Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Measuring the Factor of the Criminal Action of Corruption (Case Study of Criminal Acts of Corruption in the Environment of Legislative Authority) Gunawan, Tri Agus; Hakim, Sholihatul
IJCLS (Indonesian Journal of Criminal Law Studies) Vol 4, No 1 (2019): May 2019 Indonesian Journal of Criminal Law Studies
Publisher : Universitas Negeri Semarang (UNNES)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (354.373 KB) | DOI: 10.15294/ijcls.v4i1.18748

Abstract

With the spirit of reform, it gives extraordinary power and authority to legislative members in line with their duties and functions based on the mandate of the constitution such as the functions of legislation, budgetary functions, and supervisory functions. With the current power and authority of legislative members, they often do not fully carry out the people's mandate, but injure the people's mandate with the capture of several legislative members in the vortex of corruption cases. This study attempts to analyze these causes that make corruption continue to occur in the legislative power environment while providing solutions that are fundamentally changes in our constitutional system This study uses normative legal research methods by examining primary legal materials, namely relevant laws and regulations and secondary legal materials in the form of library studies and also by utilizing quantitative data. The purpose of this study is to examine the fundamental factors causing the widespread of corruption cases that ensnare the legislative members when various regulations and criminal sanctions have often been imposed on convicted corruption before and do not have deterrent effects. The hypothesis that is temporarily built is that the authority/duties of legislative members, the high salary received now and also the policy of raising criminal sanctions are not effective in tackling corruption and this is the focus of the study in this study.
Restrukturisasi Fungsi Yurisprudensi pada Sistem Hukum Civil Law di Indonesia (Analisis Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) Tri Agus Gunawan; Indira Swasti Gama Bhakti
Journal of Public Administration and Local Governance Vol 4, No 1 (2020): Local Government Policy, State Finance, and Law Enforcement
Publisher : Social and Political Science Faculty - Universitas Tidar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31002/jpalg.v4i1.2366

Abstract

Yurisprudensi merupakan suatu putusan pengadilan yang digunakan oleh hakim-hakim setelahnya untuk dijadikan sebagai salah satu sumber hukum. Namun posisi Yurisprudensi seharusnya digunakan ketika tidak ditemukan adanya aturan yang mengatur pada suatu kasus yang dipersidangkan di pengadilan. Hal ini merupakan ciri dari sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law yang dianut oleh Indonesia dengan memposisikan Undang-undang sebagai sumber hukum utama. Hakim memang diberi wewenang penuh oleh Undang-undang Kekuasaan Kehakiman untuk melakukan penemuan hukum, menggali keadilan yang tumbuh di masyarakat dan juga dilarang menolak kasus dengan alasan tidak ada dasar hukumnya. Namun faktanya dengan adanya kewenangan tersebut pada hakim, memunculkan putusan-putusan yang lalu terlegalkan menjadi sebuah Yurisprudensi dan praktiknya Yurisprudensi tersebut mengesampingkan posisi Undang-undang yang sebetulnya telah mengaturnya secara limitatif. Kasus yang sempat muncul adalah putusan praperadilan dengan tersangka Komjen Budi Gunawan tentang sah tidaknya penetapan tersangka. Pasal 77 KUHAP telah mengatur dalam hal apa saja keadaan dapat diajukan praperadilan. Namun adanya putusan ini memperluas obyek kajian praperadilan dan dalam praktiknya menimbulkan pro dan kontra. Penelitian ini bertujuan untuk menjabarkan fungsi Yurisprudensi dalam sistem hukum civil law sekaligus mengkomparasikan dengan ketentuan pasal Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Penelitian ini bersifat normatif dengan metode yang digunakan adalah melalui studi literatur-literatur kepustakaan dan peraturan perundang-undangan. Yurisprudensi dapat digunakan sebagai salah satu sumber hukum dan seharusnya diletakan kepada posisi dan fungsinya yaitu sebagai sumber hukum ketika terjadi kekosongan hukum. Pasal 10 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman tidak bisa digunakan sebagai dasar mudahnya Yurisprudensi dikeluarkan oleh Hakim. Pesan dari pasal 10 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman adalah mengarahkan kepada hakim-hakim untuk  menggali nilai keadilan karena menggali nilai keadilan dalam masyarakat merupakan salah satu bentuk penemuan hukum dan bukanlah menciptakan hukum.
Upaya Preventif Aparat Desa dalam Penanggulangan Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga Indira Swasti Gama Bhakti; Tri Agus Gunawan
Journal of Public Administration and Local Governance Vol 4, No 1 (2020): Local Government Policy, State Finance, and Law Enforcement
Publisher : Social and Political Science Faculty - Universitas Tidar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31002/jpalg.v4i1.2368

