Penelitian mengenai keberadan tradisi puasa yang dipraktikan oleh masyarakat lokal di Indonesia masih kurang mendapatkan perhatian dari peneliti. Artikel ini mengangkat tradisi “puasa suci tiga hari” (PSTH) dalam bulan suci Ramadhan yang diperaktikan oleh sekelompok masyarakat dari Suku Muna di Sulawesi Tenggara. Penelitian ini bertujuan untuk mengesplorasi tradisi PSTH pada bulan Ramadhan yang telah lama dipraktikkan oleh sekelompok masyarakat tertentu dengan melihat keterkaitan integrasi tradisi lokal dan ajaran Islam. Metode penelitian yang digunakan bersifat kualitatif deskriptif dengan sumber data yang melibatkan lima informan yang diwawancarai secara mendalam. Analisis data dilakukan dengan pengklasifikasian data dengan penyajian data bersifat deksriptif. Hasil penelitian ini menujukkan puasa yang berlangsung merupakan tradisi masyarakat lokal yang diberlakukan sebagai ibadah yang setara dengan puasa ramadhan, hal itu ditandai dengan penggunaan bacaan niat yang sama dengan niat puasa ramadhan. Pada praktiknya PSTH menujukkan totalitas diri, karena selama berlangsung pelaksanaannya, mereka sebagai pelaku tidak boleh melakukan interaksi sosial, harus berada pada tempat tertutup, dan tidak dibolehkan terkena sinar matahari serta disyaratkan untuk tidak membatalkan wudu. Kedudukan PSTH bagi masyarakat pelakunya merupakan suatu hal yang dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam. Perkawinan PTSH dengan puasa . Ramadhan terjadi akibat suatu konteks historinya, di mana puasa Ramadhan dilangsung dengan hanya “puasa tiga tiga hari” karena adanya faktor pekerjaan pelaku yang menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian dan nelayan, sehingga praktik PTSH dapat berjalan tanpa mengganggu mata pencahariannya, dan sekaligus dinilai sebagai puasa Ramadhan yang bernilai satu bulan.