Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Development of Binocular Vision Muhammad Syauqie; Sri Handayani Mega Putri
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v3i1.17

Abstract

AbstrakPenglihatan binokular secara harfiah berarti penglihatan dengan 2 mata dan dengan adanya penglihatan binokular, kita dapat melihat dunia dalam 3 dimensi meskipun bayangan yang jatuh pada kedua retina merupakan bayangan 2 dimensi. Penglihatan binokular juga memberikan beberapa keuntungan berupa ketajaman visual, kontras sensitivitas, dan lapangan pandang penglihatan yang lebih baik dibandingkan dengan penglihatan monokular. Penglihatan binokular normal memerlukan aksis visual yang jernih, fusi sensoris, dan fusi motoris. Pada manusia, periode sensitif dari perkembangan penglihatan binokular dimulai pada usia sekitar 3 bulan, mencapai puncaknya pada usia 1 hingga 3 tahun, telah berkembang sempurna pada usia 4 tahun dan secara perlahan menurun hingga berhenti pada usia 9 tahun. Berbagai hambatan, berupa hambatan sensoris, motoris,dan sentral, dalam jalur refleks sangat mungkin akan menghambat perkembangan dari penglihatan binokular terutama pada periode sensitif sewaktu 2 tahun pertama kehidupan.Kata kunci: penglihatan binokular, perkembangan, fusi, stereopsisAbstractBinocular vision literally means vision with two eyes and with binocular vision, we can see the world in three dimensions even though the images that fall on both of the retina were the 2-dimensional images. Binocular vision also provide some advantages included improved visual acuity, contrast sensitivity, and visual field compared with monocular vision. Normal binocular vision requires a clear visual axis, sensory fusion, and motoric fusion. In human, the sensitive period of binocular vision development began at around 3 months of age, reaching its peak at the age of 1 to 3 years, had developed completely at the age of 4 years and gradually declined until it stops at the age of 9 years. Various obstacles, such as sensory, motoric, and central obstacles, within the reflex pathway were very likely to inhibited the development of binocular vision, especially in sensitive period during the first 2 years of life.Keywords: binocular vision, development, fusion, stereopsis
PENGARUH EMISI DEBU SEMEN TERHADAP STATUS TEAR FILM MASYARAKAT DI SEKITAR PABRIK PT. SEMEN PADANG Muhammad Syauqie; Ardizal Rahman; Getry Sukmawati
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 6, No 3 (2017)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v6i3.753

Abstract

Permukaan okular rentan terhadap efek iritatif dari debu semen tersebut karena epitel konyungtiva dan kornea hanya dilapisi oleh lapisan tipis tear film. Paparan debu semen jangka panjang menyebabkan terjadinya inflamasi subklinis kronik yang dapat mempengaruhi transdiferensiasi epitel konyungtiva dan densitas sel goblet yang kemudian dapat menyebabkan timbulnya gejala dry eye syndrome. Tujuan penelitian ini adalah menilai status tear film pada masyarakat  yang  terpapar  emisi  debu  semen  dibandingkan  dengan  masyarakat  yang  tidak  terpapar.  Penelitian ini berupa analytic cross sectional study pada dua populasi yaitu kelompok terpapar dan tidak terpapar emisi debu pabrik semen. Semua sampel penelitian dari dua populasi menjalani pemeriksaan pH tear film, Schirmer, Ferning dan Tear Break Up Time (TBUT). Hasil studi mendapatkan peningkatan nilai pH tear film yang bermakna pada penduduk di kelompok terpapar dengan p=0.001. Terdapat juga penurunan kualitas Ferning yang bermakna pada penduduk di kelompok terpapar yang didominasi tipe III dengan p=0.005 dan 0.029. Sedangkan hasil pemeriksaan Schirmer dan TBUT masih dalam batas normal dan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok. Simpulan studi ini ialah erdapat peningkatan rerata nilai pH tear film dan penurunan kualitas lapisan musin tear film yang bermakna pada masyarakat yang terpapar emisi debu semen namun tidak didapatkan peningkatan kejadian dry eye yang bermakna.
PENANGGULANGAN KEBUTAAN DI SUMATRA BARAT Muhammad Syauqie
LOGISTA - Jurnal Ilmiah Pengabdian kepada Masyarakat Vol 4 No 2 (2020)
Publisher : Department of Agricultural Product Technology, Faculty of Agricultural Technology, Universitas Andalas Kampus Limau Manis - Padang, Sumatera Barat Indonesia-25163

