahwa terapi terbaik adalah terapi farmakologis karena sudah teruji secara medis. Pengenalan terapi nonfarmakologis sejak dini kepada mahasiswa keperawatan akan menjadikan mahasiswa mengenal dan tidak canggung dalam pemberian terapi nonfarmakologis sebagai pendamping terapi farmakologis