Abstract

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dikenal sebagai suatu tindakan pemukulan terhadap istri, penyiksaan terhadap pasangan, kekerasan dalam perkawinan atau dalam keluarga. Pengertian yaitu KDRT menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) yaitu setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Solusi pemerintah dalam mengatasi tindak pidana KDRT yaitu salah satunya dengan membentuk UUPKDRT. Namun, permasalahan kekerasan dalam rumah tangga belum dapat diatasi hanya dengan pembentukan Undang-undang tersebut. Perlu adanya campur tangan serta kesadaran dari berbagai pihak, baik pihak yang melakukan KDRT, korban, maupun orang tua. Keberadaan tokoh masyarakat dalam menyelesaikan masalah KDRT dianggap penting, karena tokoh masyarakat memiliki peran besar untuk membantu masyarakat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, termasuk kasus KDRT. Seperti halnya yang terjadi di Desa Balesari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang. Percekcokan antara suami dengan istri yang berujung pada tindak KDRT terhadap istri. Istri menjadi korban atas tindakan KDRT sang suami, yang kemudian orang tua pihak istri melaporkan hal tersebut kepada aparat desa. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan pengumpulan dokumen sangat tepat untuk membantu peneliti dalam rangka memperoleh informasi yang akurat terkait dengan gejala yang akan diteliti. Studi dokumen sebagai sarana pengumpul data lebih diprioritaskan pada dokumen-dokumen pemerintah yang dari segi keabsahannya kuat daripada dokumen lainnya. Selain itu, dukungan data dengan teknik wawancara juga akan dilakukan guna memperkuat pembahasan untuk menjawab rumusan-rumusan masalah yang telah ditentukan. Dalam penelitian ini digunakan analitis dengan cara mendialogkan atau menghubungkan antara data dengan teori hukum dan norma hukum sehingga analisis data diharapkan dapat menghasilkan kesimpulan sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian.
ANALISIS YURIDIS KETENTUAN PASAL 10 UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI (Studi Kasus Tindak Pidana oleh LGBT di Muka Umum) Tri Agus Gunawan; Indira Swasti Gama Bhakti
Jurnal Iqtisad Vol 7, No 1 (2020): IQTISAD
Publisher : Universitas Wahid Hasyim Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31942/iq.v7i1.3747