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/logista.4.2.330-338.2020

Abstract

Oftalmologi komunitas meliputi tindakan preventif, kuratif, promotif, dan rehabilitatif, dan merupakan suatu pendekatan holistik. Untuk mengembangkan suatu program oftalmologi komunitas, perencanaan awal harus mencakup penilaian epidemiologik dan demografik menyeluruh untuk menentukan prevalensi kebutaan di masyarakat. Berdasarkan hasil survei Rapid Assessment of Avoidable Blindness di Indonesia, prevalensi kebutaan pada penduduk berusia di atas 50 tahun sebesar 3% dan utamanya disebabkan oleh katarak. Di Sumatra Barat prevalensi katarak cukup tinggi yaitu sebesar 2,3% dan operasi katarak massal merupakan metode strategi yang penting untuk menurunkan prevalensi kebutaan. Pada periode tahun 2017 hingga 2018, bagian ilmu kesehatan mata universitas andalas telah mengadakan beberapa kali operasi katarak masal di area terpencil provinsi Sumatra Barat, dengan total 284 pasien yang telah dilakukan operasi katarak dengan teknik bedah ekstrakapsular dan implantasi lensa intraokular. Tajam penglihatan lebih baik dari 6/18 sehari pascaoperasi didapatkan pada 53,16% pasien. Hasil ini belum memenuhi kriteria WHO sehingga peningkatan ketrampilan bedah residen oftalmologi dan juga penyediaan fasilitas penunjang seperti peralatan biometri sangat penting untuk meningkatkan persentase pasien dengan tajam penglihatan yang baik pascaoperasi katarak massal. Kata kunci: Oftalmologi komunitas, Operasi katarak massal, Skrining refraksi sekolah, Glaukoma, Sumatra Barat ABSTRACT Community ophthalmologyinvolves preventive,curative, promotive, and rehabilitative activities,making it a holistic approach. In order todevelop a program in communityophthalmology, the initial planningmust include a thorough epidemiologicand demographic assessment to definethe extent of blindness within thecommunity. In Indonesia, based on Rapid Assessment of Avoidable Blindness study, the prevalence of blindness in people with age more than 50 years old was 3% and mainly caused by cataract. In West Sumatra province itself, the prevalence of cataract was 2,3% and mass cataract surgery was the important strategic method to decrease the prevalence of blindness. In the period of 2017 until 2018, ophthalmology department of Andalas University had conducted several times social services of mass cataract surgery in remote area of West Sumatra province,with the total of 284 patients had received cataract surgery with extracapsular cataract surgery and intraocular lens implantation. Visual acuity better than 6/18 in the day after surgery was found in 53.16% patients. This results didn’t yet meet WHO criteria so improvement of ophthalmology resident surgical skill and also provision of supporting facilities such as biometric measurement is essential to increase percentage of patients with good visual acuity after mass cataract surgery. Keywords: Community ophthalmology, Mass cataract surgery, School refraction screening, Glaucoma, West Sumatra
Outcome trabekulektomi terhadap kontrol tekanan intraokular Muhammad Syauqie; Fitratul Ilahi
Majalah Kedokteran Andalas Vol 41, No 3 (2018): Published in September 2018
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (412.567 KB) | DOI: 10.25077/mka.v41.i3.p101-111.2018

