Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search
Journal : Al Maqashidi : Jurnal Hukum Islam Nusantara

DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP HAK-HAK ISTRI PASCA CERAI TALAK RAJ’I Burhanatut Dyana; Agus Sholahudin Shidiq
Al Maqashidi : Jurnal Hukum Islam Nusantara Vol. 2 No. 1 (2019): AL MAQASHIDI : Jurnal Hukum Islam Nusantara
Publisher : UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (506.72 KB) | DOI: 10.32665/almaqashidi.v2i1.860

Abstract

Penelitian ini menganalisa dua putusan hakim yang berbeda dalam memberikan hak-hak istri pasca perceraian akibat cerai talak raj’i, yaitu putusan hakim Pengadilan Agama Tuban No. 1781/Pdt.G/2014/PA. Tbn yang menghukum suami untuk membayar hak nafkah iddah dan mut’ah kepada mantan istrinya dan putusan hakim Pengadilan Agama Bojonegoro No. 154/Pdt.G/2014/PA. Bjn yang tidak meghukum suami untuk membayar hak istri pasca peceraian walaupun perceraian ini terjadi atas kehendak suami. Studi ini memberikan gambaran bahwa dalam memutuskan suatu perkara seorang hakim dituntut harus mengetahui sebab musabab terjadinya suatu perkara, baik itu berdasarkan atas keterangan penggugat, tergugat, saksi dan bukti pada saat persidangan. Nafkah iddah dan nafkah mut’ah secara teori merupakan hak mantan istri akibat cerai talak raj’i, namun dalam kasus tertentu kedua hak ini bisa jadi tidak didapatkan oleh mantan istri akibat ketidaktahuan istri terhadap hak tersebut. Ketika mantan istri tidak mengambil haknya, maka hakim dapat menggunakan hak ex officio yang dimilikinya untuk menguhukum suami agar menunaikan hak mantan istrinya (nafkah iddah dan mut’ah) berdasarkan Pasal 41 huruf (c) UU Perkawiman No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 149 huruf (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam.
ABORSI DALAM KONTROVERSI PARA FUQAHA RIRIN FAUZIYAH; Burhanatut Dyana
Al Maqashidi : Jurnal Hukum Islam Nusantara Vol. 3 No. 1 (2020): AL MAQASHIDI: Jurnal Hukum Islam Nusantara
Publisher : UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (930.166 KB) | DOI: 10.32665/almaqashidi.v3i1.866

Abstract

Discussing about abortion as we discuss about human life. As human beings we should not live in a place of residence or take one's life away because this is not in accordance with maqashid al-shari'ah and Human Rights. Islam as an elastic and dynamic religion views abortion as not always blameworthy, but by first seeing one's legal status in having an abortion. The difference in „illat law will result in a different legal status. From this background, the writer is interested to explore further about abortion in the controversy of the jurists and the things that are the background of different views and understand further opinions about abortion law. Hanafi permitted abortion with the permission of his parents. The fuqaha Malikiyah forbid reserve abortion after semen in the womb, but some others confirm it. The majority of fuqaha Shafi'iyah allows abortion before the spirit is blown, while after the age of 40 days the law is haram. Imam al-Ghazali forbids the abortion of the fetus in all phases of development in pregnancy. The Hambali Madhab generally permits abortion before the blowing of the spirit. Ibn Jauzi forbade since before the blowing of the spirit in all phases of fetal development. The controversial contribution among the jurists in determining the law of abortion is motivated by differences in the arguments (al-ta'a rud al-adillah) between the traditions narrated by Bukhari and the traditions narrated by Muslims. Opinions that are more about abortion law are haram In addition to being against the right to life, abortion is one form of coverage and murder.
PEREMPUAN PERSPEKTIF PEMIKIRAN HUKUM ISLAM MODERN RIRIN FAUZIYAH; Burhanatut Dyana
Al Maqashidi : Jurnal Hukum Islam Nusantara Vol. 3 No. 2 (2020): Al Maqashidi : Jurnal Hukum Islam Nusantara
Publisher : UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (812.574 KB) | DOI: 10.32665/almaqashidi.v3i2.870