Abstract

Abstract The discussion about the problem of pornography seems to be endless. The ease of accessing cyberspace is one of the causes of pornography being difficult to control. The emergence of minority groups such as LGBT (lesbian, gay, bisexual, and transgender) raises its own problems in the community. Some human rights activists consider LGBT a right for those who are not used to being banned and even the State must protect it. In terms of human values, it is clear that LGBT actors must indeed be protected from discrimination. But if their actions have touched the public or public domain, that is no longer a reason to be protected by the State and even the State must appear in regulating it. When the LGBT action was publicly displayed, Law Number 44 Year 2008 Regarding Pornography, could not directly touch it. This is influenced by two factors, namely regulation factors and also implementation factors. The source of this regulation must be immediately addressed so that its implementation is not ambiguous. Displaying pornographic acts by LGBT in public has been very worrying and can damage the mentalities of young people, especially children. Whereas in the sense of pornography as regulated in Article 1 number 1, the acts of the LGBT offender have entered the qualifications of pornography, namely in the case of "gestures" through public performances, which contain obscenity or sexual exploitation that violates the norms of decency in society. This research uses normative research using literature study with primary legal sources used is Law Number 44 Year 2008. The specific target of this research is to make scientific contributions, especially related to critical thinking about pornography laws. While the long-term goal of this study is that it is hoped that this research can be considered by policy makers or regulators to make improvements to this law so that it does not provide multiple interpretations in the implementation phase. Keywords: Analysis, Article 10, Law Number 44 Year 2008, Pornography, LGBT ABSTRAK Pembahasan mengani masalah pornografi nampaknya tidak ada habisnya. Kemudahan dalam mengakses dunia maya menjadi salah satu penyebab pornorgafi menjadi susah untuk dikendalikan. Munculnya golongan-golongan minoritas seperti LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) menimbukkan permasalahan tersendiri ditengah masyarakat. Beberapa aktifis HAM mengangggap LGBT merupakan suatu hak bagi mereka yang tidak bisa untuk dilarang dan bahkan negara harus melindunginya. Dalam hal nilai kemanusiaan jelas para pelaku LGBT memang harus dilindungi keberadaannya dari tindakan-tindakan diskriminasi. Namun apabila aksi mereka sudah menyentuh ranah publik atau umum, itu bukan lagi menjadi alasan untuk dilindungi oleh negara dan bahkan negara harus tampil dalam mengaturnya. Ketika aksi LGBT itu dipertontonkan di muka umum, Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, belum secara langsung dapat menyentuhnya. Hal ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor regulasinya dan juga faktor implementasinya. Sumber dari regulasi ini lah yang harus segera dibenahi agar implementasinya tidak ambigu. Mempertontonkan aksi-aksi bernuansa pornografi oleh LGBT dimuka umum ini sudah sangat mengkhawatirkan dan dapat merusak mental-mental generai muda khususnya anak-anak. Padalah dalam pengertian pornografi sebagaimana di atur dalam pasal 1 angka 1, perbuatan pelaku LGBT tersebut sudah masuk kualifikasi pornografi yaitu dalam hal “gerak tubuh melalui pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat Penelitian ini menggunakan penelitian normatif dengan menggunakan studi kepustakaan dengan sumber hukum primer yang digunakan adalah Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008. Target khusus dari penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan keilmuan khususnya terkait pemikiran kritis terhadap undang-undang pornografi. Sedangkan tujuan jangka panjang penelitian ini adalah besar harapan penelitian ini dapat menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan atau pembuat regulasi untuk melakukan perbaikan terhadap undang-undang ini sehingga tidak memberikan multi tafsir dalam tahap implemntasinya. . Kata Kunci : Analisis, Pasal 10, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008, Pornografi, LGBT.
PERSEPSI MASYARAKAT DESA TERHADAP JENJANG PENDIDIKAN TINGGI Indira Swasti Gama Bhakti; Tri Agus Gunawan
Literasi Hukum Vol 5, No 2 (2021): Literasi Hukum
Publisher : Universitas Tidar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (169.625 KB)

Abstract

Pendidikan merupakan investasi yang baik bagi generasi yang akan datang. Pendidikan menjadi hal yang utama saat ini, bukan hanya saja untuk menambah wawasan tetapi juga untuk menaikkan taraf hidup. Melalui pendidikan, wawasan masyarakat akan semakin maju. Hal ini tentu akan memberikan dampak baik bukan hanya bagi individu masyarakat itu sendiri melainkan juga bagi Negara. Persepsi masyarakat Desa Balesari terhadap jenjang pendidikan tinggi yaitu rendahnya kesadaran akan manfaat pendidikan bagi kesejahteraan hidup. Hal ini diwujudkan banyaknya warga Balesari yang putus sekolah karena melangsungkan pernikahan dini. Dimana, fenomena ini tidak sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat desa terhadap jenjang pendidikan tinggi yaitu rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai pendidikan tinggi dan faktor ekonomi. Para orang tua beranggapan ketika sudah menikahkan anak-anaknya maka berakhir pula kewajiban mereka terhadap penghidupan anak-anaknya. Hal itu pula sejalan dengan lepasnya tanggung jawab orang tua kepada anak. Maka dari itu banyak penduduk desa yang menikahkan anak-anaknya di usia dini (di bawah 19 tahun) demi meringankan perekonomian keluarga. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan teknik analisis deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi
Peran Aparatur Pemerintah Desa dalam Meningkatkan Partisipasi Politik Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019 Desa Mlagen, Magelang Indira Swasti Gama Bhakti; Tri Agus Gunawan
Jurnal Suara Hukum Vol. 2 No. 1 (2020)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/jsh.v2n1.p21-32