Abstract

Tujuan: Membandingkan outcome pada tindakan trabekulektomi, trabekulektomi dengan MMC dan trabekulektomi dengan ekstraksi katarak. Metode:  Penelitian retrospektif dari rekam medis pasien poliklinik Mata RSUP Dr. M. Djamil Padang. Hasil: Terdapat 64 kasus dari 46 pasien pada penelitian ini, dengan rasio laki-laki dan perempuan yaitu 1:1. Usia pasien berkisar antara 19 tahun hingga 90 tahun. Dari keseluruhan pasien didapatkan diagnosa POAG pada 67,2% kasus, PACG pada 18,8% kasus, glaukoma juvenile pada 6,2% kasus, dan glaukoma sekunder pada 7,8% kasus. Prosedur yang paling banyak dilakukan adalah trabekulektomi (28 mata) diikuti oleh trabekulektomi dikombinasikan dengan ekstraksi katarak (21 mata) dan trabekulektomi dengan MMC (15 mata). Trabekulektomi atau trabekulektomi dengan MMC menghasilkan efek pengendalian TIO yang lebih baik, yaitu 16,35±7,30 mmHg dan 13,23±6,46 mmHg, dibandingkan dengan trabekulektomi yang dikombinasikan dengan ekstraksi katarak (17,70±5,66 mmHg). Namun demikian, 42,85% kasus setelah trabekulektomi dan 50% kasus setelah trabekulektomi dikombinasikan dengan ekstraksi katarak masih memerlukan setidaknya satu obat untuk mencapai rentang TIO normal dibandingkan dengan hanya 7,14% kasus setelah trabekulektomi dengan MMC. Simpulan: Trabekulektomi dengan MMC lebih unggul daripada trabekulektomi atau trabekulektomi dikombinasikan dengan ekstraksi katarak dalam menurunkan tekanan intraokular (TIO) dan bermanfaat bagi kontrol TIO dalam jangka panjang.
PENGARUH EMISI DEBU SEMEN TERHADAP PERMUKAAN OKULAR PADA MASYARAKAT DI SEKITAR PABRIK PT. SEMEN PADANG Muhammad Syauqie
Majalah Kedokteran Andalas Vol 43, No 2 (2020): Online Mei 2020
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/mka.v43.i2.p112-123.2020

Abstract

Industri semen diketahui menghasilkan polutan udara yang berbahaya bagi kesehatan yang dapat berupa debu dan memiliki tingkat toksisitas yang paling tinggi dibanding polutan udara lainnya. Paparan debu semen jangka panjang menyebabkan terjadinya inflamasi subklinis kronik yang dapat mempengaruhi transdiferensiasi epitel konyungtiva dan densitas sel goblet yang kemudian dapat menyebabkan timbulnya gejala dry eye syndrome. Penelitian ini berupa analytic cross sectional study pada dua populasi yaitu kelompok terpapar dan tidak terpapar emisi debu pabrik semen. Semua sampel penelitian dari dua populasi menjalani pemeriksaan pH tear film, Schirmer, Ferning dan tear break up time.Terdapat peningkatan nilai pH tear film yang bermakna pada penduduk di kelompok terpapar Terdapat juga penurunan kualitas Ferning yang bermakna pada penduduk di kelompok terpapar yang didominasi tipe III. Sedangkan hasil pemeriksaan Schirmer dan TBUT masih dalam batas normal dan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok. Pada pemeriksaan sitologi impresi pada kelompok terpapar didapatkan densitas sel goblet yang masih dalam batas normal dan juga tidak didapatkan metaplasia pada sel epitel konjungtiva. Terdapat peningkatan rerata nilai pH tear film dan penurunan kualitas lapisan musin tear film yang bermakna pada masyarakat yang terpapar emisi debu semen namun tidak disertai kerusakan permukaan okular dan peningkatan kejadian dry eye yang bermakna.
Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Munculnya Gejala Neuropati Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Andalas Auliza Ramadona; Erlina Rustam; Muhammad Syauqie
Jurnal Farmasi Higea Vol 13, No 1 (2021)
Publisher : STIFARM Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52689/higea.v13i1.326