Abstract

Before Islam came, in many parts of the world women are subjected to humiliation andabuse. Women are considered as goods that can be traded, transferred, and inherited.Islam comes to improve the condition of women by elevating their status, giving themrights as men have rights over themselves and their assets, even women are no longerconsidered as inheritance assets, but as heirs who are also entitled to inherited property.Over time and the increasing education and knowledge possessed by women resulted inthe desire for women to get the same or equal rights as men. This condition seems tohave received support from many parties. This can be seen frome the emergence offemale warrior figures who passionately fight for women’s rights, such as: AminaWadud, Fatima Mernissi, Riffat Hasan, Rifa’ah Thahthawi, Qasim Amin and others.Among the few that are being discussed is: the creation of women, the concept ofnusyuz, distribution of inheritance, the existence of historical material control, lack ofwomen experts, very strong male hegemony, and against the developmentalismparadigm.
EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PERKARA CERAI DI PENGADILAN AGAMA KRUI LAMPUNG BARAT agung handi priyatama; Hilmi Yusron Rofi?i; Abd Qohar; Burhanatut Dyana
Al Maqashidi : Jurnal Hukum Islam Nusantara Vol. 5 No. 1 (2022): Al Maqashidi : Jurnal Hukum Islam Nusantara
Publisher : UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (830.664 KB) | DOI: 10.32665/almaqashidi.v5i1.924

Abstract

Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan ataumufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenanganmemutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Dalam realitasnya pemberlakuanmediasi masih kurang begitu efektif dalam penyelesaian perkara, terbukti darisedikitnya perkara yang berhasil diselesaikan dengan mediasi. Tercatat hanya 2 perkara perceraian yang berhasil dimediasi pada Pengadilan Agama Krui pada tahun 2019 dan Tahun 2020. Oleh sebab itu pembahasana efektivitas mediasi serta peran hakim mediator sebagai upaya meminimalisir perceraian menarik untuk diteliti. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research) dengan sifat penelitian deskriptif analisis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa mediasi belum efektif yang disebabkan oleh pelbagai faktor serta peran mediator yang kurang maksimal akibat dualisme fungsi, yaitu selain menjadi mediator juga merangkap menjadi hakim. Untuk meningkatkan keberhasilan mediasi diperlukan mediator non hakim atau mediator bersertifikasi
REFLEKSI MASYARAKAT KEC. KEDUNGADEM KAB. BOJONEGORO DALAM ATURAN BATAS USIA NIKAH burhanatut dyana; Ali Hamdan; Triana Apriyanita; ahmad zaenul mustofa
Al Maqashidi : Jurnal Hukum Islam Nusantara Vol. 5 No. 2 (2022): Al Maqashidi : Jurnal Hukum Islam Nusantara
Publisher : UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (770.056 KB) | DOI: 10.32665/almaqashidi.v5i2.1316

Abstract

Perkawinan langkah terbaik terhadap penghalalan sebuah hubungan dengan tujuan menghindari perzinaan serta mengharapkan ridha Allah SWT. Namun pada kenyataanya, tidak sedikit yang menyalahi aturan, sehingga lembaga perkawinan masih banyak mengalami problem yang sulit untuk di selesaikan hingga saat ini, salah satunya adalah perkawinan yang dilakukan oleh anak dibawah umur yang belum mencapai batas minimal perkawinan, hal ini sesuai aturan undang-undang perkawinan yang tertera pada pasal 7 ayat 1 UU No. 16 Tahun 2019 Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan batasan usia menikah 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan. sehingga dengan adanya ketentuan dan ditingkatkannya batasan usia dalam perkawinan, tidak lain yaitu meningkatkan kesiapan dalam perkawinan baik secara fisik maupun mental. Namun aturan tersebut tidak dilaksanakan denggan baik disisi lain malah berbalik arah yaitu melonjaknya permohonan dispensasi kawin pasca perubahan aturan tersebut. Meskipun sudah begitu jelas dalam aturan, namun tetap ada celah untuk melakukan pelanggaran melalui permohonan dispensasi nikah kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti pendukung yang cukup, Melonjaknya kasus tersebut sama seperti yang terjadi di kedungadem bojonegoro, sehingga perlu adanya langkah untuk meminimalisir dan perlu adanya refleksi bagi para orang tua, anak muda dan seluruh masyarakat, sehingga dengan adanya refleksi tersebut harapan besar dapat mengurangi problem yang terjadi baik masyarakat maupun lembaga perkawinan