Abstract

Election (Election) is one of the means of democracy in the implementation of popular sovereignty within the Unitary Republic of Indonesia which is based on the Pancasila and the 1945 Constitution. Through elections conducted the people can elect leaders who are expected to be able to bring change towards a better life. Elections are also a means for the people to choose their trusted representatives to carry out various government affairs. Elections must be based on people's awareness to vote, not because of coercion or pressure. The higher the level of people's participation in the election, it means that the higher the level of their political awareness. Villagers who on average are still well educated understand politics only limited to a party of the people which is carried out every five years, and not a few political participation by the community is still influenced by movements from the ruling parties including the village head. The role of the village head is very important to be needed with the situation of rural educated people who are still quite low and most are farmers, this is what was described in Mlagen Village, Bandongan District. The role of the village head is very necessary in order to increase public political participation in the presidential election in 2019. The research method used is a qualitative research method with descriptive analysis techniques. Data collection is done through observation, interviews and documentation. Research data sources are key informants, informants, research sites and documents.
PELATIHAN PEMBUATAN IRIGASI TETES SEDERHANA GUNA MENINGKATKAN HASIL LAHAN TALAS DI KAMPUNG KIRINGAN BARU Milky Dinarias Krisyuniawan; Tri Agus Gunawan
ABDIPRAJA (Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat) Vol 1, No 1 (2020): September
Publisher : Universitas Tidar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (748.509 KB) | DOI: 10.31002/abdipraja.v1i1.3150

Abstract

Pelatihan pembuatan irigasi tetes ini dilakukan guna meningkatkan hasil lahan talas di kampung Kiringan Baru supaya memajukan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan dari kegiatan ini dilakukan melalui empat tahap. Tahap pertama adalah survei lahan yang berada di lokasi kampung Kiringan Baru. Tahap kedua adalah persiapan alat dan bahan pembuatan irigasi tetes. Tahap ketiga adalah sosialisasi, pelatihan pembuatan alat irigasi tetes sederhana, dan pemasangan alat irigasi tetes. Tahap terakhir adalah monitoring perkembangan lahan dan tanaman talas setelah pelatihan, kegiatan ini dilakukan setiap seminggu sekali guna melihat perkembangan tanaman talas. Untuk menganalisis perkembangan hasil pelatihan dilakukan dengan cara melihat perkembangan dari tanaman talas dan juga kelembapan tanah. Hasil dari pelatihan ini adalah adanya perkembangan dari tanaman talas yang diberi alat irigasi tetes meskipun masih belum secara maksimal. Hal ini mungkin dikarenakan masih adanya faktor lain seperti jenis tanah yang terdapat di lokasi kampung Kiringan Baru yang tergolong cukup kering, sehingga pertumbuhan tanaman talas terkendala atau kurang maksimal.
Assistance Assistance in revitalizing the Water Park KTH Wana Tirta in Bunder Village, Gunungkidul Regency towards a child-friendly tourist park Nur Rofiq; Kuswan Hadji; Rr. Yunita Puspandari; Tri Agus Gunawan; Satrio Ageng Rihardi
Community Empowerment Vol 7 No 2 (2022)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (666.861 KB) | DOI: 10.31603/ce.6563

Abstract

Gunungkidul Regency is one of several regions in Indonesia that is actively developing the tourism sector in order to support the regional economic sector. At the Water Park KTH Wana Tirta, Bunder Village, Kapanewon Petuk, Gunungkidul Regency, this community service is carried out in the form of counseling and simulation using lecture, discussion, and practice methods. This program resulted in the design of a revitalized child-friendly water park in order to increase the attraction of tourists to the area. In addition, the service team identifies the benefits and drawbacks of water parks, so that it can be used as feedback for better governance and to improve the economy of the surrounding community.
MAKNA PERLUASAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XIV/2016) Tri Agus Gunawan; Indira Swasti Gama Bhakti
Literasi Hukum Vol 6, No 2 (2022): LITERASI HUKUM
Publisher : Universitas Tidar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (466.691 KB)