Abstract

Diabetes melitus merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik hiperglikemia kronik yang terjadi akibat adanya gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah  neuropati diabetikum. Salah satu faktor yang dapat mencegah dan menghambat progesifitas neuropati diabetikum adalah kepatuhan pasien dalam minum obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kepatuhan minum obat dengan munculnya gejala neuropati pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Andalas Padang. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross-sectional dan metode consecutive sampling. Responden penelitian ini sebanyak 48 orang terpilih sesuai kriteria. Tingkat kepatuhan diukur dengan menggunakan kuesioner Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) dan gejala neuropati diukur dengan kuesioner Diabetic Neuropathy Symptom (DNS). Uji Chi-square dilakukan untuk mengetahui hubungan keduanya. Didapatkan hasil p = 0,001 (p < 0,05) dengan kesimpulan berupa  terdapatnya hubungan antara tingkat kepatuhan minum obat dengan munculnya gejala neuropati pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Andalas Padang.
Hubungan Miopia dengan Skor IQ (Intelligence Quotient) pada Siswa SMP Negerti 1 Kota Padang Jonas Hansel Tarigan; Muhammad Syauqie; Bobby Indra Utama
Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia Vol 2 No 1 (2021): Maret 2021
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1368.783 KB) | DOI: 10.25077/jikesi.v2i1.289

Abstract

Background. Myopia is one of the most common refractive errors. Refractive disorders indicate a relationship with IQ (Intelligence Quotient). It was first found to show that the higher the person's myopia the higher the IQ score he obtained.Objective. This study aims to determine the relationship between myopia and IQ scores in students of SMPN 1 Padang City.Method. This research is a comparative analytical study with a cross-sectional design using primary data and secondary data from May 2020 - August 2020 at SMPN 1 Padang. The sample consisted of 44 people with 22 people as cases and 22 people as controls. Data analysis used univariate analysis and bivariate analysis. The r value indicates the strength of the correlation and the results are statistically significant if the p value is <0.05.Result. The results showed that most of the respondents consisted of female students (52.3%), the incidence of myopia was found more in female students (72.7%), the highest degree of myopia was obtained by mild myopia (59.1%), the highest IQ score was obtained. with a high level of intelligence (65.9%) with a mean; myopia IQ score 117 ± 17.5, control IQ score 121.68 ± 16.3. In several bivariate analyzes, it was found that there was no relationship between myopia and IQ score (p> 0.05).Conclusion. In this study, there was no significant relationship between myopia and IQ score.
ANALISIS KARAKTER JACK DALAM FILM WONDER (2017) Muhammad Syauqie; Nungki Heriyati
MAHADAYA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 1 (2022): April 2022
Publisher : Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Komputer Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (658.983 KB) | DOI: 10.34010/mhd.v2i1.5477

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakterisasi Jack dalam film Wonder (2017). Wonder adalah film drama keluarga Amerika 2017 yang disutradarai oleh Stephen Chbosky dan diproduksi oleh Michael Beugg, dan Clark, David Hoberman dan Todd Lieberman. Ditulis oleh Jack Thorne, Steve Conrad dan Stephen Chbosky berdasarkan novel Wonder oleh R.J. Palacio. Film ini bercerita tentang seorang anak laki-laki dengan cacat fisik bernama August Pullman yang mengalami bullying di sekolah. Jack adalah salah satu karakter yang ingin berteman dengan August Pullman. Data yang diidentifikasi dianalisis sesuai dengan pendekatan intrinsik oleh Edgar V. Roberts yang dikutip oleh Rondonuwu (13) dalam analisis Menulis karakter utama dalam film Barbie of Swan Lake. Penelitian ini menunjukkan bahwa tokoh Jack memiliki karakter Peduli, Setia, Berani dan Baik dalam film Wonder (2017). Kata Kunci: Jack, Wonder (2017), Film, Karakteriasi, Tokoh
RESOLUSI NEURORETINITIS DENGAN CIPROFLOXACIN DAN ASETAZOLAMID Muhammad Syauqie
Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 4 No 2 (2021): Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (496.461 KB)

Abstract

Neuroretinitis merupakan suatu sindrom klinis ditandai dengan penurunan visus unilateral akut dengan makulopati eksudatif yang terdiri dari eksudat hard tersusun dalam gambaran bintang di sekitar fovea. Pada artikel ini, penulis melaporkan suatu kasus neuroretinitis dengan ablasio makula serosa yang memperlihatkan outcome yang baik setelah pemberian terapi asetazolamid. Seorang pasien perempuan, umur 18 tahun, datang dengan keluhan utama berupa penglihatan mata kiri kabur. Visus mata kiri saat presentasi awal yaitu 1/300 dan pada funduskopi hanya didapatkan edema papil nervus optik disertai perdarahan peripapil. Tidak didapatkan perbaikan gejala klinis setelah pemberian metilprednisolon intravena selama 3 hari. Pada follow up hari keempat, muncul gambaran macular star yang khas untuk neuroretinitis, dan pada pemeriksaan optical coherence tomography (OCT) didapatkan cairan subretina pada makula sehingga diberikan tambahan terapi asetazolamid. Setelah pemberian asetazolamid selama 2 minggu didapatkan perbaikan visus menjadi 5/60 dengan visus akhir pada follow up bulan ketiga menjadi 6/12. Meskipun neuroretinitis bersifat self-limited tetapi pada kasus ini pemberian asetazolamid mempercepat perbaikan visus, dan reduksi ablasio makula serosa. DOI : 10.35990/mk.v4n2.p110-121
HUBUNGAN PEMAKAIAN KONTRASEPSI HORMONAL TERHADAP KUANTITAS TEAR FILM Muhammad Syauqie; najdah fakhirah karami
Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 4 No 5 (2021): Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (464.959 KB)

Abstract

Mata kering adalah penyakit multifaktorial yang ditandai dengan hilangnya homeostasis tearfilm yang diikuti gejala okular akibat penurunan kuantitas tear film. Pada jaringan mata,hormon seksual berperan dalam mengatur struktur dan fungsi dari kelenjar lakrimal.Penggunaan kontrasepsi hormonal merupakan salah satu terapi sistemik yang dapatdihubungkan dengan penurunan kuantitas tear film. Penelitian ini merupakan penelitiananalitik dengan pendekatan observasional pada 40 orang wanita dengan rentang usia 21-44tahun. Kelompok sampel adalah wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal minimaldalam 1 tahun dan kelompok kontrol adalah kelompok yang tidak menggunakan kontrasepsihormonal. Hasil penelitian dan analisis data mendapatkan rerata uji Schirmer kelompoksampel dan kontrol adalah (21,3±12,7) dan (23,9±10). Rerata terkecil uji Schirmer adalahpada kontrasepsi jenis injeksi 3 bulan, yaitu (18,2 ± 11,6). Pada tear meniscus terjadipenurunan pada kelompok sampel (40%) dan kontrol (30%). Hasil kuesioner ocular surfacedisease index (OSDI) kelompok sampel didapatkan dry eye ringan (20%), sedang (20%), danberat (5%). Sementara itu kelompok kontrol hanya mengalami dry eye ringan (45%). Dalampenelitian ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan hasil yang bermakna (p > 0,05) antarakelompok tersebut. Kesimpulan yang didapatkan adalah tidak terdapat hubungan yangbermakna pemakaian kontrasepsi hormonal dengan kuantitas tear film. DOI : https://doi.org/10.35990/mk.v4n5.p483-492