Abstract

Merujuk pada Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah dijelaskan bahwa alat bukti yang diakui dalam peradilan Pidana adalah alat bukti saksi, ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Alat bukti ini diakui di Indonesia sejak tahun 1981 ketika KUHAP ini disahkan sebagai Undang-undang. Berjalannya waktu alat bukti yang ada kurang bisa membuktikan kebenaran materil terkait kasus-kasus baru, salah satunya adalah kasus dengan memanfaatkan teknologi informasi. Kemajuan dalam perihal pembuktian, muncul bersamaan dengan terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada pasal 5 dan pasal 44 telah diakuinya munculnya alat bukti baru yaitu alat bukti Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik. Munculnya alat bukti baru ini diakui sebagai bentuk perluasan dari alat butki yang ada pada peraturan perundang-undangan atau dalam hal ini adalah KUHAP. Namun permasalahan muncul tidak dijelaskannya maksud dari perluasan pada pasal 5 dan pasal 44 tersebut. Apakah itu menjadi alat bukti berdiri sendiri setelah lima alat bukti yang ada, atau masuk menjadi bagian dari alat butki yang sudah ada. Selain itu masalah yang lain adalah ketika pasal ini pernah digugat kepada Mahkamah Konstitusi dengan munculnya putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016. Pada putusan tersebut telah merubah arah kebijakan, aspek filosofis dan juga tujuan dari pasal 5. Hipotesis sementara yang terbangun adalah ketika melihat isi pertimbangan putusan tersebut. Dalam pertimbangan terdapat beberapa hal yang mengalami kerancuan antara posisi informasi elektronik dan dokumen elektronik tersebut sebagai barang bukti atau alat bukti. Berdasarkan putusan mahkamah konstitusi tersebut juga terjadi pemaknaan berbeda cara bagaimana memperleh bukti elektorinik secara sah. Dalam praktik hal ini menimbulkan perdebatan baik di masyarakat bahkan hingga antara apart penegak hukum sendiri. Penelitian ini menggunakan penelitian normatif dengan menggunakan studi kepustakaan dengan sumber hukum primer yang digunakan adalah Undang- undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain itu data empiris berupaa wawancara juga kami butuhkan sebagai penunjang dari data primer yang dianalisis. Target khusus dari penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan keilmuan khususnya terkait pemikiran kritis terhadap undang-undang informasi dan trasnsaksi elektronik. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah besar harapan penelitian ini dapat menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan atau pembuat regulasi untuk melakukan perbaikan terhadap undang-undang ini sehingga tidak memberikan multi tafsir dalam tahap implemntasinya.
MEASURING POSITIVISM IN LEGAL SCIENCE AND LEGAL PRACTICE IN INDONESIA Arnanda Yusliwidaka; Muhammad Ardhi Razaq Abqa; Tri Agus Gunawan
Journal of Law and Policy Transformation Vol 7 No 2 (2022)
Publisher : Universitas Internasional Batam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37253/jlpt.v7i2.7288

Abstract

This research departed from strong legal positivism in the development of legal science and legal practice in Indonesia. This research aims to analyze the positivism in legal science and legal practice, particularly in law enforcement reflected on judge jurisprudence (court verdict). The method used in this research was juridical normative with library study approach, related to expert’s doctrines and news sources related to some cases in Indonesia. This research explains that positivism highly affects law enforcement system. It can be seen from some judge jurisprudences tending to emphasize dominantly the positive law and ordinance and to prioritize law certainty. It of course generates pros and cons within society concerning judge verdict in some cases by people considered overriding justice aspect. In making verdict, a judge should obligatorily prioritize justice value, and law certainty and benefit and thereby can protect, put anything in order, and create peace in society life in dealing with the challenge of rapid time change.